Pages

Subscribe:

Sabtu, 15 Maret 2014

Aku dan Dia


Aku berbeda. Dari dulu aku sudah tahu, ada yang berbeda dari diriku.
Kupandang wajahnya yang pucat. Air mata mulai merembes keluar dari celah-celah bulu matanya yang lentik. Ada rasa sakit yang menggerogotiku pelan-pelan saat aku melihat betapa sedih wajah gadis yang duduk di hadapanku saat ini. Sakit yang aku tahu pasti bagaimana rasanya. Karena sekarang ini aku sedang dilanda kepedihan yang sama.
Aku mengerang putus asa. Kuremas rambutku dengan frustasi.
“Jangan begitu, Rei.” Gadis itu memindahkan tangan dari pangkuannya, menarik tanganku, kemudian meremas jemariku dengan lembut. “Tidak akan ada yang berubah sekalipun kamu menyakiti dirimu sendiri.”
“Coba katakan padaku apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan sekarang ini?”
“Tidak banyak yang bisa kamu lakukan, Rei.” Senyum Liana menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Senyumnya yang khas. Senyum yang sederhana namun selalu berlumur ketulusan. Hhhhh. Aku tak tahu kapan lagi bisa melihatnya setelah malam ini, karena besok pagi aku dan seluruh keluargaku akan menghilang keluar negeri. “Tetaplah berterima kasih atas semua yang telah terjadi pada kita.”
“Setelah semua ini? Setelah aku harus dipisahkan darimu?” Aku mendengus tak rela. “Kenapa kita harus menghadapi situasi ini? Kenapa orang tuaku tidak bisa menerimamu? Kenapa pula mereka tidak bisa menerima keadaanku?”
“Banyak pertanyaan mengapa di dunia ini yang kita tidak akan pernah tahu jawabannya.” Liana menanggapiku dengan sabar. “Semua masalah yang menimpa hidup kita, pasti akan ada jalan keluarnya, Rei. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti.”
Aku membuang nafas dengan kasar. Tidak bisa lagi menanggapi kata-kata Liana karena aku sudah hampir menangis. Dan aku tidak mau menangis di depan gadis yang kucintai untuk yang kedua kalinya.
Semua ini gara-gara malam laknat hampir sebulan yang lalu. Malam di mana aku tidak bisa lagi menguasai diriku untuk tidak mendekap Liana dalam pelukanku. Sudah lebih dari dua tahun kami menjalin hubungan secara diam-diam. Dan hampir selama itu pula kedua orangtuaku selalu berusaha mencari cara untuk memisahkan kami begitu mereka mengendus hubungan aku dan Liana lebih dari sekedar teman biasa sekalipun aku sudah mati-matian menyangkalnya.
Aku tahu. Jelas-jelas aku tahu kalau sampai kedua orang tuaku melihatku memeluknya, hubunganku dan Liana pasti akan segera berakhir. Tapi malam itu, entah setan mana yang merasukiku, aku bukan hanya memeluknya tanpa pikir panjang di depan pagar rumahku setelah kami menghabiskan waktu seharian saat itu. Aku mengecupnya. Tepat di sudut bibirnya. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Kubiarkan diriku terlena dalam aliran kebahagiaan yang luar biasa. Sampai-sampai aku sama sekali tidak menyadari kedua orang tuaku telah berdiri tegak di hadapanku ketika kedua mataku terbuka.
Sorot mata mereka begitu dingin. Cenderung menuduh. Menghakimi. Mereka memandangku laksana aku tak lebih dari seonggok sampah yang harus segera dimusnahkan dari muka bumi.
Aku tak dapat berkata-kata ketika mereka menghujaniku dengan seribu cacian dan hinaan. Juga tak berdaya ketika Ayah memegangi kedua lenganku erat-erat, menahan rontaanku yang membabi buta dan menyeret tubuhku yang bergerak seperti kesetanan dalam linangan air mata sementara aku melihat gadis yang kucintai diusir begitu saja di depan mataku.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu Liana. Sampai malam ini. Malam terakhir aku berada di Jakarta setelah keluargaku memutuskan untuk pindah keluar negeri hanya untuk menjauhkanku dari Liana. Aku memohon pada Ibu, sampai menangis sesenggukkan, mencium kedua belah pipinya dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi jika Ibu membiarkanku bertemu Liana untuk yang terakhir kalinya.
Di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah meja bundar di salah satu restoran ternama di Jakarta dengan gadis paling cantik yang senantiasa memenuhi seluruh rongga otakku selama ini.
“Jangan pikirkan lagi malam itu, Rei.” kata Liana seolah dia dapat membaca pikiranku seraya menatapku lekat-lekat ketika dilihatnya aku tercenung lama.
“Aku tidak bisa melindungimu.” desahku pahit. “Jangankan melindungimu, melindungi diri sendiri pun rasanya aku tak bisa.”
“Kurasa apa yang dilakukan kedua orang tuamu itu benar. Tidak pantas aku menjadi pendampingmu.”
“Salahkah jika aku menyukai seseorang dalam hidupku?” tanyaku memelas. Kualihkan pandanganku dari mata Liana yang sembab pada kepulan asap yang menari-nari di atas cangkir tehku sejak tadi dan sama sekali belum kusentuh.
“Tidak ada salahnya jika kamu menyukai seseorang, Rei. Yang salah adalah kamu menyukai orang yang salah.” Kulirik wajah Liana dan melihat seuntai senyum getir menggurat di bibirnya.
“Aku tidak pernah menyesal menyukaimu.” tegasku. “Kamu tahu pasti perasaanku padamu.”
Tatapanku menembus langsung ke dalam dua bola mata Liana yang berwarna hitam jernih, menanti tanggapannya.
“Aku mencintaimu, Rei. Selalu.” tukas Liana sederhana. “Kalaupun kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah malam ini, kamu akan tetap menempati singgasana penting dalam hidupku yang tidak akan pernah bisa kulupakan.”
“Aku juga, Liana.” kataku dengan suara bergetar.
Belum sempat lagi kulanjutkan kata-kataku, kurasakan sepasang tangan telah menyentuh pundakku dari belakang, mengisyaratkan agar aku segera bangkit dari dudukku dan berlalu pergi. Aku tidak perlu menoleh untuk mendapati siapa yang melakukan itu padaku. Aku tahu Ibu yang melakukannya. Dia memang hanya memberiku waktu lima belas menit dan mengawasiku dalam diam di sebuah meja selang dua meja dari tempat dudukku dengan Liana.
Aku tak lagi berkata-kata. Aku bangkit berdiri dengan tubuh yang serasa nyaris melayang. Mataku masih menatap mata Liana dengan sendu. Tidak perlu banyak kalimat yang perlu kulontarkan untuk mengungkapkan jutaan perasaan yang membuncah di dadaku. Aku percaya Liana mengerti seberapa dalam perasaanku padanya.
“Sampai jumpa, Liana.” Kupandang wajah Liana untuk yang terakhir kalinya dan sempat kulihat dua bulir air mata akhirnya mengalir turun dikedua belah pipinya. Kulempar senyum termanis yang mampu kuberikan sebelum akhirnya aku membalikkan tubuhku dan menggigit bibirku kuat-kuat hanya agar isak yang kutahan sejak tadi tidak meledak.
Aku mencintainya. Tapi sayangnya, kurasa aku terlahir bukan untuknya.
Karena aku perempuan. Liana juga perempuan. Dan kami sama-sama jatuh cinta.
Aku memang berbeda. Dari dulu aku sudah merasakan ada yang berbeda dari diriku. Namun yang tidak pernah kusangka, perbedaan dalam diriku itu ternyata bukan hanya melukai diriku sendiri, tetapi juga semua orang di sekelilingku yang mencintaiku.
DARI:http://sasakala.wordpress.com

0 comments: