PERANG JAMAL
a. Latar Belakang terjadinya perang jamal
Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan
Azzubeir meminta ijin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun
menginjinkan mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin
Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar kabar bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.
Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah
dan Abdullah bin Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua
berkumpul di Makkah juga untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.
Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti oleh orang-orang di belakang
mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai pembunuh Utsman. Semua
itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa mereka telah lalai
dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah, sementara
Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali bin
Abu Thalib.
Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman
bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka
menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif
berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke
Bashrah.
Ketika itulah, Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Ia menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka
dapat mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya. Sementara
banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan Thalhah,
Azzubair, dan Aisyah ini.
Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju
Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi
peperangan antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk
Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang
bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan yang berjumlah
10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir.
Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu
Thaliblah yang keluar mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah),
bukan mereka yang keluar menuju Ali. Mereka
juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh
sebagian kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol
terkait peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang
ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak kekhaliahan
Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan
kejelekan, tidak membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju
Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali memang tidak berada
di Bashrah.
Oleh karena itu, Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku
bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman,
lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena,
aku melihat Utsman telah terbunuh.’
Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian
bertemu dengan Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap
Utsman, lalu bertanya: “Apa yang engkau perintahkan?’
Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1
b. Perundingan jelang meletusnya peperangan
Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin
Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan
Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang.
Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka.
Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh
membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat
bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal
paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil.
Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang
mereka perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba
– mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk,
karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang.
Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan yang mencatat
peperangan ini, seperti Athabari,2 Ibnu Katsir,3 Ibnu Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya
Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang
waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari
mereka menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa
orang diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.
Pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali telah
mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat
hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan Azzubeir telah
berkhianat. Serang-menyerang antara
kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya,
perang pun berkecamuk dengan heabatnya.
c. Upaya Menghentikan Peperangan
Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah
berupaya menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika
itu Thalhah berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun
mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk
sekali jilatan neraka! Buruk sekali kerakusan!”6
Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak
menggubrisnya. Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa
mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.
Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah
berkecamuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menghentikannya. Semoga
Allah melindungi kita dari fitnah seperti itu. Imam Albukhari
menyebutkan beberapa bait syair milik Imru-ul Qais:
Perang pertama-tama tampak seperti gadis rupawan
berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang bodoh
hingga jika telah menyala dan apainya berkobar-kobar
gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya tarik
rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan menua
dengan bau yang tak sedap dihirup bila dicium7
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah
sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang
bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka tidak
dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang
seperti inilah fitnah, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴿٢٥﴾
Dan
peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang
yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)8
Perang
jamal terjadi pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang
ini mulai berkecamuk setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari
terbenam pada hari itu.
Dalam
peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan
Jamal (berunta) berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang
oleh Muhammmad bin Ali bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal
dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir.
Pada
perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah
fitnah yang kita berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang
kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi
ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).
d. Terbunuhnya Thalhah dan Azzubeir
Thalhah,
Azzubeir, dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir,
ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga dengan
Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika
Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas
Ali berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah
bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi
mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut
berperang9
Jadi
yang benar adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang
disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu
a’lam. Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad yang kuat. Namun,
begitulah yang masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi riwayat yang
lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun ia
dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.
Sementara
itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar. Namun, yang
masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam. Bidikan
Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia
sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang.
Seusai
perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga
unta yang dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi
mereka, bahkan mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu,
dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti dan selesai.
Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya tidak
ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh
kerugian dalam perang ini.
e. Pasca Terjadinya Peperangan
Pasca
Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu
menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan
mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah
berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah
bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata:
“Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa
ini.10
Setelah
itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah),
lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang dijuluki
dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.
Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.
Ibnu
Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata:
“Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.” Mendengar
hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan duka
dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang
telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk
Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11
Pasca
Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian
mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan.
Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan
menghormati Aisyah.
Diriwayatkan
dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan
terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai
Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling
celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu
terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12 Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.
f. Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?
Ali
meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat
bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan meninggalkannya
sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika
sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh.
Diantara
mereka yang masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan bin
Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang
menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi
naik ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap
seseorang yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?” Yang beliau
maksud dengan orang itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad
bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai
Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-orang Aus, maka
kami akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara kami,
orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya.
Sa’ad
bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz.
Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin
Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13
Nabi
tahu betul bahwa ini merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi
ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay
bin Salul sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang kembali
bersama sepertiga pasukan pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi
tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengapa demikian? Karena,
maslahat. Menurut pandangan beliau, menghukum Abdullah bin Ubay bin
Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
apabila beliau membiarkannya.
Demikian
juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan menimbulkan
kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu, pada
masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para
pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang
ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang
akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat
itu masih terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan
membunuh Ali? Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa
dipastikan mereka akan membunuhnya setelah itu.
Oleh
karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun
tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya
berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita.
Sementara Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi
setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara
riil (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk
mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih
hidup sampai jaman Alhajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan mereka diqishash semuanya.
Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.
Dinukil
dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah
umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein
foot note:
-
Fathul baari (XIII/38). Ibnu Hajar, penulisnya, berkata: “Ath thabari meriwayatkan kisah ini dengan sanad shahih.”
-
Taariikh Aththabari (III/517).
-
Albidaayah wan Nihaayah (VII/509)
-
Alkaamil fit Taariikh (III/120).
-
Alfishal fil Milal wal Ahwaa wan Nihal (IV/293).
-
Taariikh Khalifah bin Khayyath (hlm. 182)
-
Shahiihul Bukhari, Kitab “Alfitnah”, Bab “AlFitnatul Latii Tamuuju Kamaujil Bahr”,sebelum hadits nomor 7096.
-
Mukhtashar Minhaajis Sunnah ( hlm. 281)
-
Almushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (XV/283, no. 19674). Dalam sanad riwayat ini ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya). Riwayat ini juga disebutkan oleh al hafidz Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul ‘Aliyah (no. 4412)
-
Mukhtashar Taariikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (XI/207) dan Usdul Ghaabah (III/88). AlBushriri berkata: “Para perawinya tsiqah”, dan dia mengutipnya dari Ibnu Hajar dalam alMathaalibul ‘Aaliyah (IV/302) dengan sedikit perbedaan redaksi.
-
Ath-Thabaqaatul Kubraa karya Ibnu Sa’ad (III/105) dengan sanad hasan.
-
HR. Ahmad dalam musnadnya (VI/393). Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) : “Sanad hadits ini hasan.”
-
Muttafaq Alaih : Shahihul Bukhari, Kitab “Al Maghaazi”, Bab “Haditsul Ifki” (no. 414); dan Shahiih Muslim, Kitab “Attaubah”, Bab “Haditsul Ifki wa Qabuul Taubatil Qaadzif” (no. 2770
0 comments:
Posting Komentar