Aku berbeda. Dari dulu aku sudah tahu, ada yang berbeda dari diriku.
Kupandang wajahnya yang pucat. Air mata
mulai merembes keluar dari celah-celah bulu matanya yang lentik. Ada
rasa sakit yang menggerogotiku pelan-pelan saat aku melihat betapa sedih
wajah gadis yang duduk di hadapanku saat ini. Sakit yang aku tahu pasti
bagaimana rasanya. Karena sekarang ini aku sedang dilanda kepedihan
yang sama.
Aku mengerang putus asa. Kuremas rambutku dengan frustasi.
“Jangan begitu, Rei.” Gadis itu
memindahkan tangan dari pangkuannya, menarik tanganku, kemudian meremas
jemariku dengan lembut. “Tidak akan ada yang berubah sekalipun kamu
menyakiti dirimu sendiri.”
“Coba katakan padaku apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan sekarang ini?”
“Tidak banyak yang bisa kamu lakukan,
Rei.” Senyum Liana menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Senyumnya
yang khas. Senyum yang sederhana namun selalu berlumur ketulusan. Hhhhh.
Aku tak tahu kapan lagi bisa melihatnya setelah malam ini, karena besok
pagi aku dan seluruh keluargaku akan menghilang keluar negeri.
“Tetaplah berterima kasih atas semua yang telah terjadi pada kita.”
“Setelah semua ini? Setelah aku harus
dipisahkan darimu?” Aku mendengus tak rela. “Kenapa kita harus
menghadapi situasi ini? Kenapa orang tuaku tidak bisa menerimamu? Kenapa
pula mereka tidak bisa menerima keadaanku?”
“Banyak pertanyaan mengapa di dunia ini
yang kita tidak akan pernah tahu jawabannya.” Liana menanggapiku dengan
sabar. “Semua masalah yang menimpa hidup kita, pasti akan ada jalan
keluarnya, Rei. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti.”
Aku membuang nafas dengan kasar. Tidak
bisa lagi menanggapi kata-kata Liana karena aku sudah hampir menangis.
Dan aku tidak mau menangis di depan gadis yang kucintai untuk yang kedua
kalinya.
Semua ini gara-gara malam laknat hampir
sebulan yang lalu. Malam di mana aku tidak bisa lagi menguasai diriku
untuk tidak mendekap Liana dalam pelukanku. Sudah lebih dari dua tahun
kami menjalin hubungan secara diam-diam. Dan hampir selama itu pula
kedua orangtuaku selalu berusaha mencari cara untuk memisahkan kami
begitu mereka mengendus hubungan aku dan Liana lebih dari sekedar teman
biasa sekalipun aku sudah mati-matian menyangkalnya.
Aku tahu. Jelas-jelas aku tahu kalau
sampai kedua orang tuaku melihatku memeluknya, hubunganku dan Liana
pasti akan segera berakhir. Tapi malam itu, entah setan mana yang
merasukiku, aku bukan hanya memeluknya tanpa pikir panjang di depan
pagar rumahku setelah kami menghabiskan waktu seharian saat itu. Aku
mengecupnya. Tepat di sudut bibirnya. Kupejamkan mataku rapat-rapat.
Kubiarkan diriku terlena dalam aliran kebahagiaan yang luar biasa.
Sampai-sampai aku sama sekali tidak menyadari kedua orang tuaku telah
berdiri tegak di hadapanku ketika kedua mataku terbuka.
Sorot mata mereka begitu dingin.
Cenderung menuduh. Menghakimi. Mereka memandangku laksana aku tak lebih
dari seonggok sampah yang harus segera dimusnahkan dari muka bumi.
Aku tak dapat berkata-kata ketika mereka
menghujaniku dengan seribu cacian dan hinaan. Juga tak berdaya ketika
Ayah memegangi kedua lenganku erat-erat, menahan rontaanku yang membabi
buta dan menyeret tubuhku yang bergerak seperti kesetanan dalam linangan
air mata sementara aku melihat gadis yang kucintai diusir begitu saja
di depan mataku.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi
bertemu Liana. Sampai malam ini. Malam terakhir aku berada di Jakarta
setelah keluargaku memutuskan untuk pindah keluar negeri hanya untuk
menjauhkanku dari Liana. Aku memohon pada Ibu, sampai menangis
sesenggukkan, mencium kedua belah pipinya dan berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan yang sama lagi jika Ibu membiarkanku bertemu Liana
untuk yang terakhir kalinya.
Di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah
meja bundar di salah satu restoran ternama di Jakarta dengan gadis
paling cantik yang senantiasa memenuhi seluruh rongga otakku selama ini.
“Jangan pikirkan lagi malam itu, Rei.”
kata Liana seolah dia dapat membaca pikiranku seraya menatapku
lekat-lekat ketika dilihatnya aku tercenung lama.
“Aku tidak bisa melindungimu.” desahku pahit. “Jangankan melindungimu, melindungi diri sendiri pun rasanya aku tak bisa.”
“Kurasa apa yang dilakukan kedua orang tuamu itu benar. Tidak pantas aku menjadi pendampingmu.”
“Salahkah jika aku menyukai seseorang
dalam hidupku?” tanyaku memelas. Kualihkan pandanganku dari mata Liana
yang sembab pada kepulan asap yang menari-nari di atas cangkir tehku
sejak tadi dan sama sekali belum kusentuh.
“Tidak ada salahnya jika kamu menyukai
seseorang, Rei. Yang salah adalah kamu menyukai orang yang salah.”
Kulirik wajah Liana dan melihat seuntai senyum getir menggurat di
bibirnya.
“Aku tidak pernah menyesal menyukaimu.” tegasku. “Kamu tahu pasti perasaanku padamu.”
Tatapanku menembus langsung ke dalam dua bola mata Liana yang berwarna hitam jernih, menanti tanggapannya.
“Aku mencintaimu, Rei. Selalu.” tukas
Liana sederhana. “Kalaupun kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah
malam ini, kamu akan tetap menempati singgasana penting dalam hidupku
yang tidak akan pernah bisa kulupakan.”
“Aku juga, Liana.” kataku dengan suara bergetar.
Belum sempat lagi kulanjutkan
kata-kataku, kurasakan sepasang tangan telah menyentuh pundakku dari
belakang, mengisyaratkan agar aku segera bangkit dari dudukku dan
berlalu pergi. Aku tidak perlu menoleh untuk mendapati siapa yang
melakukan itu padaku. Aku tahu Ibu yang melakukannya. Dia memang hanya
memberiku waktu lima belas menit dan mengawasiku dalam diam di sebuah
meja selang dua meja dari tempat dudukku dengan Liana.
Aku tak lagi berkata-kata. Aku bangkit
berdiri dengan tubuh yang serasa nyaris melayang. Mataku masih menatap
mata Liana dengan sendu. Tidak perlu banyak kalimat yang perlu
kulontarkan untuk mengungkapkan jutaan perasaan yang membuncah di
dadaku. Aku percaya Liana mengerti seberapa dalam perasaanku padanya.
“Sampai jumpa, Liana.” Kupandang wajah
Liana untuk yang terakhir kalinya dan sempat kulihat dua bulir air mata
akhirnya mengalir turun dikedua belah pipinya. Kulempar senyum termanis
yang mampu kuberikan sebelum akhirnya aku membalikkan tubuhku dan
menggigit bibirku kuat-kuat hanya agar isak yang kutahan sejak tadi
tidak meledak.
Aku mencintainya. Tapi sayangnya, kurasa aku terlahir bukan untuknya.
Karena aku perempuan. Liana juga perempuan. Dan kami sama-sama jatuh cinta.
Aku memang berbeda. Dari dulu aku sudah
merasakan ada yang berbeda dari diriku. Namun yang tidak pernah
kusangka, perbedaan dalam diriku itu ternyata bukan hanya melukai diriku
sendiri, tetapi juga semua orang di sekelilingku yang mencintaiku.
DARI:http://sasakala.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar