Sebuah kejadian
menggemparkan terjadi pada akhir tahun 1951. Saat itu beredar
informasi yang menyebutkan keterlibatan pasukan TNI (Tentara Nasional
Indonesia) / (Indonesian Army), dalam organisasi Darul Islam /
Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Setelah dilakukan investigasi pihak
internal, diketahui bahwa yang terlibat ialah Pasukan dari Batalyon
423 dan 426. keduanya merupakan Batalyon di lingkungan Tentara
Teritorium (TT) IV Diponegoro.
Dari keterlibatan kedua
Batalyon tersebut, pihak TT IV Diponegoro kemudian menangkap 3 oknum
perwira dari Batalyon 423 yang sebelumnya telah dicurigai.
Pemeriksaan pun berlanjut, berikutnya adalah Batalyon 426. Dalam
investigasi, ditemukan orang-orang yang jelas-jelas ikut dalam
gerakan DI/TII. Mereka terlibat baik secara sembunyi maupun secara
terang-terangan.
GENDERANG PERANG TELAH
DITABUH
Sebenarnya, Teritorial
IV Diponegoro telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
menyelesaikan permasalahan inh, yakni dengan menangkap sejumlah orang
yang terlibat. Langkah ini dilakukan sebagai upaya mencegah
terjadinya bentrokan di dalam kubu TNI itu sendiri. Namun rupanya
langkah yang ditempuh tersebut mengalami sejumlah hambatan, serta
tidak ada perkembangan progresif yang memuaskan.
Mereka yang berhasil
ditangkap merupakan oknum Tentara Batalyon 423. Permasalahan mereka
sudah dituntaskan oleh pihak Teritorial. Namun, yang menjadi masalah
berikutnya adalah Batalyon 426 karena belum ada satupun dari mereka
yang berhasil dijinakkan.
Menyikapi kenyataan di
lapangan, akhirnya Panglima Tentara Teritorial IV Diponegoro Kolonel
Gatot Subroto, mengambil sebuah inisiatif. Guna memastikan
“kesetiaan” terhadap kesatuannya, Kolonel Gatot memerintahkan 2
orang petinggi Batalyon 426 untuk menghadap pada dirinya. Kedua orang
tersebut adalah Mayor Munawar dan Kapten Sofyan. Namun, dari dua
orang yang dipanggil, hanya Mayor Munawar saja yang datang menghadap.
Saat itu, ia merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai seorang
komandan, di mana sejumlah besar anak buahnya terlibat di dalam
organisasi terlarang. Sedangkan Kapten Sofyan sendiri, lebih memilih
untuk membangkang, dan melanjutkan perjuangannya dalam gerakan
DI/TII.
Untuk mencegah agar
situasi Jawa Tengah tidak semakin keruh, akhirnya Kol. Gatot segera
memerintahkan semua Komandan Brigade untuk mempersiapkan rencana
penindakan. Sebuah ultimatum diserukan kepada Batalyon 426 agar
dengan segera menyerahkan oknum-oknum “yang membangkang”. Jika
tidak mematuhi ultimatum tersebut, maka pihak Teritorial tidak
segan-segan menggunakan cara kekerasan.
10 MENIT UNTUK BERPIKIR
Tepat tanggal 8 Desember
1951 pukul lima pagi, Komandan Batalyon 424 memberi ultimatum
terhadap Kapten Sofyan untuk menyerahkan diri. Sebanyak tiga
Batalyon, yaitu Batalyon 424, 421, dan 425, dikerahkan untuk
mengepung markas Batalyon 426 di Kudus. Untuk menambah daya gempur
kekuatan, gabungan ketiga Batalyon tersebut diperkuat lagi dengan
satu setengah peleton dari unsur Kavaleri.
Di antara gelapnya pagi
yang mencekam itu. Pasukan gabungan TNI mengepung markas Batalyon
426. Perintah untuk segera menyerah berkali-kali sudah diteriakkan
dari luar markas. Meski sudah terdesak dan terkepung, ada-ada saja
permintaan yang ingin disampaikan Kapten Sofyan. Ia meminta waktu
berpikir 10 menit, guna mempertimbangkan permintaan pasukan
pengepung. Akan tetapi belum genap 10 menit, rentetan tembakan pun
pecah di antara pasukan Batalyon 426. Mereka bertekad ingin
mempertahankan diri sampai ajal menjemput mereka, meskipun hal itu
berarti mereka harus mati di tangan “saudara” mereka sendiri.
Akhirnya aksi baku tembak sesama anggota TNI tak terhindarkan lagi.
Baku tembak berlangsung
cukup sengit dan alot, dan nampaknya tidak ada tanda-tanda
perkembangan yang signifikan dari pertempuran tersebut. Tak ada tanda
bahwa pasukan gabungan sanggup menaklukkan tentara eks Batalyon 426.
Bahkan bisa dibilang, Pasukan pimpinan kapt. Sofyan lebih unggul. Itu
terjadi lantaran bangunan markas xang mereka gunakan juga berfungsi
sebagai benteng pertahanan.
Menghadapi situasi yang
kurang menguntungkan, memaksa pasukan Kavaleri TNI yang turut serta
dalam pengepungan mengambil inisiatif. Mereka ingin membumi-hanguskan
markas Batalyon 426. Namun, Komandan Batalyon 424 yang ditugasi
sebagai Komandan pengepungan melarang hal tersebut. Alasannya, sang
Komandan berharap, siapa tahu anggota eks Batalyon 426 kemudian akan
sadar, lalu menyerahkan diri secara sukarela. Lagipula mereka juga
sesama pejuang yang turut bahu-membahu melawan Belanda pada Masa
Revolusi Indonesia, 1945-1950.
Sudah sehari penuh
pengepungan dilancarkan, matahari pun telah bergeser dan senja pun
menghampiri. Namun tak ada tanda-tandah bahwa Batalyon 426 akan
menyerahkan diri. Tak disangka, ketika langit mulai beranjak gelap,
hujan lalu turun dengan sangat deras. Rupanya cuaca yang tidak
bersahabat ini dimanfaatkan Pasukan Batalyon 426 untuk meloloskan
diri dari kepungan pasukan. Dan benar saja, mereka berhasil
meninggalkan markas mereka tanpa diketahui oleh pasukan pengepung.
Sementara itu di
Magelang, dua kompi eks Batalyon 426 yang dipimpin oleh Kapten Alief
diperintahkan untuk tidak meninggalkan markas kompi. Mereka diawasi
dengan ketat oleh pihak Teritorial IV. Namun rupanya kabar
pertempuran dan pengepungan terhadap markas induk di Kudus sampai
juga ke telinga mereka. Tidak ingin kejadian di Kudus terulang,
gerombolan pasukan eks Batalyon 426 pun melarikan diri. Batalyon 408
yang ditugasi menggempur dua kompi di Magelang selanjutnya melakukan
penindakan yang lebih tegas.
Pada tanggal 9 Desember
1951, Kapt. Alief sebagai pimpinan pasukan “pemberontak”, di
depan Komandan Batalyon 408, berjanji tidak akan mengikuti aksi
pasukan seperti yang terjadi di Kudus dan tetap tunduk di bawah
perintah Batalyon 408. Namun, rupanya hal tersebut sebagai taktik
agar dua kompi pasukannya dapat berangsur meloloskan diri untuk
kemudian bergabung dengan induk pasukan yang dipimpin oleh Kapt.
Sofyan. Akhirnya, sehari kemudian, 10 Desember 1951, pukul 01:00 dini
hari, dua kompi eks Batalyon 426 di Magelang, resmi melakukan
pemberontakan.
BANJIR DARAH DI KLATEN
Dua kompi B-426 di
Magelang akhirnya mengikuti jejak kawan-kawan mereka di Kudus. Para
pemberontak tersebut melarikan diri. Guna memecah konsentrasi pasukan
pengejar, mereka menyamar sebagai masyarakat biasa. Mereka mengganti
pakaian militer mereka dengan pakaian sipil untuk mengecoh pasukan
pengejar. Selain itu mereka juga berbaur dengan masyarakat setempat
sembari bergerak melakukan konsolidasi.
Satu kompi eks Batalyon
426, dipimpin Mohjidin, bergerak ke selatan menuju Muntilan. Di
Muntilan, gerombolan ini menyerang pos polisi dan menyerbu rumah
tahanan serta membebaskannya. Selanjutnya mereka bergerak ke daerah
Salaman, dan terlibat baku tembak. Dalam pertempuran di Salaman,
mereka kehilangan satu peleton pasukan. Setelah itu sisanya berhasil
kabur ke daerah Surakarta. Sedangkan satu Kompi lainnya bergerak ke
utara menuju Grabag dan terus dikejar oleh Kompi 1 Batalyon 408.
Ketika sampai di daerah
Simo, Boyolali, gerombolan pemberontak berhasil menculik Komandan
Mobile Brigade (Mobrig), lalu merampas senjatanya. Selanjutnya mereka
dicegat oleh pasukan Mobile Brigade di Simo dan Mojongsongo,
Boyolali, mereka pun melakukan perlawanan. Baku tembak berlangsung
cukup sengit dan berhasil menewaskan seorang penembak bren dari
Mobrig. Setelah berhasil menaklukkan Boyolali, pasukan ini melakukan
penyerangan di Delanggu, Klaten. Pada penyerbuan yang berlangsung
pada malam hari itu, seorang polisi tewas tertembak oleh aksi mereka.
Petualangan mereka
berlanjut ke daerah Cokrotulung. Di daerah tersebut, pasukan eks
B-426 memperoleh tambahan senjata segar ketika berhasil melucuti 11
anggota Mobrig. Kedua kompi tersebut akhirnya melakukan regrouping di
daerah Ngupit, Klaten, pada tanggal 11 Desember 1951.
Melihat perkembangan
bahwa Klaten telah dijadikan daerah pengunduran beberapa kompi eks.
B-426, maka kewaspadaan di daerah Surakarta dan sekitarnya mulai
ditingkatkan. Seperti yang dilakukan di Solo, di wilayah ini,
diadakan pembersihan terhadap sel-sel pendukung eks. B-426.
Sementara di Klaten juga
dilancarkan sweeping senjata api. Namun rupa-rupanya aksi sweeping
senjata api yang dilakukan pasukan TNI dari pihak Teritorial IV sudah
terendus dan sudah diperkirakan sebelumnya oleh mereka.
Karena dirasa kekuatan
pasukan pemberontak semakin kuat saja, pihak Tentara Teritorial IV
Diponegoro memutuskan untuk melancarkan Operasi Merdeka Timur yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Moch Bachrun. Operasi ini diperkuat 13
Batalyon Infanteri dan didukung 5 peleton Kavaleri, 3 baterai
Artileri medan, dan satuan bantuan tempur lainnya.
Pada tanggal 11 Desember
1951, salah satu Batalyon yang ikut dalam Operasi Merdeka Timur-
Batalyon 419, bergerak dari Klaten untuk melakukan penghancuran
terhadap pasukan eks B-426 di daerah Ngupit, Jatinom. Sekitar pukul
10:30, Komandan B-419 Mayor Koesmanto melalui radio perhubungan
menerima permintaan bantuan tembakan mortir dari Kompi 2 B-419. Saat
anggotanya bersiap melakukan pengecekan titik koordinat, tak ada
komunikasi balasan dari pihak pasukan di Kompi 2. Untuk menghindari
salah sasaran, maka tembakan mortir pun diurungkan.
Sebagai Komandan, Mayor
Kusmanto segera mencari tahu posisi Kompi 2. Sebuah kejadian cukup
mengagetkan dialami Kusmanto dan Letnan Satu Kandiawan, ajudannya.
Ketika dalam perjalanan pukul 12:00 siang, mereka berpapasan dengan
pasukan pemberontak yang tengah berusaha mengundurkan diri ke desa
Kragilan karena terdesak gempuran pasukan TNI.
Mayor Koesmanto dan
Lettu Kandiawan pun berhenti, dan melakukan penyelidikan terhadap
posisi pelarian musuh. Tahu bahwa keberadaan mereka terendus, para
pemberontak akhirnya melepaskan tembakan ke arah dua perwira TNI
tersebut. Naas bagi Koesmanto, ia terkena tembakan. Parahnya, peluru
menembus tulang rusuk kiri dan paru-paru kiri.
Hujan tembakan terus
ditembakkan membabi-buta ke arah Mayor Koesmanto, Lettu Kandiawan
beserta anak buah mereka yang saat itu sedang mengemudikan jeep.
Kandiawan dan prajurit pengemudi berupaya melakukan pertolongan
terhadap Mayor Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Mereka pun
mencoba menaikkan Koesmanto ke bagian belakang jeep, Prajurit
pengemudi berhasil memutar posisi kendaraan.
Meski berhasil memutar,
namun rupanya tembakan pasukan pemberontak berhasil mengenai radiator
jeep. Pengemudi pun panik, akibatnya, jeep yang tengah ia kemudikan
masuk ke parit dan menerobos ladang penduduk setempat. Mereka tidak
dapat bergerak lagi sehingga upaya proses evakuasi terhadap Mayor
Koesmanto gagal. Koesmanto dan Kandiawan yang dalam keadaan terluka
masih tertinggal di jalan.
Tanpa ampun, para
pemberontak semakin gencar menembaki keduanya yang sudah semakin
tersudut. Melihat keduanya terdesak, pasukan pemberontak pun semakin
mendekat. Mereka mengepung dari berbagai arah. Ketika merangsek maju,
Lettu Kandiawan berhasil membubarkan mereka dengan tembakan senapan
Owen. Musuh pun kocar-kacir dan lebih memilih mundur. Untuk sementara
keadaan mereda. Keduanya segera menghampiri pengemudi jeep yang masih
bersembunyi terpisah.
Tiba-tiba berondongan
tembakan mengarah ke arah tiga orang tersebut. Musuh datang kembali.
Namun tembakan kali ini lebih gencar daripada sebelumnya. Mayor
Koesmanto pun memerintahkan Kandiawan untuk menemui Kompi 1 guna
meminta bantuan pasukan tambahan. Prajurit pengemudi diperintahkan
untuk menyembunyikan Mayor Koesmanto. Sementara Lettu Kandiawan
segera bergerak ke arah Kompi 1.
Rupanya Mayor Koesmanto
sudah tidak mampu lagi menahan luka-lukanya yang makin parah akibat
tembakan. Guna mengamankan dirinya dari tembakan para pemberontak,
sang pengemudi pun menyembunyikannya. Akan tetapi di tengah jalan
mereka ditembaki lagi oleh eks B-426.
Akhirnya Lettu Kandiawan
berhasil menemukan posisi pasukan Kompi 1 Batalyon 419. Komandan
Kompi 1, Kapt. Kamto, dengan segera mengirimkan satu peleton untuk
mengevakuasi Mayor Koesmanto. Mereka pun berhasil mengevakuasi
Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Setelah beberapa hari di
rawat, kabar duka pun menghampiri. Tepat pada hari Rabu, 12 Desember
1951 pukul 15:20, Mayor Koesmanto akhirnya meninggal dunia karena
luka-luka parah yang dideritanya.
Guna mematikan
perlawanan pasukan pemberontak, diterjunkanlah bantuan pasukan dari
Brigade Mangkubumi sebanyak dua kompi (Batalyon 413), 1 Kompi dari
B-412, serta 1 peleton Eskadron Lapis Baja.
Tidak tahan menghadapi
gempuran pasukan TNI, pasukan eks B-426 memilih mundur dan melarikan
diri ke arah Dawar, Boyolali. Akan tetapi pergerakan mereka dihadang
oleh satu kompi B-416 dan satu peleton Mobrig. Dari tempat ini mereka
mundur lagi ke arah Tulung, Malangan dan Ngunut. Akhirnya, mereka pun
berhasil lolos dari sergapan.
Pasukan eks B-426
kemudian melakukan konsolidasi, setelah mereka mendapat suntikan
kekuatan yang berhasil melakukan perembesan dari arah Kedung Jati di
Simo, Boyolali. Mereka berusaha menghindari kontak senjata dan
berupaya menuju Klaten. Pasukan ini sudah bergerak menuju Selatan
setelah melewati Purwodadi.
Pada 22 Desember 1951,
pasukan pemberontak masuk dari arah Walikukun, Ngawi. Dalam usaha
pelarian mereka, sempat dihadang oleh Batalyon 508 Divisi Brawijaya
dan Batalyon 428, namun lagi-lagi mereka berhasil lolos dari hadangan
hingga tiba di daerah Karanganyar. Pada 29 Desember mereka bertahan
di Duwet, Karanganyar. Di daerah ini mereka berhasil menerobos
pertahanan dua Kompi B-421. Dalam pertempuran Duwet, pasukan
pemberontak dihujani tembakan Artileri sambil menerobos pertahanan
dan berhasil menguasai posisi dataran yang lebih tinggi dari pasukan
TNI. Akibatnya, pemberontak berhasil memporak-porandakan dua kompi
dari B-421.
Melihat keadaan yang
begitu genting, Komandan B-417, Mayor Soenaryo, memerintahkan
perlawanan. Pasukan B-417 merangsek maju. Pertempuran jarak dekat pun
tak terhindarkan lagi. Namun malang bagi Mayor Soenaryo, dalam
pertempuran dirinya gugur akibat tertembak oleh pasukan pemberontak
dalam baku tembak dekat yang berjarak lima meter. Sedangkan di pihak
musuh, Kapt. Sofyan terkena tembakan dan mengalami luka-luka.
Sementara itu 8
kendaraan milik B-417 yang berada di jalan dibakar pasukan
pemberontak. Selang beberapa lama, bantuan dari Kavaleri pun datang
dan langsung menggempur posisi pasukan eks B-426 yang masih bertahan
di perkampungan penduduk. Akhirnya, pasukan eks B-426 mengundurkan
diri, termasuk Kapt. Sofyan yang terluka. Akhirnya Kapt. Sofyan pun
tewas dan jenazahnya berhasil di evakuasi di daerah Wonogiri.
Petualangan Batalyon 426
pun berakhir setelah mengalami operasi pengejaran yang tanpa henti
oleh pasukan TNI. Sisa-sisa pasukan tersebut akhirnya dengan susah
payah berhasil memasuki wilayah Gerakan Benteng Nasional (GBN), dan
bergabung dengan gerakan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat.
Sumber: Buku INFANTERI The Backbone of the Army. Priyono. MataPadi PressIndo – Cetakan Pertama Januari 2012
0 comments:
Posting Komentar