Senandung di Tepi Batas 2
Saat iringan gumpalan awan kebiruan perlahan menghilang, menyisahkan kerinduan dan desiran hangat yang membuatku tersenyum lebar, dari balik kaca pesawat. Aku yakin mataku tersihir dengan hamparan coklat dan hijau yang terbentang luas, serta garis-garis berliku yang membelah daratan hijau.Inikah tanah kelahirannya?
Memikirkannya membuat tubuhku diselubungi kehangatan yang aneh. Mungkin aku telah jatuh cinta pada daratan ini.
… … …
Pertemuan pertamaku dengannya, membuatku teringat pada masa kecilku, masa di mana aku memandang gumpalan awan tanpa beban, berhayal sejauh langit bisa membawa mimpiku.
Biru, dia menyeringai lebar, usai memberitahukan namanya sambil mengulurkan tangan yang penuh lumpur karena sedang berkebun. Dia memiliki sorot mata kekanakkan, dipadu rambut ikal yang dibiarkan panjang terikat ke belakang, perpaduan yang sangat kontras dengan tubuh penuh otot dan kekar yang didapatnya dari berkebun.
Pak kepala desa memperkenalkannya sebagai salah seorang pemuda kebanggan kampung mereka. Mengatakan andai dia punya anak gadis, pasti sudah jauh-jauh hari memaksa Biru menjadi menantu. Hal yang jelas membuatku tersenyum-senyum, karena setelah pertemuanku dengan Biru, Pak Saman begitu gencar mempromosikan Biru padaku.
Awalnya itu membuatku risih, bukan karena aku keberatan dijodoh-jodohkan dengan anak kampung. Biru jelas bukan anak kampung biasa, dia memiliki wawasan yang terlampau luas sebagai seorang anak kampung biasa. Dibalik sikap cuek dan sederhana, tersimpan sikap seorang pemimpin yang selalu merencanakan semua dengan matang. Biru memiliki kharisma yang begitu misterius, membuat orang di sekitarnya seolah tersihir untuk memperhatikan dan mematuhinya.
Hal ini lah yang membuatku risih, pembawaan diri Biru begitu natural, bersama Biru, membuatku lupa, bahwa aku adalah seorang Fina yang pendiam, kaku, dan susah membaur.
Biru, menarik semua sikap yang selama ini tertidur dalam diriku, dia dapat dengan mudah membuatku marah dan kesal, tapi juga dengan mudahnya membuatku langsung melongo kagum dengan caranya menyampaikan sesuatu, atau dengan mudah membuatku tertawa lepas setelah membuatku menangis kencang.
Biru, jelas berbeda dengan laki-laki yang selama ini sering aku temui.
… … …
“Jawa mana?” tandasku kesal mendengar jawaban Biru yang terlampau singkat, setelah perdebatan panjang kami tentang penggunaan uang ringgit di sini.
Ya, percaya atau tidak, di sini! Di desa yang masih tercatat sebagai bagian Indonesia, malah menggunakan ringgit untuk setiap transaksi pembayaran. Seharusnya sih aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, toh aku memang meneliti perilaku dan pisikologis masyarakat Indonesia yang ada di perbatasan. Secara teori tentunya aku sudah tahu bagaimana kondisi mereka di sini.
Tapi, entah mengapa, aku selalu kesal jika Biru mulai menceramahiku macam-macam. Seolah aku mahluk dari pelanet lain yang sok-sok ingin menyelamatkan warganya. Dan yang membuatku makin kesal pada diri sendiri, adalah rasa penasaran aneh yang selalu kualami saat berbicara dengan Biru. Aku penasaran setengah mati. Siapa sih Biru itu sebenarnya?
“Jangan mengagetkanku!” aku tersentak kaget, ketika wajahnya tiba-tiba berada di depanku, refleks aku memundurkan tubuh dan memegang dada. Membuatnya tersenyum tipis.
Biru memajukan wajahnya ke wajahku, mempertipis jarak di antara kami. “Kamu tertarik padaku?”
Apa?! Aku terperangah kaget, merasakan pipiku menghangat. “Ap, apa maksudmu?!”
“Bertanya seperti itu?” dia memandangku sejenak. “Kalau kamu bertanya seperti itu, aku bisa mengira kamu tertarik padaku loh.”
Hidungku mengkerut, otakku mengirim perintah pada jantung, agar kembali terkendali. Walau sayang, jantungku terlampau nakal untuk mengikutinya.“Tak perlu cemas, aku sudah punya orang yang kusukai.” Ucapku setenang mungkin. Sebisa mungkin menunjukkan bahwa sikapnya tidak berpengaruh padaku.
Biru hanya sejenak terperangah, kemudian dia tersenyum tipis. “Kalau begitu aku harus mencari target lain,” kelakarnya yang langsung membuat kedua alisku bertaut, “bercanda,” lanjut Biru cepat, “semoga kamu lancar dengan si dia.”
Mendengar kata-kata Biru, membuat hatiku sakit. Sekeras apapun aku berusaha memadamkan perasaanku pada Tegar, terkadang sisah-sisah percikannya, selalu membuat hatiku terbakar perih.
“Kenapa?” tanya Biru buru-buru, dari nada suaranya aku tahu dia mencemaskanku.
Aku memandangnya sejenak, kemudian mendesah. “Aku tahu,” wajahku tertunduk, “tapi itu hanya cinta sepihak.”
“Tapi bukan berarti tak mungkin kan?” ucap Biru dengan nada penuh dukungan.
Aku menggeleng, membuatnya bingung. “Dia sudah menikah, dan sangat mencintai istrinya.” Senyumku lemah.
“Oh,” Bumi terdiam.
“Tapi aku tetap menyukainya, bahkan menyukai istrinya” sambungku pelan, dengan susah payah tersenyum. Dan aku cukup yakin Biru cukup pintar untuk mengetahui senyum pura-puraku itu.
… … …
“Buat apa mengajak mereka menangkap ikan? Mereka jelas sudah ahli dalam hal ini!” kali ini kesabaranku nyaris meledak. Biru jelas-jelas membuatku kesal setengah mati. Bagaimana mungkin dia dengan seenaknya menerima permintaan kepala desa untuk mengajar murid-murid itu.
Bukannya aku membenci anak-anak. Aku teramat suka dengan anak-anak, saking sukanya, aku membantu yayasan yang didirikan ibuku untuk membantu anak-anak yang terlantar. Tapi, mengajar bukan perkara mudah, Kami berdua jelas tidak memiliki pengalaman sebagai guru. Dan tidak seperti orang-orang yang punya bakat khusus, seperti Meira dan Tegar yang begitu mudah disukai anak-anak. Aku tidak memilik bakat itu.
Walau sepertinya, Biru juga memiliki bakat khusus itu.
Benar-benar menjengkelkan! Mengapa orang semenyebalkan dia, bisa memiliki bakat itu! Aku benar-benar tidak terima. Bukannya mengajar anak-anak itu, dia malah asyik bermain air, sungguh tak ada bedanya dengan anak-anak itu.
Aku benar-benar kesal dibuatnya, saking kesalnya, aku hanya memilih diam sambil memelototinya dengan pandangan marah, membiarkan Biru bertindak sesukanya. Sampai, dia mulai berbicara dengan anak-anak itu dengan membawa seekor ikan hasil tangkapan salah seorang anak. Saat itu, aku mulai sadar, Biru sedang merencanakan sesuatu.
“Veterberata itu hewan bertulang belakang. Nah, coba kalian inget-inget, ada nggak dari hewan-hewan yang kalian sebut tadi, yang kalau kita mau makan nggak ada tulang belakangnya?” pandangan Biru berkeliling. Aku yakin saat ini dia sedang dengan bersemangat menanti jawaban mengejutkan apa lagi dari mulut anak-anak istimewa itu.
“Belut, kak! Kalau ibu masak belut, nggak pernah ada tulangnya.”
Biru tersenyum lebar mendengar jawaban anak itu, membuatku yang sedari tadi memperhatikannya ikut tersenyum lebar, refleks berjalan mendekat ke arahnya.
Sebelum suara anak-anak itu kembali terdengar, aku memotong, membuat Biru menoleh kaget padaku. “Nah, menurut kalian, hewan apa lagi yang kalau kalian makan ada tulang belakangnya?” Biru tersenyum lebar mendengar pertanyaanku. Hanya butuh beberapa menit membuat untuk membuat suasanakelas alam kami begitu alami dan menyenangkan.
Sejak hari itu, aku tidak sibuk protes pada cara mengajar Biru. Biru mungkin memang bukan seorang guru, tapi dia memiliki jiwa seorang guru, dia mengajarkanku. Bahwa, kebanggaan terbesar seorang guru, adalah melihat anak-anaknya cerdas, selalu tersenyum, dan mengerti apa yang telah mereka ajarkan. Bahwa kecerdasan bukan hanya sekedar nilai di rapot, tapi sebuah pemahaman dari kerja keras dan usaha.
“Apa kamu tahu hyme Guru Fin?” seru Biru seusai kami pulang mengajar terakhir kalinya. Guru SD anak-anak yang sebelumnya sakit, sudah sepenuhnya pulih dan bisa kembali mengajar besok, membuat hari ini, adalah hari terakhir aku mengajar bersama Biru, yang dipenuhi dengan tangis anak-anak yang tak mau berpisah dengan kami.
“Iya, dulu, aku suka menyanyikannya saat hari guru, atau saat guru-guruku berulang tahun.”
“Pahlawan tanpa tanda jasa,” Biru bergumam, “tahu nggak, kalau penciptanya, bahkan sampai sekarang belum Pegawai Negeri Sipil?”
Kedua alisku bertaut, penasaran. Jujur saja, aku bahkan nggak tahu, siapa penciptanya, dan fakta kalau penciptanya itu masih hidup.
“Di saat pemerintah sibuk memperhatikan kesejahteraan para guru di pulaumu itu. Pak Sartono, bahkan hidup jauh dari kata sejahtera. Di saat lagu ciptaannya melambung tinggi, didendangkan berulang-ulang kali, hingga membuat berjuta hati tersentuh dengan lirik-liriknya. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga pensiun. Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, Cuma beberapa lembar piagam ucapan terima kasih.” Biru tersenyum, seolah mengenang sesuatu. “Meski minim perhatian, Pak Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama dua puluh empat tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.”
Aku tertegun mendengar kenyataan yang diceritakannya “Dari mana kamu tahu?”
Biru tertawa seolah mencemoohku. Tapi alih-alih tersinggung, aku malah makin penasaran dari mana dia bisa tahu hal-hal seperti ini.
“Dan mengapa kamu tidak tahu?” Biru balik bertanya, membuatku sedikit merona karena tatapan menuduhnya. “Tidak penting dari mana aku tahu, Fin. Pak Sartono hanya salah satu gambaran pahlawan yang terlupakan.”
Wajah Biru terlihat begitu sedih saat mengatakannya, membuatku makin penasaran dengannya, dan kehidupan yang telah dia jalani sampai membentuk pribadinya saat ini.
… … …
Matahari bahkan belum terbit, saat aku setengah berlari keluar dari rumah kepala desa saat melihat sosok Biru melintas di depan perkarangan. “Mau ke mana?”
Biru menoleh kaget, sejenak menaikkan alisnya, berpikir sejenak.
Melihatnya berpikir, membuatku ingin tertawa. Wajah Biru terlihat kekanak-kanakan saat sedang berpikir, membuatku selalu bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang laki-laki yang lebih tua dariku, bisa terlihat lebih kekanak-kanakkan dari pada bocah berumur belasan tahun.
“Nganter ini,” Biru menunjukkan sebuah tas ransel dibalik punggungnya.
“Apa itu?” seruku penasaran.
“Makanan, atas nama kehamilan, kakakku memaksaku mengantarnya,” dia menjawab santai, membuat kedua alisku bertaut bingung. Setahuku, semua kakak Biru tidak ada di sini, mereka tinggal bersama ayah Biru di Malaysia. Kalau biru membawa pesanan kakaknya, hanya ada dua kemungkinan.
“Kamu mau ke Malaysia?” wajah Biru berubah kagum mendengar tebakkanku.
Biru tertawa lepas, membuatnya kembali terlihat kekanak-kanakkan. Kenapa dia ditakdirkan memiliki tampang baby face sih?
Biru menghentikan tawanya, “Mulai sekarang aku harus hati-hati bicara dan… bertindak, tentunya,” dia mengerling, “kalau nggak, bisa-bisa semua rahasiaku, ketahuan sama kamu.”
Aku tersenyum malu. Biru cukup bijaksana tidak membawa-bawa bidang studyku, seperti orang-orang kampung, saat aku menjabarkan prilaku mereka berdasarkan study yang kuambil. “Kakakmu ngidam?”
Biru menggeleng, “Apa orang hamil sembilan bulan bisa ngidam?” dia mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan seolah dia keberatan dengan permintaan sang kakak.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benakku. “Kamu mau melintasi perbatasan?”
Sejenak Biru terdiam, kemudian mengangguk, awalnya dia tidak mengerti arti pertanyaanku, tapi kemudian satu alisnya terangkat. Aku tersenyum simpul, yakin, kalau dia mengerti apa maksudku.
Dia mendengus tanpa suara, menggaruk belakang lehernya. Sejak didaulat menjadi pemandu yang akan membantu dalam risetku. Biru nyaris sudah pasrah dengan berbagai permintaanku.
Hanya beberapa menit dia berpikir keras, setelah akhirnya membungkuk, dengan gaya ‘khas’nya yang cuek, dia tersenyum lebar. “Mari kita berpetualang, Bu Fina.”
… … …
Aku membuang muka dari Biru. Terlalu tak sudi memperlihatkan kalau aku terganggu dengan ‘pertualangan’ yang dirancang Biru.
Pak kepala desa bahkan sempat memandangku dengan pandangan tergelak, saat aku minta ijin padanya untuk pergi ke perbatasan bersama Biru. Beliau cemas karena Biru terkadang bisa melakukan hal yang dilewat batas. Awalnya aku tak percaya, lebih tepatnya, aku merasa yakin bisa mengatasi semua kelakukan Biru, hingga memohon dengan dalil –bahan riset- untuk tesisku agar diperbolehkan ikut pada kepala desa. Toh, aku tidak sepenuhnya berbohong, aku memang sedang meriset perbatasan, rasanya risetku hambar kalau belum menginjakkan kakiku di titik batas itu.
Sampai akhirnya aku mengerti apa kecemasan pak kepala desa, saat alih-alih menunggu jadwal perahu yang biasanya melewati sungai Sekayam menuju Entikong datang. Kedua alisku bertaut karena terlalu kaget saat mendapati sebuah sampan kecil di tepi sungai. “Kita pergi berdua saja?” mendapati wajah tertekanku, Biru malah menandangku seolah yang baru aku katakan adalah sebuah pertanyaan bodoh.
“Maunya?” dia bertanya santai, sambil memasukan barang bawaannya ke pinggir sampan.
“Aku keberatan kalau cuma berdua!” tandasku, membuang wajah dari pandangannya dengan cemas. Bagaimana mungkin aku pergi hanya berdua dengan Biru?
“Kan kamu yang minta ikut?” Biru menatapku heran.
Aku memainkan ujung bajuku dengan gusar, merutuki diri karena kobodohanku, yang melupakan hal sepenting itu. “Aku kira kita naik sampan bareng penduduk.”
Biru tertawa kecil. “Lama kalau nunggu mereka, ini sampanku, biasanya aku ke sana sendiri kok.”
“Tapi… mana boleh, mana boleh kita pergi berduaan Biru,” aku berseru gemas pada Biru, membuat dia sejenak kembali memandangku dengan tatapan tak mengerti, sebelum akhirnya tersenyum geli sambil menggaruk leher belakangnya.
“Kalau berdua, yang ketiga setan yah?” alih-alih bertanya, kata-kata itu malah terdengar seperti godaan dari mulut Biru. Aku mendengus. Tuh! Dia ngerti kan!
“Oke, oke!” Biru berkata santai, sejenak matanya menjelajah, saat matanya menangkap sesuatu, dia terseyum penuh kemenangan. Biru berjalan menghampiri seorang remaja laki-laki itu yang membawa satu keranjang bawaan besar, berbicara sebentar. Entah apa yang dikatakannya, hingga remaja itu mengikuti Biru yang berjalan kembali ke arahku.
“Orang ketiga kita bukan setan Fin.” Biru memiringkan kepalanya ke arah remaja laki-laki itu, “Namanya Bari.”
… … …
Saat pertama kali aku mengarumi sungai Sekayam. Sampan yang kutumpangi sedikiti lebih besar dari milik Biru. Saat itu aku begitu lelah karena perjalanan panjang dari Jakarta ke sini, hingga terlalu lelah memperhatikan pemandangan indah yang menyambut di sepanjang perjalanan. Tapi, hari ini, dengan kondisi ‘diabaikan’ karena Biru lebih asyik mengobrol dengan Bari -yang ternyata adalah adik salah seorang teman lamanya-, aku bisa dengan puas menikmati kesendirianku di pojok sampan sambil memandang kecantikan eksotis pohon-pohon yang berjejer di samping sungai. Tanganku tak henti-hentinya mengabadikan karunia Tuhan di hadapanku dengan kameraku.
Perjalanan yang menempuh waktu berjam-jam itu terasa menyenangkan. Apalagi saat Bari mengajakku mengobrol tentang Jawa. Remaja itu begitu penasaran, karena dia belum pernah ke pulau Jawa. Dia bilang, suatu saat dia akan ke pulang Jawa, dan membuktikan kalau pulau itu tak ada apa-apanya dibanding pulang kelahirannya ini.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Boleh jadi jika pemerintah memutuskan serius membangun pulau ini, Jawa akan kehilangan pamornya dengan cepat. Kami terus bercerita berbagai macam hal, hingga aku merasa sampan kami sedikit oleng, karena arus dan nyaris menabrak sebuah batu besar, jika Biru tidak memutar sampannya dengan cepat.
“Riam pelantuk!” Biru tersenyum menggumamkan nama salah satu riam yang terkenal sulit di sungai Sekayam.
Aku memandangnya dengan pandangan kesal. Masih bisa-bisanya dia tersenyum saat sampan kami hampir saja karam. “Bisa__”
Kata-kataku terhenti, saat semburan ombak kencang menerpa tubuhku dari belakang, membuat bajuku basah seketika. Sampan kami menabrak dua buah batu, membuat sampan terjepit di tengah-tengah. Aku nyaris terhenyak ke belakang, jika tangan Biru tidak dengan cepat menarik tanganku.
Aku masih dalam keadaan berdebar tak karuan, saat Biru mengeluarkan jaketnya dari tas, kemudian membungkus tubuhku. Dengan sigap dia mengerling pada Bari agar menarik sampan dari batu. Setelahnya, aku hanya bisa dibuat diam terkagum-kagum, memperhatikan dua pemuda desa yang sudah terlatih mengatasi riam sungai Sekayam dengan begitu gesit. Biru melepaskan kaosnya, menarik tali di ujung sampan, dia berpijak pada batu di belakangku untuk menarik sampan keluar dari jepitan, sedangkan Bari mendorong dari depan.
Tidak butuh waktu lama sampan itu berhasil keluar dari himpitan batu dan perjalanan dilajutkan nyaris tanpa halangan berarti lagi.
Kami tiba di desa Entikong saat tengah hari. Bari yang ternyata ingin menemui pamannya di Malaysia, bersama kami menaiki bis yang akan membawa kami melewati perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong.
Saat harus turun dari bus untuk pemeriksaan tas dan paspord di bagian Imigrasi Indonesia. Aku baru menyadari kalau aku masih menggunakan jaket Biru. “Maaf yah, jaketnya jadi basah.” Seruku menyesal.
Biru hanya menatapku sejenak, “Kalau tadi aku tidak bawa jaket. Pasti aku bisa melihat bajumu tembus pandang karena basah,” dia tersenyum usil. Membuat rona wajahku memerah.
Bari mencoba menahan tawa melihat kami, membuat rasa maluku berkali-kali lipat.
Kami berjalan menuju imigrasi Malaysia untuk pemeriksaan tas dan paspord lagi. Setelah semuanya beres, kami kembali menaiki bis di gerbang perbatasan untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
Yang kudapatkan saat melewati perbatasan, adalah perasaan sedikit tak rela, saat melihat betapa berbedanya keadaan perbatasan di wilayah Indonesia, dengan di Malaysia. Serasa tubuhku dibanting keras ke tanah saat melihat betapa jurang batas itu begitu besar, padahal dua wilayah itu hanya terpisah beberapa ratus meter.
“Kamu lihat ibu-ibu yang tadi mau masuk ke Indonesia, dan sempat tertahan di kantor imigrasi Malaysia?” Biru menyadarkan lamunanku, ingatanku kembali pada seorang ibu yang membawa banyak bawaan, dan sempat tertahan di kantor imigrasi.
“Memangnya ibu itu kenapa?” aku bertanya bingung, sebenernya aku sempat heran, tapi karena sungkan bertanya tadi. Aku hanya diam tadi.
“Ibu itu melanggar peraturan qouta belanja di Malaysia,” jelas Biru, mendengar itu membuatku teringat kesepakatan belanja yang pernah disinggung Biru dulu. “Dia ingin menyelundupkan barang-barang itu, karena barang-barang Malaysia bisa di jual lebih mahal di Indonesia. Sayang caranya begitu terang-terangan.”
Aku mengenyritkan alisku bingung, “Terang-terangan?”
Biru tersenyum penuh arti, “kalau aku jelaskan, kamu bisa mencak-mencak di sini. Intinya, beginilah keadaan batas negara kita Fin.”
Aku mendengus dalam hati. Rasanya antara rela tak rela, harus mengakui kata-kata Biru.
… … …
“Jadi ini yah yang namaya Fina.” Seorang wanita berumur tiga puluhan menyambut aku dan Biru di depan sebuah rumah sederhana. Dengan perut yang membunci karena hamil besar, senyum wanita itu tetap mengingatkanku pada Biru.
Biru tersenyum, dengan cepat menghambur memeluk wanita itu. “Kamu gendut banget sih kak?” godanya, membuat wanita itu tersenyum lebar, menjewer kuping Biru, hingga Biru mengadu kesakitan.
Wanita itu melepaskan tangannya, tersenyum penuh kemenangan pada Biru yang meringis kesakitan. Pandangan wanita itu teralih padaku. “Gini nih, kalau kelamaan di pulau orang. Jadi bandel nggak ketulungan! Untung ibu cepet-cepet menyuruhnya pulang, mau jadi apa dia lama-lama di sana,” omel wanita itu, membuat Biru meringis.
“Saya Maryani, kakak Biru yangpaling atas, selain saya ada empat orang lagi kakaknya Biru yang tiggal di Malaysia. Ayo masuk Fina.” Dengan bahasa Indonesia yang lancar dan lugas, kak Maryani mengulurkan tangannya, tak melepaskan tanganku sampai kami duduk berhadapan di ruang tamunya yang sederhana.
Biru, dengan gesit sudah menghilang ke dalam rumah, membiarkan aku dan kak Maryani berdua di ruang tamu.
Tuh, dia memang menyebalkan bukan! Kenapa aku malah ditinggal di sini berdua sama kakaknya coba? Berasa mau diintrogasi sebagai calon mantu aja?
Calon mantu???? No, no, no…. kenapa aku malah mikir kaya gitu coba?
“Kamu pasti capek yah? Hampir seharian dari desa?” kak Maryani bertanya cemas,
Aku menggeleng melihat wajah cemasnya, “Menyenangkan, aku baru kali ini melewati perbatasan di sini. Sangat berbeda dengan perbatasan di Batam.”
Kak Maryani tersenyum, “Begitu yah? Kakak tidak pernah ke Batam. Kalau lewat perbatasan mah sering sebelum nikah, maklum ibu suka kangen sama anak-anaknya di sini. Pas udah nikah mah sudah susah. Ini aja anak kakak yang pertama, pergi sama bapaknya ke rumah mertua, karena mertua sakit dari kemarin. Padahal kakak udah deket-deket tanggal melahirkan, tapi ditinggal sendiri. Si Biru juga, dari pulang belum ke sini-sini, padahal kakak udah beberapa kali titip pesen lewat tetangga yang pulang ke desa. Tetep aja dia bandel.”
“Kamu nanti tidur sama kakak aja yah. Biar Biru tidur di kamarnya Hesa,” wajah kak Maryani memelas saat memintanya, membuatku hanya mengangguk beberapa menit kemudian Biru masuk dengan beberapa gelas air dan makanan kecil. Membuat topik pembicaraan kami beralih menjadi ajang membongkar rahasia masa kecil Biru.
Sepanjang sisah hari itu, aku nyaris tak berhenti tertawa. Kak Maryani begitu mudah membuatku nyaman di sana. Dia bahkan memperkenalkanku dengan beberapa tetangganya yang kebetulan bertamu. Dengan santai dia membuatku salah tingkah, saat memperkenalkanku sebagai calonnya Biru. Rasanya ingin aku mengubur wajahku karena berkali-kali bersemu merah. Tapi, yang membuatku kesal, si Biru dengan entengnya tertawa lebar. Membuatku kesal bukan kepalang.
… … …
“Biru itu nggak pernah dekat sama wanita. Banyak yang suka, tapi dia cuek sama mereka. Yang ada dipikirannya selama ini cuma membahagiakan ibu kami aja.” Tutur Kak Maryani saat kami berbaring di tempat tidur.
Aku hanya diam mendengarkan.
“Aku mau kasih tahu kamu satu rahasia Fin. Alasan Biru dipanggil pulang sekarang, setelah sekian lama ibu kami sekuat tenaga menahan diri memanggilnya pulang …,”
Aku menahan nafas saat jeda yang dibuat kak Maryani. Jantungku berdegup, hatiku membisikkan penasaran yang begitu besar.
“Ibu, ingin menikahkan Biru.”
Tubuhku kaku seketika. Menikah?!
“Sebenarnya, ibu menyerahkan urusan ini sepenuhnya pada Biru.” Seolah bisa mengerti isi hatiku, suara kak Maryani terdengar penuh simpati dan melembut, “ibu cemas, selama ini Biru tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengarah ke sana. Padahal Biru satu-satunya anak laki-laki dan anaknya yang masih berwarga negara Indonesia. Ibu begitu ingin punya cucu dari Biru. Beliau sampai mencarikan bebarapa anak gadis dari kenalannya, dia berharap saat Biru pulang, bungsuhnya mau menikah.”
Aku membatu. Tak pernah terpikirkan olehku kenapa Biru kembali ke pulaunya ini. Awalnya, aku hanya berpikir dia kembali setalah sekian lama ke sini, karena rindu ibunya, aku malah berpikir dia lelah berpetulang dan rindu kampung halaman. Ingin menetap di sini, dan menjaga ibunya. Menikah? Adalah alasan terakhir yang terbesit di benakku, dan entah mengapa membuatku tak senang.
“Tapi entah mengapa belakangan ini, ibu menghentikan semua usahanya itu.” Suara kak Maryani yang begitu tenang, namun penuh penekanan di setiap katanya membuatku menoleh, menatap wajah kak Maryani dalam diam.
“Dan itu sejak kedatangan kamu, Fin. Ibu… sangat berharap kamu bisa bersama dengan Biru.”
Deg! Seolah sebuah dorongan keras menyentakkan tubuhku, aku terpaku.
“Beliau menghentikan semua usahanya. Karena melihat kamu dan Biru begitu nyaman berada satu sama lain. Fina … Biru memang tidak punya apa-apa. Dan sebagai kakak, terlalu tidak subjektif jika kakak mengatakan Biru, adalah pemuda dengan segudang kelebihan. Biru adalah Biru, seorang pemuda kampung biasa, yang bahkan tidak akan mewarisi harta apappun selain rumah miliki ibu kami. Pemikirannya sederhana, tapi sangat bertanggung jawab. Dia mungkin miskin harta, tapi kaya akan pengetahuan. Dia tidak sekeren pemuda-pemuda di kota, tapi kerja kerasnya selama ini, tak akan kalah dengan siapapun. Kakak yakin, Biru bisa membahagiakan kamu Fina.”
Rasanya sesak mendengar semua penuturan kak Maryani. Bukan karena separuh hatiku membenarkan, apa yang dikatakannya. Tapi karena separuh hatiku pun, sama seperti Biru, terlalu mencintai kedua orang tuaku, untuk mengecewakan mereka. “Aku… aku…” aku tergagap, “aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena aku … aku sudah bertunangan.”
Wajah kak Maryani tercekat sejenak, sebelum dia kembali tersenyum, “Jodoh itu di tangan Tuhan, Fin… dan entah mengapa kakak yakin, jodohmu, adalah Biru.”
… … …
Aku terbaring dengan pandangan nyalang menatap langit-langit. Deru suara kak Maryani yang sudah terlelap di sampingku membuatku makin gelisah.
Hatiku tak bisa memungkiri, Biru membuatku mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam, seolah kehadirannya memberikan semangat padaku untuk melakukan apa yang selama ini ragu untukku lakukan, Biru bagai bayangan yang menopang agar seorang Fina bisa lepas dari bayang-bayang Fina yang tertutup. Bersamanya membuatku menjadi diriku seutuhnya, lepas tanpa beban. Tapi haruskah aku membenarkan perasaan ini? dan mengecewakan orang tuaku lagi? Aku tahu sejak kak Rafa memutuskan menikah, harapan terakhir orang tuaku berada pada diriku. Sanggupkah aku memutuskan harapan mereka itu?
“Nggg…. uhhhh…. ahhhh….” Sebuah erangan kesakitan tiba-tiba terdengar, perlahan pelan, namun dengan cepat menjadi kencang.
Aku tersentak kaget dari lamunanku. Dengan cepat mencari arah erangan itu, kudapati Kak Maryani mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan sigap aku bangkit dari tidur, memandang keadaan tempat tidur yang sudah basah. Aku turun dari ranjang dan berdiri di samping kak Maryani.
“Tarik nafas kak, pendek-pendek,” serukku pada Kak Maryani yang terlihat mulai bisa tenang. Setelah memastikan nafas Kak Maryani mulai teratur aku berlari keluar mencari Biru.
“Biruuuuuu,” Biru sedang terlelap di atas tikar, saat aku membangunkannya, “Biruuuuuuu,” panggilku tak sabar.
“Nggggg … apa sih Fin?” dia mengeliat bangun.
“Kak Maryani mau melahirkan!” Jawabku sedikit membentak karena panik mengkhawatirkan kandungan kak Maryani.
Dengan seketika kesadaran Biru kembali sempurna, wajahnya berubah serius. Tanpa banyak bicara dia berlari ke dalam kamar, aku mengikutinya dengan cepat. “Sudah pembukaan tiga. Aku akan panggil dokter.”
“Fin, tolong pastikan kakak jangan mengejan, bantu dia menarik nafas pendek dan cepat. Dan tolong taruh handuk atau pakaian di bawah pantatnya untuk meninggikan agar ada ruang untuk bahu bayi.” Biru memerintah dengan cermat, wajahnya serius memikirkan semua kemungkinan yang ada, namun dengan sekejap wajahnya berubah, dia belari keluar kamar dan membawa taplak pelastik, dan menempatkannya di bawah pantat kak Maryani. Melihat dia mengangkap tubuh kak Maryani, aku menempatkan tumpukan handuk bersih, untuk mengganjal pantat kak Maryani. “Tenang yah kak! Kakak pasti bisa,” mata Biru memandang kakaknya dengan sayang. “Fin, jaga kakak dulu yah.”
Setelah mendapatkan anggukanku Biru berlari meninggalkan rumah, dengan segera aku duduk di samping kak Maryani. “Sabar yah kak. Biru lagi panggil dokter. Semuanya akan baik-baik aja. Si kecil ini, akan segera menghirup udara.” Aku menggenggam tangan kak Maryani. Wajahnya terlihat payah, tapi dia tetap mencoba tersenyum di tengah erangannya.
Detik demi detik berganti menit dan kemudian jam. Sudah sejam Biru pergi, dan belum kembali. Hatiku makin cemas dibuatnya, wajah kak Maryani sudah begitu kelelahan menahan rasa sakit yang datang silih berganti.
Aku menggigit bibirku cemas saat kak Maryani berteriak kencang sekali. Refleks aku melihat daerah kewanitaan kak Maryani, dan langsung tersentak kaget, karena pembukaannya begitu cepat. Aku bahkan bisa melihat ujung kepala bayi yang sudah mulai mendorong keluar.
Ya Allah, bagaimana ini? aku berseru panik dalam hati, makin panik saat Kak Maryani sudah mulai mengejan kesakitan, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera membawa buah hatinya terlahir ke dunia.
Melihat perjuangannya itu, aku memantapkan diri. Dulu, sekali aku memang pernah berlajar kebidanan selama setengah tahun, sebelum memutuskan itu bukan bidang yang ingin kugeluti. Saat itu, aku tidak pernah menyesal, dan sekarang mungkin ilmu itu adalah jalan menurut Allah agar aku membantu Kak Maryani.
“Kak! Bayinya sudah mau lahir,” aku memberitahu kak Mayani, yang kemudian mengangguk mengerti, “buka kaki kakak lebar-lebar. Kita akan membawa dia ke dunia.”
Kak Mayani mengikuti intruksiku, dengan cepat dia membuka kedua kakinya lebar-lebar, membuatku bisa melihat jalur kelahiran yang sudah terbuka lebar dengan jelas.
Aku menelan ludah. Bismillahirohmannirohim.
“Tarik nafas… yah begitu… tiup… tarik… tiup lagi …” mataku dengan awas memperhatikan daerah kewanitaan kak Maryani. Jantungku berdetak tak karuan saat melihat sebuah keajaiban yang Allah berikan pada seorang ibu. Nafasku seolah ditahan oleh perasaan yang membuncah saat kehidupan baru itu perlahan berjuang untuk menghirup udara pertamanya. Saat kepala itu keluar dengan sempurna, aku tersenyum lebar. “Kepalanya sudah keluar kak. Teruskan, tarik nafas lagi.” Aku berseru di tengah gelombang kebahagian aneh yang melingkuti tubuhku.
Dengan hati-hati aku mengurut bagian sisi hidung bayi mungil itu ke arah bawah, leher, dan bagian bawah dagu ke arah atas untuk membantu mengeluarkan lendir dan cairan ketuban dari hidung dan mulut. Kemudian memegang kepala dengan dua tangan dan menekan sedikit ke arah bawah. “Ayooo… kak, dorong,” Kak Maryani menarik nafas, mengejan sekuat tenaga, tak lama kemudian pundak bagian depan bayi mungil itu keluar, kemudian lengan bagian atas. Aku mengangkat kepala dengan hati-hati menunggu pundak bagian belakang muncul. Hanya dengan hitungan menit tubuh bayi perempuan itu keluar sempurna, disusul dengan suara tangis yang begitu kencang.
“Allahhuakbar, allhamdullilah. Dia bayi perempuan yang begitu sempurna kak.” Aku tersenyum lebar, tak mampu berkata-kata lagi saat memandang keajaiban di gendonganku, melalui sudut mataku, aku bisa melihat kak Maryani tersenyum hangat, matanya memandang wajah putrinya dengan binar bangga dan sayang.
Aku membungkus bayi itu dengan selimut, saat melihat tali pusar yang cukup panjang, aku meletakkan bayi itu pada dada kak Maryani. “Aku sekarang melihat dengan jelas, bukti mengapa kedudukan Ibu lebih tinggi dari seorang ayah.”
… … …
“Kakak bilang akan menamainya, Annisa Kalila.” Biru menghampiriku yang duduk di depan teras, memandang matahari pagi terbit.
Aku tersenyum, mendengar nama belakangku dijadikan nama belakang malaikat kecil itu. Perasaan bahagia luar biasa masih menglingkupi tubuhku, apalagi saat melihat wajah kak Maryani yang terlelap bersama buah hatinya setelah berjulang tadi.
Biru duduk di sampingku. “Terima kasih, apa jadinya tanpa kamu.”
Aku menggeleng, mengingat wajah Biru yang memandang kak Maryani dengan takjub dan penuh kelegaan, saat dia datang dengan dokter. Wajah Biru penuh dengan keringat, dan kotor di sana sini, ada beberapa robekkan di baju dan celananya. Entah apa yang terjadi padanya, tapi dia langsung menghampiri kami, sejenak memandang kakaknya dengan perasaan haru, dan memandangku dengan pandangan penuh terima kasih. “Bukan karena aku, tapi karena Allah.”
“Kamu sebagai perantaraNya. Aku nggak tahu kamu tahu soal persalinan?” dia bertanya penuh penasaran.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum. “Ayah dan ibuku seorang dokter. Dulu, aku pernah belajar kebidanan.”
Biru tercengang.
“Tapi, tidak aku lanjutkan,” lanjutku, “hatiku lebih tertarik membaca perilaku orang.”
Biru bergumam tak jelas. Dia menggangguk-angguk kecil. Kemudian memandang ke arahku. Disinari cahaya mentari pagi yang perlahan meninggi, wajahnya terlihat begitu damai, bibirnya terangkat, membentuk senyum yang begitu mempesona. Dia tidak memperlihatkan wajah kekanak-kanakkannya hari ini. Saat ini, Biru yang tertawa di hadapanku adalah pemuda yang pernah digambarkan kak Maryani kemarin. Dengan suara beratnya dia berkata. “Kamu membuat, semuanya jadi lebih sulit Fin.”
… … …
Hari terus berlalu, tapi aku masih tak mengerti kata-kata Biru. Sejak kelahiran Kalila, aku beberapa kali ikut Biru saat dia berkunjung ke Malaysia. Sejak itu Biru selalu mengajak satu atau dua orang bersama kami.
Seiring dengan semakin kenalnya aku dengan keluarga besar Biru di Malaysia, data-data yang kumpulkan dari risetku pun hampir semuanya telah selesai. Keluarga yang begitu sederhana dengan hati sekaya lautan.
Aku begitu nyaman berada di tengah keluarga itu, walau tak aku pungkiri aku sedikit menjaga kata-kata dan sikapku, saat mereka sudah mulai menjodoh-jodohkanku dngan Biru.
Hari itu, kami memutuskan membeli beberapa kebutuhan di pasar Malaysia selepas pulang dari rumah salah satu kakak Biru. Aku menyempatkan menelepon ke rumah, karena sinyal telepon di Malaysia lebih kuat ketimbang di Indonesia.
Rasa gembira memenuhi rongga dadaku, saat suara ayah terdengar di seberang sana, rasanya begitu lega mendengar suara beliau sehat. Pembicaraan kami hampir seperti biasa, sampai ayah mengatakan sesuatu. Aku membeku, rasanya ingin memutuskan panggilan itu, membuang teleponku jauh-jauh dan menganggap panggilan itu tak ada.
Ayahku membicarakan tunanganku, dan … pernikahanku.
Rasanya seolah tubuhku dihempaskan ke dasar jurang gelap tak berujung. walau tepukkan tangan Biru bagai kilatan petir yang membawaku kembali ke permukaan.
“Aku harus pulang, Biru.” Kami duduk di sebuah warung makan, wajah Biru terperanjat kemudian tertunduk begitu mendengarnya.
Dengan gugup aku melanjutkan, memecah kebisuan yang membuatku makin gelisah. “Aku dapat pesan dari ayah,” Biru masih menunduk, “tadi aku sempet telepon ke rumah. Ayahku menanyakan risetku, dia tahu semua data yang kuperlukan sudah rampung, dan dia … memintaku pulang ke rumah.”
“Semua sehat kan?” Biru mengangakat kepalanya, matanya menyorotkan kecemasan yang membuatku kaget sekaligus sedih.
“Sehat … alhamdullilah semuanya sehat,” Mengapa aku begitu berat menyampaikan berita ini pada Biru? “tunanganku, dia baru kembali dari Jepang. Aku diminta pulang, untuk membicarakan pernikahan.”
Wajah Biru sempurna pias.
“Biru…” kata-kataku tercekat.
Kumohon jangan seperti itu, kemana wajah penuh semangat yang biasa kamu tunjukkan padaku, Biru? Aku butuh kamu mendukungku, aku butuh kamu tersenyum saat ini. bukan memandangku dengan pandangan yang begitu menderita.
Entah apa yang terjadi, tanganku terulur, nyaris menyentuh Biru saat aku sadar, tindakanku hanya akan membuat semuanya makin rumit. Biru adalah sahabatku, aku tak ingin membuat ini jadi makin kacau. “Biru, terima kasih sudah menjadi sahabat yang begitu menyenangkan, andai… andai… kita bertemu lebih awal…” aku pasti akan memilihmu, tidak! Sekarang hatiku pun memilihmu! Hatiku sudah terikat padamu, sejak pertama kali kamu mengenalkan dirimu, Biru Mandala.
“Aku… aku bersyukur bisa bertemu kamu Biru.” Bersyukur, karena Tuhan masih memberikanku kesempatan merasakan cinta untukmu. “Kamu mengajarkanku banyak hal baru, membuatku memandang semua permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang. Kamu begitu berharga buatku.”
“Apa kamu harus pulang?” Biru mendesis marah, mengatupkan mulut rapat-rapat.
Aku mengangguk. “Lu … lusa, aku pulang lusa.”
“Aku akan mencari kebahagiaanku, Biru.”
“Apa dengan pulang kamu akan bahagia? Jangan bodoh, Fin! Kamu bahagia dia sini!” pertanyaannya mencecarku, matanya memandangku dengan frustasi. “Tak bisa kah kamu mencari kebahagiaanmu di sini Fin?” lirihnya putus asa, membuatku terperanjat kaget. Karena tanpa ilmu apapun, hanya dengan melihatnya saja. Aku tahu, Biru juga merasakan hal yang sama denganku. Tersiksa dengan pembatas kasat mata yang membuat kami terpisah.
“Kamu tidak harus melakukannya.”
Aku ingin mengatakan tidak, ingin mengatakan kalau aku tak ingin melakukannya. Walau aku tahu, tembok batas pemisah kami begitu tinggi. Dan entah mengapa setelah semua perubahan yang Biru lakukan padaku, hari ini aku malah kembali menjadi Fina yang dulu. Fina yang begitu pengecut. “Maafkan aku, Biru.
dari sasakalacinta.com
0 comments:
Posting Komentar