NAMA: JONO
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan,
seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara
Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan dari
pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah
terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki
oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat
tinggi.Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan
sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang
lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya,
adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan
Surabaya.Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan
barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak
pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan
masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah,
maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi
mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan
terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21
Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan
dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena
pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor
redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap
pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda
mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda.
Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus
politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di
kalangan masyarakat luas.Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta,
kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara,
dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu
Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian
tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.Keadaan
Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan
penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa
itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi
pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan
Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir
adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan
usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
0 comments:
Posting Komentar