Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa
karena kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi
seseorang yang masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti
atau mati. Tetapi tetap saja terjadi, setelah kematian Abimanyu anak
Arjuna yang menjadikan Arjuna kehilangan pegangan diri, kali ini Sang
Bima Sena-pun mengalami hal yang sama.
Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya
sendiri. Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam
itu adalah atas niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung
membuat perasaannya yang teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga
anak lelakinya telah mendahuluinya meraih surga. Yang pertama ketika
mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas kejayaan trah Pandawa sebelum
pecah perang waktu lalu .
Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga
telah merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak
menyaksikan dan mengalami perang Barata, asalkan para orang tuanya
unggul dalam perang itu. Ia dengan sukarela tersorot mata api yang tajam
Batara Badawanganala, hingga lebur menjadi abu.*)
Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan,
maka remuk redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan
pikiran yang kosong Werkudara berjalan menjauhi arena peperangan. Tak
terasa langkahnya sampai dipinggir bengawan Cingcingguling ketika waktu
belum lagi menjelang siang. Rasa lelah semalaman dalam menghadapi
barisan raksasa dari Pagerwaja, Pageralun dan Pagerwatangan, membebani
raga sang Bima, ditambah jiwa yang terluka menganga, merana
ditinggalkan semua anak tercintanya. Walau amuknya semalam telah
menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni, Anggabasa dan
Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian
terhadap Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir
bengawan, sang Bima melepas lelah.
Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir
bagai kejadian yang baru saja terjadi. Dibayangkannya sosok sang istri
yang begitu menyayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita yang
sesuai dengan angan angan ketika ia memilih istri. Wanita yang lembut
namun perkasa dan sakti mandraguna.
Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan kasih, hidup dan
perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika
membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker
dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang
ternyata mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah
menyatu dalam jiwa masing masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya
diri ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang begitu perkasa
dan sakti, menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti
Talibrata, ketika menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi
perilakunya dalam membantu anak anaknya, sehingga tercetus kata mantra
Sabda Tunggal Wenganing Rahsa ke telinga Arimbi.
Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia
melahirkan seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang
Tetuka, tetapi oleh olah para Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa
dengan kekuatan bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia telah berhasil
membebaskan Kahyangan Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu
Kalapercona dan para punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang
sangat ia banggakan dengan sosok yang dambaan yang melekat pada angan
angannya. Putra sempurna yang merajai negara tinggalan dari orang tua
ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang tuanya, yaitu Prabu Trembuku.
Itulah Negara Pringgandani.
Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan
angannya itu buyar, ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya.
Warna suara itu, suara teriakan sesumbar itu. Itulah suara sesumbar
dari Dursasana.
Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari
taman Kadilengeng di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan
dari iparnya, Banuwati, untuk mengalahkan Arjuna, serta hinaan
kepadanya yang dituduh sebagai manusia yang takut darah, menjadikannya
ia sangat bernafsu untuk segera menaklukkan Pandawa.
Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia
menjadi anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan,
inilah pelampiasan dendam atas kematian anaknya tadi malam.
Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang
melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga
yang mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari dalam rasa
hati. Melompat sang Bima menuju kearah suara yang nyerocos sesumbar tak
henti hentinya.
Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika
melihat Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai
dimedan peperangan, orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang
ia bayangkan.
“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot
repot mencarimu ditengah banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa !
Sekalian aku hendak membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah
anakmu Gatutkaca ! kalimat yang terucap disertai tawa yang mengalir dari mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.
“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya
.
“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama
saja. Sekaranglah waktunya untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan
satu, siapakah sebenarnya yang mempunyai kaki yang lebih kokoh, lengan
yang lebih kekar dan tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” yakin Dursasana kali ini dapat menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang punggung trah Pandawa ini.
“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti berucap.
Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan
Kurawa mulai berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada
Werkudara dielakkan dengan sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan
bisa mengenai sasaran, segera Dursasana menarik kembali serangannya,
kemudian ganti tangan kirinya hendak menyapu pundak Bima. Gerakan
Dursasana yang lurus menyerang pundaknya segera ditangkis dengan tangan
kanan, benturan kedua tangan terjadi. Sentuhan tangan keduanya memulai
kontak tenaga sebagai penjajakan atas kekuatan diantara keduanya.
“He
he he . . . . bagus juga kekuatanmu, jangan keburu senang dengan
berhasil menghindari serangan pertamaku. Ayolah sekarang ganti kamu
yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun kekuatan yang
hendak kau kerahkan”
“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !”
Kembali keduanya siap dengan kuda kudanya. Kali ini kaki kanan
Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan
kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara
beradu dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut
pada kakinya hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian
kekuatan kaki Werkudara telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang
terpaksa menggulingkan diri. Werkudara mencecar dengan hendak
menginjaknya, namun waspada Dursasana yang segera menyapu gerakan kaki
Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan kaki keduanya terjadi dengan
kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing masing.
Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing
masing mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut
Dursasana mengalirkan sumpah serapah seperti kebiasaanya.
Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara
yang sudah siap dengan kuda kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau
diam dengan caci makinya. Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti
kanan kiri diselingi sambaran kepalan tangan dari keduanya. Saling
serang dan elak berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya
bagaikan perkelahian seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa
Werkudara yang kokoh maju setapak setapak menahan dan menyerang balik
Dursasana yang berkelahi bagai seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai
terbabat oleh sabetan tangan dan kaki kedua musuh abadi itu. Tanaman
perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar besar batangnya
bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya.
Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari
keduanya. Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap
segala kesaktian dari Ajian Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol
hingga menyatunya saudara tunggal bayu serta kekuatan raksasa
Kumbakarna yang ia peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu
Kresna yang menyamar menjadi Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan
Hastabrata kepada Arjuna, sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan
selagi ia mencari keberadaan Kresna dan Arjuna. Usaha “tarak brata”
inilah yang membuat ia lama kelamaan menjadikannya Werkudara unggul
telak daripada Dursasana yang jarang melakukan usaha peningkatan ilmu
kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana.
Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong,
berganti ia mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara
melayani kemauan Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada
Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi
tubi dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan
segala kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan.
Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba mencari
akal lain dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan
melawan dengan berulang ulang kemudian melompati kali Cingcingguling.
“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku keseberang!
Kamu tunjukkan seberapa kuat tenaga seribu gajah yang kamu miliki !
“ Ia berharap sebelum kaki Werkudara menapak tebing seberang ia sudah
kembali menyerang sehingga lawannya kehilangan keseimbangan kemudian
serangan beruntun dilancarkan hingga lawan dengan mudah disasarnya.
Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan
adiknya, segera melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia
kehilangan jejak Arjuna ketika adiknya itu terkena tekanan jiwa atas
kematian Abimanyu, membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana
adanya Werkudara yang mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna
ketika itu.
Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang
tidak resmi dan ia berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka
diutusnya seseorang untuk menjemput Drupadi.
Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam mengubah
strategi menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan
kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur tangan pihak ketiga juga
ikut bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela atas
kematiannya masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak
menuntut balas atas kematiannya.
Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai
menjadi sarana atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan
menginjak tebing sungai dengan mulus, tersandung akar dan goyah
langkahnya. Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh Werkudara yang
dengan sigap menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci gerak
lawannya. Dengan tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan
seekor buaya memutar mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya.
Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi dengan tulang yang sudah patah pada beberapa bagian. “
Adikku Werkudara, lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa
kemanusiaanmu. Kendurkan pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku,
berikan aku hidup. . . . . . . .” Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.
“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu
masih dalam keadaan jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel
saudara sepupumu. Sekarang waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang
selalu mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak
iparku Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi
dadu, hingga sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali
bergelung”. Mendengar permohonan ampun tidak digubris, dengan muka
yang memerah marah dan gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda
keputus asaan mendera dadanya.
Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam
kepongahan itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari
mulutnya. Kekesalan Bima terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh
lawannya hingga tercerai berai. Tidak puas juga, bagian anggauta badan
Dursasana yang sudah tercerai berai dilemparkan kesegala penjuru.
Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan
pernah bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah
Dursasana. Janji itu terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh
Dursasana di arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh semua
yang hadir dalam arena itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat
dipermalukan karena pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak
dapat dilepas seakan tiada berujung. Maka kesempatan itu tak hendak
dilalukan. Bima yang teringat akan sumpah kakak iparnya segera menyedot
darah Dursasana dengan mulutnya hingga kumis dan jenggotnya tergenang
merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya Draupadi, dituangkannya
darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari jenggot dan kumisnya,
yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang dengan senang hati
menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.
(Bersambung).
*). Pada versi pedalangan Banyumasan, ada empat anak Werkudara. Satu
yang hampir tak pernah disebut, yaitu Raden Srenggini. Sedangkan pada
masa lalu, pedalangan gaya Surakarta menyatakan Antasena dan Antareja
adalah sosok yang sama.