Truk, Bapak hilang, Bapak hilang!!!” suara cempreng yang sangat dikenal
Petruk, suara Gareng. Yang tergopoh-gopoh datang dengan nafas terengah.
“Romo Semar hilang, Romo Semar hilang!!!”
Petruk tersenyum-senyum saja sambil menikmati hisapan terakhir rokok siongnya. Kemudian berdiri dan mengikat kayu bakar yang telah dibelahnya
“Hei… Romo Semar hilang! Romo Semar hilang! RomoSemar hilang!” Gareng mengulang lagi dengan nada lebih sengit. “Apa sih yang dimaui si tua udel bodong itu? Pakai acara ngilang segala. Apa dia memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu kalau desa kita ini masih membutuhkan keberadaannya? Desa kita yang semakin rusak ini membutuhkan keprigelannya!”
Tapi Petruk memang selalu lebih cool dalam menanggapi permasalahan. Dia hanya tersenyum sambil melirik kakaknya. Kemudian malah masuk ke dalam rumah.
“Dasar Petruk Kanthong Bolong! Kamu ini memang nggak punya telinga! Nggak punya perasaan! Nggak punya keprihatinan! Romo Semar hilang! Bapak kita hilang! Dengar nggak sih kamu ini?” Atas nama segala kejengkelan, kalimat Gareng jadi berbelok memaki adiknya.
Namun ketika sesaat kemudian Petruk keluar membawa sebakul singkong rebus, Gareng mengembalikan kata-kata ke jalur awal, “Bapak itu manja dan jual mahal. Sudah tua bangka masih pakai acara ngambeg segala. Desa kita ini membutuhkan kepiawaian RomoSemar. Kalau dia menghilang begini, seluruh penduduk desa menjadi yatim piatu sejarah. Bahkan bukan hanya penduduk Karang Kedempel saja, tapi seluruh alam semesta akan meratap. Menagisi nasibnya. Apakah dia jengkel kepada Pak Kades, sehingga tidak mau lagi jadi Punakawan?”
Gareng mengambil sinkong, sekaligus dua biji, menggigit dan mengunyahnya sambil meneruskan pidatonya, “Apakah Bapak menganggap Pak Kades demikian tak pantasnya uantuk ditemani karena sudah sedemikian tak tahu diri. Salahnya orang-orang juga sih, memanggil Bapak dengan sebutan Ki Lurah Semar. Pak Lurah yang asli jadi jengkel, sehingga sebutan Lurah diganti menjadi Kades!”
Sampai disini Petruk sadar keadaan, dia langsung mengambil singkong rebus sekaligus tiga biji. Kalau keadaan tetap seperti ini, dia nggak bakalan kebagian singkong. Karena Petruk sangat faham, sebentar lagi Kang Gareng akan melanjutkan pidato kenegaraannya yang tentu akan sangat panjang, serta diikuti dengan mengunyah semua singkong-singkong rebus itu sampai habis.
“Apakah Bapak sudah memuntahkan kembali bumi dari perutnya? Apakah dia sudah masuk kembali menyelusup ke dalam rahim Dewi Wirandi ibundanya? Ataukah Semar sudah pupus di cahaya mata Sang Hyang Tunggal ayahandanya yang memang sudah lama sekali dirindukannya?” Gareng meneruskan bait-bait sajaknya sambil memasukkan gumpalan-gumpalan singkong ke dalam mulutnya.
“Hidup Kang Gareng! Hidup Gareng! suiit.. suit” Petruk berteriak, bertepuk tangan, dan bersiul panjang.
Petruk merasa perlu memotong orasi Gareng. Karena kalau tidak, pidato Gareng akan jadi berkepanjangan. Bahkan mungkin samapai berhari-hari tanpa henti. Yang lebih dikhawatirkan oleh Petruk adalah bahwa hilangnya Semar hanyalah refleksi khayalan kakaknya yang berhidung extra large ini
Sekali lagi Petruk dibuat terheran-heran. Bagaimana mungkin di sebuah dusun seperti Karang Kedempel ini ada orang seperti Gareng, yang mempunyai wawasan mengagumkan melebihi punggawa-punggawa desa. Bahkan pengetahuan Gareng lebih hebat ketimbang kemampuan Pak Kades sendiri. Padahal Gareng ini tidak pernah makan bangku sekolahan
“Berapa sih cicilan utang yang harus Kang Gareng bayar hari ini? Debt colectornya sudah datang toh? ” tanya Petruk.
Mata Gareng semakin juling, “Kurang ajar kamu Truk, apa kamu kira aku ini pura-pura gila?”
“Atau barangkali Kang Gareng habis berantem sama Mbakyu?” tanya Petruk lagi.
“Sialan kamu, apa kamu anggap aku main-main? Heh, dengar ya! Buka telingamu lebar…”
“Dari dulu telingaku ya sebesar ini mana mungkin dibuat jadi lebih lebar. Kang Gareng ini nganeh anehi lho,” Petruk memotong, sebelum sumpah serapah kakaknya ini keluar. Dia ingin sedikit membuat kepala Gareng lebih dingin. Dan berhasil!
Nada suara Gareng merendah, “Truk, apa jadinya dusun kita ini kalau Bapak menghilang tanpa pesan seperti ini?”
“Kang, Bapak tidak pernah dan tidak akan pernah hilang. Bapak tidak akan kemana-kemana kok. Tapi memang dia ada dimana mana”
“Lho, kamu mau adu filsafat dengan aku?” nada suara Gareng meninggi lagi.
“Adu filsafat bagaimana toh Kang?”
“Lha itu tadi, bicaramu seperti ahli filsafat saja, mungkin kamu sudah mulai ketularan romo Semar, atau barangkali Bapak sudah merasuk dalam ragamu ya Truk…”
“Hus…, Kang Gareng ini lho ada-ada saja, tubuhku yang kurus ini apa ya muat dimasuki Bapak yang gedenya hampir sama dengan satu kontainer peti kemas itu,” Petruk mencoba melumerkan ketegangan Gareng, tapi tidak berhasil.
“Kita harus segera menemukan Bapak, Truk. Romo Semar harus bertanggung jawab akan keadaan Dusun Kareng Kedempel saat ini. Ini semua juga gara-gara ajarannya.”
“Ajaran Romo yang mana, Kang?”
“Romo Semar mengajarkan bahwa kita harus berjiwa besar dan rendah hati. Saking merasuknya ajaran ini ke dalam jiwa setiap penduduk Karang Kedempel, sampai-sampai mereka sulit membedakan mana kerendahan hati dan mana yang namanya kesombongan,” Gareng duduk di atas lincak sembari menaikkan satu kakinya. Tak lupa sambil mengunyah singkong rebus.
Kali ini Petruk memutuskan untuk membiarkan saja Si Gareng yang mulai berancang-ancang berkhotbah. Bahasa tubuh kakaknya sudah sangat dikenal oleh Petruk.
“Semar bilang bahwa penduduk Karang Kedempel adalah bangsa bibit unggul, lebih dari itu: dalam konteks evolusi pemikiran, kebudayaan dan peradaban- kita adalah bangsa garda depan, avant garde nation, yang derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa lain di muka bumi.”
“Bapak juga bilang, bahwa pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti “terjebak” dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Karang Kedempel adalah kampung-kampung kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelepan.” Sekali tarikan nafas, dan Gareng melanjutkan orasinya.
“Padahal di muka buni ini mana ada orang yang bersuka ria melebihi warga Karang Kedempel. Tak ada orang bersuka ria melebihi orang Karang Kedempel. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Karang Kedempel. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang terdapat di dusun kita ini. Import sepeda motor apa saja dijamin laku, berapa juta pun yang kau datangkan kenegeri ini.”
“Kata Romo Semar lagi, bahwa penduduk dunia menyangka kita sedang mengalami krisis, padahal berita tentang krisis dudun kita adalah suatu ungkapan kerendahan hati. Penduduk dunia sering tidak mengerti retorika budaya masyarakat kita. kalau kita bilang “silahkan mampir ke gubug saya” -mereka menyangka yang kita punya adalah gubug beneren, padahal rumah kita adalah Istana, yang Gubernur di Argentina dan Menteri di Mesir pun tak punya macam kita punya”
“Kalau kita bilang kalau dusun kita sedang krisis, itu adalah semacamp tawadlu’ sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang trilyunan dolar, itu strategi agar kita disangaka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, smakin tinggi derajat kita dihadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di muka bumi, semakin mulia posisi kita di langit.”
“Dulu ketika Kades kita seorang yang buta, sejumlah orang di luar dusun mengejek kita: Apa dari 210 juta penduduk dusunmu tidak ada lagi seorang pun yang punya kemampuan menjadi Kades sehingga harus mengangkat seorang pimpinan pesantren yang buta? Ketika kemudian kita mempunya seorang Ibu Kades sebagai pemimpin dusun ini, mereka juga bertanya dengan sinis: Apa penduduk dusunmu itu 99% wanita sehingga tidak ada satu lelakipun yang mungkin menjadi Kades?”
“Aneh memang bahwa bangsa-bangsa di luar Karang Kedempel yang katanya lebih terpelajar dan lebih beradap ternyata hanya memiliki pemikiran linier dan tingkat kecerdasannya tidak bisa diandalkan. Mereka tidak punya fenomena budaya sanepo, misalnya. Juga tak punya pekewuh. Kita sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berperadaban unggul – tidaklah akan pernah memilih suatu sikap sosial yang gemedhe atau adigang adigung adiguna. Kita tak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak akan mencari kepuasan hidup dengan melalui sikap ngendas-sendasi bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup memprakekkan budaya andap asor, budaya rendah hati.”
“Jangankan soal Kepala Desa. Tim nasional sepakbola kita pun dirancang sedemikian rupa sehingga jangan sampai menangan atas kesebelasan bangsa bangsa lain. Sudah berpuluh tahun kita mempraktekkan filosofi ngalah kuwi dhuwur wekasanane, mengalah itu luhur derajatnya. Olah raga bulutangkis yang dulu dusun kita pernah membuktikan sebagai bangsa yang tidak bisa dikalahkan oleh tim dari bangsa manapun termasuk Cina yang berpenduduk 1,2 milyar. Sekarang kita menyesal kenapa mempermalukan Cina, sehingga bulutangkis kita sekarang kita bikin bagus, tapi sering mengalah…” Terengah-engah Gareng menyelesaikan kalimat-kalimatnya
“Coba bayangkan Truk, ajaran Romo Semar yang macam itu apa tidak terlalu tinggi untuk dicerna warga Karang Kedempel? Bukannya mereka jadi rendah hati, bahkan sebaliknya, mereka semakin sombong”
“Wah, jadi Kang Gareng menganggap tingat kecerdasan warga Karang Kedempel masih dibawah standart untuk bisa menyerap ilmu Romo Semar, begitu?”
“Lha wong Gareng itu memang goblog kok, sama goblognya dengan Semar, kamu jangan ikut-ikutan goblog Truk!!!” Tiba-tiba Gareng dan Petruk dikejutkan oleh suara parau, sengau dan kalimatnya sangat tidak sopan.
Suara dan gaya bahasa yang sudah sangat mereka kenal. Dan mereka segera sadar bahwa sudah ada sosok ketiga berada diantara mereka. Makhluk berbadan bulat tak berbentuk, seakan hanya onggokan daging. Bermata sebesar baskom, hidung pesek, mulut lebar sampai ke telinga. Siluetnya sekilas mirip Semar. Dia adalah Bagong, anak bungsu Semar.
Dan yang membuat Gareng dan Petruk lebih terkejut adalah singkong yang masih tersisa kira-kira sepuluh biji langsung habis sekali tenggak kedalam mulut Si Bagong.
Petruk hanya tersenyum, lain halnya dengan Gareng, “Kampret! Anak nggak kenal sopan santun! Manggil orang tua yang sopan! Panggil dengan sebutan Bapak atau Romo, jangan asal panggil Semar Semar! Romo Semar itu bapak kita, tahu nggak?”
“Lha wong namanya Semar kok minta dipanggil Romo, Semar ya Semar,” Bagong memang selalu apa adanya.
“Duh Gusti nyuwun ngapuro, tunjukkanlah bagaimana caranya menyadarkan dan mengajarkan kebudayaan kepada seekor munyuk ini…” juling mata Gareng semakin menjadi-jadi.
Sumber: bharatayudha.multiply.com.
Petruk tersenyum-senyum saja sambil menikmati hisapan terakhir rokok siongnya. Kemudian berdiri dan mengikat kayu bakar yang telah dibelahnya
“Hei… Romo Semar hilang! Romo Semar hilang! RomoSemar hilang!” Gareng mengulang lagi dengan nada lebih sengit. “Apa sih yang dimaui si tua udel bodong itu? Pakai acara ngilang segala. Apa dia memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu kalau desa kita ini masih membutuhkan keberadaannya? Desa kita yang semakin rusak ini membutuhkan keprigelannya!”
Tapi Petruk memang selalu lebih cool dalam menanggapi permasalahan. Dia hanya tersenyum sambil melirik kakaknya. Kemudian malah masuk ke dalam rumah.
“Dasar Petruk Kanthong Bolong! Kamu ini memang nggak punya telinga! Nggak punya perasaan! Nggak punya keprihatinan! Romo Semar hilang! Bapak kita hilang! Dengar nggak sih kamu ini?” Atas nama segala kejengkelan, kalimat Gareng jadi berbelok memaki adiknya.
Namun ketika sesaat kemudian Petruk keluar membawa sebakul singkong rebus, Gareng mengembalikan kata-kata ke jalur awal, “Bapak itu manja dan jual mahal. Sudah tua bangka masih pakai acara ngambeg segala. Desa kita ini membutuhkan kepiawaian RomoSemar. Kalau dia menghilang begini, seluruh penduduk desa menjadi yatim piatu sejarah. Bahkan bukan hanya penduduk Karang Kedempel saja, tapi seluruh alam semesta akan meratap. Menagisi nasibnya. Apakah dia jengkel kepada Pak Kades, sehingga tidak mau lagi jadi Punakawan?”
Gareng mengambil sinkong, sekaligus dua biji, menggigit dan mengunyahnya sambil meneruskan pidatonya, “Apakah Bapak menganggap Pak Kades demikian tak pantasnya uantuk ditemani karena sudah sedemikian tak tahu diri. Salahnya orang-orang juga sih, memanggil Bapak dengan sebutan Ki Lurah Semar. Pak Lurah yang asli jadi jengkel, sehingga sebutan Lurah diganti menjadi Kades!”
Sampai disini Petruk sadar keadaan, dia langsung mengambil singkong rebus sekaligus tiga biji. Kalau keadaan tetap seperti ini, dia nggak bakalan kebagian singkong. Karena Petruk sangat faham, sebentar lagi Kang Gareng akan melanjutkan pidato kenegaraannya yang tentu akan sangat panjang, serta diikuti dengan mengunyah semua singkong-singkong rebus itu sampai habis.
“Apakah Bapak sudah memuntahkan kembali bumi dari perutnya? Apakah dia sudah masuk kembali menyelusup ke dalam rahim Dewi Wirandi ibundanya? Ataukah Semar sudah pupus di cahaya mata Sang Hyang Tunggal ayahandanya yang memang sudah lama sekali dirindukannya?” Gareng meneruskan bait-bait sajaknya sambil memasukkan gumpalan-gumpalan singkong ke dalam mulutnya.
“Hidup Kang Gareng! Hidup Gareng! suiit.. suit” Petruk berteriak, bertepuk tangan, dan bersiul panjang.
Petruk merasa perlu memotong orasi Gareng. Karena kalau tidak, pidato Gareng akan jadi berkepanjangan. Bahkan mungkin samapai berhari-hari tanpa henti. Yang lebih dikhawatirkan oleh Petruk adalah bahwa hilangnya Semar hanyalah refleksi khayalan kakaknya yang berhidung extra large ini
Sekali lagi Petruk dibuat terheran-heran. Bagaimana mungkin di sebuah dusun seperti Karang Kedempel ini ada orang seperti Gareng, yang mempunyai wawasan mengagumkan melebihi punggawa-punggawa desa. Bahkan pengetahuan Gareng lebih hebat ketimbang kemampuan Pak Kades sendiri. Padahal Gareng ini tidak pernah makan bangku sekolahan
“Berapa sih cicilan utang yang harus Kang Gareng bayar hari ini? Debt colectornya sudah datang toh? ” tanya Petruk.
Mata Gareng semakin juling, “Kurang ajar kamu Truk, apa kamu kira aku ini pura-pura gila?”
“Atau barangkali Kang Gareng habis berantem sama Mbakyu?” tanya Petruk lagi.
“Sialan kamu, apa kamu anggap aku main-main? Heh, dengar ya! Buka telingamu lebar…”
“Dari dulu telingaku ya sebesar ini mana mungkin dibuat jadi lebih lebar. Kang Gareng ini nganeh anehi lho,” Petruk memotong, sebelum sumpah serapah kakaknya ini keluar. Dia ingin sedikit membuat kepala Gareng lebih dingin. Dan berhasil!
Nada suara Gareng merendah, “Truk, apa jadinya dusun kita ini kalau Bapak menghilang tanpa pesan seperti ini?”
“Kang, Bapak tidak pernah dan tidak akan pernah hilang. Bapak tidak akan kemana-kemana kok. Tapi memang dia ada dimana mana”
“Lho, kamu mau adu filsafat dengan aku?” nada suara Gareng meninggi lagi.
“Adu filsafat bagaimana toh Kang?”
“Lha itu tadi, bicaramu seperti ahli filsafat saja, mungkin kamu sudah mulai ketularan romo Semar, atau barangkali Bapak sudah merasuk dalam ragamu ya Truk…”
“Hus…, Kang Gareng ini lho ada-ada saja, tubuhku yang kurus ini apa ya muat dimasuki Bapak yang gedenya hampir sama dengan satu kontainer peti kemas itu,” Petruk mencoba melumerkan ketegangan Gareng, tapi tidak berhasil.
“Kita harus segera menemukan Bapak, Truk. Romo Semar harus bertanggung jawab akan keadaan Dusun Kareng Kedempel saat ini. Ini semua juga gara-gara ajarannya.”
“Ajaran Romo yang mana, Kang?”
“Romo Semar mengajarkan bahwa kita harus berjiwa besar dan rendah hati. Saking merasuknya ajaran ini ke dalam jiwa setiap penduduk Karang Kedempel, sampai-sampai mereka sulit membedakan mana kerendahan hati dan mana yang namanya kesombongan,” Gareng duduk di atas lincak sembari menaikkan satu kakinya. Tak lupa sambil mengunyah singkong rebus.
Kali ini Petruk memutuskan untuk membiarkan saja Si Gareng yang mulai berancang-ancang berkhotbah. Bahasa tubuh kakaknya sudah sangat dikenal oleh Petruk.
“Semar bilang bahwa penduduk Karang Kedempel adalah bangsa bibit unggul, lebih dari itu: dalam konteks evolusi pemikiran, kebudayaan dan peradaban- kita adalah bangsa garda depan, avant garde nation, yang derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa lain di muka bumi.”
“Bapak juga bilang, bahwa pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti “terjebak” dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Karang Kedempel adalah kampung-kampung kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelepan.” Sekali tarikan nafas, dan Gareng melanjutkan orasinya.
“Padahal di muka buni ini mana ada orang yang bersuka ria melebihi warga Karang Kedempel. Tak ada orang bersuka ria melebihi orang Karang Kedempel. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Karang Kedempel. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang terdapat di dusun kita ini. Import sepeda motor apa saja dijamin laku, berapa juta pun yang kau datangkan kenegeri ini.”
“Kata Romo Semar lagi, bahwa penduduk dunia menyangka kita sedang mengalami krisis, padahal berita tentang krisis dudun kita adalah suatu ungkapan kerendahan hati. Penduduk dunia sering tidak mengerti retorika budaya masyarakat kita. kalau kita bilang “silahkan mampir ke gubug saya” -mereka menyangka yang kita punya adalah gubug beneren, padahal rumah kita adalah Istana, yang Gubernur di Argentina dan Menteri di Mesir pun tak punya macam kita punya”
“Kalau kita bilang kalau dusun kita sedang krisis, itu adalah semacamp tawadlu’ sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang trilyunan dolar, itu strategi agar kita disangaka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, smakin tinggi derajat kita dihadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di muka bumi, semakin mulia posisi kita di langit.”
“Dulu ketika Kades kita seorang yang buta, sejumlah orang di luar dusun mengejek kita: Apa dari 210 juta penduduk dusunmu tidak ada lagi seorang pun yang punya kemampuan menjadi Kades sehingga harus mengangkat seorang pimpinan pesantren yang buta? Ketika kemudian kita mempunya seorang Ibu Kades sebagai pemimpin dusun ini, mereka juga bertanya dengan sinis: Apa penduduk dusunmu itu 99% wanita sehingga tidak ada satu lelakipun yang mungkin menjadi Kades?”
“Aneh memang bahwa bangsa-bangsa di luar Karang Kedempel yang katanya lebih terpelajar dan lebih beradap ternyata hanya memiliki pemikiran linier dan tingkat kecerdasannya tidak bisa diandalkan. Mereka tidak punya fenomena budaya sanepo, misalnya. Juga tak punya pekewuh. Kita sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berperadaban unggul – tidaklah akan pernah memilih suatu sikap sosial yang gemedhe atau adigang adigung adiguna. Kita tak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak akan mencari kepuasan hidup dengan melalui sikap ngendas-sendasi bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup memprakekkan budaya andap asor, budaya rendah hati.”
“Jangankan soal Kepala Desa. Tim nasional sepakbola kita pun dirancang sedemikian rupa sehingga jangan sampai menangan atas kesebelasan bangsa bangsa lain. Sudah berpuluh tahun kita mempraktekkan filosofi ngalah kuwi dhuwur wekasanane, mengalah itu luhur derajatnya. Olah raga bulutangkis yang dulu dusun kita pernah membuktikan sebagai bangsa yang tidak bisa dikalahkan oleh tim dari bangsa manapun termasuk Cina yang berpenduduk 1,2 milyar. Sekarang kita menyesal kenapa mempermalukan Cina, sehingga bulutangkis kita sekarang kita bikin bagus, tapi sering mengalah…” Terengah-engah Gareng menyelesaikan kalimat-kalimatnya
“Coba bayangkan Truk, ajaran Romo Semar yang macam itu apa tidak terlalu tinggi untuk dicerna warga Karang Kedempel? Bukannya mereka jadi rendah hati, bahkan sebaliknya, mereka semakin sombong”
“Wah, jadi Kang Gareng menganggap tingat kecerdasan warga Karang Kedempel masih dibawah standart untuk bisa menyerap ilmu Romo Semar, begitu?”
“Lha wong Gareng itu memang goblog kok, sama goblognya dengan Semar, kamu jangan ikut-ikutan goblog Truk!!!” Tiba-tiba Gareng dan Petruk dikejutkan oleh suara parau, sengau dan kalimatnya sangat tidak sopan.
Suara dan gaya bahasa yang sudah sangat mereka kenal. Dan mereka segera sadar bahwa sudah ada sosok ketiga berada diantara mereka. Makhluk berbadan bulat tak berbentuk, seakan hanya onggokan daging. Bermata sebesar baskom, hidung pesek, mulut lebar sampai ke telinga. Siluetnya sekilas mirip Semar. Dia adalah Bagong, anak bungsu Semar.
Dan yang membuat Gareng dan Petruk lebih terkejut adalah singkong yang masih tersisa kira-kira sepuluh biji langsung habis sekali tenggak kedalam mulut Si Bagong.
Petruk hanya tersenyum, lain halnya dengan Gareng, “Kampret! Anak nggak kenal sopan santun! Manggil orang tua yang sopan! Panggil dengan sebutan Bapak atau Romo, jangan asal panggil Semar Semar! Romo Semar itu bapak kita, tahu nggak?”
“Lha wong namanya Semar kok minta dipanggil Romo, Semar ya Semar,” Bagong memang selalu apa adanya.
“Duh Gusti nyuwun ngapuro, tunjukkanlah bagaimana caranya menyadarkan dan mengajarkan kebudayaan kepada seekor munyuk ini…” juling mata Gareng semakin menjadi-jadi.
Sumber: bharatayudha.multiply.com.
0 comments:
Posting Komentar