Pages

Subscribe:

Jumat, 01 Mei 2015

Pertempuran Eks Batalyon 426 melawan Pasukan TNI (1951-1952)

        Sebuah kejadian menggemparkan terjadi pada akhir tahun 1951. Saat itu beredar informasi yang menyebutkan keterlibatan pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) / (Indonesian Army), dalam organisasi Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Setelah dilakukan investigasi pihak internal, diketahui bahwa yang terlibat ialah Pasukan dari Batalyon 423 dan 426. keduanya merupakan Batalyon di lingkungan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro.
Dari keterlibatan kedua Batalyon tersebut, pihak TT IV Diponegoro kemudian menangkap 3 oknum perwira dari Batalyon 423 yang sebelumnya telah dicurigai. Pemeriksaan pun berlanjut, berikutnya adalah Batalyon 426. Dalam investigasi, ditemukan orang-orang yang jelas-jelas ikut dalam gerakan DI/TII. Mereka terlibat baik secara sembunyi maupun secara terang-terangan.
GENDERANG PERANG TELAH DITABUH
Sebenarnya, Teritorial IV Diponegoro telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menyelesaikan permasalahan inh, yakni dengan menangkap sejumlah orang yang terlibat. Langkah ini dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya bentrokan di dalam kubu TNI itu sendiri. Namun rupanya langkah yang ditempuh tersebut mengalami sejumlah hambatan, serta tidak ada perkembangan progresif yang memuaskan.
Mereka yang berhasil ditangkap merupakan oknum Tentara Batalyon 423. Permasalahan mereka sudah dituntaskan oleh pihak Teritorial. Namun, yang menjadi masalah berikutnya adalah Batalyon 426 karena belum ada satupun dari mereka yang berhasil dijinakkan.
Menyikapi kenyataan di lapangan, akhirnya Panglima Tentara Teritorial IV Diponegoro Kolonel Gatot Subroto, mengambil sebuah inisiatif. Guna memastikan “kesetiaan” terhadap kesatuannya, Kolonel Gatot memerintahkan 2 orang petinggi Batalyon 426 untuk menghadap pada dirinya. Kedua orang tersebut adalah Mayor Munawar dan Kapten Sofyan. Namun, dari dua orang yang dipanggil, hanya Mayor Munawar saja yang datang menghadap. Saat itu, ia merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai seorang komandan, di mana sejumlah besar anak buahnya terlibat di dalam organisasi terlarang. Sedangkan Kapten Sofyan sendiri, lebih memilih untuk membangkang, dan melanjutkan perjuangannya dalam gerakan DI/TII.
Untuk mencegah agar situasi Jawa Tengah tidak semakin keruh, akhirnya Kol. Gatot segera memerintahkan semua Komandan Brigade untuk mempersiapkan rencana penindakan. Sebuah ultimatum diserukan kepada Batalyon 426 agar dengan segera menyerahkan oknum-oknum “yang membangkang”. Jika tidak mematuhi ultimatum tersebut, maka pihak Teritorial tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan.
10 MENIT UNTUK BERPIKIR
Tepat tanggal 8 Desember 1951 pukul lima pagi, Komandan Batalyon 424 memberi ultimatum terhadap Kapten Sofyan untuk menyerahkan diri. Sebanyak tiga Batalyon, yaitu Batalyon 424, 421, dan 425, dikerahkan untuk mengepung markas Batalyon 426 di Kudus. Untuk menambah daya gempur kekuatan, gabungan ketiga Batalyon tersebut diperkuat lagi dengan satu setengah peleton dari unsur Kavaleri.
Di antara gelapnya pagi yang mencekam itu. Pasukan gabungan TNI mengepung markas Batalyon 426. Perintah untuk segera menyerah berkali-kali sudah diteriakkan dari luar markas. Meski sudah terdesak dan terkepung, ada-ada saja permintaan yang ingin disampaikan Kapten Sofyan. Ia meminta waktu berpikir 10 menit, guna mempertimbangkan permintaan pasukan pengepung. Akan tetapi belum genap 10 menit, rentetan tembakan pun pecah di antara pasukan Batalyon 426. Mereka bertekad ingin mempertahankan diri sampai ajal menjemput mereka, meskipun hal itu berarti mereka harus mati di tangan “saudara” mereka sendiri. Akhirnya aksi baku tembak sesama anggota TNI tak terhindarkan lagi.
Baku tembak berlangsung cukup sengit dan alot, dan nampaknya tidak ada tanda-tanda perkembangan yang signifikan dari pertempuran tersebut. Tak ada tanda bahwa pasukan gabungan sanggup menaklukkan tentara eks Batalyon 426. Bahkan bisa dibilang, Pasukan pimpinan kapt. Sofyan lebih unggul. Itu terjadi lantaran bangunan markas xang mereka gunakan juga berfungsi sebagai benteng pertahanan.
Menghadapi situasi yang kurang menguntungkan, memaksa pasukan Kavaleri TNI yang turut serta dalam pengepungan mengambil inisiatif. Mereka ingin membumi-hanguskan markas Batalyon 426. Namun, Komandan Batalyon 424 yang ditugasi sebagai Komandan pengepungan melarang hal tersebut. Alasannya, sang Komandan berharap, siapa tahu anggota eks Batalyon 426 kemudian akan sadar, lalu menyerahkan diri secara sukarela. Lagipula mereka juga sesama pejuang yang turut bahu-membahu melawan Belanda pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1950.
Sudah sehari penuh pengepungan dilancarkan, matahari pun telah bergeser dan senja pun menghampiri. Namun tak ada tanda-tandah bahwa Batalyon 426 akan menyerahkan diri. Tak disangka, ketika langit mulai beranjak gelap, hujan lalu turun dengan sangat deras. Rupanya cuaca yang tidak bersahabat ini dimanfaatkan Pasukan Batalyon 426 untuk meloloskan diri dari kepungan pasukan. Dan benar saja, mereka berhasil meninggalkan markas mereka tanpa diketahui oleh pasukan pengepung.
Sementara itu di Magelang, dua kompi eks Batalyon 426 yang dipimpin oleh Kapten Alief diperintahkan untuk tidak meninggalkan markas kompi. Mereka diawasi dengan ketat oleh pihak Teritorial IV. Namun rupanya kabar pertempuran dan pengepungan terhadap markas induk di Kudus sampai juga ke telinga mereka. Tidak ingin kejadian di Kudus terulang, gerombolan pasukan eks Batalyon 426 pun melarikan diri. Batalyon 408 yang ditugasi menggempur dua kompi di Magelang selanjutnya melakukan penindakan yang lebih tegas.
Pada tanggal 9 Desember 1951, Kapt. Alief sebagai pimpinan pasukan “pemberontak”, di depan Komandan Batalyon 408, berjanji tidak akan mengikuti aksi pasukan seperti yang terjadi di Kudus dan tetap tunduk di bawah perintah Batalyon 408. Namun, rupanya hal tersebut sebagai taktik agar dua kompi pasukannya dapat berangsur meloloskan diri untuk kemudian bergabung dengan induk pasukan yang dipimpin oleh Kapt. Sofyan. Akhirnya, sehari kemudian, 10 Desember 1951, pukul 01:00 dini hari, dua kompi eks Batalyon 426 di Magelang, resmi melakukan pemberontakan.
BANJIR DARAH DI KLATEN
Dua kompi B-426 di Magelang akhirnya mengikuti jejak kawan-kawan mereka di Kudus. Para pemberontak tersebut melarikan diri. Guna memecah konsentrasi pasukan pengejar, mereka menyamar sebagai masyarakat biasa. Mereka mengganti pakaian militer mereka dengan pakaian sipil untuk mengecoh pasukan pengejar. Selain itu mereka juga berbaur dengan masyarakat setempat sembari bergerak melakukan konsolidasi.
Satu kompi eks Batalyon 426, dipimpin Mohjidin, bergerak ke selatan menuju Muntilan. Di Muntilan, gerombolan ini menyerang pos polisi dan menyerbu rumah tahanan serta membebaskannya. Selanjutnya mereka bergerak ke daerah Salaman, dan terlibat baku tembak. Dalam pertempuran di Salaman, mereka kehilangan satu peleton pasukan. Setelah itu sisanya berhasil kabur ke daerah Surakarta. Sedangkan satu Kompi lainnya bergerak ke utara menuju Grabag dan terus dikejar oleh Kompi 1 Batalyon 408.
Ketika sampai di daerah Simo, Boyolali, gerombolan pemberontak berhasil menculik Komandan Mobile Brigade (Mobrig), lalu merampas senjatanya. Selanjutnya mereka dicegat oleh pasukan Mobile Brigade di Simo dan Mojongsongo, Boyolali, mereka pun melakukan perlawanan. Baku tembak berlangsung cukup sengit dan berhasil menewaskan seorang penembak bren dari Mobrig. Setelah berhasil menaklukkan Boyolali, pasukan ini melakukan penyerangan di Delanggu, Klaten. Pada penyerbuan yang berlangsung pada malam hari itu, seorang polisi tewas tertembak oleh aksi mereka.
Petualangan mereka berlanjut ke daerah Cokrotulung. Di daerah tersebut, pasukan eks B-426 memperoleh tambahan senjata segar ketika berhasil melucuti 11 anggota Mobrig. Kedua kompi tersebut akhirnya melakukan regrouping di daerah Ngupit, Klaten, pada tanggal 11 Desember 1951.
Melihat perkembangan bahwa Klaten telah dijadikan daerah pengunduran beberapa kompi eks. B-426, maka kewaspadaan di daerah Surakarta dan sekitarnya mulai ditingkatkan. Seperti yang dilakukan di Solo, di wilayah ini, diadakan pembersihan terhadap sel-sel pendukung eks. B-426.
Sementara di Klaten juga dilancarkan sweeping senjata api. Namun rupa-rupanya aksi sweeping senjata api yang dilakukan pasukan TNI dari pihak Teritorial IV sudah terendus dan sudah diperkirakan sebelumnya oleh mereka.
Karena dirasa kekuatan pasukan pemberontak semakin kuat saja, pihak Tentara Teritorial IV Diponegoro memutuskan untuk melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Moch Bachrun. Operasi ini diperkuat 13 Batalyon Infanteri dan didukung 5 peleton Kavaleri, 3 baterai Artileri medan, dan satuan bantuan tempur lainnya.
Pada tanggal 11 Desember 1951, salah satu Batalyon yang ikut dalam Operasi Merdeka Timur- Batalyon 419, bergerak dari Klaten untuk melakukan penghancuran terhadap pasukan eks B-426 di daerah Ngupit, Jatinom. Sekitar pukul 10:30, Komandan B-419 Mayor Koesmanto melalui radio perhubungan menerima permintaan bantuan tembakan mortir dari Kompi 2 B-419. Saat anggotanya bersiap melakukan pengecekan titik koordinat, tak ada komunikasi balasan dari pihak pasukan di Kompi 2. Untuk menghindari salah sasaran, maka tembakan mortir pun diurungkan.
Sebagai Komandan, Mayor Kusmanto segera mencari tahu posisi Kompi 2. Sebuah kejadian cukup mengagetkan dialami Kusmanto dan Letnan Satu Kandiawan, ajudannya. Ketika dalam perjalanan pukul 12:00 siang, mereka berpapasan dengan pasukan pemberontak yang tengah berusaha mengundurkan diri ke desa Kragilan karena terdesak gempuran pasukan TNI.
Mayor Koesmanto dan Lettu Kandiawan pun berhenti, dan melakukan penyelidikan terhadap posisi pelarian musuh. Tahu bahwa keberadaan mereka terendus, para pemberontak akhirnya melepaskan tembakan ke arah dua perwira TNI tersebut. Naas bagi Koesmanto, ia terkena tembakan. Parahnya, peluru menembus tulang rusuk kiri dan paru-paru kiri.
Hujan tembakan terus ditembakkan membabi-buta ke arah Mayor Koesmanto, Lettu Kandiawan beserta anak buah mereka yang saat itu sedang mengemudikan jeep. Kandiawan dan prajurit pengemudi berupaya melakukan pertolongan terhadap Mayor Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Mereka pun mencoba menaikkan Koesmanto ke bagian belakang jeep, Prajurit pengemudi berhasil memutar posisi kendaraan.
Meski berhasil memutar, namun rupanya tembakan pasukan pemberontak berhasil mengenai radiator jeep. Pengemudi pun panik, akibatnya, jeep yang tengah ia kemudikan masuk ke parit dan menerobos ladang penduduk setempat. Mereka tidak dapat bergerak lagi sehingga upaya proses evakuasi terhadap Mayor Koesmanto gagal. Koesmanto dan Kandiawan yang dalam keadaan terluka masih tertinggal di jalan.
Tanpa ampun, para pemberontak semakin gencar menembaki keduanya yang sudah semakin tersudut. Melihat keduanya terdesak, pasukan pemberontak pun semakin mendekat. Mereka mengepung dari berbagai arah. Ketika merangsek maju, Lettu Kandiawan berhasil membubarkan mereka dengan tembakan senapan Owen. Musuh pun kocar-kacir dan lebih memilih mundur. Untuk sementara keadaan mereda. Keduanya segera menghampiri pengemudi jeep yang masih bersembunyi terpisah.
Tiba-tiba berondongan tembakan mengarah ke arah tiga orang tersebut. Musuh datang kembali. Namun tembakan kali ini lebih gencar daripada sebelumnya. Mayor Koesmanto pun memerintahkan Kandiawan untuk menemui Kompi 1 guna meminta bantuan pasukan tambahan. Prajurit pengemudi diperintahkan untuk menyembunyikan Mayor Koesmanto. Sementara Lettu Kandiawan segera bergerak ke arah Kompi 1.
Rupanya Mayor Koesmanto sudah tidak mampu lagi menahan luka-lukanya yang makin parah akibat tembakan. Guna mengamankan dirinya dari tembakan para pemberontak, sang pengemudi pun menyembunyikannya. Akan tetapi di tengah jalan mereka ditembaki lagi oleh eks B-426.
Akhirnya Lettu Kandiawan berhasil menemukan posisi pasukan Kompi 1 Batalyon 419. Komandan Kompi 1, Kapt. Kamto, dengan segera mengirimkan satu peleton untuk mengevakuasi Mayor Koesmanto. Mereka pun berhasil mengevakuasi Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Setelah beberapa hari di rawat, kabar duka pun menghampiri. Tepat pada hari Rabu, 12 Desember 1951 pukul 15:20, Mayor Koesmanto akhirnya meninggal dunia karena luka-luka parah yang dideritanya.
Guna mematikan perlawanan pasukan pemberontak, diterjunkanlah bantuan pasukan dari Brigade Mangkubumi sebanyak dua kompi (Batalyon 413), 1 Kompi dari B-412, serta 1 peleton Eskadron Lapis Baja.
Tidak tahan menghadapi gempuran pasukan TNI, pasukan eks B-426 memilih mundur dan melarikan diri ke arah Dawar, Boyolali. Akan tetapi pergerakan mereka dihadang oleh satu kompi B-416 dan satu peleton Mobrig. Dari tempat ini mereka mundur lagi ke arah Tulung, Malangan dan Ngunut. Akhirnya, mereka pun berhasil lolos dari sergapan.
Pasukan eks B-426 kemudian melakukan konsolidasi, setelah mereka mendapat suntikan kekuatan yang berhasil melakukan perembesan dari arah Kedung Jati di Simo, Boyolali. Mereka berusaha menghindari kontak senjata dan berupaya menuju Klaten. Pasukan ini sudah bergerak menuju Selatan setelah melewati Purwodadi.
Pada 22 Desember 1951, pasukan pemberontak masuk dari arah Walikukun, Ngawi. Dalam usaha pelarian mereka, sempat dihadang oleh Batalyon 508 Divisi Brawijaya dan Batalyon 428, namun lagi-lagi mereka berhasil lolos dari hadangan hingga tiba di daerah Karanganyar. Pada 29 Desember mereka bertahan di Duwet, Karanganyar. Di daerah ini mereka berhasil menerobos pertahanan dua Kompi B-421. Dalam pertempuran Duwet, pasukan pemberontak dihujani tembakan Artileri sambil menerobos pertahanan dan berhasil menguasai posisi dataran yang lebih tinggi dari pasukan TNI. Akibatnya, pemberontak berhasil memporak-porandakan dua kompi dari B-421.
Melihat keadaan yang begitu genting, Komandan B-417, Mayor Soenaryo, memerintahkan perlawanan. Pasukan B-417 merangsek maju. Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan lagi. Namun malang bagi Mayor Soenaryo, dalam pertempuran dirinya gugur akibat tertembak oleh pasukan pemberontak dalam baku tembak dekat yang berjarak lima meter. Sedangkan di pihak musuh, Kapt. Sofyan terkena tembakan dan mengalami luka-luka.
Sementara itu 8 kendaraan milik B-417 yang berada di jalan dibakar pasukan pemberontak. Selang beberapa lama, bantuan dari Kavaleri pun datang dan langsung menggempur posisi pasukan eks B-426 yang masih bertahan di perkampungan penduduk. Akhirnya, pasukan eks B-426 mengundurkan diri, termasuk Kapt. Sofyan yang terluka. Akhirnya Kapt. Sofyan pun tewas dan jenazahnya berhasil di evakuasi di daerah Wonogiri.
Petualangan Batalyon 426 pun berakhir setelah mengalami operasi pengejaran yang tanpa henti oleh pasukan TNI. Sisa-sisa pasukan tersebut akhirnya dengan susah payah berhasil memasuki wilayah Gerakan Benteng Nasional (GBN), dan bergabung dengan gerakan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.







Sumber: Buku INFANTERI The Backbone of the Army. Priyono. MataPadi PressIndo – Cetakan Pertama Januari 2012

0 comments: