Dalam banyak hal ia selalu menggunakan pertimbangan akal pikirannya.
Dalam Buana Minggu tanggal 18 April 1976, Bapak Sri Mulyono Herdalang menulis dalam “Rubrik Wayang dan karakter manusia” tentang Bambang Sumantri. Lalu mendapat tanggapan dari penulis yang nama samarannya Bu De. Keduanya menyoroti tentang sifat-sifat negatif dan positif tentang tokoh Bambang Sumantri.
Bapak Sri Mulyono menyoroti bahwa sang tokoh adalah semata-mata mengejar pangkat dan jabatan hingga lupa kebajikan. Sedang Bu De mencoba menunjukkan bahwa Bambang Sumantri bukannya pemimpin yang “Gaco Unthul” saja. Ia menunjukkan segi positif kepemimpinan “bocah nggunung” itu. Dikatakannya bahwa Sumantri adalah seorang patih (Perdana Mentri) yang bertanggung jawab. Meskipun seorang diri, ia berani menghadapi musuh-musuhnya.
Dalam hal ini perkenankanlah saya menurunkan judul tersebut diatas, yang menajdi salah satu pelaku pokok cerita. Tetapi tidak disinggung-singgung oleh kedua penulis diatas.
Adapun pendapat saya ini, berdasarkan cerita wayang yang dimainkan oleh Pak Dalang ditempat saya, namanya G.C (sudah almarhum). Sejak umur belasan tahun saya telah mengagumi cara dia mewayang. Pak G.C memang seorang dalang yang kreatif dan produktif.
Sebagai contoh ia mendalang ditempat yang satu akan berbeda dengan ditempat lain. Kendatipun lakonnya sama. Apa sebab ia berbuat begitu?
Sebab ia tak mau didekte penonton-penontonnya. Dengan kata lain ia mampu menyuguhkan adegan-adegan baru yang belum pernah dilihat oleh penonton-penontonnya.
Caranya ditempat si B ia menunjukkan sifat-sifat negatif dan positif Bambang Sumantri. Ditempat C. Dewi Citrawati yang pegang peranan itu, selalu merengek-rengek minta ini dan itu kepada Bambang Sumantri. Ya memang demikianlah hendaknya seorang dalang yang ingin laris dan tidak membosankan.
Setelah Sumantri dapat mengalahkan raja-raja yang ingin memperistri Dewi Citrawati dan berhasil memboyong pulang sang Dewi, untuk diserahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, sebagai first lady-nya. Maukah ia diserahkan kepada raja yang belum pernah diknalnya itu? Maka dia ragu-ragu terhadap calon suaminya itu. Dimuka pintu gerbang istana ia berunding dengan Bambang Sumantri agar sang prabu menjemput calon istrinya dengan cara mengadakan perang-perangan melawan Bambang Sumantri walaupun hanya satu ronde saja. Permintaan sang Dewi dijawab “okey” oleh pihak istana. Sepintas lalu sang raja mengira bahwa kedua anak muda yang berlainan jenis itu telah bersekongkol akan merubuhkan istana.
“Heh Sumantri aku tahu akal bulusmu. ” Dak umpamakake wong ngemut gula krasa legi tangeh yen den lepeha.”
Perang tanding dimulai. Mula-mula secara senda gurau akhirnya jadi sungguh-sungguh, Sumantri kalah.
Dewi Citrawati barusan tahu bahwa memang sang rajalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka yang terakhir inilah yang ketiban “sampur” menjadi suaminya.
Pada mulanya Sumantrilah yang dianggap titisan Batara Wisnu. Karena dia memiliki senjata Cakrabaskara. Meskipun demikian Sumantri tak segera dipilihnya. Sebab ia belum tahu persis mana penjelmaan Batara Wisnu yang sejati. Untuk mengetahuinya ia minta diadakan perang tanding tersebut diatas.
Demikianlah Dewi Citrawati salah satu contoh wanita yang banyak mempergunakan pertimbangan pikiran dari pada perasaannya. Berbeda dengan putri-putri lainnya seperti Dewi Sukesi dan lain-lain.
Dalam Buana Minggu tanggal 18 April 1976, Bapak Sri Mulyono Herdalang menulis dalam “Rubrik Wayang dan karakter manusia” tentang Bambang Sumantri. Lalu mendapat tanggapan dari penulis yang nama samarannya Bu De. Keduanya menyoroti tentang sifat-sifat negatif dan positif tentang tokoh Bambang Sumantri.
Bapak Sri Mulyono menyoroti bahwa sang tokoh adalah semata-mata mengejar pangkat dan jabatan hingga lupa kebajikan. Sedang Bu De mencoba menunjukkan bahwa Bambang Sumantri bukannya pemimpin yang “Gaco Unthul” saja. Ia menunjukkan segi positif kepemimpinan “bocah nggunung” itu. Dikatakannya bahwa Sumantri adalah seorang patih (Perdana Mentri) yang bertanggung jawab. Meskipun seorang diri, ia berani menghadapi musuh-musuhnya.
Dalam hal ini perkenankanlah saya menurunkan judul tersebut diatas, yang menajdi salah satu pelaku pokok cerita. Tetapi tidak disinggung-singgung oleh kedua penulis diatas.
Adapun pendapat saya ini, berdasarkan cerita wayang yang dimainkan oleh Pak Dalang ditempat saya, namanya G.C (sudah almarhum). Sejak umur belasan tahun saya telah mengagumi cara dia mewayang. Pak G.C memang seorang dalang yang kreatif dan produktif.
Sebagai contoh ia mendalang ditempat yang satu akan berbeda dengan ditempat lain. Kendatipun lakonnya sama. Apa sebab ia berbuat begitu?
Sebab ia tak mau didekte penonton-penontonnya. Dengan kata lain ia mampu menyuguhkan adegan-adegan baru yang belum pernah dilihat oleh penonton-penontonnya.
Caranya ditempat si B ia menunjukkan sifat-sifat negatif dan positif Bambang Sumantri. Ditempat C. Dewi Citrawati yang pegang peranan itu, selalu merengek-rengek minta ini dan itu kepada Bambang Sumantri. Ya memang demikianlah hendaknya seorang dalang yang ingin laris dan tidak membosankan.
Setelah Sumantri dapat mengalahkan raja-raja yang ingin memperistri Dewi Citrawati dan berhasil memboyong pulang sang Dewi, untuk diserahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, sebagai first lady-nya. Maukah ia diserahkan kepada raja yang belum pernah diknalnya itu? Maka dia ragu-ragu terhadap calon suaminya itu. Dimuka pintu gerbang istana ia berunding dengan Bambang Sumantri agar sang prabu menjemput calon istrinya dengan cara mengadakan perang-perangan melawan Bambang Sumantri walaupun hanya satu ronde saja. Permintaan sang Dewi dijawab “okey” oleh pihak istana. Sepintas lalu sang raja mengira bahwa kedua anak muda yang berlainan jenis itu telah bersekongkol akan merubuhkan istana.
“Heh Sumantri aku tahu akal bulusmu. ” Dak umpamakake wong ngemut gula krasa legi tangeh yen den lepeha.”
Perang tanding dimulai. Mula-mula secara senda gurau akhirnya jadi sungguh-sungguh, Sumantri kalah.
Dewi Citrawati barusan tahu bahwa memang sang rajalah penjelmaan Batara Wisnu. Maka yang terakhir inilah yang ketiban “sampur” menjadi suaminya.
Pada mulanya Sumantrilah yang dianggap titisan Batara Wisnu. Karena dia memiliki senjata Cakrabaskara. Meskipun demikian Sumantri tak segera dipilihnya. Sebab ia belum tahu persis mana penjelmaan Batara Wisnu yang sejati. Untuk mengetahuinya ia minta diadakan perang tanding tersebut diatas.
Demikianlah Dewi Citrawati salah satu contoh wanita yang banyak mempergunakan pertimbangan pikiran dari pada perasaannya. Berbeda dengan putri-putri lainnya seperti Dewi Sukesi dan lain-lain.
0 comments:
Posting Komentar