Pages

Subscribe:

Selasa, 30 Juni 2015

konflik aceh

Gerakan Aceh Merdeka atau yang biasa disebut dengan GAM, merupakan organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM ini ialah agar Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membuat negara kesatuan sendiri dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan Aceh Merdeka juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).
Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro dilakukan secara diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini, terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berasumsi bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam di Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan Tiro mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum diselesaikan secara tuntas di era orde lama. Tokoh-tokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dukungan mereka kepada GAM akan dapat membantu Aceh memperoleh kemerdekaannya sendiri.
Munculnya kelompok GAM ditanggapi oleh pemerintahan orde baru dengan cara yang represif. GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar sehingga harus dibasmi. Dimasa orde baru, tidak ada toleransi bagi kaum pemberontak yang dapat menyebabkan instabilitas politik. Hampir tidak ada kebijakan orba yang mencoba untuk mengintegrasikan pihak-pihak yang memberontak, bahkan terhadap keluarga mereka sekalipun. Pendekatan militer menyebabkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, seperti penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan. Sedangkan Hasan Tiro, sebagai ketua kelompok GAM, diasingkan di Swiss dan baru saja kembali ke tanah air pada tahun 2008 kemarin.
Separatisme di Aceh justru semakin berkembang setelah tindakan represif dari pemerintahan orde baru. Dengan munculnya generasi baru yang mendukung GAM yang terdiri dari para korban Daerah Operasi Militer. Generasi ke-2 kelompok GAM ini melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui Malaysia, Libya, dan Jenewa.
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tidak berjalan secara efektif. Sampai akhirnya, pemerintah kembali menggunakan pendekatan militeristik untuk menyelesaikan masalah di Aceh.
Pada era Abdurrahman Wahid, jalur diplomasi sudah mulai diterapkan untuk mendamaikan hubungan antara Indonesia dan Aceh. Gusdur menggunakan upaya dialog damai, yang bernama Jeda Kemanusiaan I dan II. Namun jalur ini kembali tidak efektif, karena Gusdur terpaksa turun dari kursi pemerintahan sebelum masa jabatannya usai. Pada era Megawati Soekarnoputri, pemerintah kembali menggunakan pendekatan militeristik yang membuat semakin banyaknya korban-korban sipil yang berjatuhan dengan menjadikan Aceh sebagai daerah darurat militer. Dan sekali lagi pendekatan militer membuat Indonesia menjadi semakin jauh dengan GAM. Yang akhirnya membuat masalah separatisme ini menjadi semakin berlarut-larut.
Perundingan Helsinki
Ide untuk menyelesaikan konflik dengan jalur perdamaian baru tercetus ketika Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden Yudhoyono. Sejak dari akhir Januari hingga Juli 2005, SBY-JK mulai melakukan empat babak pembicaraan informal dengan pihak GAM untuk melakukan perundingan sebagai cara damai menyelesaikan separatisme di Aceh. Pembicaaan informal ini difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), yaitu sebuah lembaga yang dipimpin oleh seorang mantan pesiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Jusuf Kalla menamakan jalur yang dilakukan saat ini sebagai sebuah pendekatan baru, kerena Kalla mempunyai supervisi yang konsisten dan terus menerus untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan jalur perdamaian.2
Langkah pertama untuk dapat mendekati jalur perdamaian, adalah dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa. Dan untuk dapat membuat GAM bersedia berdialog dengan pihak Indonesia, diperlukannya rasa kepercayaan satu sama lain. Rasa kepercayaan inilah yang cukup sulit diperoleh sehingga membuat putaran pertama pertemuan informal ini menjadi gagal. Karena itu diperlukannya pihak ketiga yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak sebagai penengah. Dan untuk pihak ketiganya, Indonesia memilih Martti Ahtisaari. Alasan dipilihnya Ahtisaari ialah; pertama, karena hampir selama satu tahun lamanya, Jusuf Kalla telah berkomunikasi via telepon dengan Ahtisaari untuk membahas konflik di Aceh ini.
Kedua, karena Martti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI, bahwa dalam menyelesaikan konflik di Aceh, konsep yang mungkin digunakan adalah konsep otonomi khusus. Ketiga, karena reputasi Martti sebagai mantan presiden yang terbilang sangat baik. Dan Yang keempat, adalah karena keberadaan pihak GAM yang ada di Swedia diharapkan dapat ditemui dan dilobi oleh Martti, sehingga adanya kepercayaan pihak GAM terhadap negosiator.
Dalam perundingan Helsinki terdapat lima putaran. Pada putaran pertama dan kedua, memberikan hasil yang tidak memuaskan, karena keadaan kedua pihak menjadi kritis, khususnya pada putaran kedua, karena terjadi dead lock, atau tidak adanya titik temu, karena posisi kedua belah pihak yang berbeda. Namun peran CMI dalam mencari alternatif rumusan perundingan berhasil menjadi faktor penentu keberhasilan dalam perundingan antar RI-GAM. perundingan Helsinki sangat berbeda dengan perundingan-perundingan RI-GAM yang pernah terjadi sebelumnya. Martti tidak hanya berhasil menembus batas second track diplomacy, khususnya dengan pihak GAM dan Jusuf Kalla, tetapi Martti memiliki kemampuan menembus first track Diplomacy ditingkat Uni Eropa maupun PBB dan Amerika Serikat. Akhirnya, perundingan Helsinki behasil ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 15 Agustus 2005. Perundingan Helsinki ini merupakan simbol berakhirnya gerakan separatisme di Aceh
Mochamad Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, 2008,
hlm. 100.

0 comments: