Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Juni 2014

Senandung di Tepi Batas 2

Senandung di Tepi Batas 2

Saat iringan gumpalan awan  kebiruan perlahan menghilang, menyisahkan kerinduan dan desiran hangat yang membuatku tersenyum lebar, dari balik kaca pesawat. Aku yakin mataku tersihir dengan hamparan coklat dan hijau yang terbentang luas, serta garis-garis berliku yang membelah daratan hijau.
Inikah tanah kelahirannya?
Memikirkannya membuat tubuhku diselubungi kehangatan yang aneh. Mungkin aku telah jatuh cinta pada daratan ini.
… … …
Pertemuan pertamaku dengannya, membuatku teringat pada masa kecilku, masa di mana aku memandang gumpalan awan tanpa beban, berhayal sejauh langit bisa membawa mimpiku.
Biru, dia menyeringai lebar, usai memberitahukan namanya sambil mengulurkan tangan yang penuh lumpur karena sedang berkebun. Dia memiliki sorot mata kekanakkan, dipadu rambut ikal yang dibiarkan panjang terikat ke belakang, perpaduan yang sangat kontras dengan tubuh  penuh otot dan kekar yang didapatnya dari berkebun.
Pak kepala desa memperkenalkannya sebagai salah seorang pemuda kebanggan kampung mereka. Mengatakan andai dia punya anak gadis, pasti sudah jauh-jauh hari memaksa Biru menjadi menantu. Hal yang jelas membuatku tersenyum-senyum, karena setelah pertemuanku dengan Biru, Pak Saman begitu gencar mempromosikan Biru padaku.
Awalnya itu membuatku risih, bukan karena aku keberatan dijodoh-jodohkan dengan anak kampung. Biru jelas bukan anak kampung biasa, dia memiliki wawasan yang terlampau luas sebagai seorang anak kampung biasa. Dibalik sikap cuek dan sederhana, tersimpan sikap seorang pemimpin yang selalu merencanakan semua dengan matang.  Biru memiliki kharisma yang begitu misterius, membuat orang di sekitarnya seolah tersihir untuk memperhatikan dan mematuhinya.
Hal ini lah yang membuatku risih, pembawaan diri Biru begitu natural, bersama Biru, membuatku lupa, bahwa aku adalah seorang Fina yang pendiam, kaku, dan susah membaur.
Biru, menarik semua sikap yang selama ini tertidur dalam diriku, dia dapat dengan mudah membuatku marah dan kesal, tapi juga dengan mudahnya membuatku langsung melongo kagum dengan caranya menyampaikan sesuatu, atau dengan mudah membuatku tertawa lepas setelah membuatku menangis kencang.
Biru, jelas berbeda dengan laki-laki yang selama ini sering aku temui.
… … …
“Jawa mana?” tandasku kesal mendengar jawaban Biru yang terlampau singkat, setelah perdebatan panjang kami tentang penggunaan uang ringgit di sini.
Ya, percaya atau tidak, di sini! Di desa yang masih tercatat sebagai bagian Indonesia, malah menggunakan ringgit untuk setiap transaksi pembayaran. Seharusnya sih aku mulai terbiasa dengan keadaan ini, toh aku memang meneliti perilaku dan pisikologis masyarakat Indonesia yang ada di perbatasan. Secara teori tentunya aku sudah tahu bagaimana kondisi mereka di sini.
Tapi, entah mengapa, aku selalu kesal jika Biru mulai menceramahiku macam-macam. Seolah aku mahluk dari pelanet lain yang sok-sok ingin menyelamatkan warganya. Dan yang membuatku makin kesal pada diri sendiri, adalah rasa penasaran aneh yang selalu kualami saat berbicara dengan Biru. Aku penasaran setengah mati. Siapa sih Biru itu sebenarnya?
“Jangan mengagetkanku!” aku tersentak kaget, ketika wajahnya tiba-tiba berada di depanku, refleks aku memundurkan tubuh dan memegang dada. Membuatnya tersenyum tipis.
Biru memajukan wajahnya ke wajahku, mempertipis jarak di antara kami. “Kamu tertarik padaku?”
Apa?! Aku terperangah kaget, merasakan pipiku menghangat. “Ap, apa maksudmu?!”
“Bertanya seperti itu?”  dia memandangku sejenak. “Kalau kamu bertanya seperti itu, aku bisa mengira kamu tertarik padaku loh.”
Hidungku mengkerut, otakku mengirim perintah pada jantung, agar kembali terkendali.  Walau sayang, jantungku terlampau nakal untuk mengikutinya.“Tak perlu cemas, aku sudah punya orang yang kusukai.” Ucapku setenang mungkin. Sebisa mungkin menunjukkan bahwa sikapnya tidak berpengaruh padaku.
Biru hanya sejenak terperangah, kemudian dia tersenyum tipis. “Kalau begitu aku harus mencari target lain,” kelakarnya yang langsung membuat kedua alisku bertaut, “bercanda,” lanjut Biru cepat, “semoga kamu lancar dengan si dia.”
Mendengar kata-kata Biru, membuat hatiku sakit. Sekeras apapun aku berusaha memadamkan perasaanku pada Tegar, terkadang sisah-sisah percikannya, selalu membuat hatiku terbakar perih.
“Kenapa?”  tanya Biru buru-buru, dari nada suaranya aku tahu dia mencemaskanku.
Aku memandangnya sejenak, kemudian mendesah. “Aku tahu,” wajahku tertunduk, “tapi itu hanya cinta sepihak.”
“Tapi bukan berarti tak mungkin kan?” ucap Biru dengan nada penuh dukungan.
Aku menggeleng, membuatnya bingung. “Dia sudah menikah, dan sangat mencintai istrinya.” Senyumku lemah.
“Oh,” Bumi terdiam.
“Tapi aku tetap menyukainya, bahkan menyukai istrinya” sambungku pelan, dengan susah payah tersenyum. Dan aku cukup yakin Biru cukup pintar untuk mengetahui senyum pura-puraku itu.
… … …
“Buat apa mengajak mereka menangkap ikan? Mereka jelas sudah ahli dalam hal ini!”  kali ini kesabaranku nyaris meledak. Biru jelas-jelas membuatku kesal setengah mati. Bagaimana mungkin dia dengan seenaknya menerima permintaan kepala desa untuk mengajar murid-murid itu.
Bukannya aku membenci anak-anak. Aku teramat suka dengan anak-anak, saking sukanya, aku  membantu yayasan yang didirikan ibuku untuk membantu anak-anak yang terlantar. Tapi, mengajar bukan perkara mudah, Kami berdua jelas tidak memiliki pengalaman sebagai guru.  Dan tidak seperti orang-orang yang punya bakat khusus, seperti Meira dan Tegar yang begitu mudah disukai anak-anak. Aku tidak memilik bakat itu.
Walau sepertinya, Biru juga memiliki bakat khusus itu.
Benar-benar menjengkelkan! Mengapa orang semenyebalkan dia, bisa memiliki bakat itu! Aku benar-benar tidak terima. Bukannya mengajar anak-anak itu, dia malah asyik bermain air, sungguh tak ada bedanya dengan anak-anak itu.
Aku benar-benar kesal dibuatnya, saking kesalnya, aku hanya memilih diam sambil memelototinya dengan pandangan marah, membiarkan Biru bertindak sesukanya. Sampai, dia mulai berbicara dengan anak-anak itu dengan membawa seekor ikan hasil tangkapan salah seorang anak. Saat itu, aku mulai sadar, Biru sedang merencanakan sesuatu.
Veterberata itu hewan bertulang belakang. Nah, coba kalian inget-inget, ada nggak dari hewan-hewan yang kalian sebut tadi, yang kalau kita mau makan nggak ada tulang belakangnya?” pandangan Biru berkeliling. Aku yakin saat ini dia sedang dengan bersemangat menanti jawaban mengejutkan apa lagi dari mulut anak-anak istimewa itu.
“Belut, kak! Kalau ibu masak belut, nggak pernah ada tulangnya.”
Biru tersenyum lebar mendengar jawaban anak itu, membuatku yang sedari tadi memperhatikannya ikut tersenyum lebar, refleks berjalan mendekat ke arahnya.
Sebelum suara anak-anak itu kembali terdengar, aku memotong, membuat Biru menoleh kaget padaku. “Nah, menurut kalian, hewan apa lagi yang kalau kalian makan ada tulang belakangnya?” Biru tersenyum lebar mendengar pertanyaanku. Hanya butuh beberapa menit membuat untuk membuat suasanakelas alam kami begitu alami dan menyenangkan.
Sejak hari itu, aku tidak sibuk protes pada cara mengajar Biru. Biru mungkin memang bukan seorang guru, tapi dia memiliki jiwa seorang guru, dia mengajarkanku. Bahwa, kebanggaan terbesar seorang guru, adalah melihat anak-anaknya cerdas, selalu tersenyum, dan mengerti apa yang telah mereka ajarkan. Bahwa kecerdasan bukan hanya sekedar nilai di rapot, tapi sebuah pemahaman dari kerja keras dan usaha.
“Apa kamu tahu hyme Guru Fin?” seru Biru seusai kami pulang mengajar terakhir kalinya. Guru SD anak-anak yang sebelumnya sakit, sudah sepenuhnya pulih dan bisa kembali mengajar besok, membuat hari ini, adalah hari terakhir aku mengajar bersama Biru, yang dipenuhi dengan tangis anak-anak yang tak mau berpisah dengan kami.
“Iya, dulu, aku suka menyanyikannya saat hari guru, atau saat guru-guruku berulang tahun.”
“Pahlawan tanpa tanda jasa,” Biru bergumam, “tahu nggak, kalau penciptanya, bahkan sampai sekarang belum Pegawai Negeri Sipil?”
Kedua alisku bertaut, penasaran. Jujur saja, aku bahkan nggak tahu, siapa penciptanya, dan fakta kalau penciptanya itu masih hidup.
“Di saat pemerintah sibuk memperhatikan kesejahteraan para guru di pulaumu itu. Pak Sartono, bahkan hidup jauh dari kata sejahtera. Di saat lagu ciptaannya melambung tinggi, didendangkan berulang-ulang kali, hingga membuat berjuta hati tersentuh dengan lirik-liriknya. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga pensiun. Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, Cuma beberapa lembar piagam ucapan terima kasih.” Biru tersenyum, seolah mengenang sesuatu. “Meski minim perhatian, Pak Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama dua puluh empat  tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.”
Aku tertegun mendengar kenyataan yang diceritakannya “Dari mana kamu tahu?”
Biru tertawa seolah mencemoohku. Tapi alih-alih tersinggung, aku malah makin penasaran dari mana dia bisa tahu hal-hal seperti ini.
“Dan mengapa kamu tidak tahu?” Biru balik bertanya, membuatku sedikit merona karena tatapan menuduhnya. “Tidak penting dari mana aku tahu, Fin. Pak Sartono hanya salah satu gambaran pahlawan yang terlupakan.”
Wajah Biru terlihat begitu sedih saat mengatakannya, membuatku makin penasaran dengannya, dan kehidupan yang telah dia jalani sampai membentuk pribadinya saat ini.
… … …
Matahari bahkan belum terbit, saat aku setengah berlari keluar dari rumah kepala desa saat melihat sosok Biru melintas di depan perkarangan. “Mau ke mana?”
Biru menoleh kaget, sejenak menaikkan alisnya, berpikir sejenak.
Melihatnya berpikir, membuatku ingin tertawa. Wajah Biru terlihat kekanak-kanakan saat sedang berpikir, membuatku selalu bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang laki-laki yang lebih tua dariku, bisa terlihat lebih kekanak-kanakkan dari pada bocah berumur belasan tahun.
“Nganter ini,” Biru menunjukkan sebuah tas ransel dibalik punggungnya.
“Apa itu?” seruku penasaran.
“Makanan, atas nama kehamilan, kakakku memaksaku mengantarnya,” dia menjawab santai, membuat kedua alisku bertaut bingung. Setahuku, semua kakak Biru tidak ada di sini, mereka tinggal bersama ayah Biru di Malaysia. Kalau biru membawa pesanan kakaknya, hanya ada dua kemungkinan.
“Kamu mau ke Malaysia?” wajah Biru berubah kagum mendengar tebakkanku.
Biru tertawa lepas, membuatnya kembali terlihat kekanak-kanakkan. Kenapa dia ditakdirkan memiliki tampang baby face sih?
Biru menghentikan tawanya, “Mulai sekarang aku harus hati-hati bicara dan… bertindak, tentunya,” dia mengerling, “kalau nggak, bisa-bisa semua rahasiaku, ketahuan sama kamu.”
Aku tersenyum malu. Biru cukup bijaksana tidak membawa-bawa bidang studyku, seperti orang-orang kampung, saat aku menjabarkan prilaku mereka berdasarkan study yang kuambil. “Kakakmu ngidam?”
Biru menggeleng, “Apa orang hamil sembilan bulan bisa ngidam?” dia mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan seolah dia keberatan dengan permintaan sang kakak.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benakku. “Kamu mau melintasi perbatasan?”
Sejenak Biru terdiam, kemudian mengangguk, awalnya dia tidak mengerti arti pertanyaanku, tapi kemudian satu alisnya terangkat. Aku tersenyum simpul, yakin, kalau dia mengerti apa maksudku.
Dia mendengus tanpa suara, menggaruk belakang lehernya. Sejak didaulat menjadi pemandu yang akan membantu dalam risetku. Biru nyaris sudah pasrah dengan berbagai permintaanku.
Hanya beberapa menit dia berpikir keras, setelah akhirnya membungkuk, dengan gaya ‘khas’nya yang cuek, dia tersenyum lebar. “Mari kita berpetualang, Bu Fina.”
… … …
Aku membuang muka dari Biru. Terlalu tak sudi memperlihatkan kalau aku terganggu dengan ‘pertualangan’ yang dirancang Biru.
Pak kepala desa bahkan sempat memandangku dengan pandangan tergelak, saat aku minta ijin padanya untuk pergi ke perbatasan bersama Biru. Beliau cemas karena Biru terkadang bisa melakukan hal yang dilewat batas. Awalnya aku tak percaya, lebih tepatnya, aku merasa yakin bisa mengatasi semua kelakukan Biru, hingga memohon dengan dalil –bahan riset- untuk tesisku agar diperbolehkan ikut pada kepala desa. Toh, aku tidak sepenuhnya berbohong, aku memang sedang meriset perbatasan, rasanya risetku hambar kalau belum menginjakkan kakiku di titik batas itu.
Sampai akhirnya aku mengerti apa kecemasan pak kepala desa, saat alih-alih menunggu jadwal perahu yang biasanya melewati sungai Sekayam menuju Entikong datang. Kedua alisku bertaut karena terlalu kaget saat mendapati sebuah sampan kecil di tepi sungai. “Kita pergi berdua saja?” mendapati wajah tertekanku, Biru malah menandangku seolah yang baru aku katakan adalah sebuah pertanyaan bodoh.
“Maunya?” dia bertanya santai, sambil memasukan barang bawaannya ke pinggir sampan.
“Aku keberatan kalau cuma berdua!” tandasku, membuang wajah dari pandangannya dengan cemas. Bagaimana mungkin aku pergi hanya berdua dengan Biru?
“Kan kamu yang minta ikut?” Biru menatapku heran.
Aku memainkan ujung bajuku dengan gusar, merutuki diri karena kobodohanku, yang melupakan hal sepenting itu. “Aku kira kita naik sampan bareng penduduk.”
Biru tertawa kecil. “Lama kalau nunggu mereka, ini sampanku, biasanya aku ke sana sendiri kok.”
“Tapi… mana boleh, mana boleh kita pergi berduaan Biru,” aku berseru gemas pada Biru, membuat dia sejenak kembali memandangku dengan tatapan tak mengerti, sebelum akhirnya tersenyum geli sambil menggaruk leher belakangnya.
“Kalau berdua, yang ketiga setan yah?” alih-alih bertanya, kata-kata itu malah terdengar seperti godaan dari mulut Biru. Aku mendengus. Tuh! Dia ngerti kan!
“Oke, oke!” Biru berkata santai, sejenak matanya menjelajah, saat matanya menangkap sesuatu, dia terseyum penuh kemenangan. Biru berjalan menghampiri seorang remaja laki-laki itu yang membawa satu keranjang bawaan besar, berbicara sebentar. Entah apa yang dikatakannya, hingga remaja itu mengikuti Biru yang berjalan kembali ke arahku.
“Orang ketiga kita bukan setan Fin.” Biru memiringkan kepalanya ke arah remaja laki-laki itu, “Namanya Bari.”
… … …
Saat pertama kali aku mengarumi sungai Sekayam. Sampan yang kutumpangi sedikiti lebih besar dari milik Biru. Saat itu aku begitu lelah karena perjalanan panjang dari Jakarta ke sini, hingga terlalu lelah memperhatikan pemandangan indah yang menyambut di sepanjang perjalanan. Tapi, hari ini, dengan kondisi ‘diabaikan’ karena Biru lebih asyik mengobrol dengan Bari -yang ternyata adalah adik salah seorang teman lamanya-, aku bisa dengan puas menikmati kesendirianku di pojok sampan sambil memandang kecantikan eksotis pohon-pohon yang berjejer di samping sungai. Tanganku tak henti-hentinya mengabadikan karunia Tuhan di hadapanku dengan kameraku.
Perjalanan yang menempuh waktu berjam-jam itu terasa menyenangkan. Apalagi saat Bari mengajakku mengobrol tentang Jawa. Remaja itu begitu penasaran, karena dia belum pernah ke pulau Jawa. Dia bilang, suatu saat dia akan ke pulang Jawa, dan membuktikan kalau pulau itu tak ada apa-apanya dibanding pulang kelahirannya ini.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Boleh jadi jika pemerintah memutuskan serius membangun pulau ini, Jawa akan kehilangan pamornya dengan cepat. Kami terus bercerita berbagai macam hal, hingga aku merasa sampan kami sedikit oleng, karena arus dan nyaris menabrak sebuah batu besar, jika Biru tidak memutar sampannya dengan cepat.
Riam pelantuk!” Biru tersenyum menggumamkan nama salah satu riam yang terkenal sulit di sungai Sekayam.
Aku memandangnya dengan pandangan kesal. Masih bisa-bisanya dia tersenyum saat sampan kami hampir saja karam. “Bisa__”
Kata-kataku terhenti, saat semburan ombak kencang menerpa tubuhku dari belakang, membuat bajuku basah seketika. Sampan kami menabrak dua buah batu, membuat sampan terjepit di tengah-tengah. Aku nyaris terhenyak ke belakang, jika tangan Biru tidak dengan cepat menarik tanganku.
Aku masih dalam keadaan berdebar tak karuan, saat Biru mengeluarkan jaketnya dari tas, kemudian membungkus tubuhku. Dengan sigap dia mengerling pada Bari agar menarik sampan dari batu. Setelahnya, aku hanya bisa dibuat diam terkagum-kagum, memperhatikan dua pemuda desa yang sudah terlatih mengatasi riam sungai Sekayam dengan begitu gesit. Biru melepaskan kaosnya, menarik tali di ujung sampan, dia berpijak pada batu di belakangku untuk menarik sampan keluar dari jepitan, sedangkan Bari mendorong dari depan.
Tidak butuh waktu lama sampan itu berhasil keluar dari himpitan batu dan perjalanan dilajutkan nyaris tanpa halangan berarti lagi.
Kami tiba di desa Entikong saat tengah hari. Bari yang ternyata  ingin menemui pamannya di Malaysia, bersama kami menaiki bis yang akan membawa kami melewati perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong.
Saat harus turun dari bus untuk pemeriksaan tas dan paspord di bagian Imigrasi Indonesia. Aku baru menyadari kalau aku masih menggunakan jaket Biru. “Maaf yah, jaketnya jadi basah.” Seruku menyesal.
Biru hanya menatapku sejenak, “Kalau tadi aku tidak bawa jaket. Pasti aku bisa melihat bajumu tembus pandang karena basah,” dia tersenyum usil. Membuat rona wajahku memerah.
Bari mencoba menahan tawa melihat kami, membuat rasa maluku berkali-kali lipat.
Kami berjalan menuju imigrasi Malaysia untuk pemeriksaan tas dan paspord lagi. Setelah semuanya beres, kami kembali menaiki bis di gerbang perbatasan untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia.
Yang kudapatkan saat melewati perbatasan, adalah perasaan sedikit tak rela, saat melihat betapa berbedanya keadaan perbatasan di wilayah Indonesia, dengan di Malaysia. Serasa tubuhku dibanting keras ke tanah saat melihat betapa jurang batas itu begitu besar, padahal dua wilayah itu hanya terpisah beberapa ratus meter.
“Kamu lihat ibu-ibu yang tadi mau masuk ke Indonesia, dan sempat tertahan di kantor imigrasi Malaysia?” Biru menyadarkan lamunanku, ingatanku kembali pada seorang ibu yang membawa banyak bawaan, dan sempat tertahan di kantor imigrasi.
“Memangnya ibu itu kenapa?” aku bertanya bingung, sebenernya aku sempat heran, tapi karena sungkan bertanya tadi. Aku hanya diam tadi.
“Ibu itu melanggar peraturan qouta belanja di Malaysia,” jelas Biru, mendengar itu membuatku teringat kesepakatan belanja yang pernah disinggung Biru dulu. “Dia ingin menyelundupkan barang-barang itu, karena barang-barang Malaysia bisa di jual lebih mahal di Indonesia. Sayang caranya begitu terang-terangan.”
Aku mengenyritkan alisku bingung, “Terang-terangan?”
Biru tersenyum penuh arti, “kalau aku jelaskan, kamu bisa mencak-mencak di sini. Intinya, beginilah keadaan batas negara kita Fin.”
Aku mendengus dalam hati. Rasanya antara rela tak rela, harus mengakui kata-kata Biru.
… … …
“Jadi ini yah yang namaya Fina.” Seorang wanita berumur tiga puluhan menyambut aku dan Biru di depan sebuah rumah sederhana. Dengan perut yang membunci karena hamil besar, senyum wanita itu tetap mengingatkanku pada Biru.
Biru tersenyum, dengan cepat menghambur memeluk wanita itu. “Kamu gendut banget sih kak?” godanya, membuat wanita itu tersenyum lebar, menjewer kuping Biru, hingga Biru mengadu kesakitan.
Wanita itu melepaskan tangannya, tersenyum penuh kemenangan pada Biru yang meringis kesakitan. Pandangan wanita itu teralih padaku. “Gini nih, kalau kelamaan di pulau orang. Jadi bandel nggak ketulungan! Untung ibu cepet-cepet menyuruhnya pulang, mau jadi apa dia lama-lama di sana,” omel wanita itu, membuat Biru meringis.
“Saya Maryani, kakak Biru yangpaling atas, selain saya ada empat orang lagi kakaknya Biru yang tiggal di Malaysia. Ayo masuk Fina.” Dengan bahasa Indonesia yang lancar dan lugas, kak Maryani mengulurkan tangannya, tak melepaskan tanganku sampai kami duduk berhadapan di ruang tamunya yang sederhana.
Biru, dengan gesit sudah menghilang ke dalam rumah, membiarkan aku dan kak Maryani berdua di ruang tamu.
Tuh, dia memang menyebalkan bukan! Kenapa aku malah ditinggal di sini berdua sama kakaknya coba? Berasa mau diintrogasi sebagai calon mantu aja?
            Calon mantu???? No, no, no…. kenapa aku malah mikir kaya gitu coba?
“Kamu pasti capek yah? Hampir seharian dari desa?” kak Maryani bertanya cemas,
Aku menggeleng melihat wajah cemasnya, “Menyenangkan, aku baru kali ini melewati perbatasan di sini. Sangat berbeda dengan perbatasan di Batam.”
Kak Maryani tersenyum, “Begitu yah? Kakak tidak pernah ke Batam. Kalau lewat perbatasan mah sering sebelum nikah, maklum ibu suka kangen sama anak-anaknya di sini. Pas udah nikah mah sudah susah. Ini aja anak kakak yang pertama, pergi sama bapaknya ke rumah mertua, karena mertua sakit dari kemarin. Padahal kakak udah deket-deket tanggal melahirkan, tapi ditinggal sendiri. Si Biru juga, dari pulang belum ke sini-sini, padahal kakak udah beberapa kali titip pesen lewat tetangga yang pulang ke desa. Tetep aja dia bandel.”
“Kamu nanti tidur sama kakak aja yah. Biar Biru tidur di kamarnya Hesa,” wajah kak Maryani memelas saat memintanya, membuatku hanya mengangguk beberapa menit kemudian Biru masuk dengan beberapa gelas air dan makanan kecil. Membuat topik pembicaraan kami beralih menjadi ajang membongkar rahasia masa kecil Biru.
Sepanjang sisah hari itu, aku nyaris tak berhenti tertawa. Kak Maryani begitu mudah membuatku nyaman di sana. Dia bahkan memperkenalkanku dengan beberapa tetangganya yang kebetulan bertamu. Dengan santai dia membuatku salah tingkah, saat memperkenalkanku sebagai calonnya Biru. Rasanya ingin aku mengubur wajahku karena berkali-kali bersemu merah. Tapi, yang membuatku kesal, si Biru dengan entengnya tertawa lebar. Membuatku kesal bukan kepalang.
… … …
“Biru itu nggak pernah dekat sama wanita. Banyak yang suka, tapi dia cuek sama mereka. Yang ada dipikirannya selama ini cuma membahagiakan ibu kami aja.” Tutur Kak Maryani saat kami berbaring di tempat tidur.
Aku hanya diam mendengarkan.
“Aku mau kasih tahu kamu satu rahasia Fin. Alasan Biru dipanggil pulang sekarang, setelah sekian lama ibu kami sekuat tenaga menahan diri memanggilnya pulang …,”
Aku menahan nafas saat jeda yang dibuat kak Maryani. Jantungku berdegup, hatiku membisikkan penasaran yang begitu besar.
“Ibu, ingin menikahkan Biru.”
Tubuhku kaku seketika. Menikah?!
“Sebenarnya, ibu menyerahkan urusan ini sepenuhnya pada Biru.” Seolah bisa mengerti isi hatiku, suara kak Maryani terdengar penuh simpati dan melembut, “ibu cemas, selama ini Biru tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengarah ke sana. Padahal Biru satu-satunya anak laki-laki dan anaknya yang masih berwarga negara Indonesia. Ibu begitu ingin punya cucu dari Biru. Beliau sampai mencarikan bebarapa anak gadis dari kenalannya, dia berharap saat Biru pulang, bungsuhnya mau menikah.”
Aku membatu. Tak pernah terpikirkan olehku kenapa Biru kembali ke pulaunya ini. Awalnya, aku hanya berpikir dia kembali setalah sekian lama ke sini, karena rindu ibunya, aku malah berpikir dia lelah berpetulang dan rindu kampung halaman. Ingin menetap di sini, dan menjaga ibunya. Menikah? Adalah alasan terakhir yang terbesit di benakku, dan entah mengapa membuatku tak senang.
“Tapi entah mengapa belakangan ini, ibu menghentikan semua usahanya itu.” Suara kak Maryani yang begitu tenang, namun penuh penekanan di setiap katanya membuatku menoleh, menatap wajah kak Maryani dalam diam.
“Dan itu sejak kedatangan kamu, Fin. Ibu… sangat berharap kamu bisa bersama dengan Biru.”
Deg! Seolah sebuah dorongan keras menyentakkan  tubuhku, aku terpaku.
“Beliau menghentikan semua usahanya. Karena melihat kamu dan Biru begitu nyaman berada satu sama lain. Fina … Biru memang tidak punya apa-apa. Dan sebagai kakak, terlalu tidak subjektif jika kakak mengatakan Biru, adalah pemuda dengan segudang kelebihan. Biru adalah Biru, seorang  pemuda kampung biasa, yang bahkan tidak akan mewarisi harta apappun selain rumah miliki ibu kami. Pemikirannya sederhana, tapi sangat bertanggung jawab. Dia mungkin miskin harta, tapi kaya akan pengetahuan. Dia tidak sekeren pemuda-pemuda di kota, tapi kerja kerasnya selama ini, tak akan kalah dengan siapapun. Kakak yakin, Biru bisa membahagiakan kamu Fina.”
Rasanya sesak mendengar semua penuturan kak Maryani. Bukan karena separuh hatiku membenarkan, apa yang dikatakannya. Tapi karena separuh hatiku pun, sama seperti Biru, terlalu mencintai kedua orang tuaku, untuk mengecewakan mereka. “Aku… aku…” aku tergagap, “aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena aku … aku sudah bertunangan.”
Wajah kak Maryani tercekat sejenak, sebelum dia kembali tersenyum, “Jodoh itu di tangan Tuhan, Fin… dan entah mengapa kakak yakin, jodohmu, adalah Biru.”
… … …
Aku terbaring dengan pandangan nyalang menatap langit-langit. Deru suara kak Maryani yang sudah terlelap di sampingku membuatku makin gelisah.
Hatiku tak bisa memungkiri, Biru membuatku mengeluarkan apa yang selama  ini aku pendam, seolah kehadirannya memberikan semangat padaku untuk melakukan apa yang selama ini ragu untukku lakukan, Biru bagai bayangan yang menopang agar seorang Fina bisa lepas dari bayang-bayang Fina yang tertutup. Bersamanya membuatku menjadi diriku seutuhnya, lepas tanpa beban. Tapi haruskah aku membenarkan perasaan ini? dan mengecewakan orang tuaku lagi? Aku tahu sejak kak Rafa memutuskan menikah, harapan terakhir orang tuaku berada pada diriku. Sanggupkah aku memutuskan harapan mereka itu?
“Nggg…. uhhhh…. ahhhh….” Sebuah erangan kesakitan tiba-tiba terdengar, perlahan pelan, namun dengan cepat menjadi kencang.
Aku tersentak kaget dari lamunanku. Dengan cepat mencari arah erangan itu, kudapati Kak Maryani mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan sigap aku bangkit dari tidur, memandang keadaan tempat tidur yang sudah basah. Aku turun dari ranjang dan berdiri di samping kak Maryani.
“Tarik nafas kak, pendek-pendek,” serukku pada Kak Maryani yang terlihat mulai bisa tenang. Setelah memastikan nafas Kak Maryani mulai teratur aku berlari keluar mencari Biru.
“Biruuuuuu,” Biru sedang terlelap di atas tikar, saat aku membangunkannya, “Biruuuuuuu,” panggilku tak sabar.
“Nggggg … apa sih Fin?” dia mengeliat bangun.
“Kak Maryani mau melahirkan!” Jawabku sedikit membentak karena panik mengkhawatirkan kandungan kak Maryani.
Dengan seketika kesadaran Biru kembali sempurna, wajahnya berubah serius. Tanpa banyak bicara dia berlari ke dalam kamar,  aku mengikutinya dengan cepat. “Sudah pembukaan tiga. Aku akan panggil dokter.”
“Fin, tolong pastikan kakak jangan mengejan, bantu dia menarik nafas pendek dan cepat. Dan tolong  taruh handuk atau pakaian di bawah pantatnya untuk meninggikan agar ada ruang untuk bahu bayi.” Biru memerintah dengan cermat, wajahnya serius memikirkan semua kemungkinan yang ada, namun dengan sekejap wajahnya berubah, dia belari keluar kamar dan membawa taplak pelastik, dan menempatkannya di bawah pantat kak Maryani. Melihat dia mengangkap tubuh kak Maryani, aku menempatkan tumpukan handuk bersih, untuk mengganjal pantat kak Maryani. “Tenang yah kak! Kakak pasti bisa,” mata Biru memandang kakaknya dengan sayang. “Fin, jaga kakak dulu yah.”
Setelah mendapatkan anggukanku Biru berlari meninggalkan rumah, dengan segera aku duduk di samping kak Maryani. “Sabar yah kak. Biru lagi panggil dokter. Semuanya akan baik-baik aja. Si kecil ini, akan segera menghirup udara.” Aku menggenggam tangan kak Maryani. Wajahnya terlihat payah, tapi dia tetap mencoba tersenyum di tengah erangannya.
Detik demi detik berganti menit  dan kemudian jam. Sudah sejam Biru pergi, dan belum kembali. Hatiku makin cemas dibuatnya, wajah kak Maryani sudah begitu kelelahan menahan rasa sakit yang datang silih berganti.
Aku menggigit bibirku cemas saat kak Maryani berteriak kencang sekali. Refleks aku melihat daerah kewanitaan kak Maryani, dan langsung tersentak kaget, karena pembukaannya begitu cepat. Aku bahkan bisa melihat ujung kepala bayi yang sudah mulai mendorong keluar.
Ya Allah, bagaimana ini? aku berseru panik dalam hati, makin panik saat Kak Maryani sudah mulai mengejan kesakitan, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera membawa buah hatinya terlahir ke dunia.
Melihat perjuangannya itu, aku memantapkan diri. Dulu, sekali aku memang pernah berlajar kebidanan selama setengah tahun, sebelum memutuskan itu bukan bidang yang ingin kugeluti. Saat itu, aku tidak pernah menyesal, dan sekarang mungkin ilmu itu adalah jalan menurut Allah agar aku membantu Kak Maryani.
“Kak! Bayinya sudah mau lahir,” aku memberitahu kak Mayani, yang kemudian mengangguk mengerti, “buka kaki kakak lebar-lebar. Kita akan membawa dia ke dunia.”
Kak Mayani mengikuti intruksiku, dengan cepat dia membuka kedua kakinya lebar-lebar, membuatku bisa melihat jalur kelahiran yang sudah terbuka lebar dengan jelas.
Aku menelan ludah. Bismillahirohmannirohim.
            “Tarik nafas… yah begitu… tiup… tarik… tiup lagi …” mataku dengan awas memperhatikan daerah kewanitaan kak Maryani. Jantungku berdetak tak karuan saat melihat sebuah keajaiban yang Allah berikan pada seorang ibu. Nafasku seolah ditahan oleh perasaan yang membuncah saat kehidupan baru itu perlahan berjuang untuk menghirup udara pertamanya.  Saat kepala itu keluar dengan sempurna, aku tersenyum lebar. “Kepalanya sudah keluar kak. Teruskan, tarik nafas lagi.” Aku berseru di tengah gelombang kebahagian aneh yang melingkuti tubuhku.
Dengan hati-hati aku mengurut bagian sisi hidung bayi mungil itu ke arah bawah, leher, dan bagian bawah dagu ke arah atas untuk membantu mengeluarkan lendir dan cairan ketuban dari hidung dan mulut. Kemudian memegang kepala dengan dua tangan dan menekan sedikit ke arah bawah. “Ayooo… kak, dorong,” Kak Maryani menarik nafas, mengejan sekuat tenaga, tak lama kemudian pundak bagian depan bayi mungil itu keluar, kemudian lengan bagian atas. Aku mengangkat kepala dengan hati-hati menunggu pundak bagian belakang muncul. Hanya dengan hitungan menit tubuh bayi perempuan itu keluar sempurna, disusul dengan suara tangis yang begitu kencang.
Allahhuakbar, allhamdullilah. Dia bayi perempuan yang begitu sempurna kak.Aku tersenyum lebar, tak mampu berkata-kata lagi saat memandang keajaiban di gendonganku, melalui sudut mataku, aku bisa melihat kak Maryani tersenyum hangat, matanya memandang wajah putrinya dengan binar bangga dan sayang.
Aku membungkus bayi itu dengan selimut,  saat melihat tali pusar yang cukup panjang, aku meletakkan bayi itu pada dada kak Maryani. “Aku sekarang melihat dengan jelas, bukti mengapa kedudukan Ibu lebih tinggi dari seorang ayah.”
… … …
“Kakak bilang akan menamainya, Annisa Kalila.” Biru menghampiriku yang duduk di depan teras, memandang matahari pagi terbit.
Aku tersenyum, mendengar nama belakangku dijadikan nama belakang malaikat kecil itu. Perasaan bahagia luar biasa masih menglingkupi tubuhku, apalagi saat melihat wajah kak Maryani yang terlelap bersama buah hatinya setelah berjulang tadi.
Biru duduk di sampingku.  “Terima kasih, apa jadinya tanpa kamu.”
Aku menggeleng, mengingat wajah Biru yang memandang kak Maryani dengan takjub dan penuh kelegaan, saat dia datang dengan dokter.  Wajah Biru penuh dengan keringat, dan kotor di sana sini, ada beberapa robekkan di baju dan celananya. Entah apa yang terjadi padanya, tapi dia langsung menghampiri kami, sejenak memandang kakaknya dengan perasaan haru, dan memandangku dengan pandangan penuh terima kasih. “Bukan karena aku, tapi karena Allah.”
“Kamu sebagai perantaraNya. Aku nggak tahu kamu tahu soal persalinan?” dia bertanya penuh penasaran.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum. “Ayah dan ibuku seorang dokter. Dulu, aku pernah belajar kebidanan.”
Biru tercengang.
“Tapi, tidak aku lanjutkan,” lanjutku, “hatiku lebih tertarik membaca perilaku orang.”
Biru bergumam tak jelas. Dia menggangguk-angguk kecil. Kemudian memandang ke arahku. Disinari cahaya mentari pagi yang perlahan meninggi, wajahnya terlihat begitu damai, bibirnya terangkat, membentuk senyum yang begitu mempesona. Dia tidak memperlihatkan wajah kekanak-kanakkannya hari ini. Saat ini, Biru yang tertawa di hadapanku adalah pemuda yang pernah digambarkan kak Maryani kemarin. Dengan suara beratnya dia berkata. “Kamu membuat, semuanya jadi lebih sulit Fin.”
… … …
Hari terus berlalu, tapi aku masih tak mengerti kata-kata Biru. Sejak kelahiran Kalila, aku beberapa kali ikut Biru saat dia berkunjung ke Malaysia. Sejak itu Biru selalu mengajak satu atau dua orang bersama kami.
Seiring dengan semakin kenalnya aku dengan keluarga besar Biru di Malaysia, data-data yang kumpulkan dari risetku pun hampir semuanya telah selesai. Keluarga yang begitu sederhana dengan hati sekaya lautan.
Aku begitu nyaman berada di tengah keluarga itu, walau tak aku pungkiri aku sedikit menjaga kata-kata dan sikapku, saat mereka sudah mulai menjodoh-jodohkanku dngan Biru.
Hari itu, kami memutuskan membeli beberapa kebutuhan di pasar Malaysia selepas pulang dari rumah salah satu kakak Biru. Aku menyempatkan menelepon ke rumah, karena sinyal telepon di Malaysia lebih kuat ketimbang di Indonesia.
Rasa gembira memenuhi rongga dadaku, saat suara ayah terdengar di seberang sana, rasanya begitu lega mendengar suara beliau sehat. Pembicaraan kami hampir seperti biasa, sampai ayah mengatakan sesuatu. Aku membeku, rasanya ingin memutuskan panggilan itu, membuang teleponku jauh-jauh dan menganggap panggilan itu tak ada.
Ayahku membicarakan tunanganku, dan  … pernikahanku.
Rasanya seolah tubuhku dihempaskan ke dasar jurang gelap tak berujung. walau tepukkan tangan Biru bagai kilatan petir yang membawaku kembali ke permukaan.
“Aku harus pulang, Biru.” Kami duduk di sebuah warung makan, wajah Biru terperanjat kemudian tertunduk begitu mendengarnya.
Dengan gugup aku melanjutkan, memecah kebisuan yang membuatku makin gelisah. “Aku dapat pesan dari ayah,”  Biru masih menunduk, “tadi aku sempet telepon ke rumah. Ayahku menanyakan risetku, dia tahu semua data yang kuperlukan sudah rampung, dan dia … memintaku pulang ke rumah.”
“Semua sehat kan?” Biru mengangakat kepalanya, matanya menyorotkan kecemasan yang membuatku kaget sekaligus sedih.
“Sehat … alhamdullilah semuanya sehat,” Mengapa aku begitu berat menyampaikan berita ini pada Biru? “tunanganku,  dia baru kembali dari Jepang. Aku diminta pulang, untuk membicarakan pernikahan.”
Wajah Biru sempurna pias.
“Biru…” kata-kataku tercekat.
Kumohon jangan seperti itu,  kemana wajah penuh semangat yang biasa kamu tunjukkan padaku, Biru? Aku butuh kamu mendukungku, aku butuh kamu tersenyum saat ini. bukan memandangku dengan pandangan yang begitu menderita.
Entah apa yang terjadi, tanganku terulur, nyaris menyentuh Biru saat aku sadar, tindakanku hanya akan membuat semuanya makin rumit. Biru adalah sahabatku, aku tak ingin membuat ini jadi makin kacau. “Biru, terima kasih sudah menjadi sahabat yang begitu menyenangkan, andai… andai… kita bertemu lebih awal…” aku pasti akan memilihmu, tidak! Sekarang hatiku pun memilihmu! Hatiku sudah terikat padamu, sejak pertama kali kamu mengenalkan dirimu, Biru Mandala.
“Aku… aku bersyukur bisa bertemu kamu Biru.” Bersyukur, karena Tuhan masih memberikanku kesempatan merasakan cinta untukmu. “Kamu mengajarkanku banyak hal baru, membuatku memandang semua permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang. Kamu begitu berharga buatku.”
“Apa kamu harus pulang?” Biru mendesis marah, mengatupkan mulut rapat-rapat.
Aku mengangguk. “Lu … lusa, aku pulang lusa.”
“Aku akan mencari kebahagiaanku, Biru.”
“Apa dengan pulang kamu akan bahagia? Jangan bodoh, Fin! Kamu bahagia dia sini!” pertanyaannya mencecarku, matanya memandangku dengan frustasi. “Tak bisa kah kamu mencari kebahagiaanmu di sini Fin?” lirihnya putus asa, membuatku terperanjat kaget. Karena tanpa ilmu apapun, hanya dengan melihatnya saja. Aku tahu, Biru juga merasakan hal yang sama denganku. Tersiksa dengan pembatas kasat mata yang membuat kami terpisah.
“Kamu tidak harus melakukannya.”
Aku ingin mengatakan tidak, ingin mengatakan kalau aku tak ingin melakukannya. Walau aku tahu, tembok batas pemisah kami begitu tinggi. Dan entah mengapa setelah semua perubahan yang Biru lakukan padaku, hari ini aku malah kembali menjadi Fina yang dulu. Fina yang begitu pengecut. “Maafkan aku, Biru.
dari sasakalacinta.com

Senin, 28 April 2014

Duryudana Gugur, Akhir Bharatayuda

Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu Matswapati dan Prabu Kresna.

“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini. Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa Mandaraka”.

Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.

Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini. Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”.

Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau Amarta!”

Tersenyum Prabu Matwapati,  sangat mengerti ia akan keluhuran budi cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia pegang  “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan Mertani ketika itu.

Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan pemandangan yang begitu mengerikan.

Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk menyaksikan perang itu.

Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.

“Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi. Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda Baladewa dengan aji Pameling”. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka.

Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi, dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.

“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau bahkan perang  sudah selesai?”

“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih kita cari, Prabu Duyudana”. Jawab Kresna.

“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah, sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.

“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah yang terjadi” Jawab Werkudara.

“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”. Ajak Kresna
Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya merumput.
 
“Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah Kyai Pamuk. Tetapi lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu Duryudana, serta bermacam senjata. Hamba pikir di telaga itulah Prabu Duryudana bersembunyi dibawah rimbunnya tanaman teratai merah yang mengambang”.

“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana. Betapa kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan akan aku tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan Kurawa”. Baladewa menimpali.

Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu Duryudana , “Dinda Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk bertemu dengan dinda Prabu Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda, perkenankan dinda keluar dari air telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat berbicara dari hati kehati”.

Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara Prabu Baladewa karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu sudah tiba. Keluar dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera mendekati arah Prabu Baladewa. Berrangkulan keduanya tanpa menghiraukan sekelilingnya.

“Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah yang selama ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri atau pengecut, tetapi hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian muridnya”.Duryudana berkilah.

“Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru kami datang dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang menjadi tawur perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah kedepan”. Baladewa mencoba memberikan penjelasan.

“Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara Astina dan hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri”.

Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai “Tidak, tidak kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur berribu ribu jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati. Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu”.

Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh Baladewa, sesat kemudian Duryudana menyambung “Kalah atau menang, Pandawa akan kecewa. Seumpama saya yang menang itu sudah menjadi kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami, dan kemuliaan Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan merawat anak anak yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya akan menemukan reruntuhan demi reruntuhan”.

Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan kepala lemah, katanya “Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak gunung. Tak bisa diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti kemauan dinda Prabu”.

“Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta perang tanding gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok seimbang”. Jawab Duryudana.

Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan yang terletak dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan Werkudara. Satu lawan satu! Kresna mendekati Werkudara sebelum perang tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu yang disusul anggukan kepala Werkudara penuh arti.


Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat menyerangnya.

Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh Werkudara.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat menyerang dengan penggada tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh Werkudara, Duryudana belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah api dan melontarkan angin yang keras mendahului gerak tangan Duryudana yang terjulur itu.

Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya, meskipun ia masih belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan memecahkan perisai ilmu kebal itu.

Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara maupun Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya dalam pertempuran itu. Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat.

Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar Werkudara dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat menyambar dan sekali sekali mematuk dengan gadanya.

Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna dan Baladewa. Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar kemudian kembali cair. Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada  mulai menampar tubuh keduanya dan memaksanya sedikit menjauh dari arena pertempuran. Sementara pukulan gada keduanya dari waktu ke waktu semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada tataran teringgi kemampuannya. Kekuatan yang bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi mereka adalah manusia manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan pengalaman tempur yang panjang.

Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang dahsyat beruntun susul menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak Pengantol antol dan dibantu sukma Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara ada di lereng gunung Kutarunggu, sangat sulit ditaklukkan. Sementara tamparan serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih menyengat tubuhnya. Arena perang tanding telah menjadi hangus bagai terkena sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar benturan kedua gada pusaka terdengar membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.

Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka yang tidak begitu saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu sudah seharian tanpa ada kelihatan siapa yang bakal unggul. Setingkat demi setingkat Duryudana itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara  mulai merasa dirinya dihisap oleh pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya keatas. Sedangkan udara panas semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak Pangantol antol telah menerapkan dirinya bagai terpaku dalam tanah.  Dalam satu kesempatan ketika Duryudana melompat menyerang, maka dikenai pahanya sebelah kiri Prabu Duryudana dengan penggada yang bagai bobot gunung Semeru. Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana!

Tetapi begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada Werkudara masih saja menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana tak berujud lagi.

Prabu Baladewa murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak berdaya terkena hajaran gada Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan Duryudana tiada tara namun kekuatan gada Werkudara yang bagai bobot gunung Mahameru pasti akan menghancurkan sosok Duryudana.

“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang mentang kamu menang, sehingga kamu berlaku sia sia terhadap pihak yang kalah. Duryudana sudah tidak berdaya kamu perlakukan seperi layaknya binatang buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”

Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang mengkhawatirkan terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar kanda, sabar. Hamba sudah bilang sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa luwarnya kaul atau janji, itu hal yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang menghutangi dan yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah, syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa sirna bila tidak bersamaan dengan yang menyandangnya”.

Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah mengerti bahwa Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan hutang seribu malu yang disandang manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah kita bersama melangkah kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa, yang telah terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.

Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali langit membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan berakhir. Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah kembali menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya.

Golongan Kurawa, Kartamarma dan Aswatama masih berkeliaran. Namun Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . . .


Surak surak manengker gumuruh
Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan
Pandawa . . . Pandawa unggul ing prang Baratayuda.

Dewi Citrawati Tidak Gegabah Memilih Calon Suami


Dalam banyak hal ia selalu menggunakan pertimbangan akal pikirannya.

Dalam Buana Minggu tanggal 18 April 1976, Bapak Sri Mulyono Herdalang menulis dalam “Rubrik Wayang dan karakter manusia” tentang Bambang Sumantri. Lalu mendapat tanggapan dari penulis yang nama samarannya Bu De. Keduanya menyoroti tentang sifat-sifat negatif dan positif tentang tokoh Bambang Sumantri.

Bapak Sri Mulyono menyoroti bahwa sang tokoh adalah semata-mata mengejar pangkat dan jabatan hingga lupa kebajikan. Sedang Bu De mencoba menunjukkan bahwa Bambang Sumantri bukannya pemimpin yang “Gaco Unthul” saja. Ia menunjukkan segi positif kepemimpinan “bocah nggunung” itu. Dikatakannya bahwa Sumantri adalah seorang patih (Perdana Mentri) yang bertanggung jawab. Meskipun seorang diri, ia berani menghadapi musuh-musuhnya.

Dalam hal ini perkenankanlah saya menurunkan judul tersebut diatas, yang menajdi salah satu pelaku pokok cerita. Tetapi tidak disinggung-singgung oleh kedua penulis diatas.

Adapun pendapat saya ini, berdasarkan cerita wayang yang dimainkan oleh Pak Dalang ditempat saya, namanya G.C (sudah almarhum). Sejak umur belasan tahun saya telah mengagumi cara dia mewayang. Pak G.C memang seorang dalang yang kreatif dan produktif.

Sebagai contoh ia mendalang ditempat yang satu akan berbeda dengan ditempat lain. Kendatipun lakonnya sama. Apa sebab ia berbuat begitu?

Sebab ia tak mau didekte penonton-penontonnya. Dengan kata lain ia mampu menyuguhkan adegan-adegan baru yang belum pernah dilihat oleh penonton-penontonnya.

Caranya ditempat si B ia menunjukkan sifat-sifat negatif dan positif Bambang Sumantri. Ditempat C. Dewi Citrawati yang pegang peranan itu, selalu merengek-rengek minta ini dan itu kepada Bambang Sumantri. Ya memang demikianlah hendaknya seorang dalang yang ingin laris dan tidak membosankan.

Setelah Sumantri dapat mengalahkan raja-raja yang ingin memperistri Dewi Citrawati dan berhasil memboyong pulang sang Dewi, untuk diserahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, sebagai first lady-nya. Maukah ia diserahkan kepada raja yang belum pernah diknalnya itu? Maka dia ragu-ragu terhadap calon suaminya itu. Dimuka pintu gerbang istana ia berunding dengan Bambang Sumantri agar sang prabu menjemput calon istrinya dengan cara mengadakan perang-perangan melawan Bambang Sumantri walaupun hanya satu ronde saja. Permintaan sang Dewi dijawab “okey” oleh pihak istana. Sepintas lalu sang raja mengira bahwa kedua anak muda yang berlainan jenis itu telah bersekongkol akan merubuhkan istana.

“Heh Sumantri aku tahu akal bulusmu. ” Dak umpamakake wong ngemut gula krasa legi tangeh yen den lepeha.”

Perang tanding dimulai. Mula-mula secara senda gurau akhirnya jadi sungguh-sungguh, Sumantri kalah.

Dewi Citrawati barusan tahu bahwa memang sang rajalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka yang terakhir inilah yang ketiban “sampur” menjadi suaminya.

Pada mulanya Sumantrilah yang dianggap titisan Batara Wisnu. Karena dia memiliki senjata Cakrabaskara. Meskipun demikian Sumantri tak segera dipilihnya. Sebab ia belum tahu persis mana penjelmaan Batara Wisnu yang sejati. Untuk mengetahuinya ia minta diadakan perang tanding tersebut diatas.

Demikianlah Dewi Citrawati salah satu contoh wanita yang banyak mempergunakan pertimbangan pikiran dari pada perasaannya. Berbeda dengan putri-putri lainnya seperti Dewi Sukesi dan lain-lain.

Semar


 MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa.
Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.

Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi. (herjaka)
===============

Wikipedia :

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[rujukan?]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[rujukan?].

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa[rujukan?].
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
• Batara Wungkuham
• Batara Surya
• Batara Candra
• Batara Tamburu
• Batara Siwah
• Batara Kuwera
• Batara Yamadipati
• Batara Kamajaya
• Batara Mahyanti
• Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

===========

Sosok Semar adalah penggambaran manusia dan Tuhannya, antara penuh kekurangan dengan kesempurnaan. Semar adalah seorang lelaki karena bagian kepalanya menyerupai laki-laki, namun payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya memiliki kuncung layaknya anak-anak, namun tlah memutih seperti orang tua. Bibirnya slalu tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, namun matanya selalu basah oleh tangis kesedihan. Semar adalah kita, yang sering tertawa namun kerap pula menitikan air mata lara, adakalanya bersikap kekanak-kanakan namun kerap pula bertindak bijaksana. Semar adalah kita, yang dalam diri bersemayam kekurangan, cacat dan jauh dari sempurna. Dan bila kita menyadarinya dan berupaya tuk mengurangi kekurangan dan mengedepankan kebaikan maka Allah Yang Maha Sempurna dapat berkenan meyertai jiwa dan raga kita.

Ketika Rahasia Itu Terungkap

Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik. Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa. Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara mudanya. Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten.

Dengan terbunuhnya Adipati Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak yang gagal, maka secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di arena padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.

Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh rintik hujan, juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi Kurawa yang juga terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar menunggu ucapan apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan murka junjungannya.

Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya berderajat rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya mengurus segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran mereka berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa Astina, ketika mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang, walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap penguasa tertinggi Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam jiwanya. Padahal sesuatu yang hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu peristiwa di medan perang, telah mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan. Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan sesuatu apapun. Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari pembesar yang hadir.

Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu Salya berbicara. “ Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan dengan sepatah kata, namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar. Pasti anak Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara, kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna”.

Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing dari Prabu Salya, sehingga kembali ia melanjutkan.

“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh karena terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu menyampaikan isi hati ini”

“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu tanpa dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu berikan terhadap putramu”. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir Prabu Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan oleh ayah mertuanya.

Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang dihadapi tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati Prabu Duryudana .“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini seakan menjadi manusia yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan menyampaikan sesuatu”.

“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini mencoba pula tersenyum, walau terasa hambar.

Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu terdengar sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. “Terhitung selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku”.

Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang berlangsung pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di Mandaraka.

Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berrencana hendak memberikan negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua orang utusan yang belum dikenalnya.  Ketika mereka mendekat dan memberikan surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu cantik cantik. “Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring tetabuhan dan kidung yang menyenangkan hati”. Prabu Salya meneruskan, “Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan dengan begitu lahapnya . Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku telah menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.

Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah merasa kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku ketahui, dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan balas budi dan terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku sendiri”.

Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakiri cerita yang berujung sesal. Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar ini. Maka ketika tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil Patih Harya Sangkuni.

“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?”

Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa terkejutnya hilang. “Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.

“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit itu?”

“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak diperintah untuk beradu dada dengan para Pandawa”.

“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.

“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah ada dalam perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama ini, adalah berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak Prabu”. Jawab Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata katanya kemudian lancar nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.

“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal duapuluh orang, itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah manusia yang mengerti akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar, seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji puji dan diagung agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”

Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat mengerti, umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata katanya mengikuti arah pembicaraan pamannya itu.

Wah, kalau saya . . . . ini kalau saya . . ., saya akan segera bertindak!  Segera saya akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh yang hendak berbuat semena mena atas negara ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan jumawa Patih Harya Suman menjawab.

“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti wibawa, tetapi tidak mengerti akan balas budi itu?”

“Ada saja ! itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”

Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah tahu apa maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan senyum mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi penasaran, sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam ketika  Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya. “Apakah ada orang yang lain selain istriku?”

“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita yang pada mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika ia diperistri oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati.”

“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati itu , seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara Astina ini?”.

“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.

“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang seharusnya hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke medan perang adu kesaktian dengan para Pendawa”.

“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak mau tutun tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun tidak akan rela melihat paduka kerepotan”. Sandiwara dengan dialog antar keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap sabar dalam duduknya.

Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian pamannya mengolah kata. “Ya . . . . . tetapi . . . . . apakah ini . . . . . . , apakah aku harus menangis dihadapan istriku?  Si Paman jangan menyangka aku takut akan darah, tetapi istri itu . . .  yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa. Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak menghindar dari segala kesulitan. Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama saya melangkah ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut si paman bagaimana?”

“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”

Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan tadinya tak hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana gerangan arah pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha menekan perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.

“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi. Tetapi kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian menyengat hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. bila sudah manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan, bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya. Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam. Gambalangnya begini, paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa, orang  tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?”
Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah kadung basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, “Silakan bila rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.

“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka melihat tingginya sosok para Pandawa?  Apakah saya tidak kuasa untuk merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang dari setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma, sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya? Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan? Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!”

“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna itu manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya yang menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan, tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya,  kunta Druwasa, Wijayandanu, siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak, siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung , gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku hanya bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.

Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang menghimpit dadanya, lama kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati Prabu Duryudana. Ia seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria sakti linuwih itu diungkap kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.  Melihat gerak dan raut muka Aswatama yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.

“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”

“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani beraninya memutus pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama meminta waktu.

“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya memberimu maaf. Silakan apa yang hendak kamu katakan?!”

Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya, sekarang atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan kembali terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya Arjunalah yang mati”.

“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” terheran Prabu Duryudana mendengar kata kata Aswatama.
“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh Prabu Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah pas mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”

Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak mendengar sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya sendiri. “Siapa pembesar yang melakukan itu?

“Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah benar. Namun tiba tiba kendali kekang kuda  ditarik, sehingga kuda menjadi binal dan kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”

“Iblis keparat kamu Aswatama!”

Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama dan bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.

“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya tuwa buru. Paling tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda kuda kendaraan para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah berani beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani mengatakan yang bukan bukan!  Kamu sudah berani menuduh aku telah menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu!”

“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu hanya berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama” maka Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya.

“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih dengan kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.

“Rama Prabu, jangankan hanya seorang  Aswatama, dewapun tak akan mampu bila berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu. Mohon diingat rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti Aswatama.
Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan. Mohon bersabar rama Prabu”.

“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan mundur sejangkah menghadapi orang tuamu itu!” masih juga belum berhenti kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.

Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia telah membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang bersilang pendapat itu. “Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah ruwet. Aku sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah!”

“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan yang terjadi di palagan peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati Aswatama kembali kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya.