Pages

Subscribe:

Sabtu, 15 Maret 2014

SAN PEK ENG TAY.

Romantika Emansipasi Seorang Perempuan.
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat dari Tiongkok yang mengisahkan suatu episode kehidupan seorang pemudi intelektual bernama Ciok Eng Tay (disingkat, Eng Tay) dan seorang pemuda terpelajar bernama Nio San Pek (disingkat, San Pek) yang hidup di abad ke-4 Masehi.
sam-pek-eng-tay-okt
Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini adalah anonim dan mempunyai beberapa versi.?? Versi yang umum kenal adalah yang menampilkan citra yang telah terbalik itu. Sebagaimana anggapan umum dan saya juga, ia melukiskan hubungan percintaan antara Eng Tay dan San Pek yang berakhir dengan kematian mereka yang sangat menyedihkan.
Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut.
Eng Tay, yang menyamar sebagai seorang lelaki agar dapat bersekolah di rantau,ternyata jatuh cinta pada San Pek, teman sekolah dan bahkan teman sekamarnya di asrama. San Pek yang pada mulanya menyayangi Eng Tay sebagai adik angkatnya yang dikenalnya sebagai seorang lelaki, membalas cinta Eng Tay ketika mengetahui bahwa Eng Tay sebenarnyalah seorang perempuan. Tetapi perjalanan cinta mereka tak dapat berlanjut hingga perkawinan karena orang tua Eng Tay telah menjodohkan anaknya itu dengan Ma Bun Cay, putra seorang pembesar yang kaya-raya, dan memaksakan perkawinan itu. San Pek pun patah-hati, jatuh sakit, lalu mati. Namun Eng Tay menolak perkawinan tersebut dan tetap setia pada San Pek. Maka dalam perjalanan menuju rumah mempelai lelaki (Ma Bun Cay), Eng Tay menziarahi kuburan San Pek. Di tengah-tengah ratap tangis dan pernyataan kesetiaan Eng Tay di hadapan kuburan San Pek, terjadilah keajaiban, kuburan itu merekah. Dan tanpa tedeng aling-aling lagi Eng Tay terjun ke dalamnya menyusul sang kekasih. Belakangan dari kuburan mereka sering beterbangan sepasang kupu-kupu.?? Demikianlah, citra kisah San Pek Eng Tay, yang tertanam pada banyak orang dan juga pada diri saya adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan yang abadi, atau kisah seorang perempuan yang setia.
San Pek Eng Tay, Feodalisme dan Emansipasi
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat sehingga tidaklah heran bila dijumpai banyak versinya. Paling tidak, sejak dinasti Sung (960 – 1279), saat mulai berkembangnya ilmu cetak di Cina, sampai runtuhnya dinasti Ching pada tahun 1911, dapat dijumpai 11 versi chih (catatan sejarah) yang menjadi sumber kisah ini.?? Menurut catatan-catatan sejarah itu, kisah ini terjadi pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357 Masehi.
Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3-4 tahun saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun, dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi Eng Tay dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan Bok Tee.?? Masa kehidupan mereka masuk dalam zaman yang oleh pujangga-pujangga Tiongkok disebut sebagai “zaman yang amat gelap-gulita” atau “zaman Enam Dinasti,” yang berlangsung dari tahun 220 hingga 589. Pada zaman itu peperangan dan perebutan kekuasaan terjadi silih berganti. Kerajaan-kerajaan dinasti Wei, Chin, Sung, Chi, Liang dan Ch’en berdiri dan runtuh dalam waktu singkat.
Di saat kisah ini berlangsung, daerah kekuasaan kerajaan Chin telah terbagi dua sebagai akibat serbuan suku Xiung Nu. Sebelah utara sungai Yang Ce berhasil dikuasai suku ini pada tahun 317, dan raja dinasti Chin terusir dari ibukotanya, Lo Yang, lari ke sebelah selatan sungai serta menjadikan Nan King sebagai ibukotanya. Dengan demikian Chin Barat runtuh, dan Chin Timur berdiri, namun ia hanya bertahan sampai tahun 420.?? Kalau di bidang politik keadaan saat itu penuh dengan ‘kegelapan’, di bidang kebudayaan ada sedikit titik terang.
Pada masa ini sekolah-sekolah telah mulai berkembang walau terbatas untuk kaum lelaki. Kaum perempuan tidak diperkenankan bersekolah, mereka hanya boleh mendapat pengajaran les di rumah, itu pun hingga tingkat menengah saja (standar waktu itu). Bahkan bila sudah remaja mereka tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang bukan muhrimnya. Jadi pada hakikatnya, kaum perempuan dipingit.?? Tetapi waktu itu teknologi pembuatan kertas juga telah berkembang, sejak ditemukan oleh Tsai Lun pada permulaan abad ke-2. Karya-karya penting diterbitkan sehingga sebagian kaum cendekiawan/ terpelajar, termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam dalam Ngo Keng (Mandarin, Wu Ching, atau ‘Lima Klasik’), Su Si (Empat Kitab), Tao Te Ching, dan lain-lain. ‘Lima Klasik’ meliputi: 1) Shu Ching yakni Kitab Sejarah yang disusun oleh Kong Hu Cu (551 S.M. – 479 S.M.) yang menurutnya, memuat ucapan-ucapan tertulis dari para raja yang memerintah antara abad ke-24 S.M. sampai abad ke-8 S.M.; 2) Shih Ching yaitu Kitab Syair susunan Kong Hu Cu yang memuat lagu-lagu dan syair-syair yang konon digubah sejak pemerintahan kaisar Yu, 2205 S.M. hingga abad ke-6 S.M.; 3) I Ching atau Kitab Perubahan, memuat filsafat moral, sosial dan politik yang diajarkan melalui ramalan oleh kaisar Fu Hsi yang hidup sekitar 3000 S.M., dan Kaisar Bun (Mandarin, Wen Wang) pendiri dinasti Ciu (Mandarin, Chou, 1027 S.M. – 221 S.M.) serta komentar Kong Hu Cu terhadap filsafat itu; 4) Li Chi atau Kitab Adat yang disusun oleh dua bersaudara Tai; dan 5) Ch’un Ch’iu atau Catatan Musim Semi dan Musim Gugur, karya Kong Hu Cu yang memuat catatan kronologis tentang kejadiankejadian penting di negara Lu, antara tahun 722 S.M. hingga 484 S.M.?? Su Si atau ‘Empat Buku’ terdiri dari Lun Gi (Mandarin, Lun Yu) yang memuat ucapan-ucapan Kong Hu Cu mengenai berbagai soal; Beng Cu (Mandarin, Meng Tze) yang memuat pendapat-pendapat Beng Cu, pendukung ajaran Kong Hu Cu yang besar yang hidup pada tahun 372 S.M. sampai 289 S.M.; Tai Hak (Mandarin, Ta Hsueh, atau Ajaran Besar) memuat perbincangan singkat Kong Hu Cu tentang etika politik; dan Tiong Yong (Mandarin, Chung Yung) buah karya Kong Ci, cucu Kong Hu Cu, yang berusaha memperluas faham Kong Hu Cu tentang sifat dan tindakan manusia yang benar.?? Tao Te Ching atau Kitab tentang Jalan dan Kebajikan merupakan ajaran Lao Cu, pendiri Taoisme yang hidup sekitar abad ke-6 S.M. Di samping karya-karya tersebut di atas, kaum terpelajar waktu itu diduga juga mengenal syair-syair seperti yang digubah oleh Co Pi, putra raja Co Coh, dari dinasti Han dan kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh misalnya keluarga Pan, yaitu Pan Chao (32-102 M.) dan putranya, Pan Ku, serta putrinya, Pan Ciao tentang dinasti Han Awal, atau kitab Nasehat-nasehat untuk Kaum Wanita hasil karya Pan Ciao, atau barangkali, Kitab Ilmu Perang (Ping Fa) karya Sun Tse di abad ke-6 S.M.?? Agaknya, Eng Tay dan San Pek telah mengenal ide-ide besar yang terkandung dalam karya-karya tersebut di atas.
Eng Tay tidak menelan begitu saja ajaran-ajaran yang diberikan guru-guru besar itu. Ia bersikap kritis dan menginterpretasikannya kembali. Bahkan tidak berhenti pada ide saja, ia melangkah lebih jauh. Ia memberontak dan mendobrak ide dan adat-istiadat feodalistis yang membelenggu kemajuan dirinya dan kaumnya. Dengan keberanian yang luar biasa, ia menyamar sebagai lelaki selama tiga tahun agar dapat bersekolah; dengan kegagahan pula ia memilih San Pek sebagai suaminya. Dua tabu besar masa itu telah dikoyaknya, dan dengan keceriaan ia terima konsekuensinya yang fatal yaitu kematian.?? Namun tragedi ini tidak berhenti dengan kematian Eng Tay, sebab roh-semangatnya tetap hidup. Suatu tragedi yang lebih besar harus diciptakan untuk mematikan roh semangat yang dapat membahayakan feodalisme Cina yang bersandarkan pada ideologi superioritas kaum lelaki itu.
Selama 16 abad ia berhasil memutar-balikkan citra Eng Tay dan seakan-akan mengejek roh Eng Tay: benteng feodalisme sangat kukuh Eng Tay, sekukuh Tembok Cina yang dibangun oleh Kaisar Chin Sie Hong (lahir 259 S.M.) di atas penderitaan rakyatnya.?? Sudah sejak zaman purba, ribuan tahun sebelum lahirnya Eng Tay dan San Pek, orang Cina menganggap derajat kaum perempuan lebih rendah dari kaum lelaki.
Thian, Tuhan, Yang Mahakuasa, digambarkan sebagai lelaki. Kaisar dianggap sebagai putra Thian sehingga yang berhak menjadi kaisar adalah lelaki. Anak lelaki mendapat hak lebih dari anak perempuan. Ia meneruskan marga/ klen/ she ayah dan karenanya disebut pihak ‘dalam’. Anak perempuan dianggap sebagai ‘pihak luar’ karena keturunannya akan menggunakan she suaminya. Maka tak mempunyai anak lelaki dianggap suatu kemalangan, sedangkan tak memiliki anak perempuan merupakan keberuntungan.?? Konfusianisme, filsafat hidup yang diajarkan oleh Kong Hu Cu, menguasai alam pikiran dan tingkah-laku banyak orang dan masyarakat Cina selama masa yang panjang.
Sebagai produk zamannya, ia merupakan ideologi yang mendukung dan melestarikan feodalisme. Jejak-jejaknya bahkan masih terlihat hingga abad modern ini walau sudah banyak berkurang kadarnya.?? Dalam soal hubungan antara lelaki dan perempuan, Konfusianisme menempatkan derajat lelaki lebih tinggi dari perempuan. Bahkan, di kalangan yang disebut terpelajar— dalam hirarki struktur masyarakat Cina yang feodal, kaum terpelajar (Shih), yang meliputi kaum bangsawan dan kaum birokrat, berada di paling atas, diikuti di bawahnya oleh kaum tani (Nung), lalu kaum tukang/ buruh (Kung) dan yang paling rendah adalah kaum saudagar (Shang)—kaum perempuan sangat didiskriminasi. Konon di antara beriburibu murid Kong Hu Cu, tak seorang pun wanita.?? Mereka tidak diperkenankan bersekolah, paling-paling hanya boleh belajar di rumah, karenanya mereka tidak dapat menjadi golongan shih dan dengan demikian tak mungkin menjadi penguasa, kecuali dengan cara yang tidak sah seperti pada kasus pemaisuri Lu yang memerintah kerajaan Han Awal dari belakang layar sejak tahun 188 S.M. sampai 180 S.M., atau kaisar perempuan Boe Tjek Thian (Mandarin, Wu Tze Tien) yang mengangkat dirinya menjadi kaisar dan memerintah dari tahun 690 hingga 705 M., atau Cu Hie, seorang ibusuri yang berkuasa sejak tahun 1881 sampai dengan tahun 1908 M.
Ketika remaja, mereka tidak boleh bergaul dengan bebas, melainkan harus dipingit. Kebisaan mereka dibatasi pada urusan rumah tangga, mengurus anak, rumah, memasak, menyulam dan sekali-sekali bermain musik, kesemuanya dalam rangka mempersiapkan mereka sebagai ibu rumah tangga yang berfungsi melayani kaum lelaki.?? Mereka dilarang memilih sendiri pasangan hidup mereka. Jodoh mereka ditentukan oleh orang tua (biasanya ayah), sehingga kerap kali mereka mendapatkan pasangan yang tidak cocok, namun harus patuh menerimanya. Hak untuk menceraikan hanya ada pada pihak lelaki dan ia boleh berpoligami, serta bersenang-senang dengan perempuan penghibur, sedangkan hal ini terlarang bagi kaum perempuan.?? Secara fisik, mulai dari dinasti Tang (618 – 905 M.) perempuan Cina harus mengikat kaki mereka dengan kain agar tetap kecil, sebab kaki yang kecil adalah indah dan disenangi, sedangkan kaki yang besar adalah jelek dan tidak disukai oleh kaum lelaki, padahal kaki yang kecil sangat menyiksa pemiliknya.?? Kesemua diskriminasi ini demi mengabdi kaum lelaki, sesuai dengan ajaran Kong Hu Cu tentang kebajikan wanita, yang telah menjadi norma masyarakat Cina selama berabad-abad, yaitu: “Di rumah patuhi ayahmu, sesudah menikah patuhi suamimu, bila menjanda patuhi putra sulungmu.”?? Wajar saja bila diskriminasi terhadap wanita di Cina yang berlangsung lama itu menyebabkan sedikit sekali wanita Cina yang muncul menjadi figur masyarakat. Di antara yang sedikit itu, misalnya, pada masa dinasti Han Akhir (25-220 Masehi) dapat disebutkan seorang pujangga wanita bernama Pan Ciao. Dialah salah seorang inspirator Eng Tay, di samping Thay Su, istri Kaisar Bun dan ibu Kaisar Bu, dua kaisar agung Cina yang terkenal arif bijaksana. Dan belakangan, semestinya adalah Eng Tay sendiri, melalui pemikiran, kata-kata dan sepak-terjangnya yang emansipatoris.?? Namun dobrakan Eng Tay di abad ke-4 dan beberapa yang lain tak mampu meruntuhkan feodalisme yang sekukuh tembok besar Cina, dan kedudukan kaum perempuan tak banyak mencapai kemajuan sampai pada akhir abad ke-19. Bahkan roh-semangat Eng Tay dihempaskan olehnya seperti yang terjadi pada pemutarbalikan citra romantika kehidupannya yang berlangsung hingga abad ke-20.?? Tetapi bagaimanapun hebatnya suatu ideologi berusaha melestarikan status quo, roda sejarah terus bergerak tak tertahankan. Perubahan demi perubahan terjadi hingga meletuslah perubahan yang massal dan radikal. Di awal abad ke-20, seiring dengan perjuangan revolusioner bangsa Cina dalam menggulingkan kerajaan Manchu, benteng terakhir feodalisme, dan mendirikan negara republik, yang berasaskan San Min Chu I (Tiga Asas Kerakyatan), terjadilah kemajuan besar dalam emansipasi kaum wanita. Bermunculanlah sekolah-sekolah yang terbuka bagi kaum perempuan, kawin paksa semakin banyak mendapat tentangan, keharusan mengikat kaki perempuan dicabut.?? Dalam gerakan revolusioner yang berasaskan demokrasi ini, yang tentu saja mencakup asas persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki, mulai banyak wanita berperan-serta. Salah seorang di antara mereka adalah Ch’iu Ch’in, kepala sebuah sekolah putri. Ia mengorbankan jiwanya dalam rangka meruntuhkan feodalisme kerajaan Manchu. Kepalanya dipenggal sebagai hukuman atas keikutsertaannya dalam komplotan yang menembak gubenur Nanking ketika sang gubernur mengunjungi sekolahnya pada tanggal 6 Juli 1907. Ia boleh jadi telah kemasukan roh-semangat Eng Tay yang pernah bercitacita untuk menyelenggarakan sekolah perempuan untuk memajukan kaumnya, pada 16 abad sebelumnya.?? Betapa panjang dan hebatnya kesengsaraan serta keterbelakangan kaum perempuan Cina, dan alangkah banyaknya Tiongkok telah membuang-buang energinya dengan merendahkan kaum wanitanya—hal yang juga terjadi di hampir semua negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia—sehingga ia menjadi lemah, miskin, terbelakang dan kemudian dijajah oleh bangsa-bangsa asing. Suatu malapetaka besar! Namun, di sisi malapetaka ada keberuntungan. Ternyata, persentuhan, eksploitasi oleh dan konflik dengan bangsa-bangsa asing yang lebih kuat, kaya, dan maju itu telah membantu membuka mata-hati dan pikiran rakyat Tiongkok akan pentingnya asas demokrasi yang berdasarkan pada persamaan derajat.
Dengan asas ini mereka berhasil menggulingkan kerajaan Manchu, meruntuhkan feodalisme serta mendirikan Republik Tiongkok di tahun 1911, serta akhirnya berhasil mengusir imperialisme dari bumi mereka dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.?? Dengan latar belakang sejarah ini dapatlah dimengerti mengapa citra kisah San Pek Eng Tay yang ditanamkan selama ini adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan nan abadi, atau kisah wanita yang setia saja.
Eng Tay tidak boleh dicitrakan sebagai pejuang emansipasi wanita karena hal itu akan mengancam status quo superioritas lelaki yang merupakan salah satu sokoguru feodalisme waktu itu. Maka dengan pengertian ini pula, yang seharusnya bertambah jernih setelah lepasnya cengkeraman feodalisme, selayaknyalah ditambahkan subjudul pada kisah ini: Romatika Emansipasi Seorang Perempuan. Malahan, bila kita ingin seadil-adilnya, mengingat nomenklatura yaitu protokoler urutan penyebutan suatu nama berdasarkan keutamaannya, judul San Pek Eng Tay pun seharusnya dibalik menjadi Eng Tay San Pek, sebab dalam kisah ini Eng Tay-lah yang lebih berperan atau lebih menonjol ketimbang San Pek.?? Seiring dengan semakin merasuknya faham demokrasi, menjelang akhir abad ke-20 ini banyak kemajuan besar telah dicapai dalam masalah persamaan derajat antara wanita dan pria di dunia, termasuk di Negeri ini.
Di seluruh dunia dapat kita saksikan munculnya semakin banyak perempuan-perempuan yang berprestasi. Bahkan di sebagian negara beberapa wanita telah dapat menjadi kepala negara. Kini telah ada prediksi yang memperkirakan bahwa abad ke-21 yang segera akan kita masuki itu, bakal merupakan abad kaum perempuan. Di zaman itu, semoga sajalah subjudul kisah sejenis San Pek Eng Tay yang akan datang tidak berbunyi: Romantika Emansipasi Seorang Lelaki.??
Klik disini untuk membaca Sam Pek Eng Tay
DARI:http://sasakala.wordpress.com

0 comments: