Pages

Subscribe:

Jumat, 06 Juni 2014

Karna Salya Padhu

Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan Prabu Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu hingga menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya bagaikan meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya hati dibawanya menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung. Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati atas pokal orang Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas kematian orang tuanya secara keseluruhan.

“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna. Belum merasa lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas atas kematianmu ”.kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah Aswatama.

Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang dicintainya. Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, pamannya itu  yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan hatinya kepada pamannya itu.

Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan atas nama cinta, tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban mengasuh dirinya sebagai anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan itu, demi mengejar angan tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan cecapan kebebasan masa mudanya.

Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya  menjadi rusak raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu kanuragan para Kurawa dan Pandawa.

Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih sayang sang ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga dengan sosok dirinya yang merupakan keturunan satu satunya. Bagi ayahnya adalah pelecut semangat hidup, ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna. Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.

Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang mencari dirinya telah menemukannya.

“Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu. Sinuwun Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”

Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya masih tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat marah, ketika ia berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika pertengkaran pamannya itu dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian pamannya.

Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan.

“Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau, yang menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku, jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda Prabu Duryudana”.

“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti kata kata Patih Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan batin. Dengan bergabung kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia dapatkan dalam usahanya membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan dalam kepalanya juga mengarah kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia yang tahu.
******

Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat berduka dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi kematian para sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah terlolosi otot dan tulang tulang dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada Werkudara.

“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan pertempuran” Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang terkasihnya tewas satu persatu.

“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu Prabu”. Salya mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba memberikan pilihan. “Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak kita, anak Prabu mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu Pandawa”.

“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan Para Pandawa dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan darah para bebanten perang”. Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan dendam yang membara didadanya atas kematian adik terkasihnya, Dursasana, telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya.

“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul yang kiraku dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih berdiri kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu adalah anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak dilakukan dengan cara kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi diwaktu yang wajar, siang hari.

 “Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya kepada kanda Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.

“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah diterimakan kepada Karna-Suryatmaja.

Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya, Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda berlangsung nanti.

“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam jangkauan kami, pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi permintaan yang hendak ia sampaikan.

“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti antara kami dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna”. Sejenak Karna diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya itu.

Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu. “Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman Harya Sangkuni? Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan senang hati akan memenuhi kehendak kanda Adipati”.

Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam sedari tadi telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan membalas perlakuan mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu. Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.

“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang aku kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh Prabu Kresna. Satu satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah  . . . Rama Prabu Salya”.

Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak senang ia berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap mertuanya? Aku ini dianggap apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga sembuh rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”. Tanpa diduga sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya. Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya diawal perang.

“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati, baiklah sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya relakan jiwaku demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya bila ia mengancam akan bertindak sendiri.

Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. “Anak mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan. Tidak usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata kata anakmas Duryudana tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah memaksa dengan ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”. Akhirnya Salya menyanggupi permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti.

“Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini. Mohon perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”. Adipati Karna akhirnya mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari saat ini juga.

“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang hendak kau perintahkan untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah menantunya sekalian memanjakan semu kemauan menantunya.

“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak ke Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti. Sudah lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati. Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi seorang lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas luar biasa, tugas yang taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi penjelasan kepada mertuanya.

Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah. “Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti. Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga”

“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini akan mengantarkan senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.

“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai perjalanan ini nanti” demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak mengikuti Prabu Salya dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan.

Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam. Tetapi dua sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan Aswatama. Segera keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya . Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan.

Setelah basa basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu Duryudana, “Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu dari hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit yang setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali dihadapanku”.


“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami pelihara sikap kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba sebagai mata mata atas kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa. Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi benar benar pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf.

Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba kesampingkan”. Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati.

Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada dirinya hingga diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya.

Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya.” Anak Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi dengan keduanya. Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan keterangan yang diberikan besok hari ketika perang esok hari telah usai”.


Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat memejamkan matanya. Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik mengisi kepalanya. Tapi putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia hitung hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana ia dapat membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan, bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua pihak yang sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.

0 comments: