Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2015

"PERANG SIFFIN (PERANG SAUDARA DALAM ISLAM)


  Siffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah.


Suatu hari, putri Rasulullah SAW, Fatimah ra, mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib ra. Fatimah mengadu tangannya luka-luka akibat terlalu sering membikin adonan roti dari gandum. Ali berkata, "Ayahmu telah datang dengan membawa beberapa tawanan, pergilah temui ayahmu dan mintalah seorang dari mereka untuk menjadi pembantumu."

Fatimah pun menemui ayahnya. Namun, ia tak berani menyampaikan maksudnya. Lalu, Ali datang menemui Rasul dan menyampaikan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW tak  mengabulkan permintaan orang yang paling dicintainya itu meski beliau tahu bahwa keluarga putrinya itu memang serbakekurangan.

Nabi SAW kemudian menemui putri dan suaminya. Rasulullah  bersabda, "Maukah aku ajarkan kepada kamu berdua sesuatu yang baik dari apa yang kalian minta? Jika hendak tidur, bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali. Sesungguhnya hal itu lebih baik dari seorang pelayan."

Ali bin Abi Thalib ra selalu melaksanakan nasihat Rasulullah SAW itu. Ia pernah mengatakan, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak beliau mengajarkannya kepadaku." Salah seorang sahabat yang bertanya, "Hatta pada malam peristiwa Siffin?" Ali menjawab, "Ya, benar, Hatta pada malam peristiwa Siffin." (HR Bukhari Muslim).

Kisah dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim itu menyebut nama "peristiwa Siffin". Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi mengungkapkan, Siffin adalah nama sebuah daerah  di tenggara Kota Raqqah, Suriah-sekitar 15 kilometer di tepian Sungai Eufrat.

"Dari arah barat dan timur, Siffin berada di antara Raqqah dan Palas. Saat ini, Siffin berada di tenggara desa Ekrsye (hanya berjarak 500 meter)," papar Syauqi. Di wilayah itu, pernah terjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam peradaban Islam. Peristiwa itu dikenal sebagai "Perang Siffin".

Perang Siffin terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah bin Abi Sufyan-pendiri Dinasti Umayyah. Perang saudara itu terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/  26-28 Juli 657 M. Perang saudara pertama dalam sejarah peradaban Islam itu terjadi pada zaman fitnah besar.

Menurut sebuah versi, perang saudara itu terjadi akibat ulah dan provokasi dari pengikut Abdullah bin Saba. Adalah dendam lama pengikut Abdullah bin Saba' terhadap Muawiyah yang memantik pertempuran itu. Abdullah bin Saba menurut sebuah versi adalah seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian melakukan makar.

Kelompok Abdullah bin Saba berupaya menebar fitnah untuk menjatuhkan citra pejabat negara. Upaya itu dilakukan agar rakyat membenci pejabat yang ditunjuk Khalifah Utsman. Amru bin Ash, gubernur Mesir, menjadi sasaran pertama. Fitnah yang ditebarkan Abdullah bin Saba dan pengikutnya berhasil menjatuhkan sang gubernur.

Setelah berhasil mendongkel gubernur Mesir, kelompok itu lalu mengajak pendukungnya di Syam, Kufah, dan Bashrah untuk menggulingkan gubernur mereka.  Gubernur Kufah, Said bin Ash, berhasil digulingkan. Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari kursi Gubernur Syam-yang telah berkuasa sejak era Khalifah Umar.

Kelompok pengikut Abdullah bin Saba atau Sabaiyah membunuh Khalifah Utsman.  Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba'iyah, Muawiyah tetap menjabat sebagai Gubernur Syam.

Posisi Muawiyah sebagai gubernur memang terbilang cukup kuat alias tak bisa didongkel oleh gerakan kelompok Sabaiyah. Dalam Tarikh At-Thabari ditulis, Khalifah Utsman telah mengingatkan Muawiyah akan adanya upaya makar itu. Utsman berkata, "Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik, terimalah. Akan tetapi, jika mereka melemahkanmu, kembalikan ke Kufah."

Kelompok itu sempat datang menemui Muawiyah, kelompok Sabaiyah meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Namun, ia menolaknya. Kelompok itu lalu dikeluarkan dari Syam. Setelah wafatnya Utsman, kelompok ini yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib.

Dr Hamid Muhammad Khalifah dalam Al-Inshaf (hal 418) menyebutkan, penyebab meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para "provokator" dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ingin memerangi Muawiyah.

Sebenarnya, tak ada perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Yang ada perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba' dan Muawiyah. Terlebih, Muawiyah mendesak dilakukannya hukuman hadd kepada kelompok itu atas terbunuhnya Utsman.

Perselisihan terjadi setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dari jabatan Gubernur Syam. Posisinya diganti oleh Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan berangkat ke Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali.

Ali lalu mengirim surat kepada Muawaiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga tiga bulan setelah wafatnya Utsman. Lalu, Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku pembunuhan Utsman diadili.

Kaum Sabayah lalu mencoba memprovokasi dan bahkan memerintahkan agar utusan Muawiyah dibunuh. Dalam Tarikh At-Thabari disebutkan,  Bani Mudhar mencegah mereka yang hendak membunuh Qubishah.

Utusan Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum. Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.

Lalu, mereka mendesak Amirul Mukminin untuk memerangi Muawiyah. "Maka, para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam," demikian tertulis dalam Al Bidayah wa An Nihayah.

 Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah.

Mendengar kabar itu, Muawiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah, "Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian. Apa pendapat kalian?" Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan." Akhirnya, Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi tiga bagian.

Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jamaah, "Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?" Semua hadirin terheran dan berbicara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)"

Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Siffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Al Bidayah wa An Nihayah, disebutkan Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan bertanya, "Apakah engkau melawan Ali?" Muawiyah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku."

"Akan tetapi, bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya."

Ibnu Katsir menyebutkan, perang Siffin melibatkan 120 ribu orang pasukan Kufah dan yang terbunuh mencapai 40 ribu. Sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Dalam pertempuran itu, pasukan Muawiyah nyaris kalah.

Dalam posisi terdesak, penasihat Muawiyah Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Alquran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Alquran. Atas desakan kelompok Khawarij, Khalifah Ali akhirnya menghentikan serangan dan kedua belah pihak memilih berdamai. berbagai sumber

Muawiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah

 Umayyad Mosque di Damaskus, Syria
Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.

Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan, yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.

Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang penyatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.

Terkisah, kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras.

Namun, teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.

Muawiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam, misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil. Pada tahun 653, Muawiiyah membangun benteng-benteng di perbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh.

Hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang Khalifah. Muawiyyah termasuk pemimpin daerah yang paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yang membunuh Khalifah Usman.
Pembunuhan Usman itu sendiri boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yang tidak suka pada kebijakan sang Khalifah. Ada yang tidak suka karena kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Usman memecat sejumlah pejabat yang dinilai sebagai administrator yang piawai. Pembunuhan itu sendiri berlangsung pada 655, setelah sebelas tahun Usman memegang tampuk kepemimpinan umat Islam.

Pembunuhan Usman itu menandai semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyyah. Seperti diketahui, sebagian besar umat kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Usman. Tapi, kenyataan ini ditampik oleh Muawiyyah. Ia secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah Usman dihukum.

Ali sendiri saat menerima tampuk kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Usman. Ia bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh Usman. Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui kepemimpinannya, termasuk Muawiyyah.

Sikap Khalifah Ali itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yang mendukung dan ada yang menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh yang nyata-nyata musuh umat. Maka, selain Muawiyyah, tampil tiga pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah, Zubair, dan Thalhah.
Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan Muawiyyah. Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam. Sementara Muawiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya. Muawiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.

Pertempuan kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Muawiyyah sudah terdesak. Dengan siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Muawiyyah mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.

Siasat itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Muawiyyah. Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili oleh Abu Musa al-Anshari, sedangkan Muawiyyah diwakili Amru bin Ash. Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Muawiyyah. Tapi, ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.

Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan hukum Allah.
Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661. Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat itu, Muawiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus.

Lolos dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Muawiyyah untuk lebih mengokohkan kekuasaan. Pada masa itulah berakhirnya model pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah lalu dilanjutkan oleh Khulafa Urrasyidun. Muawiyyah menyanangkan berdirinya Dinasti Bani Umayyah dan dialah raja pertamanya. Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.

Sejalan dengan itu, di kubu Muawiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah. Kaum yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki sebagai kaum Jabariyah. Ibnu Abdul Bar

Tahkim Pascaperang Siffin

Perang saudara antara kubu Muawiyah dan Ali akhirnya mereda. Kedua belah pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui Tahkim, yakni penunjukan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut.

Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi penengah. Ibnu Hibban dalam At Tsiqat mengungkapkan, tahkim itu berisi keputusan bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Irak dan penduduknya.

Sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya. Sesuai kesepakatan tidak ada penggunaan senjata dan hal ini berlaku dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang.

Tahkim itu sama sekali tak mengharuskan Muawaiyah membaiat Ali. Dan Khalifah Ali pun tidak memiliki  keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Hasil tahkim itu membuat sebagian kubu Ali protes dan bahkan murka. Mereka menyatakan diri keluar dari Ali dan membentuk kelompok Khawarij.

Gerakan Khawarij pun berencana untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Dari ketiga orang yang diincar Khawarij itu, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh. Khalifah Ali wafat pada  malam ke-17 bulan Ramadhan tahun 40 H. berbagai sumber


 khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.

Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.

Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."

Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."

Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.

Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.

Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.

Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.


Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.

Bagi Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.

Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak...Fatimah.

Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."

Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".


Pertempuran Antar Sahabat
Amirul Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.

Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.

Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".

Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.

Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.

Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.

Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.

Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.

Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.

Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.

Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu...

Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.

Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".

Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".

Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi.

Wallahu`alam

Perang Jamal, Bagaimana Kronologis Peperangan Tersebut, Siapa Dalang Terjadinya Peperangan? Ternyata Pendiri Syiah Berada Dibalik semua ini



PERANG JAMAL
a. Latar Belakang terjadinya perang jamal
Pendiri Syiah merupakan Dalang Terjadinya perang jamalSetelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan Azzubeir meminta ijin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar kabar bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.
Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah, sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali bin Abu Thalib.
Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke Bashrah.
Ketika itulah, Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya. Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.
Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir.
Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu Thaliblah yang keluar mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar menuju Ali. Mereka juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak kekhaliahan Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali memang tidak berada di Bashrah.
Oleh karena itu, Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah terbunuh.’
Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya: “Apa yang engkau perintahkan?’
Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1
b. Perundingan jelang meletusnya peperangan
Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang. Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka.
Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan yang mencatat peperangan ini, seperti Athabari,2 Ibnu Katsir,3 Ibnu Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya
Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.
Pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan heabatnya.
c. Upaya Menghentikan Peperangan
Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka! Buruk sekali kerakusan!”6
Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.
Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menghentikannya. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah seperti itu. Imam Albukhari menyebutkan beberapa bait syair milik Imru-ul Qais:
Perang pertama-tama tampak seperti gadis rupawan
berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang bodoh
hingga jika telah menyala dan apainya berkobar-kobar
gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya tarik
rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan menua
dengan bau yang tak sedap dihirup bila dicium7
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴿٢٥﴾
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)8
Perang jamal terjadi pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu.
Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta) berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir.
Pada perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).
d. Terbunuhnya Thalhah dan Azzubeir
Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga dengan Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas Ali berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut berperang9
Jadi yang benar adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu a’lam. Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad yang kuat. Namun, begitulah yang masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi riwayat yang lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun ia dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.
Sementara itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar. Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam. Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang.
Seusai perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh kerugian dalam perang ini.
e. Pasca Terjadinya Peperangan
Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.10
Setelah itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.
Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.
Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11
Pasca Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan menghormati Aisyah.
Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12 Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.
f. Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?
Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh.
Diantara mereka yang masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan bin Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap seseorang yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?” Yang beliau maksud dengan orang itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-orang Aus, maka kami akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara kami, orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya.
Sa’ad bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz. Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13
Nabi tahu betul bahwa ini merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang kembali bersama sepertiga pasukan pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengapa demikian? Karena, maslahat. Menurut pandangan beliau, menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada apabila beliau membiarkannya.
Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu, pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan membunuh Ali? Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan membunuhnya setelah itu.
Oleh karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita. Sementara Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara riil (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash semuanya.
Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.
Dinukil dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein
foot note:
  1. Fathul baari (XIII/38). Ibnu Hajar, penulisnya, berkata: “Ath thabari meriwayatkan kisah ini dengan sanad shahih.”
  2. Taariikh Aththabari (III/517).
  3. Albidaayah wan Nihaayah (VII/509)
  4. Alkaamil fit Taariikh (III/120).
  5. Alfishal fil Milal wal Ahwaa wan Nihal (IV/293).
  6. Taariikh Khalifah bin Khayyath (hlm. 182)
  7. Shahiihul Bukhari, Kitab “Alfitnah”, Bab “AlFitnatul Latii Tamuuju Kamaujil Bahr”,sebelum hadits nomor 7096.
  8. Mukhtashar Minhaajis Sunnah ( hlm. 281)
  9. Almushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (XV/283, no. 19674). Dalam sanad riwayat ini ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya). Riwayat ini juga disebutkan oleh al hafidz Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul ‘Aliyah (no. 4412)
  10. Mukhtashar Taariikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (XI/207) dan Usdul Ghaabah (III/88). AlBushriri berkata: “Para perawinya tsiqah”, dan dia mengutipnya dari Ibnu Hajar dalam alMathaalibul ‘Aaliyah (IV/302) dengan sedikit perbedaan redaksi.
  11. Ath-Thabaqaatul Kubraa karya Ibnu Sa’ad (III/105) dengan sanad hasan.
  12. HR. Ahmad dalam musnadnya (VI/393). Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) : “Sanad hadits ini hasan.”
  13. Muttafaq Alaih : Shahihul Bukhari, Kitab “Al Maghaazi”, Bab “Haditsul Ifki” (no. 414); dan Shahiih Muslim, Kitab “Attaubah”, Bab “Haditsul Ifki wa Qabuul Taubatil Qaadzif” (no. 2770

Perang Hunain: Sebuah Kajian Siroh Nabawiyyah

hunainProf. Muhammad Ridha menuliskan dalam buku Sirah Nabawiyyahnya bahwa Perang Hunain terjadi pada 10 Syawal 8H atau sekitar bulan Februari 630 M. Hunain adalah suatu Lembah di jalan menuju Thaif yang letaknya bersebelahan dengan Dzulmajaz. Jaraknya dari Makkah sejauh tiga hari perjalanan kaki. Perang Hunain disebut juga Perang Authas karena terjadi di Lembah Authas. Perang ini terjadi antara kaum Muslimin dan Kaum Hawazin yang bersatu dengan Kaum Tsaqif sehingga perang ini disebut juga Perang Hawazin. Perang ini disebut-sebut sebagai perang di masa Rosulullah dengan harta rampasan perang terbesar dan dengan jumlah bala tentara dari Kaum Muslimin yang banyak juga.
Penyebab Perang
Setelah kota Makkah sempurna ditaklukkan, orang-orang mulai berbondong-bondong masuk ke agama Allah, termasuk kaum Quraisy. Hal ini menyebabkan pembesar Hawazin dan Tsaqif merasa khawatir bahwa Rosulullah dan pengikutnya akan bergerak menyerbu mereka. Abul Hasan ‘Ali Al-Hasani an-Nadwi menulis dalam bukunya bahwa Kaum Hawazin adalah kekuatan terbesar setelah kaum Quraisy. Kaum Hawazin dan Quraisy saling berlomba dalam hal kekuatan. Hawazin tidak tunduk kepada sesuatu, yaitu Islam yang Quraisy telah takluk padanya. Hawazin ingin menjadi kekuatan yang utama dengan mencoba mencabut Islam dari akarnya.
            Kekhawatiran ini menyebabkan mereka bermaksud menyerang Rosulullah dan pengikutnya terlebih dahulu sebelum mereka diserang. Maka kemudian, di bawah pimpinan Malik bin Auf An-Nashary, salah seorang tokoh Hawazin, mereka menghimpun kekuatan dimana bergabung bersamanya seluruh Bani Tsaqif, Bani Nashr, Bani Jusyam, juga Said bin Bakr. Said bin Abi Bakr ini adalah kabilah dimana Rosulullah pernah menyusui.Sedangkan Bani Ka’ab dan Bani Kilab menentang Kaum Hawazin dan bergabung bersama Rosulullah.
            Mereka disertai pula seorang bernama Duraid bin Ash-Shammah, pemimpin dan orang termuka di kalangan Bani Jutsam. Dia dikenal sebagai seorang tua yang pemberani dan berpengalaman. Usianya saat itu sudah 120 tahun, bahkan ada yang mengatakan lebih. Dia juga buta sehingga dia hanya dimintai pendapat dan pengetauhuannya saja mengenai perang. Adapun panglima kaum Tsaqif saat itu adalah Kinanah bin ‘Abdu Yalil –yang dikemudian hari memeluk Islam –.
Kekuatan Musuh
Malik bin Auf, panglima perang, memerintahkan agar segala sesuatu dibawa saat perang seperti seluruh harta kekayaan, binatang ternak, kaum wanita dan anak-anak mereka dengan harapan agar pasukannya tetap tegar dan tidak lari meninggalkan medan perang. Namun Duraid tidak sependapat dan menyarankan agar mereka semua dipulangkan. Akan tetapi, Malik tidak menerima sarannya dan tetap menjalankan rencananya.
Prof. Muhamma Ridha menyebutkan bahwa jumlah orang yang terhimpun dari Bani Sa’ad dan Tsaqif ada 4.000 orang hingga selanjutnya mencapai 30.000 orang karena kabilah-kabilah Arab lainnya ikut bergabung. Ada pula yang mengatakan hanya 20.000 personil. Selain jumlah yang banyak, Kaum Hawazin dikenal sebagai pemanah yang ulung.
Kekuatan Kaum Muslimin
Di sisi lain, Jumlah pasukan Rosulullah SAW sebanyak 12.000 tentara, dimana 2.000 tentara dari penduduk kota Makkah yang baru saja masuk Islam dan sebagian dari mereka belum masuk Islam. Sedangkan 10.000 tentara berasal dari Madinah. Jumlahnya menjadi sangat banyak sehingga orang muslimin (ada yang mengatakan Abu Bakar yang mengatakan) berkata, “ Hari ini kita tidak akan dikalahkan karena jumlah yang sedikit”.
Dalam persiapan menghadapi peperangan ini, dikatakan kepada Rosulullah bahwa Shafwan bin Umayyah – yang waktu itu masih musyrik – memiliki sejumlah baju besi dan senjata. Akhirnya Shawan meminjamkan kepda Rosulullah seratus baju besi dan sejumlah senjata.
Rosulullah pergi meninggalkan Makkah pada hari Sabtu, 6 Syawwal 8 H atau 28 Januari 630 M.
Ada yang berkendaraan serta ada juga yang berjalan kaki. Bahkan kaum wanita dan orang-orang ayng belum sempurna Islamnya juga ikut. Saat itu beliau mempercayakan Makkah keapda Uttab bin Usaid bin Al-Ish yang saat itu muda. Adapun untuk menjadi guru, beliau tinggalkan di Makkah Mu’adz bin Jabal Al-Anshari Al-Khazraji untuk mengajari mengenai ukum dan syariat Islam karena dia adalah orang yang pandai membaca Al-Qur’an dan sangat mendalam ilmu agamanya.
Syaikh Mubarakfuri dalam bukunya menulis bahwa di tengah perjalanan, pasukan muslimin melihat pohon bidara besar yang biasa digunakan orang-orang Arab untuk menggantungkan senjatanya dan menyembelih kurban di dekatnya. Pohon tersebut biasa disebut Dzatu Anwath. Sebagian kaum muslimin berkata kepada Rosulullah SAW,”Buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath”
Maka Rosulullah SAW bersabda,” Allah Maha Besar, sungguh kalian telah mengatakan seperti yang dikatakan kaum Nabi Musa: “ Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala). Musa menjawab, “ Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). Itu adalah jalan kehidupan. Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.” Karena melihat banyaknya jumlah pasukan, sebagian dari kaum muslimin berkata, “ Kali ini kita tidak mungkin bisa dikalahkan.” Perkataan tersebut justru membebani Rosulullah. Pada petang harinya, datanglah salah seorang penunggang kuda memberi tahu Rosulullah bahwa Hawazin telah berangkat dengan membawa unta dan hewan ternak mereka. Beliau tersenyum dan berkata, “Itu adalah harta rampasan (ghanimah) milik kaum muslimin besok hari, Insya Allah..”
Pertempuran berkecamuk
images (2)
Setelah mengetahui keberangkatan Rosulullah, Malik segera menempatkan pasukannya di lembah Hunain dan meyebarkan mereka di lorong persembunyian lembah guna melancarkan serangan mendadak dan serempak. Semua ini atas petunjuk Duraid.
Ketika Rosululah sampai di Hunain, lalu menuruni lembah dan waktu itu masih gelap, kaum musyrikin mendadak melancarkan serangan dari berbagai lorong dan tempat persembunyian lembah sehingga kuda-kuda mereka berlarian dan orang-orang pun mundur tunggang langgang. Sehingga secara umum, pasukan kaum Muslimin menderita kekalahan,
Mengetahui hal itu, kaum musyrikin begitu bergembira. Abu Sufyan kemudian berkata,”Kekalahan mereka tidak akan sampai ke Laut (Laut Merah).
Sementara itu, Rosulullah minggir ke arah kanan kemudian memanggil dengan suara keras, “Kemarilah, wahai Hamba-Hamba Alloh!Sesungguhnya, aku seorang Nabi yang tidak berdusta. Aku adalah putra (cucu) Abdul Muthalib.”
Abu Sufyan Ibn Al-Harits segera memegangi tali kendali baghal Rosulullah dan Al Abbas memegangi pelananya berusaha menahannya agar tidak terburu-buru melesat ke arah musuh. Belaiu pun turun dari baghal itu, allu berdoa dan memohon portolongan Allah.
Rosulullah SAW kemudian memerintahkan Al-Abbasm orang yang suaranya paling keras untuk menyeru para sahabat. Al Abbas berteriak dengan suara kerasnya, “ Wahai Assh-habus Samroh! (para sahabat yang pernah melakukan Baiat Ridwan padda tahun Hudaibiyah”.
Abbas berkata, “Demi Alloh, begitu endengar teriakan itu, mereka segera kembali seperti sapi yang datang memenuhi panggilan anaknya, seraya berkata,”Kami sambut seruanmu, kami sambut seruanmu!” Hingga akhirnya terkumpul sekitar seratus orang yang siap menerjang musuh dan berperang mempertaruhkan nyawa.
Seruan seperti itu kemudian juga ditujukan kepada kalangan Anshar dan Bani Al-Harits ibn Al-Khazraj. Maka bergabunglah berbagai pasukan satu demi satu. Sehingga di sekeliling Rosulullah SAW terhimpun sekumpulan pasukan kaum muslimin dalam jumlah besar.
Allah menurunkan ketenangan kepada Rosulullah dan orang-orang beriman. Allah juga menurunkan bala tentara yang tidak terlihat secara kasat mata. Pasukan Muslimin pun kembali berlaga di medan perang dan peperangan pun berkobar kembali. Rosulullah berkata, “Authas telah berkecamuk”.
Beliau kemudian memungut segenggam pasir dan melemparkannya ke arah wajah pasukan musuh seraya berseru, “ Terhinalah wajah kalian”. Sementara dalam Kitab Sirah Nabawiyah Karangan Dr. Al-Buthy seruan Rosulullah berbunyi,”Musnahlah kalian demi Rabb Muhammad”.
Kemudian, kedua mata kaum musyrikin menjadi dipenuhi debu dan mereka pun mundur serta melarikan diri. Kaum muslimin lalu mengejar pasukan musuh dan membunuh serta menawan kaum musyrikin, termasuk wanita dan anak-anak mereka. Ada sebagian kaum muslimin yang membunuh anak-anak musuh, maka Rosulullah kemudian melarang membunuh anak-anak dan wanita.
Dalam perang ini, Duraid bin Ash-Shammah terbunuh sementara Khalid bin Al Walid menderita luka-luka yang cukup parah. Tatkala musuh mengalami kekalahan, beberapa orang kafir Makkah menyatakan diri masuk Islam.

Harta Rampasan Perang
Rosulullah memerintahkan untuk mengumpulkan harta rampasan perang dan tawanan dan dibawa ke Ju’ranah serta disimpan disana. Semuanya ada 6.000 orang tawanan, 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor kambing dan 4.000 untai emas. Bahkan ada yang mengatakan ini merupakan rampasan perang yang terbesar bagi kaum muslimin.
Sikap Kaum Anshar
Menanggapi kebijakan Rosulullah yang membagikan ghanimah kepada mu’allaf untuk mengikakan hati mereka pada Islam, membuat sebagian orang Anshar menggurutu. Setelah mendengar hal tersebut, Rosulullah lantas memerintahkan orang-orang Anshar untuk dikumpulkan di suatu tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Khususnya yang intinya adalah menegaskan dan mengingatkan bahwa Kaum Anshar harus bersyukur mendapatkan kemuliaan berupa Allah dan Rosulullah dibandingkan memperebutkan kambing dan unta. Ucapan Rosulullah tersebut membuat kaum Anshar menangis hingga jenggot mereka basah karena air mata. Subhanallah..
Ibroh
Peristiwa terjadinya perang Hunain ini memberikan pelajaran penting yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 25-27.
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan Demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Beberapa pelajaran penting dan ibroh yang dapat diambil dari Perang Hunain menurut Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy kurang lebih sebagai berikut:

  •       Menyusupkan mata-mata ke dalam Barisan Lawan merupakan strategi yang diperbolehkan
  •       Imam diperbolehkan meminjam senjata kaum Musyrikin untuk memerangi musuh kaum Muslimin
  •       Keberanian Rosulullah dalam peperangan
  •       Larangan membunuh wanita, anak-anak dan budak
  •       Jihad Tidak berarti iri hati kepada kaum kafir
  •       Kebijaksanaan Islam tentang orang-orang mu’allaf
  •       Keutamaan kaum Anshar dan kecintaan Nabi pada mereka. Hal ini tergambar dari keikhlasan dan kerelaan Kaum Anshar           dalam menanggapi kebijakan Rosulullah yang memberikan sebagian besar ghanimah kepada mu’allaf, walaupun sebagian         sempat menggerutu. Ustadz saya bernama Ibnu Kholdun menambahkan bahwa tiada kaum yang seikhlas dan serela                   Anshar dalam menyayangi saudaranya yang sering tergambar dari ketulusan mereka membantu Kaum Muhajirin.                       Subhanallah..
Referensi
Syaikh Mubarakfury. Siroh Nabawiyyah.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. Siroh an-Nabawiyyah
Prof. Muhammad Ridha. Siroh Nabawiyyah
Abul Hasan ‘Ali Al-Hasani an-Nadwi. Siroh Nabawiyyah

KISAH NABI ISA


Matahari tampak akan tenggelam, angin pun bertiup sepoi-sepoi di sekitar pepohonan. Harum semerbak mulai memenuhi mihrab Maryam. Bau itu menembus jendela mihrab dan mengepakkan sayapnya di sekeliling gadis perawan yang khusuk dalam salat tanpa seorang pun mendengar suaranya. Maryam merasa bahwa udara dipenuhi dengan bau harum yang mengagumkan. Ia kembali melakukan salatnya dengan khusuk dan mengungkapkan syukur kepadaAllahSWT.
Seekor burung hinggap di jendela mihrab. Ia mengangkat paruhnya ke atas dan mengarahkan ke matahari serta mengepakkan kedua sayapnya lalu ia terjun ke air dan mandi di dalamnya. Kemudian ia terbang ringan di sekitamya. Maryam ingat bahwa beliau lupa untuk menyirami pohon mawar yang tumbuh secara tiba-tiba di tengah dua batu yang tumbuh di luar mesjid. Maryam menyelesaikan salatnya lalu ia keluar dari mihrab dan menuju pohon. Belum selesai beliau siap-siap untuk keluar sehingga para malaikat memanggilnya:
"Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)." (QS. Ali 'Imran: 42)
Maryam berhenti dan tampak wajahnya yang pucat dan semakin bertambah. Mihrab itu dipenuhi dengan kalimat-kalimat para malaikat yang memancarkan cahaya. Maryam merasa bahwa pada hari-hari terakhir terdapat perubahan pada suasana ruhaninya dan fisiknya. Di tempat itu tidak terdapat cermin sehingga ia tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi ia merasa bahwa darah, kekuatan dan masa mudanya mulai meninggalkan tempatnya dan digantikan dengan kesucian dan kekuatan yang lebih banyak. Beliau menyadari bahwa ia sedang gugup. Beliau merasakan kelemahan manusiawi dan adanya kekuatan yang luar biasa. Setiap kali tubuhnya merasakan kelemahan, maka bertambahlah kekuatan dalam ruhnya. Perasaan yang demikian ini justru membangkitkan kerendahan hatinya. Maryam mengetahui bahwa ia akan memikul tanggung jawab besar.
"Dan (ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: 'Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yong semasa dengan kamu)." (QS. Ali 'Imran: 42)
Dengan kalimat-kalimat yang sederhana ini Maryam memahami bahwa Allah SWT telah memilihnya dan menyucikannya dan menjadikannya penghulu para wanita dunia. Beliau adalah wanita terbesar di dunia. Para malaikat kembali berkata kepada Maryam:
"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku." (QS. Ali 'Imran: 43)
Perintah tersebut ditetapkan setelah adanya berita gembira agar beliau meningkatkan kekhusukannya, sujudnya, dan rukuknya kepada Allah SWT. Maryam lupa terhadap pohon mawar dan beliau kembali salat. Maryam merasakan bahwa sesuatu yang besar akan akan terjadi padanya. Beliau merasakan hal itu sejak beberapa hari, tetapi perasaan itu semakin menguat saat ini.
Matahari meninggalkan tempat tidurnya sementara malam telah bangkit sedangkan bulan duduk di atas singgasananya di langit dan di sekelilingnya terdapat awan-awan yang indah dan putih. Kemudian datanglah pertengahan malam dan Maryam masih sibuk dalam salatnya. Beliau menyelesaikan salatnya dan teringat pohon mawar itu lalu beliau membawa air di suatu bejana dan pergi untuk menyiramnya.
Pohon mawar itu tumbuh di antara dua batu di tempat yang tidak jauh dari mesjid yang hanya ditempuh beberapa langkah darinya. Tempat itu jauh dari jangkauan manusia sehingga tak seorang pun mendekatinya. Tempat itu sudah dijadikan tempat yang khusus bagi Maryam untuk melakukan salat di dalamnya atau beribadah. Maryam mendekati pohon mawar itu dan menyiramnya. lalu beliau meletakkan bejana, kemudian ia memikirkan pohon mawar itu di mana tangkainya semakin panjang pada dua malam yang dilaluinya.
Tiba-tiba, Maryam mendengar suara derap kaki yang mengguncang bumi. Beliau tidak mendengar suara kaki yang berjalan, tetapi beliau mendengar suara kaki yang menetap di atas batu serta pasir. Maryam merasakan ketakutan. Ia merasakan bahwa ia tidak sendirian. Ia menoleh ke sebelahnya namun ia tidak mendapati sesuatu pun. Kemudian kedua matanya mulai berputar-putar dan memperhatikan suatu cahaya yang berdiri di sana. Maryam gemetar ketakutan dan menundukkan kepalanya. Maryam berkata dalam dirinya, siapa gerangan orang yang berdiri di sana. Maryam memandang kepada wajah orang asing itu, dan menyebabkan ia gelisah. Wajah orang itu sangat aneh, di mana dahinya bercahaya lebih daripada cahaya bulan. Meskipun kedua matanya memancarkan kemuliaan dan kebesaran tetapi wajah orang itu justru menggambarkan kerendahan hati yang mengagumkan.
Pandangan pertama yang dilihat oleh Maryam kepada orang itu mengisyaratkan, bahwa orang itu memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT selama julaan tahun. Maryam bertanya kepada dirinya, siapa gerangan orang ini? Kemudian seakan-akan orang asing itu membaca pikiran Maryam dan berkata: "Salam kepadamu wahai Maryam." Maryam dibuat terkejut mendengar adanya suara manusia di depannya. Maryam berkata sebelum menjawab salamnya:
"Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa." (QS. Maryam: 18)
Maryam berlindung di bawah lindungan Allah SWT dan ia bertanya kepadanya, "Apakah engkau manusia yang mengenal Allah SWT dan bertakwa kepadanya?" Kemudian orang itu tersenyum dan berkata:
"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci." (QS. Maryam: 19)
Orang asing itu belum selesai menyampaikan kalimatnya sehingga tempat itu dipenuhi cahaya yang menakjubkan yang tidak menyerupai cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya lampu, cahaya lilin bahkan cahaya api. Di sana terdapat cahaya yang sangat jernih. Kemudian terngianglah di kepala Maryam kalimat: "Aku adalah seorang utusan Tuhanmu." Kalau begitu, dia adalah penghulu para malaikat, Ruhul Amin (Jibril) yang telah berubah wujud menjadi manusia.
Maryam mengangkat kepalanya dengan gemetar menahan luapan cinta. Jibril berdiri di depannya dalam bentuk manusia. Maryam memperhatikan kejernihan dahinya dan kesucian wajahnya. Benar apa yang diduganya bahwa Jibril memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT selama jutaan tahun. Kemudian Maryam mengingat kembali kalimat-kalimat yang diucapkan Jibril. Malaikat itu telah mengatakan bahwa ia adalah utusan Tuhannya, dan ia telah datang untuk memberi Maryam seorang anak laki-laki yang suci. Maryam ingat bahwa dirinya adalah seorang perawan yang belum tersentuh oleh seorang pun. Ia belum menikah dan belum dilamar oleh seseorang pun, maka bagaimana ia melahirkan anak tanpa melalui pernikahan. Pikiran-pikiran ini berputar-berputar di kepala Maryam lalu ia berkata kepada Jibril:
"Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorangpezina!" (QS. Maryam: 20)
Jibril berkata:
"Demikianlah Tuhanmu berfirman: 'Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputushan."' (QS. Maryam: 21)
Maryam menerima kalimat-kalimat Jibril. Tidakkah Jibril berkata kepadanya bahwa ini adalah perintah Allah SWT dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti akan terlaksana. Kemudian, mengapa ia harus (ketika) melahirkan tanpa disentuh oleh seorang manusia pun. Bukankah Allah SWT mendptakan Nabi Adam tanpa seorang ayah dan seorang ibu? Sebelum diciptakannya Nabi Adam tidak ada pria dan wanita. Hawa diciptakan dari Nabi Adam dan ia pun diciptakan dari laki-laki, tanpa perempuan.
Biasanya manusia diciptakan melalui pasangan laki-laki dan perempuan; biasanya ia memiliki ayah dan ibu, tetapi mukjizat terjadi ketika Allah SWT menginginkannya untuk terjadi. Kemudian Jibril meneruskan pembicaraannya:
"Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran searangputra yang didptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh." (QS. Ali 'Imran: 45-46)
Keheranan Maryam semakian bertambah. Betapa tidak, sebelum mengandung anak itu di perutnya ia telahmengetahui namanya. Bahkan ia menhetahui bahwa anaknya itu akan berbicara dengan manusia saat ia masih kecil. Sebelum Maryam menggerakan lisannya untuk melontarkan pertanyaan lain, Jibril mengangkat tangannya dan mengerahkan udara ke arah Maryam. Kemudian datanglah hembusan udara yang bercahaya yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Maryam. Lalu cahaya tersebut ke jasad Maryam dan memenuhinya. Tak sempat Maryam melontarkan pertanyaan yang lain, Jibril yang suci telah pergi tanpa meninggalkan suara.
Udara yang dingin telah bergerak dan Maryam pun tampak menggigil. Maryam segera kembali ke mihrabnya. Ia menutup pintu mihrab dan ia tenggelam dalam salat yang khusuk dan ia pun menangis. Maryam merasakan kegembiraan, kebingungan dan kegoncangan serta kedamaian yang dalam. Kini, Maryam tidak lagi sendirian. Sejak Jibril meninggalkannya, ia merasakan bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia menggerakkan tangannya yang dipenuhi dengan cahaya, kemudian cahaya ini berubah di dalam perutnya menjadi anak, seorang anak yang akan menjadi kalimat Allah SWT dan ruh-Nya yang diletakkan pada Maryam. Ketika anak itu besar, ia akan menjadi seorang rasul dan nabi yang ajarannya dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.
Maryam di malam itu tidur dengan nyenyak dan ia bangun di waktu Subuh. Belum lama ia membuka kedua matanya sehingga ia dibuat terkejut ketika melihat mihrab dipenuhi dengan buah-buahan yang sebenarnya tidak lagi musim. Maryam heran melihat hal itu. Ia mulai mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin, yaitu bagaimana kejadian saat menyiram pohon mawar, bagaimana pertemuannya dengan malaikat Jibril, bagaimana Allah SWT meniupkan kalimat-Nya padanya, bagaimana ia kembali ke mihrab, dan bagaimana tidurnya yang nyenyak. Maryam berkata kepada dirinya sambil melihat buah-buahan yang banyak: Apakah aku akan memakan sendirian buah-buahan ini. Kemudian ada suara dalam dirinya yang berkata: "Engkau tidak lagi sendirian wahai Maryam. Kini, engkau bersama Isa. Engkau harus makan dengan baik. Dan Maryam mulai makan.
Lalu berlalulah hari demi hari. Kandungan Maryam berbeda dengan kandungan umumnya wanita. Ia tidak merasakan sakit dan tidak merasa berat; ia tidak merasakan sesuatu telah bertambah padanya dan perutnya tidak membuncit seperti umumnya wanita. Alhasil, kehamilan yang dialaminya dipenuhi dengan nikmat yang baik. Datanglah bulan yang kesembilan. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Maryam tidak mengandung Isa selama sembilan bulan, tetapi ia melahirkannya secara langsung sebagai mukjizat.
Pada suatu hari, Maryam keluar ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa bahwa sesuatu akan terjadi hari itu. Tetapi ia tidak mengetahui hakikat sesuatu itu. Kakinya membimbingnya untuk menuju tempat yang dipenuhi dengan pohon kurma. Tempat itu tidak biasa dikunjungi oleh seseorang pun karena saking jauhnya; tempat yang tidak diketahui oleh seseorang pun kecuali Maryam.
Tak seorang pun yang mengetahui Maryam bahwa sedang hamil dan ia akan melahirkan. Mihrab yang menjadi tempat ibadahnya selalu tertutup. Orang-orang mengetahui bahwa Maryam sedang sibuk beribadah dan tidak ada seorang pun yang mendekatinya. Maryam duduk beristirahat di bawah pohon kurma yang besar dan tinggi. Maryam mulai merasakan sakit pada dirinya, dan rasa sakit tersebut semakin terasa. Akhirnya, Maryam melahirkan:
"Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: 'Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan." (QS. Maryam: 23)
Rasa sakit saat melahirkan anak yang dialami wanita suci ini menimbulkan penderitaan-penderitaan lain yang segera menantinya. Bagaimana manusia akan menyambut anaknya ini? Apa yang mereka katakan tentangnya? Bukankah mereka mengetahui bahwa ia adalah wanita yang masih perawan? Bagaimana seorang gadis perawan bisa melahirkan? Apakah manusia akan membenarkan Maryam yang melahirkan anak itu tanpa ada seseorang pun yang menyentuhnya? Kemudian pandangan-pandangan keraguan mulai menyelimutinya. Maryam berpikir bagaimana reaksi manusia kepadanya dan bagaimana perkataan mereka terhadapnya sehingga hatinya dipenuhi dengan kesedihan. Belum lama Maryam membayangkan dan meminta agar ia dimatikan dan dilupakan, tiba-tiba anak yang baru lahir itu memanggilnya:
"Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu ahan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu rnelihat seorang manusia, maka katakantah: 'Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.'" (QS. Maryam: 24-26)
Maryam melihat al-Masih yang tampan wajahnya. Wajahnya tidak kemerah-merahan dan rambutnya tidak keriting seperti anak-anak yang lahir di saat itu, tetapi ia berkulit lembut dan putih. Anak itu diselimuti dengan kesucian dan kasih sayang; anak itu berbicara kepada Maryam agar ia menghilangkan kesedihannya dan meminta padanya agar menggoyangkan batang-batang pohon kurma supaya jatuh darinya sebagian buahnya yang lezat dan Maryam dapat memakan dan meminum darinya sehingga hatinya pun penuh dengan kedamaian serta kegembiraan dan tidak berpikir tentang sesuatu pun. Jika Maryam melihat atau menemui manusia, maka hendaklah ia berkata kepada mereka bahwa ia bernazar kepada Allah SWT untuk berpuasa dan tidak berbicara kepada seseorang pun.
Maryam melihat al-Masih dengan penuh kecintaan. Anak itu baru dilahirkan beberapa saat tetapi ia langsung memikul tanggung jawab ibunya di atas pundaknya. Selanjutnya, ia akan memikul penderitaan orang-orang fakir. Maryam melihat bahwa wajah anak itu menyiratkan tanda yang sangat aneh. Yaitu tanda yang mengisyaratkan bahwa ia datang ke dunia bukan untuk mengambil darinya sesuatu, tetapi untuk memberinya segala sesuatu. Maryam mengulurkan tangannya ke pohon kurma yang besar. Belum lama ia menyentuh batangnya hingga jatuhlah darinya buah kurma yang masih muda dan lezat. Maryam makan dan minum dan kemudian ia memangku anaknya dengan penuh kasih sayang.
Saat itu, Maryam merasakan kegoncangan yang hebat. Silih-berganti ketenangan dan kegelisahan menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu hal, yaitu Isa. Ia bertanya-tanya dalam dirinya: Bagaimana orang-orang Yahudi akan menyambutnya, apa yang akan mereka katakan tentangnya, apa yang akan mereka katakan terhadap Maryam, apakah para pendeta dan para pembesar Yahudi percaya bahwa Maryam melahirkan seorang anak tanpa disentuh oleh seseorang pun? Bukankah mereka terbiasa hidup dengan suasana pencurian dan penipuan? Apakah seseorang di antara mereka akan percaya—padahal ia jauh dari langit—bahwa langit telah memberinya seseorang anak.
Akhirnya, masa pengasingan Maryam telah berakhir dan Maryam harus kembali ke kaumnya. Maryam kembali dan waktu menunjukkan Ashar. Pasar besar yang terletak di jalan yang dilalui Maryam menuju mesjid dipenuhi dengan manusia. Mereka sibuk dengan jual-beli. Mereka duduk berbincang-bincang sambil minum anggur. Belum lama Maryam melewati pasar itu sehingga manusia melihatnya membawa seorang anak kecil yang didekapnya. Salah seorang bertanya: "Bukankah ini Maryam yang masih perawan? Lalu, anak siapa yang dibawanya itu?" Seorang yang mabuk berkata: "Itu adalah anaknya." Mari kita dengar cerita apa yang akan disampaikannya. Akhirnya, orang-orang Yahudi mulai "mengepung" dengan berbagai macam pertanyaan: "Anak siapa ini wahai Maryam, mengapa engkau tidak mengembalikannya, apakah itu memang anakmu, bagaimana engkau datang dengan membawa seorang anak sedangkan engkau adalah gadis yang masih perawan?"
"Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina." (QS. Maryam: 28)
Maryam dituduh melakukan pelacuran. Mereka menyerang Maryam tanpa terlebih dahulu mendengarkan sanggahannya atau mengadakan penelitian atau membuktikan bahwa perkataan mereka memang benar. Maryam dicerca sana-sini dan ia diingatkan, bahwa bukankah ia seseorang yang tumbuh dari rumah yang baik dan bukanlah ibunya seorang pelacur? Lalu mengapa semua ini terjadi padanya? Menghadapi semua tuduhan itu, Maryam tampak tenang dan tetap menunjukkan kebaikannya. Wajahnya dipenuhi dengan cahaya keyakinan. Ketika pertanyaan semakin menjadi-jadi dan keadaan semakin sulit, maka Maryam menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Ia menunjuk ke arah anaknya dengan tangannya. Maryam menunjuk Isa.
Orang-orang yang ada di situ tampak kebingungan. Mereka memahami bahwa Maryam berpuasa dari berbicara dan meminta kepada mereka agar bertanya kepada anak itu. Para pembesar Yahudi bertanya: "Bagaimana mereka akan melontarkan pertanyaan kepada seorang anak kecil yang baru lahir beberapa hari? Apakah anak itu akan berbicara di buaiannya" Mereka berkata kepada Maryam:
"Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?" (QS. Maryam: 29)
Berkata Isa:
"Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadahu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. " (QS. Maryam: 30-33)
Belum sampai Isa menuntaskan pembicaraannya sehingga wajah-wajah para pendeta dari kalangan Yahudi dan para uskup tampak pucat. Mereka menyaksikan mukjizat terjadi di depan mereka secara langsung. Anak kecil itu berbicara di buaiannya; anak kecil yang datang tanpa seorang ayah; anak kecil yang mengatakan bahwa Allah SWT telah memberinya al-Kitab dan menjadikannya seorang Nabi. Ini berarti bahwa kekuasaan mereka sebentar lagi akan hancur. Setiap orang dari mereka akan menjadi tidak berarti ketika anak kecil itu dewasa. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat "menjual pengampunan" kepada manusia atau menghakimi mereka melalui pemyataan bahwa ia adalah wakil dari langit yang turun di bumi. Atau pernyataan, bahwa hanya dia yang mengetahui syariat.
Para pendeta Yahudi merasa akan terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan datang kepada mereka dengan kelahiran anak kecil ini. Kedatangan al-Masih berarti mengembalikan manusia kepada penyembahan semata-mata kepada Allah SWT. Ini berarti menghapus agama Yahudi yang sekarang mereka yakini. Perbedaan antara ajaran-ajaran Musa dan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi menyerupai perbedaan antara bintang-bintang di langit dan lumpur-lumpur di jalan. Para pendeta Yahudi menyembunyikan kisah kelahiran Isa dan bagaimana ia berbicara di masa buaian. Mereka justru menuduh Maryam yang masih perawan dengan kebohongan yang besar. Mereka menuduh Maryam melakukan pelacuran, padahal mereka menyaksikan sendiri mukjizat pembicaraan anaknya di masa buaian.
Mula-mula cerita tentang itu mereka sembunyikan untuk beberapa saat. Meskipun demikian, berita tentang kelahiran Isa sampai ke Hakim Romawi, yaitu Heradus. Ia memimpin orang-orang Palestina dan orang-orang Yahudi dengan kekuatan pedang. Ia menakut-nakuti mereka dengan menumpahkan darah serta banyaknya mata-mata yang dimilikinya. Pada suatu hari, ia duduk di istananya dan meminum anggur. Lalu ia mendengar berita yang samar tentang kelahiran seseorang anak tanpa ayah; seorang anak yang dikatakan ia mampu berbicara saat masih di buaian, lalu ia menyampaikan pembicaraan yang menjurus pada ancaman terhadap kekuasaan Romawi. Kemudian bergetarlah kursi yang ada di bawah tubuh Heradus. Ia memerintahkan untuk diadakan suatu pertemuan mendadak yang dihadiri oleh para pengawalnya dan para mata-matanya. Pertemuan itu pun terlaksana. Heradus duduk dengan wajahnya yang hitam mengkilat, lalu ia memutarkan pandangannya ke arah mata-matanya dan bertanya: "Bagaimana berita anak kecil yang berbicara di buaiannya?"
Salah seorang kepala mata-mata berkata: "Tampak bahwa masalahnya tidak benar. Kami telah mendengar isu-isu sekitar anak kecil yang mereka katakan bahwa ia membuat mukjizat dengan berbicara saat ia masih belia. Lalu saya mengutus anak buahku untuk mencari kebenaran berita itu, tetapi mereka tidak menemukannya. Jelas bagi kami, bahwa berita itu dilebih-lebihkan." Kemudian salah satu anggota mata-mata raja berkata: "Aku telah mendapatkan bukti yang terpercaya bahwa tiga orang dari orang-orang Majusi datang di balik suatu bintang yang mereka lihat menyala di suatu langit dan bintang tersebut mengisyaratkan kelahiran anak kecil yang membawa mukjizat, yaitu anak kecil yang akan menyelamatkan kaumnya." Hakim berkata: "Bagaimana ia dapat menyelamatkan kaumnya dan kaum siapa yang diselamatkannya?" Salah seorang mata-mata berkata: "Anak buahku tidak mengetahuinya karena orang-orang pandai dari Majusi itu pergi dan tak seorang pun menemukan mereka."
Hakim berkata: "Bagaimana mereka dapat pergi dan bersembunyi lalu bagaimana cerita anak kecil ini? Apakah di sana ada persekongkolan untuk menentang Romawi?" Hakim melompat dari tempat duduknya ketika ia menyebut Romawi, dan ia mulai berbicara dengan keadaan emosi: "Aku menginginkan kepala tiga orang yang cerdik itu dan aku juga menginginkan kepala anak kecil itu. Dan aku menginginkan informasi yang lengkap. Sungguh masalah ini semakin samar hai orang-orang yang bodoh." Lalu kepala mata-mata berkata: "Barangkali ini hanya mimpi yang dibayangkan orang-orang Yahudi bahwa mereka melihatnya." Hakim berkata: "Sungguh kepala-kepala kalian semua akan terbang lebih cepat dari merpati jika kalian tidak mendatangkan cerita secara lengkap tentang anak ini. Kebingungan dan kekacauan apa yang aku rasakan! Pergilah kalian dari sini."
Anak buah Heradus dan para mata-mata pergi, sedangkan ia masih duduk memikirkan masalah tersebut. Tampaknya masalah itu sangat menggelisahkannya. Ia tidak peduli dengan kedatangan agama baru kepada manusia tetapi yang dipikirkannya adalah kekuasaan Romawi yang ia menjadi simbolnya. Kemudian Heradus menetapkan untuk memanggil pemuka orang Yahudi dan bertanya kepadanya tentang masalah ini. Para pengawalnya yang khusus memanggil orang Yahudi itu. Tidak beberapa lama orang Yahudi itu ada di depan hakim. Heradus berkata: "Aku ingin berbicara kepadamu tentang suatu masalah yang sangat menggelisahkanku." Pendeta Yahudi itu berkata: "Aku ingin mengabdi kepadamu."
Heradus berkata: "Aku mendengar berita-berita yang saling berlawanan tentang anak kecil yang bisa berbicara di masa buaiannya dan ia mengatakan bahwa ia akan menyelamatkan kaumnya. Maka bagaimana berita yang sebenarnya tentang itu?" Pendeta itu berkata—dan ia merasa bahwa pertanyaan itu sepertinya berupa jebakan yang tidak diketahuinya secara pasti: "Apakah tuan yang mulia peduli dengan agama Yahudi?" Heradus berkata dalam keadaan emosi: "Aku tidak peduli sedikit pun selain kekuasaan Romawi. Jawablah pertanyaanku wahai pendeta." Pendeta Yahudi itu telah melihat Isa berbicara di buaiannya. Ia memahami bahwa seandainya ia mengatakan itu, maka ia akan mendapatkan penderitaan pada dirinya, maka ia lebih memilih sedikit berbohong. Ia berkata kepada Heradus bahwa ia mendengar cerita itu tetapi ia meragukannya.
Heradus berkata: "Apakah benar agama kalian berbicara tentang kedatangan seorang penyelamat bagi rakyat kalian?" Pendeta berkata: "Ini benar wahai tuan yang mulai." Heradus berkata: "Apakah kalian mengetahui ini adalah persekongkolan menentang keamanan kerajaan Romawi? Apakah kalian menyadari ini adalah bentuk pengkhianatan?" Pendeta berkata: "Aku harap tuan membiarkan aku meluruskan suatu pemikiran yang sederhana. Berita tentang hal itu adalah berita yang kuno. Berita ini diyakini ketika rakyat menjadi tawanan di Bebel sejak ratusan tahun."
Heradus berkata: "Apakah memang di sana ada yang membenarkan berita ini? Sekarang, apakah kamu secara pribadi membenarkannya? Apakah engkau melihat anak kecil itu yang mereka katakan bahwa ia dilahirkan tanpa seorang ayah?" Pendeta itu berkata: "Apakah ada seorang yang percaya wahai tuan yang mulia jika dikatakan ada seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah. Ini adalah mimpi rakyat biasa."
Heradus berkata: "Tidak ada sesuatu yang mengusir tidur dari mata seorang penguasa selain mimpi-mimpi rakyat. Pergilah wahai pendeta dan jika engkau mendengar berita-berita, maka sampaikanlah kepadaku sebelum engkau sampaikan kepada istrimu." Belum lama pendeta itu pergi sehingga Heradus berpikir, bagaimana seandainya pendeta itu berbohong. Ia menangkap benang kebohongan pada kedua matanya. Ia mengetahui kebohongan ini karena ia sendiri sangat pandai berbohong. Kemudian bagaimana cerita tiga orang cerdik yang mereka mengikuti bintang? Apakah di sana terdapat persekongkolan menentang Romawi yang tidak diketahuinya?
Heradus berteriak di tengah-tengah pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk menangkap semua orang yang mendengar cerita ini atau ia akan melihat akibatnya. Mula-mula dia memerintahkan untuk mencari gadis perawan yang melahirkan anak itu dan membunuh setiap anak yang lahir di saat itu. Sementara itu, Maryam keluar dari Palestina menuju ke Mesir. Sebelumnya, pada suatu malam, datanglah kepadanya seseorang yang belum pernah dilihatnya dan orang itu menyampaikan salam kepadanya serta menyerukannya dan sambil berkata: "Bawalah anakmu wahai Maryam dan keluarlah menuju Mesir." Dengan nada ketakutan Maryam bertanya, "Mengapa? Bagaimana aku keluar menuju ke Mesir; dan bagaimana aku bisa mengenali jalan?" Orang asing itu menjawab, "Keluarlah engkau niscaya Allah SWT akan melindungimu. Sesungguhnya Hakim Romawi mencari anakmu dan ingin membunuhmu."
Maryam bertanya: "Kapan aku keluar?" Orang asing itu menjawab: "Sekarang juga. Janganlah engkau khawatir sedikit pun karena engkau keluar bersama seorang Nabi yang mulia. Semua nabi diusir oleh kaumnya dari negeri mereka dan rumah mereka. Demikianlah hukum kehidupan. Kejahatan selalu berusaha untuk menyingkirkan kebaikan tetapi pada akhirnya, kebaikan akan kembali menduduki singgasananya. Keluarlah wahai Maryam." Akhirnya, Maryam pun pergi menuju ke Mesir. Maryam melalui gurun Saina' bersama suatu kafilah yang menuju Mesir. Maryam berjalan membawa Isa di jalan yang sama yang pernah dilalui Nabi Musa di mana ditampakkan kepada Nabi Musa api yang suci dan beliau dipanggil dari sisi thur al-Aiman. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Maryam sampai di Mesir. Mesir yang dipenuhi dengan kebaikan, kemuliaan, kebudavaan klasik serta cuacanya yang stabil mempakan tempat yang terbaik untuk pertumbuhan Isa as.
Al-Masih tumbuh dan berkembang serta menjalani masa kecilnya di Mesir. Kemudian datanglah kepada Maryam orang asing yang telah memerintahkannya untuk meninggalkan Palestina. Kali ini, ia memerintahkannya untuk kembali ke Palestina. Orang asing itu berkata kepadanya: "Raja yang lalim telah mati, maka kembalilah bersama anakmu wahai Maryam. Telah datang kesempatan emas bagi Isa untuk menduduki singgasananya. Isa akan menjadi penyayang orang-orang fakir dan orang-orang yang benar. Kembalilah wahai Maryam." Maryam pun kembali. Dalam perjalanan Maryam melalui banyak mata air di sungai Jordania.
Isa pun tumbuh menjadi dewasa dan mencapai masa mudanya. Isa keluar dari rumahnya dan menuju tempat penyembahan kaum Yahudi. Saat itu bertepatan dengan hari Sabtu. Di sana tidak ada satu rumah pun dari rumah kaum Yahudi yang dapat menyalakan api atau memadamkannya pada hari Sabtu, atau mengambil buah di hari itu. Dilarang bagi seorang wanita untuk membikin adonan roti atau seseorang anak kecil mencuci anjingnya. Nabi Musa telah memerintahkan untuk menghormati hari Sabtu dan hanya mengkhususkanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Terdapat hikmah di balik penghormatan hari Sabtu sehingga hari Sabtu menjadi hari yang sangat disucikan di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka melaksanakannya dengan berbagai macam tradisi dan mereka mencurahkan segala konsentrasi mereka untuk menjaga hari Sabtu dan tidak meremehkannya. Sebab, mereka meyakini bahwa hari Sabtu adalah hari yang dijaga dari langit sebelum Allah menciptakan manusia sebagaimana mereka percaya bahwa Bani Israil telah diberikan pilihan kepada satu jalur saja, yaitu menjaga hari Sabtu. Mereka bangga karena mereka dapat menjaganya meskipun hal itu menyebabkan mereka kalah di kancah peperangan atau mereka tertawan di tangan musuh. Bahkan saking ketatnya mereka mempertahankan kehormatan hari Sabtu sampai-sampai mereka menambah-nambahi berbagai macam larangan di hari Sabtu. Majelis kaum Yahudi menetapkan ratusan larangan yang tidak boleh dilakukan di hari Sabtu, seseorang dilarang untuk memakai gigi palsu di hari Sabtu. Seorang yang sakit dilarang untuk memakai perban atau memakai minyak di tempat yang sakit pada hari Sabtu atau memanggil dokter. Dilarang pula di hari Sabtu untuk menulis dua huruf abjad; dilarang juga untuk mempertahankan diri pada hari Sabtu; dilarang untuk panen dan belajar di hari Sabtu. Kemudian, bepergian di hari Sabtu diharuskan untuk tidak lebih dari dua ribu yard. Dilarang juga dihari Sabtu untuk membawa sesuatu ke luar rumah.
Jadi, banyaknya syariat, hukum serta larangan-larangan biasanya diikuti dengan banyaknya keburukan atau paling tidak membantu terciptanya keburukan. Setiap timbul suatu larangan, maka timbul bersamanya cara untuk menghindar darinya. Demikianlah, kehidupan kaum Yahudi dipenuhi dengan kemunafikan yang luar biasa di mana secara lahiriah mereka menampakkan penghormatan terhadap hari Sabtu, tetapi secara batiniah mereka berusaha menodai kehormatan dengan berbagai macam cara.
Meskipun kelompok Farisiun bertanggung jawab terhadap tugas pelaksanaan syariat dan mengawasinya dengan banyak mendapatkan jarninan-jaminan, maka kita akan melihat bahwa mereka siap untuk menciptakan berbagai rekayasa dan tipu daya yang memungkinkan mereka untuk menghindar dari hukum-hukum syariat di saat yang tepat. Saat yang tepat adalah saat di mana syariat-syariat tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka atau dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan mata pencaharian yang haram yang sudah siap masuk pada kantong mereka. Misalnya, terdapat kaidah syariat yang menetapkan perjalanan pada hari Sabtu tidak boleh melebihi dua ribu yard. Namun orang-orang Farisiun mengadakan walimah di mana mereka mengundang orang-orang untuk menghadiri acara tersebut pada hari Sabtu, padahal tempat diadakannya acara itu berjarak lebih dari dua ribu yard dari rumah mereka. Lalu, bagaimana mereka dapat melaksanakan hal tersebut? Sangat mudah sekali. Mereka meletakkan pada sore hari Sabtu sebagian makanan yang berjarak dua ribu yard dari rumah mereka lalu setelah itu mereka mendirikan suatu tempat tinggal di mana mereka dapat berjalan setelahnya dan menempuh dua ribu yard yang lain. Dari sini mereka dapat menambah jarak yang mereka inginkan. Begitu juga agar mereka menghindar dari larangan membawa sesuatu ke luar rumah pada hari Sabtu, maka mereka membuat tipu daya yang lain. Yaitu mereka mendirikan gerbang-gerbang pintu dan jendela di berbagai jalan sehingga seluruh kota seperti rumah besar yang dimungkinkan bagi mereka untuk membawa segala sesuatu dan bergerak di dalamnya.
Contoh lain yang menunjukan bagaimana orang-orang Yahudi mempermainkan syariat sedangkan mereka mengklaim menjaganya adalah, bahwa syariat Musa menetapkan agar seorang anak menginfaki kedua orang tuanya saat mereka menginjak usia tua dan membutuhkannya. Tetapi kaum Farisiun memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk lari dan menghindar dari tanggung jawab ini dengan suatu tipu daya yang sederhana. Ketika seorang anak dituntut oleh kedua orang tuanya untuk memberi nafkah, maka ia pergi ke para pendeta dan bersepakat kepada mereka untuk mewakafkan semua hartanya dan kekayaannya kepada haikal, yaitu tempat sembahan kaum Yahudi. Saat itu kedua orang tuanya tidak mampu mengambil sesuatu pun darinya. Ketika mereka berdua telah putus asa dan tidak lagi menuntut padanya untuk memberi nafkah, maka semua harta kekayaannya akan dikembalikan kepadanya oleh para pendeta, dengan catatan hendaklah ia memberikan bagian tertentu dari hartanya kepada para pendeta itu. Demikianlah yang terdapat dalam Injil Mata.
Di tengah-tengah suasana kebodohan pemikiran yang luar biasa ini, juga terdapat sikap keras kepala dan kejumudan berpikir yang mengelilingi kaum Yahudi. Terdapat tujuh tingkat kesucian dan dua puluh enam salat yang harus mereka lakukan saat mereka membasuh tangan sebelum memakan makanan, namun mereka menganggap bahwa meniadakan pembacaan salat-salat sebagai bentuk pembunuhan terhadap jiwa dengan cara bunuh diri dan tercegah dari kehidupan abadi. Demikianlah kekerasan sikap masyarakat Yahudi yang menunjukkan bahwa moral mereka telah rusak dan dipenuhi dengan kemunafikan yang tiada taranya.
Sementara itu, Isa berjalan menuju tempat beribadah. Orang-orang berjalan di sekelilingnya. Mereka tampak membanggakan pakaian-pakaian yang berwarna dan berharga sedangkan Isa berjalan dengan memakai baju putih dan menampakkan kezuhudannya. Rambut Isa tampak lembut yang mencapai kedua bahunya dan tampak ia basah terkena air awan yang menurunkan gerimis. Kemudian kedua kakinya berjalan di atas tanah sehingga tanah itu dipenuhi dengan bau harum yang tidak diketahui sumbernya. Baju yang dipakai oleh Isa terbuat dari bulu domba yang sangat sederhana dan kasar. Meskipun hari itu hari Sabtu, Isa memetik buah di suatu kebun dan mengambil dua buah yang beliau berikan kepada anak kecil yang fakir dan lapar. Tindakan semacam ini menurut kepercayaan Yahudi dianggap sebagai tindakan yang menentang agama Yahudi.
Isa mengetahui bahwa menjalankan agama yang hakiki bukan terletak pada ketaatan eksternal sementara hati jauh dari sikap rendah diri. Oleh karena itu, Isa mencabut buah dan memberikan makan kepada manusia pada hari Sabtu. Beliau menyalakan api untuk wanita-wanita tua sehingga mereka tidak mati kedinginan.
Isa sering mengunjungi tempat sesembahan orang Yahudi. Isa berdiri di dalamnya dan mengamati para pendeta dan manusia yang hilir mudik di sekitarnya. Sesampainya Isa di tempat sembahan, ia berdiri di dalamnya. Isa mengamat-amati apa yang ada di dalamnya. Dinding-dinding tempat beribadah itu terbuat dari kayu gahru yang memiliki bau yang harum. Di samping itu, terdapat kelambu-kelambu yang terbuat dari kain-kain yang mengagumkan yang dicampur dengan emas. Juga terdapat lampu-lampu yang terulur dari atap dan juga ada lilin-lilin yang memenuhi ruangan dengan cahaya. Meskipun demikian, kegelapan menyelimuti hati orang-orang yang ada di situ.
Nabi Isa berdiri cukup lama di tempat penyembahan itu. Setiap kali ia memutarkan wajahnya, ia mendapati para pendeta di sana. Terdapat dua puluh ribu pendeta. Nama-nama mereka tercatat dalam haikal. Mereka adalah kaum Waliyun yang memakai saku-saku yang besar yang di dalamnya ada kitab-kitab syariat. Sedangkan kaum Farisiun, mereka memakai pakaian yang lebar yang sisi-sisinya tertenun dengan emas. Mereka adalah pembantu haikal yang resmi dengan memakai baju-baju mereka yang putih. Adapun kaum Shaduqiyun adalah kelompok para pendeta aristokrat yang bersekutu dengan penguasa di mana mereka memperoleh kekayaan melalui persekutuan ini. Nabi Isa memperhatikan bahwa jumlah pengunjung haikalita lebih sedikit daripada jumlah para pendeta dan para tokoh agama. Tempat penyembahan itu dipenuhi dengan kambing dan merpati yang dibeli oleh para pengunjung tempat penyembahan itu. Mereka menyerahkannya sebagai kurban kepada Allah. Yaitu kurban yang disembelih di dalam tempat persembahan di atas tempat penyembelihan. Alhasil setiap langkah yang diayunkan oleh para pejalan di tempat penyembahan itu akan menghasilkan uang.
Di tempat penyembahan Yahudi itulah tersingkap hakikat kehidupan kaum Yahudi. Nilai satu-satunya yang disembah oleh manusia di zaman itu adalah uang. Jadi, kemewahan materi atau kekayaan adalah nilai satu-satunya yang karenanya manusia akan bergulat satu sama lain. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara tokoh-tokoh pembawa ajaran syariat dengan manusia-manusia biasa. Kaum Shaduqiyun dan kaum Farisiun bekerja sama di antara mereka di dalam haikal itu seakan-akan mereka di dalam suatu pasar di mana mereka memanfaatkannya untuk diri mereka dengan terus mencari kurban-kurban di dalamnya. Seringkali kaum Shaduqiyun dan Farisiun berseteru dalam persoalan syariat dan hukum. Demikian juga, mereka berseteru dalam menentukan kurban yang harus mereka raih di haikal itu. Kaum Farisiun berpendapat bahwa hewan-hewan kurban itu harus dibeli dari harta haikal sedangkan kaum Shaduqiyun menganggap bahwa harta dari haikal adalah hak mereka. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa hewan kurban itu harus dibeli dengan jumlah tersendiri. Begitu juga kaum Farisiun mewajibkan untuk membakar hewan yang disembelih di atas tempat penyembahan, sedangkan kaum Shaduqiyun mereka mengambil hewan sembelihan ini untuk diri mereka sendiri.
Di dalam Talmud disebutkan bahwa kaum Shaduqiyun menjual merpati di toko-toko mereka yang mereka miliki. Mereka sengaja memperbanyak kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya untuk mengorbankan burung-burung merpati sehingga harga seekor burung merpati saja mencapai beberapa Dinar. Melihat hal itu, salah satu tokoh Farisiun yaitu Sam'an bin Amlail mengeluarkan fatwa yang intinya mengurangi kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya seseorang menyerahkan merpati sebagai kurban. Setelah itu, harga burung cuma mencapai seperempat Dinar. Pergulatan antara kedua kelompok itu mendatangkan pukulan berat bagi pemilik toko yang menyimpan burung merpati terutama anak-anak dari kepala pendeta.
Nabi Isa memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya; Nabi Isa melihat kaum fakir yang tidak mampu membeli hewan kurban sehingga mereka tidak mampu berkurban; Nabi Isa melihatbagaimana para pendeta memperlakukan mereka dan memangsa mereka seperti serigala yang buas. Nabi Isa berpikir di dalam dirinya, mengapa binatang-binatang itu mereka bakar lalu dagingnya menjadi asap di udara, padahal di sana terdapat ribuan kaum fakir yang mati kelaparan? Mengapa mereka mengira bahwa Allah SWT ridha ketika tempat penyembelihan dilumuri dengan darah, lalu hewan kurban itu dibawa ke rumah-rumah para pendeta dan toko-toko mereka untuk dijual? Mengapa orang-orang fakir banyak berhutang dan mengeluarkan banyak uang untuk membeli binatang-binatang kurban? Mengapa binatang-binatang kurban itu harus dimiliki dan hanya dirawat oleh para pendeta lalu apa yang mereka lakukan dengan uang-uang ini? Lalu, di manakah tempat orang-orang fakir di haikal itu? Bukankah hal yang aneh ketika seseorang memasuki rumah dengan keharusan membawa uang?
Nabi Isa pergi dari tempat penyembahan itu dan ia meninggalkan kota menuju gunung. Dada Nabi Isa dipenuhi dengan kecemburuan yang suci terhadap yang Maha Benar. Wajahnya tampak semakin pucat ketika melihat berbagai macam kejahatan memenuhi dunia. Nabi Isa berdiri di atas sebuah bukit dan beliau mulai melakukan salat. Tetesan-tetesan air mata mulai berlinang dari pipinya dan jatuh ke bumi. Nabi Isa mulai merenung dan menangis. Di sana terdapat bunga yang nyaris mati karena kehausan lalu ketika ia mendapatkan tetesan air mata al-Masih, maka bunga itu mekar kembali dan mendapatkan kehidupan. Tetesan air mata al-Masih menyelamatkannya, sebagaimana beliau akan menyelamatkan manusia dengan dakwahnya. Di malam yang penuh berkah ini pula, dua orang Nabi yang mulia meninggalkan bumi, yaitu Nabi Yahya dan Nabi Zakaria. Kedua Nabi itu dibunuh oleh penguasa. Sejak kepergian mereka berdua, bumi kehilangan banyak dari kebaikan. Pada malam itu juga, turunlah wahyu kepada Isa bin Maryam. Allah SWT memutuskan perintah-Nya agar ia memulai dakwahnya.
Nabi Isa menutup lembaran halus dari kehidupannya yaitu lembaran yang penuh dengan tafakur dan ibadah. Beliau memulai perjalanannya yang berat dan penuh tantangan serta penderitaan: beliau mulai berdakwah di jalan Allah SWT; beliau mulai membangun kerajaan yang tegak berdasarkan kerendahan hati dan cinta. Kerajaan yang penguasanya bertujuan untuk membebaskan dan menyucikan ruh. Kerajaan yang memancarkan sikap rendah diri dan cinta. Nabi Isa ingin menyelamatkan ruhani. Ajaran Nabi Isa berdasarkan keimanan terhadap hari kiamat dan kebangkitan. Nilai-nilai dan pemikiran tersebut tidak ditemukan dalam kehi-dupan orang-orang Yahudi.
Syariat Musa menetapkan pemberlakuan hukum qisas: barangsiapa yang memukulmu di pipi sebelah kananmu, maka pukullah pipi sebelah kanannya. Lalu bagaimanakah orang-orang Yahudi menerapkan hukum qisas tersebut? Jika yang dipukul mampu untuk menghancurkan rumah orang yang memukul, maka ia tidak perlu merasa puas hanya sekadar memukul pipi sebelah kanannya, namum jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia memukul pipi sebelah kanannya. Namun boleh jadi hatinya dipenuhi dengan dendam karena ia tidak dapat menghancurkan rumahnya.
Jadi, kebencian adalah pelabuhan tempat bersinggahnya syariat Musa. Meskipun beliau adalah seorang Nabi yang merupakan cermin cinta Ilahi yang besar namun syariatnya kini berada di bawah kekuasaan hati-hati yang mati, yaitu hati-hati yang penuh dengan dendam dan kebencian. Lalu, apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap semua ini? Allah SWT telah mengutusnya dan memperkuat Taurat yang dibawa oleh Musa sebagaimana Allah SWT menurunkannya kepada Musa. Jadi, seorang nabi tidak menghancurkan tugas nabi sebelumnya. Para nabi bagaikan satu mata rantai yang tujuannya adalah satu, yaitu menciptakan kesucian dan mempertahankan kebenaran serta mengesakan Allah SWT.
Kemudian apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap syariat qisas cersebut? Yang jelas, tindakan yang dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang didapatnya dari Allah SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan asli dari syariat. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat yang asli. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak mengatakan sesuatu pun kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya. Nabi Isa tidak berusaha untuk memukul pipi sebelah kanannya. Al-Masih justru akan membalikkan pipi sebelah kirinya. Inilah syariat Nabi Isa yang tidak berbeda sedikit pun dengan syariat Nabi Musa. Ia merupakan kedalaman yang mengagumkan dari kedalaman syariat Nabi Musa. Nabi Isa ingin menetapkan kepada kaum di sekelilinginya tentang sesuatu yang penting. Nabi Isa ingin memberitahu mereka bahwa syariat bukan mengajari kalian untuk meletakkan dendam pada diri kalian lalu kalian memukul lawan kalian. Syariat yang hakiki adalah, hendaklah kalian menebar kasih sayang, pemaaf, dan cinta.
Terdapat banyak binatang-binatang buas di hutan. Binatang-binatang itu mencintai diri mereka sendiri. Mereka bermusuhan dan saling membunuh demi makanan dan minuman. Mereka memberikan makan kepada anak-anaknya. Perbedaan antara manu-sia dan binatang adalah perbedaan pada tingkat cinta. Hewan tidak akan mampu melampui derajat cintanya kepada makhluk yang lain. Atau dengan kata lain, hewan tidak dapat membagi cintanya kepada jenis yang lain. Sedangkan manusia mampu melakukan hal itu. Di situlah manusia mampu dapat mencapai kemuliaannya dan kemanusiaannya. Al-Masih memberitahu kaumnya bahwa manusia tidak akan menjadi manusia sempurna kecuali setelah ia mencintai orang lain sebagaimana ia mendntai dirinya sendiri.
"Aku mendengar bahwa dikatakan, hendaklah engkau mencintai orang yang dekat denganmu dan membenci musuhmu, sedangkan aku berkata kepada kalian, cintailah musuh kalian dan doakanlah orang yang melaknati kalian. Berbuat baiklah kepada pembenci kalian dan salatlah untuk orang-orang berbuat buruk kepada kalian." (Injil Mata).
Dakwah Nabi Isa datang dan menghapus syariat Nabi Musa dalam bentuk eksternal. Jika kita berusaha membandingkan dua syariat tersebut dalam bentuk yang sederhana, maka pada hakikat-nya dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menghapus bid'ah yang dilakukan oleh kaum Farisiun dan Shaduqiun terhadap syariat Nabi Musa dan menunjukkan hakikat syariat ini dan tujuan-tujuannya yang tinggi. Di tengah-tengah masa materialisme yang sangat luar biasa dan dunia dipenuhi dengan penyembahan terhadap emas dan tersebarnya berbagai macam kejahatan, munculah dakwah al-Masih sebagai reaksi ideal yang menunjukkan ketinggian dan kesucian. Al-Masih mengetahui bahwa ia mengajak manusia untuk menciptakan perilaku ideal dalam kehidupan; Al-Masih menyadari bahwa dakwahnya penuh dengan idealisme tetapi idealisme ini sendiri pada saat yang sama merupakan solusi satu-satunya untuk mengobati kehidupan dari kesengsaraan dan penyakit-penyakit menular; Al-Masih mengetahui bahwa tidak semua manusia tidak mampu untuk mencapai puncak yang diisyaratkannya. Tetapi paling tidak, hendaklah setiap orang berusaha sedikit mendaki sehingga ia selamat.
Dakwah Nabi Isa terdiri dari kesudan yang mengagumkan; dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menyelamatkan ruh atau dakwah yang dapat dianggap sebagai pedoman perilaku individu, bukan suatu system perincian-perincian tersebut dan hanya memfokuskan kepada sumber utama, yaitu ruh. Isa ingin raenghidupkan ruhani manusia dan membimbingnya untuk mencapai cahaya Sang Pencipta. Oleh karena itu, Isa datang dengan didukung oleh ruhul kudus. Ruhul kudus adalah Jibril. Kita tidak mengetahui bagaimana Allah SWT memperkuat Isa dengan Ruh Kudus: apakah Jibril menemaninya dan menyertainya sepanjang pengutusannya? Jibril turun kepada nabi untuk menyampaikan risalah atau membawa mukjizat atau justru mendatangkan hukuman atas kaumnya, tetapi ia tidak bersama mereka sepanjang waktu. Oleh karena itu, apakah memang Jibril menemani Isa sehingga beliau diangkat ke langit?
Hampir saja hati menjadi tenang dengan tafsiran ini karena dalam kehidupan Nabi Isa terdapat sisi-sisi malaikat di mana beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa yang berupa mukjizat-mukjizat. Bahkan kemampuan beliau sampai pada batas menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah SWT. Begitu juga, beliau memiliki kemampuan yang luar biasa di mana beliau dengan hanya meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk menjadi burung dan ia terbang dengan izin Allah SWT. Selain itu, Nabi Isa sama sekali tidak mendekati wanita sepanjang hidupnya sehingga beliau diangkat oleh Allah SWT. Beliau tidak menikah. Ini juga sifat malaikat di mana kita saksikan bahwa sebagian para nabi yang diutus oleh Allah SWT dan memiliki beberapa wanita bahkan kitab-kitab Yahudi menyebutkan bahwa jumlah istri-istri nabi mereka Sulaiman misalnya, mencapai seribu wanita.
Isa hidup dalam keadaan tenggelam dalam ibadah seperti anak dari bibinya, yaitu Yahya. Jika Yahya khusuk beribadah dan tinggal di gunung dan gurun bahkan dia menginap di gua, maka hal itu adalah hal yang alami baginya, sedangkan Isa hidup justru di tengah-tengah masyarakat kota. Persoalannya adalah, bukan hanya Isa tidak terkait hubungan dengan seorang wanita dan bukan hanya mukjizat-mukjizat yang diperolehnya yang luar biasa yang berhubungan dengan ruh, tetapi yang lebih dari itu adalah, bahwa beliau didukung oleh ruhul kudus sepanjang masa dakwahnya. Tentu itu adalah nikmat yang tak seorang pun dari para nabi sebelumnya diberi. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: 'Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan roh kudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: 'Ini tidak lain hanya sehir yang nyata.' Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: 'Berimanlah kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.' Mereka nienjawab: 'Kami telah beiiman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).'" (QS. al-Maidah: 110-111)
Ayat-ayat tersebut menyebutkan lima mukjizat Nabi Isa. Pertama, bahwa beliau mampu berbicara dengan manusia saat beliau masih di buaian. Kedua, beliau diajari Taurat dan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa telah tersembunyi dan telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik dari kaum Yahudi. Ketiga, beliau membentuk tanah seperti burung kemudian meniupkannya lalu tanah itu menjadi burung. Keempat, beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, beliau mampu menyembuhkan orang yang buta dan orang yang belang. Terdapat mukjizat yang keenam yang disebutkan dalam Al-Qur'an al-Karim:
"(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: 'Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?' Isa menjawab: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orangyang beriman.' Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.' Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku ahan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.'" (QS. al-Maidah: 112-115)
Mukjizat yang keenam itu adalah turunnya makanan dari langit karena permintaan Hawariyin. Juga terdapat mukjizat yang ketujuh yang terdapat surah Ali 'Imran yaitu beliau diberi kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui panca inderanya meskipun beliau tidak menyaksikannya secara langsung. Oleh karena itu, beliau memberitahu kepada sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka:
"Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman. " (QS. Ali 'Imran:: 49)
Inilah mukjizat Nabi Isa yang ketujuh yang didahului oleh mukjizat kelahirannya yang sangat mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah, lalu diikuti mukjizat berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke langit ketika penguasa yang lalim berusaha menyalibnya. Barangkali pembaca akan bertanya-tanya: mengapa mukjizat-mukjizat seperti ini diperoleh oleh Nabi Isa? Kita mengetahui bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang Allah SWT berikan kepada nabi-Nya. Tetapi pemberian itu menjadi sempuma jika mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan zaman diutusnya nabi tersebut sehingga mukjizat itu sangat berpengaruh dalam jiwa kaum dan mampu menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka berimana kepada pemilik mukjizat ini. Jadi, mukjizat menjadi suatu hal yang luar biasa. Oleh karena itu, Allah SWT berkehendak agar mukjizat ini sesuai dengan zaman diutusnya nabi tersebut.
Jadi, setiap mukjizat yang dibawa oleh rasul selalu berlain-lainan. Nabi Saleh diutus di tengah-tengah kaum yang melihat bagaimana seekor unta yang melahirkan dari gunung atau mampu membelah batu-batuan gunung. Sedangkan Nabi Musa diutus di tengah-tengah kaum yang gemar memainkan sihir sehingga sihir mendapat tempat istimewa. Oleh karena itu, mukjizat yang dibawa oleh Nabi Musa bentuk lahirnya seakan-akan menyerupai sihir, tetapi pada hakikatnya ia justru menjatuhkan sihir. Mukjizat itu berupa tongkat yang menjadi ular dan kemudian ular itu memakan tongkat-tongkat para tukang sihir.
Lain halnya dengan Nabi Isa, beliau diutus di tengah-tengah kaum materialis yang mengingkari ruh dan hari kebangkitan. Mereka menduga bahwa manusia hanya sekadar tubuh tanpa ruh. Mereka adalah kaum yang meyakini bahwa darah makhluk adalah ruhnya atau jiwanya. Taurat yang ada di tangan Yahudi menyebutkan bahwa tafsir an-Nafst adalah darah. Disebutkan di dalamnya: "Janganlah engkau memakan darah dari tubuh manusia karena jiwa setiap tubuh adalah darahnya. "
Nabi Isa diutus di tengah-tengah kaum yang mereka disesatkan oleh falsafah yang dasarnya mengatakan bahwa penciptaan alam memiliki sumber pertama, seperti sebab dari akibat. Jadi, alam memiliki wujud yang mendahuluinya. Di tengah-tengah masa yang niaterialis ini, di mana ruh diingkari, maka secara logis mukjizat Nabi Isa terkait dengan usaha menunjukkan alam ruhani. Demikianlah Isa dilahirkan tanpa seorang ayah. Mukjizat ini cukup untuk membungkam kaum yang mengatakan bahwa alam memiliki sumber pertama. Jelas bahwa alam tidak memiliki wujud yang mendahuluinya. Kita berada di hadapan Sang Pencipta yang mengadakan sistem bagi segala sesuatu dan menjadikan sebab bagi segala sesuatu. Dia menjadikan proses kelahiran anak berasal dari hubungan laki-laki dan wanita, tetapi Pencipta ini sendiri menciptakan sebab-sebab dan sebab-sebab itu tunduk kepadanya sedangkan Dia tidak tunduk kepada sebab-sebab itu. Dengan kehendak-Nya yang bebas, Dia mampu memerintahkan kelahiran anak tanpa melalui ayah sehingga anak itu lahir. Dan, kelahiran Isa pun terjadi tanpa seorang ayah. Cukup ditiupkan ruh kepadanya:
"Lalu Kami tiupkan ke dalamnya (tubuhnya) roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. " (QS. al-Anbiya': 91)
Kelahiran Isa membawa mukjizat yang luar biasa yang menegaskan dua hal: pertama, kebebasan kehendak Ilahi dan ketidak terkaitannya dengan sebab karena Dia adalah Pencipta sebab-sebab, kedua pentingnya ruh dan menjelaskan kedudukannya serta nilainya di antara kaum yang hanya mementingkan fisik sehingga mereka mengingkari ruh. Seandainya kita mengamati sebagian besar mukjizat Nabi Isa, maka kita akan melihatnya dan mendukung pandangan tersebut. Misalnya, mukjizat Nabi Isa yang mampu membentuk tanah seperti burung lalu beliau meniupkannya sehingga tanah itu menjadi burung. Mukjizat ini pun menguatkan adanya ruh. Semula ia berupa tanah yang bersifat fisik yang tidak dapat disifati dengan kehidupan tetapi ketika Nabi Isa meniupnya, maka segenggam tanah itu menjadi burung yang memiliki kehidupan, Sungguh sesuatu yang bukan fisik masuk ke dalamnya. Sesuatu itu adalah ruh. Ruh itu masuk ke dalam tanah sehingga ia menjadi burung. Jadi, ruh adalah nilai yang hakiki, bukan jasad atau fisik. Di samping itu, juga ada mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati. Bukankah ini juga menunjukkan adanya ruh dan adanya hari akhir atau hari kebangkitan. Orang yang mati telah ditelan oleh bumi di mana anggota tubuhnya telah hancur berantakan sehingga ia hampir menjadi tulang-belulang yang hancur lalu al-Masih memanggilnya dan tiba-tiba dia hidup kembali dan bangkit dari kematiannya.
Seandainya orang yang mati hanya berupa fisik sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi, maka ia tidak akan mampu bangkit dari kematiannya karena fisiknya telah hancur tetapi mayit itu mampu bangkit dari kematian. Jasadnya kembali hidup dan ia bangkit dari kuburannya serta berbicara. Jadi, ruh adalah nilai yang hakild. bukan fisik atau jasad. Kalau begitu, di sana terdapat hari kebangkitan dan hari kiamat. Hal ini bukanlah mustahil sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yahudi, karena setelah kematian jasad menjadi tanah yang berterbangan di udara. Itu bukan mustahil tetapi mungkin-mungkin saja. Dalil dari hal itu adalah, kebangkitan orang-orang yang telah mati di hadapan mata kepala mereka sendiri. Nabi Isa telah menghidupkan mereka agar kaumya vakin bahwa kiamat fisik akan terjadi dari kematian dan itu adalah benar dan bahwa hari akhir adalah benar.
Juga terdapat mukjizat yang lain, yaitu beliau mampu memberi tahu kaumnya tentang apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka, tanpa terlebih dahulu beliau masuk ke rumah mereka atau dapat bocoran dari seseorang. Mukjizat ini menetapkan bahwa panca indera bukanlah nilai yang hakiki. Nabi Isa tidak melihat apa yang ada di rumah mereka tetapi ruhnya mampu untuk melihat dan berbicara atau memberitahu mereka. Jadi, ruhani adalah nilai yang hakiki, bukan fisik. Demikianlah mukjizat-mukjizat Isa datang untuk memberitahukan pentingnya ruh dan kebebasan kehendak Ilahi. Mukjizat-mukjizat Nabi Isa—sebagaimana dikatakan oleh guru kami Muhammad Abu Zahra'—termasuk dari jenis propagandanya dan sesuai dengan tujuan risalahnya, yaitu dakwah untuk mendidik ruhani dan keimanan kepada hari kebangkitan dan hari kemudian, dan di sana ada kehidupan lain di mana seseorang yang berbuat baik akan dibalas kebaikannya dan orang yang berbuat buruk akan dibalas keburukannya.
Lalu, apakah mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati masih memberikan celah kepada para pengingkar akhirat untuk terus mengingkarinya atau memberikan ruangan kepada penentang hari kebangkitan untuk meneruskan penentangannya? Kami telah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diracuni dengan pikiran ketidakpercayaan atau penentangan pada hari akhirat serta tidak beriman kepada hari akhir, maka menghidupkan orang-orang yang mati yang dibawa atau dikuasai oleh Isa menjadi suatu pukulan telak bagi mereka yang membuat mereka beriman, tetapi mereka masih menentang tanda-tanda kebesaran Allah.
Nabi Isa menutup lembaran kehidupannya yang lembut dan dan ia mulai berdakwah di jalan Allah. Beliau didukung oleh ruhul kudus dan mukjizat-mukjizat yang luar biasa. Al-Qur'an al-Karim menceritakan kepada kita bahwa esensi dakwah al-Masih tidak banyak berubah dari esensi dakwah para nabi sebelumnya, yaitu menyuarakan Islam yang intinya adalah menebarkan tauhid yang sempurna hanya serta menyerahkan diri kepada Allah: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian."
Al-Qur'an memberitahu kita bahwa yang mengatakan kalimat tersebut adalah Isa. Kalimat tersebut adalah kalimat yang sama yang pernah disampaikan seluruh nabi, meskipun nama mereka, sifat mereka, mukjizat mereka, baju mereka, bahasa mereka, usia mereka, bentuk mereka, dan warna kulit mereka tidak sama. Mereka semua bersepakat untuk menyuarakan Islam dan hanya menyerahkan diri kepada Allah SWT serta beriman bahwa Allah SWT adalah Tuhan mereka dan Tuhan alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang setara dengan-Nya. Dia Maha Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Isa tidak mengatakan persoalan tauhid lebih banyak atau lebih sedikit dari apa yang pemah disampaikan oleh para nabi. Al-Qur'an datang kira-kira setelah lima ratus tahun dari pengangkatan Nabi Isa. Allah SWT, melalui ilmu-Nya yang azali mengetahui apa yang terjadi di tengah-tengah kaum Masehi di mana mereka berselisih tentang hakikat Isa. Oleh karena itu, Al-Qur'an al-Karim berusaha menyingkap dialog mereka yang belum terjadi. Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?' Isa menjawab: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu,' dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.'" (QS. al-Maidah: 116-117)
Al-Qur'an secara tegas mengatakan bahwa dakwah al-Masih adalah dakwah tauhid. Al-Qur'an ingin mengatakan bahwa al-Masih terlepas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan bahwa ia anak Tuhan atau ia justru tuhan itu sendiri. "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: 'Sembahluh Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu."
Nabi Isa pergi berdakwah di jalan Allah SMT. Inti dakwahnya adalah, bahwa tidak ada perantara antara Pencipta dan makhluk; tidak ada perantara antara seorang penyembah dan yang disembah. Allah SWT menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa. Ia adalah kitab suci yang datang untuk membenarkan Taurat dan berusaha menghidupkan syariatnya yang pertama. Injil adalah cahaya, petunjuk, dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi Isa ingin meluruskan tafsiran orang-orang Yahudi terhadap syariat di mana mereka menyampaikan tafsir dari syariat itu secara harfiah dan sesuai dengan kepentingan mereka. Nabi Isa menenangkan orang-orang yang yang menjaga syariat bahwa ia tidak datang untuk menghilangkan syariat, tetapi ia datang untuk menyempurnakannya dan menyelesaikan tugas para nabi. Namun Isa lebih menekankan pada penafsiran esensinya, bukan kepada bentuk lahiriahnya.
Nabi Isa memberi pengertian kepada orang-orang Yahudi bahwa sepuluh wasiat yang dibawa oleh Isa mengandung makna-makna yang lebih dalam dari apa yang mereka bayangkan. Wasiat yang keenam bukan hanya melarang pembunuhan materi, sebagaimana yang mereka pahami tetapi juga menyangkut penindasan dan usaha rnencelakakan orang lain. Sedangkan wasiat yang ketujuh bukan hanya melarang zina (dalam pengertian terjadinya hubungan antara laki-laki dengan perempuan melalui cara-cara yang tidak sah), tetapi zina berarti segala bentuk perbuatan yang menjurus kepada dosa. Misalnya, ketika mata diarahkan kepada lawan jenis disertai syahwat dan hasrat seksual, maka itu pun berarti zina. Nabi Isa berkata: "Sesungguhnya lebih baik bagi manusia untuk menghindarkan matanya dari sesuatu yang dapat menghancurkannya daripada ia harus hancur dengan mata itu sendiri. Syariat yang dibawa oleh Isa melarang untuk melanggar sumpah dan janji Nabi Isa memberi pengertian kepada kaumnya bahwa hendaklah mereka tidak melakukan sumpah palsu karena merupakan "kesalahan besar jika nama Allah dibuat main-main di atas mulut-mulut manusia." (Injil Mata 21 sampai 48).
Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan arus materialisme yang sangat mendominasi masyarakat saat itu. Oleh karena itu, beliau mengingatkan manusia dari perbuatan munaflk, pamrih, tamak, dan gila pujian. Begitu juga beliau mengingatkan mereka dari sifat rakus terhadap kekayaan dunia; beliau mengingatkan agar jangan sampai mereka menimbun harta di dunia. Yakni, hendak lah mereka tidak memfokuskan perhatian mereka pada urusan-urusan duniawi semata yang sifatnya tidak abadi. Tetapi hendaklah rnereka memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat samawi (ukhrawi) karena itu bersifat abadi.
Nabi Isa memberitahu kepada masyarakatnya agar mereka menjadi orang-orang yang teliti saat memilih gaya hidup mereka karena pada gilirannya akal mereka akan menjadi cermin darinya. Kecenderungan manusia itu terkait kuat dengan hatinya. Jika hati tertuju kepada cahaya langit, maka kehidupan manusia akan tampak bersinar tetapi jika hati tertuju pada kegelapan dunia, maka kehidupannya pun tampak gelap. Nabi Isa mengingatkan kaumnya dari sikap pamrih dan cinta dunia. Beliau mengajak mereka untuk teliti dalam memilih majikan yang mereka mengabdi kepadanya karena manusia tidak dapat mengabdi kepada dua majikan dalam satu waktu. Boleh jadi ia akan menjadikan harta sebagai majikannya, atau boleh jadi ia akan menjadikan Allah SWT sebagai tuannya. Jika ia menyembah harta, maka berarti ia jauh dari penyembahan terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah manusia menjauhi dunia, seperti makanan dan pakaian di mana mereka akan dikuasai oleh kegelisahan dan ketidaktenangan serta keraguan tentang penjagaan Allah SWT kepada mereka. Allah SWT telah berjanji untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kehidupan. Ketika timbul kegelisahan dan keraguan pada diri mereka, maka itu dikarenakan keraguan mereka terhadap penjagaan Allah SWT dan ketidakpercayaan mereka kepada janji-janjinya dan rahmat-Nya serta bimbingan-Nya. Allah SWT-lah yang menciptakan mereka dan Dia pula yang menjamin kehidupan mereka dan melindungi mereka. Bahkan Dia juga melindungi makhluk yang paling kecil urusannya seperti burung di langit dan kumbang-kumbang di kebun.
Nabi Isa memberitahu kaumnya bahwa hanya memperhatikan dunia adalah hal yang salah, yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Itu adalah sikap para penyembah berhala karena penyembah berhala tidak mengetahui apa yang lebih baik darinya, sedangkan orang-orang yang beragama mengetahui bahwa di sana terdapat bimbingan Ilahi yang mengajak mereka untuk percaya kepada Allah SWT dan tidak begitu peduli dengan dunia. Allah SWT mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka lebih daripada apa yang mereka ketahui; Allah SWT akan melindungi mereka dan akan menjamin kehidupan mereka. Karena itu, yang layak bagi mereka adalah, hendaklah mereka memohon agar diberi kekuasaan Allah SWT dan kebaikan dari-Nya. Yakni kehidupan ruhani dan apa yang dikandungnya dari kebahagiaan abadi.
Di samping itu, Nabi Isa menasihati mereka agar jangan terlalu pusing dengan kejadian-kejadian yang akan datang dan persoalan-persoalan esok hari karena esok hari sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan dan penderitaan datang silih berganti, maka bantuan dan perlindungan Ilahi pun terus datang silih berganti. Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan dualisme yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kita saksikan sebagaimana mereka suka mendapatkan kebaikan yang ditujukan kepada diri mereka, maka mereka pun biasa untuk melakukan kejahatan kepada orang-orang lain. Demikianlah, kehidupan orang-orang Yahudi dicemari sikap dualisme ini. Nabi Isa mewasiatkan kepada manusia agar mereka memperlakukan sesama mereka sesuai dengan akidah yang mengatakan: "Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri"
Nabi Isa terus melangsungkan dakwahnya dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT serta tidak menyekutukan-Nya, sebagaimana beliau juga mengajak manusia untuk membersihkan dan menyudkan ruhani serta hati dan berasaha memasuki kerajaan langit. Dakwah Nabi Isa itu sangat memukul kalangan para pendeta Yahudi. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nabi Isa bagaikan senjata yang siap menerpa wajah mereka dan menyatakan peperangan terhadap mereka serta menyingkap kedok kemunafikan mereka. Mula-mula pemerintahan Romawi tidak turut campur dalam masalah tersebut karena mereka melihat bahwa itu hanya sekadar perselisihan internal antara kelompok-kelompok Yahudi. Bagi mereka, selama orang-orang Yahudi sibuk dengan masalah mereka sendiri dan tidak peduli dengan kekuasaan, mereka pun tidak turut campur.
Kemudian para pendeta Yahudi mulai merancang suatu persekongkolan untuk menyingkirkan Isa. Mereka ingin mengusir Isa dan membuktikan bahwa Isa datang untuk menghancurkan syariat Musa. Syariat Musa memutuskan untuk merajam wanita yang berzina. Para pendeta Yahudi menghadirkan wanita yang salah yang berhak dirajam. Mereka berkumpul di sekeliling Isa dan bertanya kepadanya: "Tidakkah syariat menetapkan untuk merajam wanita yang bersalah?" Isa menjawab: "Benar," Mereka berkata: "Ini adalah wanita yang bersalah." Isa memandang wanita itu dan ia pun melihat para pendeta Yahudi. Isa mengetahui bahwa para pendeta Yahudi lebih banyak kesalahannya daripada wanita tersebut. Para pendeta itu menunggujawaban Isa. Jika ia mengatakan bahwa wanita itu tidak berhak dibunuh, maka berarti ia menentang syariat Musa, dan jika ia mengatakan bahwa ia berhak dibunuh, maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri yang membawa syariat cinta dan toleransi. Nabi Isa memahami bahwa ini adalah persekongkolan. Beliau tersenyum dan wajahnya tampak bercahaya. Kemudian beliau melihat para pendeta Yahudi dan wanita itu sambil berkata: "Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki kesalahan, maka hendaklah ia merajam wanita itu."
Suara beliau yang keras itu memecahkan keheningan tempat penyembahan. Beliau menetapkan peraturan baru yang berhubungan dengan hukum yang dijatuhkan kepada orang yang ber-buat salah. Hendaklah orang yang tidak berbuat salah menghukum orang yang salah dan tidak berhak seseorang pun dari kalangan manusia untuk menghukum orang yang bersalah jika ia sendiri bersalah, tetapi yang menghukumnya adalah Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi dan Allah SWT adalah Maha Pengasih di antara yang mengasihi.
Nabi Isa keluar dari tempat penyembahan itu. Tiba-tiba, wanita itu mengejar dari belakangnya. Lalu wanita itu mengeluarkan dari pakaiannya satu botol dari minyak yang berharga. Ia berdiri di depan Isa dan menjatuhkan dirinya di atas kedua kaki Isa lalu menciumnya dan membasuhnya dengan minyak wangi dan air mata. Setelah itu, ia mengeringkan kedua kakinya dengan rambutnya. Bagi wanita itu, al-Masih mempakan harapan terakhir yang dapat menyelamatkannya. Lalu keluarlah dari belakang Isa seorang tokoh pendeta Yahudi. Ia berdiri menyaksikan pemandangan tersebut dan ia merasa kagum terhadap kasih sayang Isa. Isa melihat kepadanya dan bertanya; "Seorang kreditor yang memiliki dua orang debitor, salah satunya berhutang lima ratus dinar dan yang lain lima puluh dinar." Pendeta itu berkata: "Ya." Isa berkata: "Tak seorang pun dari mereka berdua yang merniliki uang yang cukup untuk melunasi uangnya. Lalu si kreditor memaafkan mereka dan membebaskan mereka dari hutang." Pendeta berkata: "Ya." Kemudian Isa bertanya: "Siapa di antara mereka yang paling senang kepada kreditor itu?" Pendeta menjawab: "Tentu yang berhutang lebih besar.'' Isa berkata: "Benar apa yang engkau ucapkan. Lihadah wanita ini. Aku telah masuk ke rumahmu tetapi engkau tidak memberikan kepadaku air agar aku dapat membasuh wajahku, tetapi wanita itu membasuh kedua kakiku dengan air mata lalu ia mengusapnya dengan rambut kepalanya. Begitu juga engkau tidak memberikan ciuman kepadaku tetapi wanita ini tidak merasa puas dengan hanya mencium kedua kakiku. Jadi, hatimu sungguh sangat keras tetapi hati wanita itu dipenuhi dengan rasa cinta. Maka barangsiapa yang banyak mencintai niscaya kesalahan-kesalahannya akan diampum." Kemudian Isa menoleh ke wanita itu dan memerintahkannya untuk bangkit dari tanah sambil berkata: "Ya Allah, ampunilah wanita ini dan hilangkanlah kesalahan-kesalahannya."
Nabi Isa berusaha menyadarkan para pendeta Yahudi bahwa para dai yang menyeru di jalan Allah SWT bukanlah algojoalgojo yang bengis yang menerapkan hukum syariat tanpa melihat keadaan masyarakat yang bersalah, tetapi mereka datang dan membawa ajaran Allah SWT yang merupakan ajaran yang penuh dengan rahmat kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan semua dakwah Ilahi ini. Bahkan diutusnya para nabi itu sendiri mengandung rahmat Allah SWT terhadap kaum mereka.
Isa terus berdoa kepada Allah SWT agar merahmati kaumnya. Beliau menyuruh kaumnya agar menyayangi diri mereka sendiri dan beriman kepada Allah SWT. Kehidupan Nabi Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam ibadah. Mu'tamar bin Sulaiman berkata, sebagaimana diri wayatkan Ibnu 'Asakir: "Nabi Isa menemui kaumnya dengan memakai pakian dari wol. Beliau keluar dalam keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat karena kelaparan dan bibimya tampak kering karena kehausan. Nabi Isa berkata, "salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Allah SWT, tanpa bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?" Mereka menjawab: "Di mana rumahmu wahai Ruhullah?"
Nabi Isa menjawab: "Rumahku adalah mesjid, wewangianku adalah air makananku adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salatku di waktu musim dingin di saat matahari terletak di timur, bungaku adalah tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku. Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka siapakah yang lebih kaya daripada aku?"
Isa terus melakukan dakwahnya. Ia didukung oleh mukjizat dari Allah SWT. Nabi Isa mampu membuat bentuk burung dari tanah kemudian ia meniupnya, maka tanah itu menjadi burung dengan izin Allah SWT. Selain itu, ujung bajunya yang sederhana jika tersentuh orang yang sakit, maka orang itu akan sembuh. Bahkan jika Isa meletakkan tangannya di atas mata orang yang buta atau orang yang terkena sakit belang niscaya ia akan sembuh. Jadi, Nabi Isa didukung oleh mukjizat yang luar biasa. Bahkan beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati dari kuburan mereka sehingga mereka keluar dalam keadaan hidup dengan izin Allah SWT.
Para ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa menghidupkan empat orang. Pertama, al-Azir yaitu temannya. Kemudian dua orang anak laki-laki dari seorang tua, dan seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu. Mereka adalah tiga orang yang mati di zaman Nabi Isa. Ketika orang-orang Yahudi melihat hal tersebut, mereka berkata: "Engkau menghidupkan orang-orang yang mati dan kematian mereka tidak lama .Barangkali mereka tidak mati tapi mereka sekadar mengalami keadaan tidak sadarkan diri atau mati suri. Lalu mereka meminta kepada Nabi Isa untuk membangkitkan Sam bin Nuh dari kematiannya.
Para ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa bertanya kepada mereka, "Di manakah kaum kuburan Sam bin Nuh?" Mereka keluar bersama Isa sehingga mereka mencapai kuburan. Lalu Nabi Isa berdoa kepada Allah SWT agar menghidupkan orang yang mati di situ. Sam bin Nuh keluar dari kuburannya, dan rambut dikepala-nya tampak beruban. Isa berkata kepadanya: "Bagaimana rambut di kepalamu bisa beruban, sementara di zamanmu kau tidai. ada uban," Sam berkata: "Ya Ruhullah, aku mendengar engkau berdoa untukku lalu aku mendengar suara yang mengatakan, aku akan mengabulkan wahai Ruhullah. Aku mengira bahwa kiamat telah tiba. Karena takutnya kepada hal itu sehingga rambut di kepalaku beruban."
Apa pun yang dikatakan berkaitan dengan cerita itu yang menyebutkan tentang bagaimana Nabi Isa menghidupkan orang-orang yang mati, namun kita tidak mengetahui konteks Al-Qu'ran serta perincian-perincian yang menjelaskan hal tersebut. Allah SWT hanya menyebutkan bahwa Isa menghidupkan orang-orang yang mati dengan izin-Nya. Kita percaya bahwa Nabi Isa mampu menghidupkan mereka tetapi kita tidak mengetahui apakah mereka mati kembali setelah dihidupkan atau mereka sempat menjalani kehidupan selama beberapa saat. Nabi Isa terus berjalan di jalan Allah SWT. Beliau membuat bagi mereka apa yang disebut dengan hukum ruh. Beliau menaiki gunung dan para sahabat-sahabatnya berdiri di sekitarnya. Nabi Isa melihat orang-orang yang beriman kepadanya yang terdiri dari orang-orang yang fakir, orang-orang yang menderita, dan orang- orang yang sedih. Jumlah mereka sedikit sebagaimana lazimnya jumlah para pengikut nabi.
Gunung diliputi dengan awan tipis dan turunlah hujan gerimis. Isa mulai berbicara: "Sungguh beruntung bagi orang-orang miskin karena mereka memiliki kerajaan langit. Beruntunglah orang-orang yang sedih karena mereka akan menjadi orang-orang yang mulia. Beruntunglah yang diserahi amanat karena mereka akan mewarisi bumi. Beruntunglah orang-orang yang lapar dan haus karena mereka akan dikenyangkan. Beruntunglah orang-orang yang menyayangi karena mereka akan disayangi. Beruntunglah orang-orang yang bersih hatinya karena mereka akan melihat Allah SWT. Beruntunglah orang-orang yang tertindas demi mempertahankan kebenaran karena mereka akan mendapatkan kerajaan langit. Kalian adalah garam bumi jika garam telah rusak, maka siapa gerangan yang dapat mengembalikannya menjadi garam kembali." Renungkanlah kedalaman ungkapan dari Nabi Isa, "kalian adalah garam bumi."
Garam adalah sesuatu yang memberikan rasa yang khusus dan tanpa garam makanan akan menjadi hambar. Yakni, tanpa orang-orang mukmin, maka cita rasa kehidupan terasa tidak bermakna; tanpa kehadiran orang-orang Muslim dan perbuatan mereka yang ikhlas terhadap Allah SWT akan tampak kehidupan sangat berat dan tidak berarti. Di samping itu, kehadiran manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi pun sia-sia, dan keagungan manusia sebagai hamba Allah SWT pun tidak bermakna, dan pada gilirannya kehidupan akan dipenuhi dengan kejahatan dan keburukan.
Allah SWT teiah mewahyukan kepada "garam bumi" agar mereka beriman kepada Nabi Isa. Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia: 'Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.' Mereka menjawab: 'Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).'" (QS. al-Maidah: 111)
Al-Hawariyin mengakui kebenaran ajaran Nabi Isa dan mereka menyatakan keislaman kepadanya, sebagaimana ratu Saba' mengakui kebenaran ajaran Nabi Sulaiman dan menyatakan keislaman padanya, dan sebagaimana semua para nabi menyatakan keislaman. Hakikat ajaran para nabi terbatas kepada pernyataan keislaman dan semua nabi menyeru kepada jalan tauhid dan jalan Islam. Islam dalam pandangan kami memiliki makna yang lebih dalam daripada tauhid. Pengakuan seseorang terhadap Allah SWT dan keimanan akan keesaan-Nya dalam menciptakan makhluk tidak mencegah orang itu untuk berbuat dosa, sedangkan keislaman atau penyerahan hati dan anggota badan serta pemikiran kepada Allah SWT merupakan suatu tingkatan sedikit lebih tinggi. Ini adalah tingkat kepatuhan orang-orang yang patuh dan puncak ketauhidan orang-orang yang bertauhid. Itu adalah keserasian antara tindakan dengan pikiran, yaitu usaha manusia untuk menghindari kesalahan dan memurnikan amal hanya untuk Allah SWT. Al-Qur'an al-Karim memberitahu kita bahwa Allah SWT menyampaikan wahyu kepada al-Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada Rasul-Nya Isa.
Marilah kita renungkanlah sejenak tentang wahyu Allah SWT terhadap Hawariyin. Kita mengetahui bahwa Allah SWT mewahyukan kepada manusia dan kepada makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada lebah..." (QS. an-Nahl: 68)
Yang dimaksud dengan wahyu di sini adalah memberikan ilham kepada makhluk agar mereka menuju ke jalan fitrahnya yang telah Allah SWT gariskan di atasnya sehingga mereka mencapai jalan kesempurnaan. Tidakkah Anda ingat tentang jawaban Nabi Musa terhadap pertanyaan Fira'un:
"Fir'aun berkata: 'Siapakah Tuhan kamu berdua wahai Musa. " (QS. Thaha: 49)
"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinsa petunjuk. " (QS. Thaha: 50)
Makna di sana dan di sini sama. Makna yang sama tersebut diterapkan kepada kaum Hawariyin di mana wahyu Allah SWT terhadap mereka berupa pemberian ilham kepada mereka demi kebaikan mereka dan kebahagiaan mereka, dan wahyu ini tidak bertentangan dengan ikhtiar mereka dan usaha mereka serta keinginan mereka, bahkan tidak bertentangan dengan kebebasan mereka. Allah SWT telah melihat hati mereka yang dipenuhi dengan kebaikan. Dia melihat mereka sebagai garam bumi, maka Allah SWT mewahyukan kepada mereka agar beriman kepadanya dan rasul-Nya sehingga mereka pun beriman dan mereka pun bersaksi bahwa mereka orang-orang yang berserah diri atau Muslim.
Tampaknya kaum Hawariyin menyembunyikan keimanan mereka sehingga Isa merasakan kekufuran kaumnya semakin menjadi-jadi lalu Isa memanggil mereka: "Siapakah di antara kalian yang menolong aku menuju jalan Allah SWT?" Allah SWT berfirman:
"Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia: 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan (agama) Allah?' Para Hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: 'Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan sahsikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.'" (QS. Ali 'Imran: 52-53)
Nas Al-Quran menunjukkan bahwa Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti Islam sehingga mereka pun berserah diri; nas Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan seorang rasul yang datang setelahnya yang bernama Ahmad. Dikatakan dalam Al-Qur'an:
"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: 'Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab yang turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).' Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: 'Ini adalah sihir yang nyata.'" (QS. Shaff: 6)
Kita tidak mengetahui secara pasti kapan Nabi Isa menyampaikan kabar berita tentang kedatangan seorang rasul ini yang datang setelah masanya, yaitu Ahmad saw. Apakah kabar berita itu beliau sampaikan dipermulaan pengutusannya kepada manusia, atau apakah beliau menyampaikan kabar itu pada akhir masa dakwahnya dan sebelum beliau diangkat ke langit? Tetapi melihat konteks Al-Qur'an tampaknya kabar berita tersebut itu disampaikan di permulaan dakwahnya, sebagaimana firman-Nya: "Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: 'lni adalah sihir yang nyata.'"
Kata ganti (dhamir) dalam ayat tersebut kembali kepada Nabi Isa. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan datangnya Muhammad atau Ahmad ketika Allah SWT mengutus kepada kaumnya. Kemudian terjadilah di hadapan Nabi Isa berbagai macam mukjizat yang luar biasa seperti penghidupan orang yang mati, peniupan tanah, dan sebagainya. Ketika Nabi Isa datang membawa bukti-bukti yang jelas ini, maka mereka menuduhnya bahwa ia membawa sihir. Nabi Isa mengetahui bahwa tuduhan semacam ini telah dialamatkan kepada sebagian besar para nabi sebelumnya. Beliau juga mengetahui bahwa nabi yang terakhir pun akan mendapatkan tuduhan yang sama. Oleh karena itu, nabi yang mulia itu tetap berdakwah di jalan Allah SWT dan tidak peduli dengan tuduhan kaumnya yang mengatakan bahwa beliau membawa sihir.
Kemudian pertentangan antara Nabi Isa dan Bani Israil semakin meningkat. Mereka adalah orang-orang yang hatinya keras, yang membeku di hadapan kebenaran. Isa datang kepada mereka dan menghancurkan segala pemikiran mereka dan kehidupan mereka serta sistem mereka. Sesungguhnya dakwah Nabi Isa terfokus kepada kebenaran, kedamaian dan keadilan dan pada saat yang sama mengumumkan peperangan terhadap kehidupan orang-orang yang lalim yang telah menjauhi kebenaran. keadilan, dan kedamaian. Injil Mata menyebutkan melalui lisan Isa: "Jangalah kalian mengira bahwa aku membawa kedamaian ke muka bumi. Aku tidak datang hanya membawa kedamaian tetapi aku datang membawa pedang."
Kalimat tersebut menyiratkan hakikat yang penting dari hakikat dakwah para nabi. Para nabi adalah pejuang sejati di mana senjata yang mereka gunakan di medan peperangan beraneka ragam. tetapi mereka pada hakikatnya adalah pejuang. Mereka memulai peperangan mereka dengan satu pemikiran yaitu suatu tekad mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Pemikiran itu tentu berbenturan dengan kepercayaan akan tuhan-tuhan yang diyakini oleh manusia, baik tuhan-tuhan yang terbuat dari emas atau batu. Pemikiran itu sangat mengganggu ketenangan orang-orang yang lalim atau penguasa yang bengis serta sangat melawan kepentingan mereka, sehingga para raja dan para penguasa seperti biasanya bergerak menentang nabi kecuali orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Para pembesar dari kalangan kaum nabi menentang nabi. Al-Mala' adalah para pembesar sebagaimana telah kami jelaskan dalam kisah Nabi Nuh dan sesudahnya. Kemudian Nabi terus melangsungkan peperangan mewujudkan tekadnya: Nabi meletakkan dasar peperangannya dengan menyampaikan ketuhanan Allah SWT.
Setelah meneguhkan dasar yang kuat ini, Nabi menetapkan keadilan. Tak seorang pun berhak untuk menghinakan seseorang atau menjadikannya sebagai budak karena penghambaan hanya pantas ditujukan kepada Allah SWT. Manusia adalah sama di antara mereka sehingga tidak berhak seseorang untuk memanfaatkan kekuatan manusia untuk membangun kejayaan pribadinya atau unruk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain, atau menghancurkan hak-hak mereka atau berbuat buruk terhadap mereka dalam berbagai bentuknya. Jadi, inti dakwah para nabi berarti mengganti dan mengubah sistem yang rusak yang didirikan oleh para pembesar kaumnya. Kalau begitu, ia adalah dakwah yang menyatakan peperangan dan karena itu seseorang nabi harus membava senjata. Setelah meneguhkan pemikiran tersebut, dimulailah peperangan. Seorang nabi menggunakan pedang. Ia berlindung di balik senjata dan senjata yang dimiliki oleh setiap nabi berbeda-beda.
Mula-mula seorang nabi tidak menggunakan senjata apa pun dalam peperangannya selain berusaha untuk membangkitkan akal. Lalu peperangan semakin meningkat sehingga nabi terpaksa untuk menggunakan senjata. Para musuh memaksanya untuk menggunakan senjata sehingga para nabi pun menggunakan senjata. Di sini setiap nabi mempunyai senjata yang berbeda-beda. Terkadang senjata seorang nabi berupa mukjizat yang dapat menghentikan langkah dan menghancurkan mereka seperti taufan (kisah Nabi Nuh) atau angin (kisah Nabi Hud), dan terkadang senjata para nabi adalah mukjizat yang membantunya untuk mengalahkan musuh-musuhnya secara pasti seperti ditundukkannya jin dan burung baginya (kisah Nabi Sulaiman) dan senjata nabi berupa mukjizat yang menyelamatkannya dari tipu daya musuh seperti berubahnya api menjadi sesuatu yang dingin dan membawa keselamatan (kisah Nabi Ibrahim) dan terkadang senjata nabi yang luar biasa yang memperkuat dakwahnya seperti menghidupkan orang-orang yang mati (kisah Nabi Isa) dan terkadang senjata nabi berupa pedang yang dipegang di tangannya saat ia melangsungkan peperangan dan mempertahankan dakwahnya (kisah Nabi Muhammad saw).
Jadi, senjata para nabi berbeda-beda, baik dalam bentuk kualitas maupun kapasitasnya. Allah SWT mengetahui kondisi mereka lebih dari apa yang kita ketahui sehingga Allah SWT sangat tepat ketika memilihkan senjata untuk setiap nabi. Dan tak seorang nabi pun yang tinggal di suatu tempat sementara ia tidak berjuang dan tidak bergerak dan tidak mengalami penderitaan dari kaumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan kadar kesabaran para nabi dan perjuangan mereka dalam menyampaikan dakwah di jalan Allah SWT, mereka layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT.
Isa bin Maryam telah menyampaikan bahwa beliau adalah seorang pejuang yang membawa senjata. Kata-katanya sendiri berusaha menghancurkan masyarakat yang keras, masyarakat yang bodoh. Masyarakat di zaman Nabi Isa berdiri di atas kesalahan, kesyirikan, kebohongan, kemunafikan, meterialisme, pamrih, kelaliman dan tidak ada kebebasan. Maka melalui kalimat-kalimatnya, Nabi Isa menghancurkan semua ini. Nabi Isa memberitahu kaumnya bahwa dakwahnya di jalan Allah SWT bukan terfokus pada dakwah kedamaian tetapi dalam hal-hal tertentu dakwahnya pun berisi pernyataan perang. Sesuatu menjadi tidak bernilai ketika tidak berusaha dipertahankan oleh yang bersangkutan sampai tetes darah penghabisan. Timbulnya pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip tidak hanya bersandar kepada idealismenya tetapi nilainya justru bersandar kepada usaha keras yang dikerahkan oleh para pembawanya dalam rangka mempertahankannya. Tanpa peperangan dan mengangkat senjata dakwah para nabi akan menjadi pemikiran-pemikiran yang sekadar idealisme yang tidak akan menghentikan seseorang pun dan tidak akan membangkitkan seseorang pun.
Kita mengetahui bahwa sebagian besar nabi berhadapan dengan kelompok besar dari masyarakat yang menentangnya dan berusaha memeranginya. Mula-mula mereka mengejeknya dan pada akhirnya mereka berusaha untuk membunuhnya. Kita mengetahui bahwa para nabi berusaha mati-matian untuk memperjuangkan kebenaran yang dibawanya. Melalui kisah para nabi, kita mengetahui bahwa bagaimana serangan masyarakat, para pembesar, dan para penguasa terhadap para nabi tetapi pada saat yang sama kita seakan-akan tidak melihat bagaimana serangan para nabi terhadap mereka. Penjelasan dari hal itu sangat mudah. Peperangan yang dibangkitkan oleh kebatilan atas para nabi didukung oleh alat-alat yang canggih dan sangat kuat di mana mereka memiliki berbagai macam sarana untuk menjatuhkan para nabi, sedangkan para nabi hanya menyandarkan kekuatan dari yang Maha Benar, yaitu Allah SWT; kekuatan yang tidak berdasarkan pada sebab-sebab tertentu atau tidak peduli dengan tuduhan-tuduhan atau kegaduhan.
Para nabi hanya terus melangsungkan dakwahnya yang berdasarkan kepada usaha membangkitkan akal dan hati serta menvucikan ruh. Keteguhan sikap para nabi ini bagi musuh-musuh mereka merupakan problem yang besar. Dakwah nabi juga menjamah suatu keluarga di mana seorang ayah dapat beriman sementara seorang anak dapat menentang atau seorang anak dapat beriman sementara si ayah dapat menentang atau seorang istri beriman atau seorang suami kafir atau seorang suami beriman sementara si istri kafir. Perbedaan anak laki-laki dengan ayahnya dan seorang istri dengan suaminya menimbulkan permusuhan di dalam rumah-rumah. Dengan terjadinya hal ini, masyarakat bergerak untuk menentang nabi dan semakin meningkatkan tekanan-tekanan mereka kepadanya sehingga permusuhan dan kebencian mereka kepada nabi semakin meruncing. Mereka pun berusaha untuk melawan nabi itu yang bagi mereka telah memisahkan antara ayah dan anaknya atau ia datang untuk memisahkan seorang anak perempuan dari ibunya.
Kemudian seorang nabi meletakkan suatu undang-undang bagi orang yang mengikutinya, yaitu undang-undang pokok yang membatalkan undang-undang yang tidak sesuai dengannya. Undang-undang ini tampak dalam kalimat nabi: "pertama-tama cinta kepada Allah dan kemudian cinta kepada nabi dan setelah itu cinta kepada sesama manusia." Makna-makna yang demikian ini tercermin secara jelas dari kalimat-kalimat Isa yang disampaikan oleh Injil Mata pada pasal ke-10.
Al-Masih berkata: "Janganlah engkau mengira bahwa aku datang membawa kedamaian di bumi, aku datang bukan hanya membawa kedamaian tetapi pedang. Aku datang untuk menjadikan seorang anak berbeda dengan ayahnya dan seorang anak perempuan berbeda dengan ibunya sehingga musuh seseorang justru terdapat pada keluarganya. Maka barangsiapa yang mencintai ibunya dan ayahnya lebih dari kecintaannya kepadaku, maka ia tidak berhak mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintai anak laki-lakinya dan perempuannya lebih dariku, maka ia tidak berhak mengikutiku. Meskipun kehidupannya tampak beruntung sebenarnya ia telah rugi, dan barangsiapa yang kehidupannya merugi karena aku, maka sebenarnya ia telah beruntung."
Penjelas Injil mengatakan: "Pemikiran orang-orang Yahudi tentang al-Masih adalah, ketika al-Masih datang, maka semua pengikutnya akan merampas kekayaan dan kejayaan di dunia ini lalu ia hanya memberi mereka ketenangan dan kedamaian. Ketika al-Masih datang, ia menjelaskan kepada para muridnya bahwa hal tersebut tidak benar, karena jika ia datang untuk memberikan kedamaian kepada para pengikutnya, maka mereka akan terancam kelaliman dan mereka akan mati karena tajamnya pedang. Maka hendaklah mereka tidak mengharapkan kedamaian tetapi peperangan; hendaklah mereka tidak mengharapkan keserasian tetapi perpecahan." Demikianlah masyarakat Yahudi terbagi menjadi dua kelompok: kelompok orang-orang yang fakir, orang-orang yang lemah dan orang-orang yang bersih hatinya bersama Isa, sedangkan kelompok mayoritas menentang Isa. Bahkan kelompok mayoritas kafir itu sering menyakiti Isa.
Injil Mata menceritakan penderitaan al-Masih pada pasal ke-11. Ia menceritakan bagaimana kemarahan al-Masih terhadap orang-orang yang tidak mengabdi kepada Yuhana (Yahya) dengan baik atau mengabdi kepadanya secara pribadi dengan baik. Injil Mata menguntip pernyataan Isa sebagai berikut: "Dengan apa aku menyerupakan generasi ini, Sesungguhnya mereka menyerupai anak-anak kecil yang duduk di pasar yang berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka sambil berkata: "Kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami mengasihi kalian tetapi kalian tidak menangis." Yuhana telah datang dan tidak makan dan minum tetapi mereka mengatakan, sesungguhnya ia terkena setan. lalu datanglah seorang anak manusia yang makan dan minurn lalu mereka mengatakan, ia adalah seorang yang ahli makan dan ahli minum khamer."
Dokumen itu menunjukkan penderitaan al-Masih dan menyingkap peperangan yang akan dihadapinya. Penderitaan yang dialami oleh hati suci al-Masih adalah sebagai tindakan generasi tersebut di mana beliau diutus di dalamnya sebagai orang yang memberi petunjuk dan menyampaikan berita gembira tentang kerajaan langit. Beliau menyerupakan generasi Yahudi itu dengan anak-anak kecil yang duduk-duduk di pasar sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka sambil berkata: "kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami berbelas kasih kepada kalian tetapi kalian tidak menangis." Al-Masih mengisyaratkan dengan pernyataan itu tentang apa yang diperbuat anak-anak kecil saat mereka bermain-main, di mana biasanya mereka meniru orang-orang yang besar saat mereka bergembira dengan menari-nari dan saat mereka sedih mereka menangis. Demikianlah mereka sangat cepat berubah antara bergembira dan sedih tanpa melalui pertimbangan dan kesadaran. Demikianlah keadaaan orang-orang Yahudi saat mereka mengabdi kepada Yahya, kemudian saat mereka mengabdi kepada al-Masih. Yahya telah datang kepada mereka dalam keadaan menangis, tidak makan dan tidak minum dari apa yang mereka makan dan yang mereka minum. Ia tidak bergaul dengan sembarangan manusia. Telah datang kepada mereka seorang nabi yang ahli ibadah tetapi kebanyakan mereka menolaknya dan mereka mengatakan bahwa ia terkena setan. Kemudian datang kepada mereka al-Masih di mana ia makan dan minum bersama pada acara walimah dan hari raya lalu mereka pun menolaknya dan mengatakan bahwa ia suka makan dan minum khamer padahal beliau adalah cermin terbesar dalam menghilangkan syahwat dan kesucian yang sempurna.
Alhasil, generasi itu adalah generasi yang main-main Iayaknya anak kecil. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mempengaruhi mereka dan mereka tidak mau bertaubat. Meskipun demikian, di sana terdapat kelompok kecil dari manusia yang terpengaruh dan bertaubat. Dokumen tersebut menunjukkan betapa beratnya penderitaan Isa di tengah-tengah generasi yang sezaman dengannya. Isa mengalami banyak penderitaan dalam menyampaikan dakwahnya. Isa banyak menderita di tengah-tengah kaum yang pikiran mereka belum matang. Mereka tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang suka bermain-main. Kaum yang tak tergugah oleh kalimat-kalimat yang baik dan mereka tidak bergerak atau tersentuh ketika menyaksikan mukjizat-mukjizat yang luar biasa.
Allah SWT kembali memperkuat Isa dengan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan. Mukjizat di sini adalah senjata yang diberikan Allah SWT kepada nabi-Nya agar nabi tersebut menjadi tenteram dan agar menambah keyakinan orang-orang yang beriman kepadanya, sedangkan bagi orang-orang kafir mukjizat tersebut justru menambah kekufuran mereka sehingga Allah SWT memberikan pembalasan yang setimpal kepada kedua kelompok tersebut. Mukjizat yang Allah SWT berikan kepada Isa bin Maryam yang lain adalah, Allah SWT mengabulkan doa Hawariyin dengan menurunkan makanan dari langit. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: 'Hai Isa putra Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?' Isa menjawab: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.' Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.' Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada hami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.' Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.'" (QS. al-Maidah: 112-115)
Barangkali kita terheran-heran ketika memperhatikan perkataan Hawariyin, "wahai Isa bin Maryam, apakah Tuhanmu mampu?" Mungkin pertama-tama yang terlintas dalam pikiran kita berkenaan dalam ayat tersebut adalah, keraguan Hawariyin terhadap kekuatan atau kekuasaan Allah SWT. Bagaimana hal itu mampu mereka laku-kan sedangkan mereka adalah murid-murid Isa yang beriman dan berserah diri kepada Allah SWT? Berkaitan dengan tafsir ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan, bahwa pertanyaan mereka 'apakah Tuhanmu mampu?' Yakni, berarti apakah Tuhanmu bisa? Kemudian mereka mencarikan alasan yang membenarkan perkataan Hawariyin itu dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu dilontarkan saat mereka baru saja mengikuti Isa, sebelum mereka banyak mengetahui Allah SWT. Oleh karena itu, Isa berkata dalam jawabannya terhadap pertanyaan mereka, bertakwalah kepada Allah SWT jika kamu benar-benar orang mukmin. Yakni, janganlah kalian meragukan kekuasaan atau kekuatan Allah SWT.
Qurthubi menampik tafsir ini. Hawariyin adalah para penolong Allah SWT, sesuai dengan nas Al-Qur'an dan tentu tidak boleh bagi penolong Allah SWT untuk tidak mengetahui kekuatan-Nya, apalagi meragukan kekuasaan-Nya. Sebagian ulama mengatakan bahwa perkataan tersebut dikeluarkan orang-orang yang bersama Hawariyin yang berasal dari Bani Israil dan tidak seorang pun dari Hawariyin yang mengatakan demikian kecuali mereka hanya sekedar menukil perkataan tersebut. Ada pendapat lain lagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dibaca 'hal yastathi' rabbuka' tetapi dibaca 'hal tastathi' rabbaka' sebagaimana bacaan Aisyah dan sebagaimana dibaca oleh Nabi. Maknanya, "apakah engkau mampu menghadirkan kekuatan Tuhanmu terhadap apa yang engkau minta." Ada pendapat yang lain mengatakan ia dibaca 'hal tastathi' rabbaka', yakni "apakah engkau mampu untuk berdoa kepada Tuhanmu atau meminta-Nya."
Sebagian kaum sufi berpendapat bahwa kaum Hawariyin bukan tidak mengetahui kekuasaan Allah SWT tetapi pertanyaan itu justru bersumber dari cinta kepada Allah SWT dan keinginan menyaksikan kekuasaan Allah SWT. Sikap mereka ini menyerupai dengan perbedaan tingkatan sikap Nabi Ibrahim as ketika beliau mengatakan:
"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati?' Allah berfirman: 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab: 'Saya telah percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku.'" (QS. al-Baqarah: 260)
Oleh karena itu, kaum Hawariyin berkata: "Dan hati kami menjadi mantap," sebagaimana Nabi Ibrahim berkata: "Agar bertambah mantap hatiku." Inilah tafsir yang membuat kita puas dan membuat hati kita tenang. Nabi Isa menjawab pertanyaan mereka: 'Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.' Yakni, hati-hatilah kalian dengan banyak bertanya dan menguji Allah SWT karena kalian tidak mengetahui apa yang boleh kalian minta untuk didatangkan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. Perkataan Nabi Isa, jika kalian benar-benar beriman terfokus kepada apa yang dibawanya yang berupa mukjizat-mukjizat atau tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Nabi Isa bermaksud untuk mengatakan, sesungguhnya apa yang telah aku bawa dari mukjizat-mukjizat bagi kalian seharusnya sudah cukup membuat hati kalian mantap. "Mereka berkata: 'Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.'"
Kaum Hawariyin menjelaskan kepada Isa sebab pertanyaan mereka ketika beliau melarangnya. Jika Nabi Isa keluar, maka beliau diikuti lima ribu orang atau lebih. Sebagian mereka dari kalangan Hawariyin dan sebagian yang lain campuran di antara pengikutnya dan musuhnya. Dikatakan bahwa mereka berpuasa dan mereka tidak mempunyai makanan, lalu para pengikut berkata kepada kaum Hawariyin, "Tanyalah kepada Isa apakah ia mampu berdoa kepada Tuhannya sehingga diturunkan kepada kita makanan dari langit." Kemudian kaum Hawariyin pergi dengan membawa surat kaum itu kepada Isa. Ketika Isa meminta mereka untuk merasa cukup dengan mukjizat-mukjizat sebelumnya, mereka kembali melontarkan kebenaran permintaan mereka: 'Kami ingin memakan hidangan itu. Mereka adalah orang-orang yang lapar sementara mereka tidak mempunyai makanan. Dan supaya tenteram hati kami.
Hati kaum Hawariyin menjadi tenang seperti tenangnya hati Ibrahim. Dan para pengikut pun merasa hatinya tenang dan mengakui bahwa Isa adalah Nabi yang diutus untuk mereka. Dan hati musuh juga menjadi tenang karena mereka menyaksikan kebatilan mereka sehingga pilihan mereka untuk tidak mengikuti Isa berakibat pada suatu saat mereka akan dimintai pertanggung jawaban.
"Dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami. Yakni kami mengetahui bahwa engkau utusan Allah. Dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu. Yakni, kami menyaksikan keesaan Allah dan risalah dan kenabianmu. Dan bagi orang lain yang tidak menyahsikannya, maka kami akan menceritakan kepada mereka peristiwa yang terjadi."
Isa putra Maryam berdoa: 'Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turimnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kavii dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pembeti rezeki Yang Paling Utama.'
Ketika kaum Hawariyin bertanya kepada Isa bin Maram agar diturunkan makanan dari langit, maka Nabi Isa berdiri dan meletakkan pakaian dari kulit wol kemudian beliau melangkahkan kakinya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan khusuk dan tunduk kepada Allab SWT. Kemudian beliau membuka matanya dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya bahkan mencapai dadanya dan berkata: 'Ya Tuhan kami, turunhanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit... Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu.
Lalu turunlah makanan besar dari celah dua awan: satu awan di atasnya satu awan di bawahnya. Saat itu manusia melihatnya. Nabi Isa berkata, "Ya Allah jadikanlah makanan ini sebagai rahmat dan jangan menjadi fitnah." Lalu turunlah di depan Nabi Isa sapu tangan yang menutupinya kemudian Nabi Isa tersungkur dalam keadaan sujud yang diikuti oleh kaum Hawariyin. Mereka mendapati suatu bau yang harum yang belum pernah mereka temukan sebelumnya.
Nabi Isa berkata, "Siapakah di antara kalian yang paling ikhlas dan paling percaya kepada Allah SWT agar ia membuka makanan itu sehingga kita bisa makan darinya serta berzikir kepada Allah SWT atasnya serta bersyukur kepadanya." Kaum Hawariyin berkata: "Wahai Ruhullah sesungguhnya engkau lebih berhak daripada kami dalam hal itu.", maka Nabi Isa berdiri lalu beliau mengambil wudhu dan salat. Kemudian beliau banyak berdoa sambil duduk di sisi makanan itu dan membukanya. Tiba-tiba di atas makanan itu terdapat ikan yang lezat yang tidak ada durinya. Nabi Isa ditanya: "Wahai Ruhullah, apakah ini makanan dari dunia atau dari surga?" Nabi Isa menjawab: "Bukankah Tuhan kalian melarang kalian untuk bertanya pertanyaan semacam ini. Ia turun dari langit dan tidak ada makanan sepertinya di dunia dan ia bukan berasal dari surga tetapi ia adalah sesuatu yang Allah SWT ciptakan dengan kekuasaan yang luar biasa di mana Dia cukup mengatakan "jadilah, maka jadilah."
Para mufasir berbeda pendapat sekitar bentuk makanan yang diturunkan kepada Isa, apakah itu ikan atau daging? Apakah roti atau buah-buahan? Kami memandang bahwa pembahasan-pembahasan ini kurang penting. Sesuatu yang paling penting yang perlu kita perhatikan adalah apa yang dikatakan oleh Nabi Isa, Sesungguhnya ia diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan yang mengagumkan di mana Dia cukup mengatakan "Jadilah, maka jadilah ia."
Inilah hakikat makanan tersebut. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT yaitu suatu tanda yang Allah SWT mengancam bagi siapa yang menentangnya Dia akan menyiksanya dengan azab yang belum pernah diterima oleh seseorang pun di dunia. Para ulama berbeda pendapat apakah makanan tersebut memang diturunkan atau tidak, tetapi menurut pendapat mayoritas dan ini yang benar makanan tersebut memang diturunkan, sesuai dengan firman Allah SWT: "Aku akan menurunkan hidangan itu bagimu. "
Dikatakan bahwa ribuan pengikut Nabi Isa memakannya dan makanan tersebut tidak habis. Setiap orang yang buta ia sembuh dari butanya dan setiap orang yang belang ia sembuh dari belangnya akibat memakan hidangan itu. Alhasil, setelah menyantap makananitu, orang yang sakit sembuh dari penyakitnya. Maka hari turunnya makan itu dijadikan hari raya dari hari raya-hari raya kaum Hawariyin dan para pengikut Nabi Isa. Kemudian berita dan peristiwa turunnya makanan itu mulai hilang dan mulai dilupakan sehingga kita tidak menemukan beritanya hari ini di Injil-Injil yang mereka akui. Setelah peristiwa makanan yang Allah SWT ceritakan dalam surah al-Maidah, Allah SWT menunjukkan kepada kita sikap lain dari Nabi Isa bin Maryam. Allah SWT berkata setelah menceritakan kepada kita tentang turunnya mukjizat makanan dari langit:
"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah!' Isa menjawab: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada rnereka kecuali apa yang Engkau tiepadaku (mengatakan)nya yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu,' dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.' Allah berfirman: 'lni adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.' Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. " (QS. al-Maidah: 116-120)
Dengan ayat-ayat tersebut, Al-Qur'an menutup surah al-Maidah. Demikianlah konteks Al-Qur'an berpindah secara mengejutkan dari turannya makanan kepada sikap atau dialog antara Allah SWT dan Isa bin Maryam pada hari kiamat. Allah SWT bertanya pada hari kiamat: 'Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?'
Para ahli ilmu sepakat bahwa pertanyaan tersebut bukan bersifat pertanyaan mumi meskipun tampak dalam bentuk pertanyaan karena Allah SWT mengetahui apa yang dikatakan oleh Isa. Tentu yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah sesuatu yang lain. Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud memberitahu Isa bahwa kaumnya telah mengubah ajarannya sepeninggalnya. Dan mereka telah mendapatkan fitnah. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud dari pertanyaan itu untuk mencela orang-orang yang mengubah akidah Nabi Isa setelah beliau tidak ada. Kami kira pertanyaan tersebut memuat dua makna dan mencakup makna yang lain.
Allah SWT ingin menyingkap dan memberitahu manusia dalam Kitab-Nya yang terakhir bahwa Nabi Isa terlepas dari berbagai macam tuduhan, dan apa saja yang dilakukan kaumnya sepeninggalnya. Konteks AI-Qur'an menunjukkan tentang peristiwa gaib yang belum terjadi meskipun akan terjadi pada hari kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur'an menyampaikannya dalam bentuk fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau). Al-Qur'an menyampaikan berita gaib ini kepada penduduk dunia agar mereka mengetahui hakikat Isa bin Maryam.
Allah SWT bertanya kepadanya dan Isa bin Maryam menjawab. Sebagai nabi besar, Isa tidak menjawab kecuali setelah ia mengatakan: 'Maha Suci Engkau ya Allah.' Sebelum menjawab, Isa memulai dengan tasbih dan menyucikan Allah SWT. Nabi Isa menampakkan kepatuhan dan ketundukan kepada kemuliaan Allah SWT dan rasa takut terhadap azab-Nya. Qurthubi menyampaikan dalam tafsirnya:
"Ketika Allah SWT berkata kepada Isa, apakah engkau berkata kepada manusia jadikanlah aku dan ibuku tuhan selain Allah, maka Isa tampak gemetar terhadap perkataan itu sehingga ia mendengar rintihan dari tulang-tulangnya di dalam jasadnya lalu ia berkata: 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Tidak mungkin aku memutuskan sesuatu yang tidak aku miliki, yang diriku tidak dapat melakukannya. Aku hanya seorang hamba, bukan seorang yang disembah: Jika aku pernah mengatakannya maha tentulah Enghau telah mengetahuinya.
Demikianlah Nabi Isa menyampaikan jawabannya kepada Allah SWT dan ia mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Mengetahui terhadap apa yang dikatakannya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Yakni, Engkau mengetahui apa yang aku sembunyikan sedangkan aku tidak mengetahui apa yang engkau sembunyikan. Engkau mengetahui rahasiaku dan apa yang terlintas dalam hatiku dan aku tidak mengetahui apa yang Engkau sembunyikan dari ilmu gaib-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Hanya Engkau yang tahu terhadap hal-hal yang gaib. Hanya Engkau yang tahu terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah mereka setelah Engkau angkat aku dari bumi: 'Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau kepadaku (mengatakan)nya yaitu: 'Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.'
Demikianlah kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Isa bin Maryam. Dia hanya mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya: Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.
Sesungguhnya Engkau mengawasi mereka saat aku tinggal di tengah-tengah mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Al-Wafat dalam Kitab Allah mempunyai tiga bentuk: Pertama, wafat dalam pengertian kematian, sebagaimana firman Allah SWT:
"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya." (QS. az-Zumar: 42)
Yakni ketika tercabutnya ajal. Kedua, bahwa wafat adalah tidur, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari. " (QS. al-An'am: 60)
Yakni yang menidurkan kalian. Ketiga, wafat berarti pengangkatan, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai Isa, sesungguhnya Aku yang menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. " (QS. Ali 'Imran: 55)
Demikianlah Isa terbebas dari apa yang mereka katakan dan apa yang mereka nisbatkan kepadanya. Isa mengumumkan bahwa dakwahnya tidak lebih dari sekadar ajakan untuk bertahuid dan tidak keluar dari kerangka Islam yang diakui oleh pengikutnya. Kemudian Isa kembali menyampaikan pembicaraannya dan meminta belas kasihan kepada Allah SWT: Jika Engkau rnenyiksa mereka, makasesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Tidak seorang pun dari makhluk yang mempunyai kekuasaan di atas-Mu dan tidak ada Pencipta selain-Mu. Maha Suci Engkau dan tiada sekutu bagi-Mu dalam kerajaan dan kekuasaan. Pada akhirnya, mereka adalah hamba-Mu dan seorang hamba tidak memiliki apa-apa di hadapan tuannya kecuali kepatuhan: Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.'
Isa tidak mengatakan jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Jadi, jawaban Isa terfokus pada penyerahan diri dan kepatuhan serta tunduk kepada kemuliaan Allah SWT dan kebesaran-Nya. Para pengikut Nabi Isa adalah hamba-hamba Allah SWT yang patuh. Jika Allah SWT berkehendak, maka Dia akan menyiksa mereka sesuai dengan siksaan yang layak mereka terima, dan jika Dia berkehendak, maka Dia akan mengampuni mereka karena Dia mengetahui karena mereka memang layak untuk mendapatkan ampunan. Dengan penyerahan yang mutlak ini, Isa menyampaikan jawaban atas pertanyaan Allah SWT dan beliau berlepas diri dari apa yang dikatakan oleh kaumnya sepeninggalnya. Isa menyampaikan—pada awal pembicaraannya—bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah, dan pada akhir pembicaraannya Isa menyampaikan penyerahan dirinya kepada Allah SWT. Allah berfirman: 'Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Allah SWT memuji ketulusan Isa, dan karena dialog tersebut terjadi pada hari kiamat, Allah SWT berfirman: "Hari ini adalah hari kiamat di mana orang-orang yang benar akan dapat mengambil manfaat dari kebenaran mereka di dunia. Kebenaran mereka di sana akan mereka temukan balasannya yang berupa rahmat di sini. "Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. "
Demikianlah balasan orang-orang yang benar, surga. Dan ada balasan yang lebih baik dari surga, yaitu kepuasan (ridha) seorang hamba terhadap Allah SWT dan keridhaan Allah SWT terhadap hamba. Pengertian kepuasaan seorang hamba adalah kegembiraannya terhadap penyembahan kepada Allah SWT sedangkan pengertian keridhaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah rahmat yang diberikan-Nya kepada mereka: Itulah keberuntungan yang paling besar.' Setelah itu Allah SWT, memberitahukan hakikat Isa dan seluruh nabi-Nya: "Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." Allah SWT adalah Penguasa satu-satunya dan Dia Pencipta satu-satunya. Selain-Nya adalah hamba.
Isa terus melangsungkan dakwahnya sehingga kejahatan dan keburukan mengetahui bahwa singgasana mereka terancam hancur. Lalu pasukan keburukan bergerak untuk menangkapnya. Orang-orang Yahudi menyakitinya dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Isa dikatakan sebagai penyihir dan sebagai orang yang mengubah syariat dan mereka menisbatkan kekuatannya yang luar biasa kepada kekuatan setan. Ketika mereka tidak lagi memiliki tipu daya yang dapat melumpuhkan Nabi Isa dan mereka melihat orang-orang yang lemah dan orang-orang fakir berkumpul di sekitarnya, maka mereka mulai membikin suatu, makar. Mereka mempengaruhi orang-orang Romawi.
Mula-mula pemerintahan Romawi tidak turut campur karena menganggap bahwa perselisihan-perselisihan antara orang-orang Yahudi adalah perselisihan yang terjadi demi memperebutkan kepentingan sesama mereka. Lalu diadakanlah majelis Sanhadurim (yaitu majelis undang-undang tertinggi dari kalangan Yahudi). Mereka berkumpul untuk membuat persekongkolan demi menyingkirkan Isa. Persekongkolan itu mengambil bentuk yang baru.
Ketika orang-orang Yahudi tidak mampu memerangi Nabi Isa, mereka berpikir untuk membunuhnya. Mulailah para ketua pendeta Yahudi bermusyawarah untuk membuat suatu kesimpulan tentang cara yang mereka lakukan untuk menangkap Nabi Isa yang tidak menirnbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Ketika para kepala Yahudi bermusyarah, maka salah seorang dari murid al-Masih yang dua belas pergi kepada mereka, yaitu Yahuda al-Iskhriyutha. Ia berkata kepada mereka, "Apa yang kalian berikan jika aku berhasil menyerahkannya kepada kalian."
"Meja penghianatan telah digelar di antara mereka dan dimulailah perundingan. Orang-orang Yahudi berusaha mencari titik temu dan mereka sepakat untuk memberinya tiga puluh lempeng dari perak. Ini adalah harga yang biasa mereka lakukan untuk membeli seorang budak sesuai dengan syariat Yahudi." (penjelasan Injil Mata)
Selesailah konspirasi yang menetapkan untuk menangkap al-Masih dan kemudian membunuhnya. Dikatakan bahwa kepala pendeta Yahudi merobek-robek bajunya secara dramatis di suatu pertemuan agama dan ia berteriak, "sungguh Isa telah kafir." Pero bekan baju dalam tradisi orang-orang Yahudi dilakukan ketika mereka mendengar atau melihat sesuatu yang mengandung penghinaan terhadap Allah. Para pendeta Yahudi tidak memiliki kekuasaan untuk menetapkan hukum bunuh pada saat itu. Semua itu dilakukan oleh kekuasaan penguasa Romawai. Tetapi tampaknya mereka berhasil meyakinkan kekuasaan Romawi bahwa Isa telah membuat rencana untuk melengserkan kekuasaan Romawi atau mereka berhasil meyakinkan penguasa Romawi bahwa masalah yang mereka hadapi murni berkaitan dengan tradisi mereka dan keyakinan mereka. Kemudian mereka menyarankan agar penguasa tidak turut campur atas apa yang mereka tetapkan. Demikianlah konspirasi itu telah ditetapkan dan telah diputuskan bahwa Isa harus ditangkap dan kemudian disalib.
Empat Injil yang diakui oleh kalangan Masehi saat ini membicarakan tentang proses pembunuhan Isa di mana beliau disalib kemudian beliau bangkit dari kematiannya dan naik ke langit. Semua Injil ini sepakat tentang proses pengyaliban Isa dan kematiannya, sebagaimana mereka sepakat tentang tabiat Isa yang mengandung ketuhanan yang bercampur dengan tabiatnya sebagai manusia. Kami akan menyampaikan keyakinan orang-orang Masehi berkaitan dengan Isa sebagaimana diyakini oleh mayoritas kaum Nasrani saat ini, kemudian kami akan mengemukakan keyakinan Islam tentang Isa sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an al-Karim dan disampaikan oleh para ulama dan disebutkan dalam hadis. Setelah itu, kita akan membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan berkaitan hubungan antara kaum Muslim dan kaum Masehi serta kaitannya dengan akidah mereka.
Injil Mata mengatakan, "Isa ditangkap dan majelis Sanhadirum memutuskan bahwa ia harus dibunuh. Kemudian para anggota mejelis itu dari kepala-kepala para pendeta dan para tokoh mereka menghinanya dan mengejeknya serta berbuat aniaya terhadapnya bahkan mereka meludahi wajahnya dan menempelengnya. Sambil mengejek mereka berkata, "beritahukanlah wahai al-Masih siapa yang memukulrnu." Setelah itu al-Masih ditangkap dan ia ditetapkan untuk dibunuh.
Adalah sudah menjadi tradisi di kalangan orang-orang Romawi untuk mencambuk orang yang ditetapkan untuk dibunuh sebelum pelaksaan hukum tersebut. Oleh karena itu, para penguasa Romawi menetapkan agar al-Masih dicambuk terlebih dahulu. Sedangkan syariat Musa menetapkan agar cambukan itu tidak melebihi empat puluh kali, namun orang-orang Romawi tidak berhenti pada batasan ini bahkan mereka terus mencambuk korban dengan cambukan yang kejam dan terus-menerus sehingga punggung yang bersangkutan hampir saja patah dan napasnya nyaris tinggal sedikit. Setelah itu, mereka mulai melaksanakan hukum bunuh kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh tentara terhadap penyelamat kita. (Injil Mata 26)
Selesailah proses pecambukan, lalu penguasa Romawi menyerahkan Isa kepada tentara agar mereka menyalibnya. Kemudian para tentara membuat sesuatu hal yang bermaksud untuk menghibur. Mereka mencabut pakaian Isa yang dilumuri dengan darah yang ada luka di tubuhnya setelah proses pencabukan, lalu mereka memakaikan pakaian merah dengan maksud untuk mengejeknya. Para raja biasanya memakai pakaian merah. Mereka terus menghinanya. Mereka memakaikannya mahkota dari duri dan meletakkannya di atas kepalanya. (Injil Mata 26)
Akhirnya, mereka sampai pada suatu tempat yang bernama Jaljatsah, yaitu suatu tempat di luar pagar Ursyilim. Tradisi Yahudi menetapkan untuk memberi satu gelas khamer yang bercampur dengan minyak wangi bagi orang yang ditetapkan untuk dihukum mati sebelum pelaksanaan hukum. Ini dimaksudkan sebagai alat pembius untuk meringankan penderitaannya. Tetapi para tentara menentang tradisi ini dan mereka memberi al-Masih satu gelas dari cuka yang bercampur dengan sesuatu yang pahit." (Injil Mata 26)
Teks Injil mata mengatakan (cetakan tahun 1972) pada pasal kedua puluh tujuh: "Sehingga mereka sampai ke suatu tempat yang bernama Jaljatsah lalu mereka memberinya minuman keras yang bercampur dengan empedu agar ia meminumnya. Ketika ia merasakannya, ia enggan untuk meminumnya. Kemudian mereka menyalibnya. Kemudian mereka duduk di sana menjaganya dan meletakkan di atas kepalanya suatu tuduhan yang tertulis: Ini adalah Yasu', penguasa Yahudi. Mereka benar-benar menyalibnya bersama Yasim. Salah seorang dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu orang-orang yang lewat di tempat itu mencelanya dan berkata, "wahai yang menghancurkan tempat sembahan dan yang membangunnya pada tiga hari, selamatkanlah dirimu dan jika engkau adalah anak Allah, maka turunlah dari tempat penyaliban itu."
Demikianlah sebagian riwayat kaum Masehi tentang proses penyalipan serta penafsiran mereka berkaitan dengannya. Kami telah menukilnya tanpa memperhatikan tentang catatan yang terdapat dalam Injil Mata yang terbaru, yaitu ia merupakan catatan yang paling baik dalam bentuknya yang terkumpul dari ulama-ulama mereka dan tokoh-tokoh agama Masehi sehingga ia lebih mudah untuk dipahami dan lebih sederhana. Kami telah mengemukakan sebagiannya kepada Anda dalam halaman-halaman ini.
Sementara itu, dalam akidah Islam disebutkan suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang ada dalam Injil-Injil yang terdapat sekarang, baik yang berhubungan dengan kehidupan akhir yang dialami oleh Isa maupun tabiat Isa yang merupakan sumber perselisihan setelah pengangkatannya. Al-Qur'an al-Karim menceritakan bahwa Allah SWT tidak menghendaki Bani Israil untuk membunuh Isa atau menyalibnya tetapi Allah SWT menyelamatkannya dari kekufuran mereka lalu mengangkatnya di sisi-Nya. Mereka tidak berhasil membunuhnya dan tidak berhasil menyalibnya tetapi ia diserupakan seperti orang-orang di antara mereka. Allah SWT berfirman:
"Dan karena ucapan mereka: 'Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,' padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah arang yang diserupakan dengan Isa bagi meeha. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidah mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepadanya." (QS. an-Nisa': 157-158)
Dan Allah SWT juga berflrman:
"(Ingatlah), ketika Allah berfirman: 'Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan karnu pada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir. " (QS. Ali 'Imran: 55)
Para ulama-ulama Islam sepakat atas hal itu dan mereka berselisih pendapat tentang cara beragumentasi terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sebagian mereka meyakini nas-nas Al-Qur'an saja yang menyebut tentang Isa al-Masih dan mereka tidak mendukungnya atau memperkuatnya dengan kitab-kitab lain selain Al-Qur'an. Kedua metode tersebut memiliki titik kekuatan tersendiri. Orang yang berpegangan dengan pendapat yang pertama mengatakan bahwa Nabi melarang untuk membahas kitab-kitab pegangan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Bagi kaum itu agama mereka dan bagi kita agama kita dan hanya Allah SWT yang akan memutuskan segala perselisihan di antara kita pada hari kiamat.
Sedangkan orang-orang yang berpegangan dengan cara yang kedua mengatakan bahwa larangan Nabi tersebut terjadi pada permulaan masa Islam di mana kaum Muslim sangat dekat dengan masa jahiliah. Nabi memerintahkan mereka agar tidak disibukkan dengan kitab-kitab lain selain kitab mereka, yakni Al-Qur'an. Yang demikian ini dimaksudkan agar mereka memiliki akidah yang kuat dan keyakinan mereka benar-benar tertanam dalam diri mereka, Tetapi ilmu dan pandangan ilmiah menetapkan bahwa seorang yang alim harus banyak menggali kitab-kitab kuno dalam rangka mengetahui kebenaran dan jika ia mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang didapatinya dengan kebenaran, maka hatinya akan lebih merasa tenang dan damai. Berkaitan dengan kelompok yang pertama yang merasa cukup dengan Al-Qur'an, kita tidak menemukan perincian-perincian yang mendalam berkenaan dengan usaha penangkapan Isa, bagaimana proses pengangkatannya ke langit, di mana Isa diserupakan dengan salah seorang di antara mereka, bagaimana dia diserupakan dengan salah seorang di antara mereka. Allah SWT telah menyerupakannya dengan salah seorang di antara mereka sedangkan Nabi Isa diangkat ke langit. Demikianlah penjelasan singkat mereka, tidak ada penambahan lagi. Sedangkan kelompok yang kedua, mereka melontarkan kisah secara lengkap. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT menyerupakan Isa dengan Yahuda. Yahuda ini adalah Yahuda al-Askhariyutha yang menurut Injil ia menjualnya kepada musuh-musuhnya dan menunjukkan kepada mereka tentang keberadaannya. Ia adalah seorang muridnya yang terpilih. Demikian ini sesuai dengan Injil Barnabas di mana disebutkan di dalamnya: "Ketika para tentara mendekat bersama Yahuda di tempat yang di situ terdapat Yasu', maka Yasu' mendengar kedatangan segerombolan orang yang menuju tempatnya. Oleh karena itu, ia segera pergi ke rumah dalam keadaan takut. Di dalam rumah itu terdapat sebelas orang yang tidur. Ketika Allah melihat bahaya akan mengancam hamba-Nya, maka Dia merintahkan Jibril, Mikail, dan Rafail (Israfil), serta Idril (Izrail) yang mereka semua adalah para utusan-Nya untuk mengambil Yasu' dari dunia. Lalu datanglah malaikat-malaikat yang suci di mana mereka mengambil Yasu' dari pintu yang dekat dengan arah selatan. Mereka membawanya dan meletakkannyadi langit yang ketiga dengan disertai para malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah selama-lamanya. Yahuda masuk secara paksa ke kamar yang di situlah Yasu' diangkat ke langit. Saat itu murid-murid sedang tidur semuanya, lalu Allah mendatangkan keajaiban yang luar biasa di mana Yahuda berubah cara berbicaranya dan juga wajahnya. Ia sangat mirip sekali dengan Yasu' sehingga kami mengiranya Yasu'. Adapun ia (Yahuda) setelah membangunkan kami, ia mencari-cari di mana si guru berada. Oleh karena itu, kami merasa heran dan kami menjawab, "bukankah engkau wahai tuanku guru kami, apakah sekarang engkau telah melupakan kami?" Demikianlah kisah yang terdapat dalam Injil Barnabas. Allah SWT berfirman:
"Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan." (QS. al-Maidah: 75)
Para ulama berkata, "Al-Masih dinamakan al-Masih karena ia mengusap bumi dan membersihkannya serta usahanya untuk menyelamatkan agama dari fitnah di zaman itu karena saking hebatnya kebohongan orang-orang Yahudi kepadanya dan bagaimana usaha mereka untuk menciptakan dusta padanya dan kepada ibunya as." Banyak ulama yang meriwayatkan tentang kesucian spiritual dari Nabi Isa. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menceritakan tentang al-Masih sebagai berikut: "Isa melihat seorang lelaki yang mencuri lalu ia berkata: "Wahai si fulan apakah engkau mencuri?" Orang itu berkata: "Tidak, demi Allah aku tidak mencuri," Isa berkata: "Aku beriman kepada Allah SWT dan pengelihatanku telah berbohong." Ini menunjukkan kesucian ruhani Isa di mana ia lebih memilih sumpah orang itu atas apa yang disaksikannya. Ia membayangkan bahwa orang tersebut tidak akan bersumpah dan membawa nama Allah SWT yang Maha Besar lalu ia berdusta sehingga ia menerima pernyataannya dan ia kembali kepada dirinya sendiri sambil berkata: "Aku beriman kepada Allah SWT, yakni aku mempercayaimu dan mataku telah berbohong karena engkau telah bersumpah." Ada riwayat lagi yang mengatakan bahwa suatu hari Nabi Isa berjalan bersama sahabatnya dan mereka melewati bangkai anjing yang busuk baunya, lalu sahabat-sahabat Isa sangat terpukul dan sangat menderita dengan bau anjing itu. Melihat sikap mereka, Isa berkata: "Lihatlah betapa putih giginya."
Isa ingin mengajari manusia bagaimana mereka menghadapi keburukan di mana Nabi Isa menekankan agar mereka lebih melihat kepada keindahan dan kebaikan. Dakwah Nabi Nabi Isa merupakan puncak dari ketinggian ruhani dan idealisme yang mengagumkan di mana Beliau lebih menekankan kebaikan daripada keburukan. Rasulullah berkata: "Semua para nabi adalah saudara, agama mereka satu sedangkan mereka dilahirkan dari berbagai macam ibu dan aku adalah manusia yang utama begitu juga Isa bin Maryam di mana tidak ada nabi setelahku dan sesudahnya." Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Islam sangat memberikan penghormatan kepada Isa yang sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu nabi ulul azmi yang besar. Islam menamakannya Rasulullah dan Kalimatullah yang telah diberikan kepada Maryam. Allah SWT berfirman:
"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah hamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: '(Tuhan itu) tiga.' Berhentilah dari ucapan itu. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat malaikat yang terdekat (kepada Alah). Barangsiapa yang enggan dari menyernbah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadanya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari Allah. " (QS. an-Nisa': 171- 173)
Ibnu Katsir berkata dalam Qhisasul Anbiya': Para pengikut Nabi Isa berselisih pendapat setelah Nabi Isa diangkat ke langit. Sebagian mereka mengatakan, di tengah-tengah kita ada hamba Allah SWT dan rasul-Nya (Ariyus). Sebagian lagi mengatakan, dia adalah Allah. Yang lain lagi mengatakan, dia adalah anak Allah. Mereka berselisih pendapat tentang Injil yang menyebutkan berbagai kebo hongan di mana terdapat di dalamnya penambahan, pengurangan, dan pergantian. Al-Qur'an al-Karim telah membahas persoalan ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa Allah SWT Maha Suci dari segala sekutu dan anak dan segala hal yang menyerupai-Nya serta segala bentuk ingkarnasi, kejauhan, kedekatan dan pencapaian pandangan mata. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, YangMahaEsa.'Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. " (QS. al-Ikhlash: 1-4)
Dan tentang Isa as Allah berfirman: "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: 'Jadilah' (seorang manusia), maka jadilah ia." (QS. Ali 'Imran: 59)
"Mereka (orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anah.' Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepadanya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya: 'Jadilah', lalujadilah ia." (QS. al-Baqarah: 116-117)
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Allah' dan orang-orang Nasrani berhata: Al-Masih itu putra Allah.' Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Mereka dilaknat oleh Allah; bagaimana mereka sampai berpaling?" (QS. at-Taubah: 30)
Nas tersebut mengisyaratkan akidah orang-orang Mesir dan orang-orang seperti mereka dari umat-umat yang terdahulu di mana akidah mereka terfokus pada keyakinan penyaliban Isa, tentang tebusan dan kebangkitan Tuhan yang disembelih serta penentangannya terhadap para pengikutnya setelah kematiannya.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam.' Katakanlah: 'Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendah Allah, jika Dia hendak membinasakan al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?' Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apayang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dihehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Maidah: 17)
"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Allah salah seorang dari yang tiga,' padahal sekali-kali tidak ada selain dari Tuhan YangEsa." (QS. al-Maidah: 73)
Demikianlah Al-Qur'an al-Karim menyebutkan sikap berbagai aliran yang saling berlawanan yang tumbuh setelah pengangkatan al-Masih. Al-Qur'an menjelaskan bahwa al-Masih adalah hamba Allah SWT dan seorang rasul yang diutus kepada Bani Israil. Kata hamba dan rasul adalah kata yang sangat jelas artinya, adapun yang dimaksud dengan al-Kalimah dan ar-Ruh, maka kedua kata tersebut perlu dijelaskan. Kaum Muslim memahami bahwa al-Kalimah adalah petunjuk Allah SWT yang diberikan-Nya kepada Maryam sedangkan ar-Ruh adalah menunjukkan atau mengisyaratkan kepada Ruh Kudus, yaitu Jibril as. Allah SWT telah menguatkannya atau menguatkan Nabi Isa dengan ruh yakni Jibril:
"Dan (ingatlah) ketiha Aku dukung kamu dengan Ruhul Kudus." (QS. al-Maidah: 110)
Setelah mengemukakan keyakinan kaum Masehi tentang karakter Nabi Isa dan akhir dari kehidupannya dan setelah menjelaskan kebenaran yang Allah SWT ceritakan kepada kita tentang karakter tersebut dan akhir dari kehidupan yang dialami oleh Nabi Isa, kita ingin mengetahui apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslim dalam hubungan mereka dengan orang-orang Masehi serta keyakinan mereka. Islam menetapkan atau menyampaikan nas-nas yang jelas yang mengkhususkan agama Masehi—di antara agama-agama yang lain—dengan kecintaan. Al-Qu'ran mengingkari ketuhanan al-Masih; ia juga mengingkari penyaliban dan tebusan dosa yang dilakukannya. Namun Al-Qur'an menegaskan dalam nasnya bahwa agama Nasrani merupakan agama yang lebih dekat kecintaannya kepada Islam. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.' Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri." (QS. al-Maidah: 82)
Allah SWT memuji para pengikut al-Masih yang berjalan di atas petunjuknya. Allah SWT berfirman:
"Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (keadaan tidak menikah dan mengurung diri di biara) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencarai keridhaan Allah." (QS. al-Hadid: 27)
Tidak terdapat kontradiksi dari dua sikap tersebut. Pengingkaran Al-Qur'an terhadap ketuhanan al-Masih dan pengakuannya terhadap kecintaan kaum Nasrani serta pujiannya terhadap orang-orang yang mengikuti Nabi Isa mengandung makna lebih dari satu: Pertama, bahwa Masehi berdasarkan pada agama Tauhid dan sangat sulit bagi para pengikutnya untuk meninggalkan tauhid, dan hanya Allah SWT yang mengakui hakikat apa yang terpendam dalam hati; kedua, dalam kalangan orang-orang Nasrani terdapat para pendeta dan para rahib yang tidak bersikap congkak di hadapan Allah SWT tetapi mereka sangat patuh dan tunduk kepadanya; ketiga, sebagian pengikut Nabi Isa memiliki hati yang dipenuhi dengan kasih sayang dan rahmat. Tentu rahmat dan kasih sayang tersebut tidak tumbuh kecuali dari keimanan terhadap hari akhir. Allah SWT telah menetapkan perintah-Nya kepada kaum Muslim agar mereka memperlakukan ahlul kitab dengan perlakuan yang mulia dan baik, sebagaimana Islam menjamin kebebasan untuk menentukan keyakinan pada setiap manusia. Allah SWT berfirman:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS. Yunus: 99)
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah." (QS. al-Baqarah: 256)
"Katakanlah: 'Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidah kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. Ali 'Imran: 64)
Kita perhatikan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang cara memperlakukan kaum Masehi sebagai individu sebagaimana ia berbicara tentang bagaimana kita memperlakukan keyakinan mereka. Sehubungan dengan kaum Masehi sebagai individu, kita menyaksikan ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk membalas kecintaan yang mereka perlihatkan di mana nas tersebut dengan tegas mengatakan bahwa mereka lebih dekat kecintaannya kepada orang-orang yang beriman. Jika Allah SWT yang menegaskan hal tersebut, maka orang-orang Muslim harus membalas kebaikan dan kecintaan yang ditunjukkan oleh kaum Nasrani. Adapun sehubungan dengan keyakinan mereka, di dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang melarang untuk memaksa manusia dalam bentuk apa pun. Allah SWT berfirman:
"Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir." (QS. al-Kahfi: 29)
Yang demikian itu, karena keimanan yang didahului dengan paksaan adalah bukan keimanan karena ia berarti mencabut ikhtiar atau kebebasan manusia, padahal itu adalah syarat dari keimanan. Dan barangkali inilah yang menunjukkan kesempumaan Islam dilihat dari sikapnya yang demikian indah. Kami kira tanpa kita harus memaksakan tafsiran kita kepada ayat-ayat tersebut dan memohon kepada Allah SWT dari kesalahan dan kebodohan bahwa Islam dengan sikapnya itu ingin menjauhkan para pengikutnya dari kalangan awam dari perdebatan yang panjang dan melelahkan seputar keyakinan orang lain. Tentu perdebatan tersebut tidak akan berujung dan akan menjadi seperti debat kusir saja. Namun tugas tersebut hanya diemban oleh para ulama, di mana mereka membahas sebagaimana mereka kehendaki berbagai keyakinan-keyakinan keberagamaan, sedangkan orang-orang awam tidak diberi tanggung jawab dalam hal itu. Lagi pula, perselisihan antara keyakinan dan aliran-aliran di kalangan Masehi dan kalangan Yahudi jika melibatkan orang-orang awam, maka itu hanya memboroskan waktu dan hanya membuat lelah saja.
Islam akan kembali menjadi asing dan akan kembali menjadi asing seperti pertama kali terbit. Dalam suasana keasingan Islam yang pertama, orang-orang Muslim berhasil membangun suatu individu Muslim yang kokoh. Dan ketika bangunan tersebut telah selesai, maka sempurnalah pembangunan pemerintahan Islam. Kita tidak mendengar bahwa salah seorang di antara mereka terlibat dalam perdebatan yang sengit yang tidak berujung sekitar keyakinan orang lain. Sesungguhnya memberi petunjuk kepada orang lain sehingga orang tersebut engetahui jalan menuju Allah SWT adalah perbuatan yang indah, tetapi hidayah tersebut didahului dengan tekad seseorang untuk memberikan petunjuk kepada dirinya sendiri. Seandainya orang-orang Islam membimbing mereka menuju jalan Allah SWT niscaya Allah SWT memberi petunjuk melalui mereka siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Al-Qur'an menetapkan dua mukjizat kepada Nabi Isa yang tidak disebutkan dalam kitab Injil: pertama mukjizat yang berupa pembicaraannya saat ia masih menyusui dibuaian. Dan yang kedua mukjizat makanan yang turun dari langit kepada kaum Hawariyin. Sebagaimana Al-Qur'an menetapkan kemuliaan yang diperoleh oleh Nabi Isa saat ia diselamatkan dari tangan-tangan jahat orang-orang Yahudi yang ingin menyiksanya atau membunuhnya sehingga Nabi Isa terselamatkan dan dia diangkat ke langit. Rasulullah saw mewasiatkan kepada sahabatnya agar mereka memperlakukan orang-orang Masehi dengan penuh kebaikan, bahkan beliau menikahi Maria al-Qibthiya. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang lelaki dari Bani Salim bin Auf yang bernama al-Hasin mempunyai dua orang anak yang masih Kristen, lalu ia masuk Islam dan bertanya kepada Rasulullah saw bagaimana seandainya ia harus memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam sedangkan mereka berdua menolak agama lain selain agama Masehi? Kemudian Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi:
"Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam)." (QS. al-Baqarah: 256)
Ketika para utusan Najran dari kalangan kaum Masehi datang ke Madinah untuk berunding dengan Nabi, maka beliau memberi mereka setengah dari mesjidnya agar mereka dapat melaksanakan salat dengan cara mereka di dalamnya. Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri untuk melakukan salat kepada seseorang jenazah lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah jenazah Yahudi. Kemudian Rasulullah menjawab: "Bukankah ia adalah manusia." Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang mengganggu secara aniaya seorang Yahudi atau seorang Nasrani, maka aku akan jadi musuhnya pada hari kiamat." Terkadang kekuasaan akan langgeng meskipun disertai dengan kekufuran tetapi ia tidak akan abadi ketika disertai dengan kelaliman.
Para ulama Islam berselisih pendapat berkaitan dengan keadaan Nabi Isa setelah pengangkatannya. Mereka sepakat bahwa beliau tidak disalib tetapi Allah SWT mengangkatnya di sisi-Nya. Tetapi ketika ia tidak disalib, maka bagaimana keadaannya setelah itu: apakah ia masih hidup, ataukah ia mati seperti matinya nabi yang lain? Mayoritas mengatakan bahwa Allah SWT mengangkat Isa dengan fisiknya dan ruhnya di sisi-Nya. Mereka mengambil zahir dari firman-Nya:
"Tetapi Allah mengangkatnya di sisi-Nya." (QS. an-Nisa': 158)
Juga sebagian hadis yang mendukung hal tersebut. Sementara itu, kelompok yang lain dari kalangan mufasirin, dan ini adalah kelompok yang minoritas, mereka mengatakan bahwa Nabi Isa hidup sehingga Allah SWT mematikannya sebagaimana Dia mematikan nabi-nabi-Nya lalu Dia mengangkat ruhnya di sisi-Nya sebagaimana ruh para nabi diangkat, begitu juga ruh para shidiqin (orang-orang yang benar) dan syuhada. Mereka mengambil zahir firman-Nya:
"(Ingatlah) ketika Allah berfirman: 'Hai ha, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir." (QS. Ali 'Imran: 55)
Kami sendiri lebih memilih pendapat yang pertama karena ia sangat sesuai—sebagai mukjizat yang luar biasa—dengan kelahiran Isa di mana kelahiran tersebut dipenuhi dengan mukjizat yang luar biasa, juga sesuai dengan kehidupannya dan kesuciannya. Jadi, kedua-duanya merupakan mukjizat yang luar biasa.♦