Masuk dan Berkembangnya Islam ke Makasar (Gowa-Tallo)
Gowa-Tallo
biasanya disebut dengan kerajaan Makasar. Makasar ialah nama suku
bangsanya, sedangkan kerajaannya bernama Gowa-Tallo. Tallo merupakan
kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, namun dua kerajaan ini selalu
bersatu, sehingga mereka menjadi kerajaan kembar. Letak kerajaan
Gowa-Tallo di Semenanjung barat daya pulau Sulawesi yang sangat stategis
dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah di kepulauan Nusantara.
Rempah-rempah dari Maluku di perdagangkan di pelabuhan Gowa-Tallo, yang
dibawa oleh pedagang-pedagang Makassar dari Maluku.
Para
pedagang Jawa, Bugis, dan Melayu mulai membawa barang dagangannya ke
Gowa-Tallo. Kerena sikap raja yang tidak pandang agama, maka kerajaan
Gowa-Tallo disinggahi oleh bermacam-macam bangsa, baik bangsa Asia
maupun Eropa. Semenjak Makasar tampil sebagai pusat perdagangan laut,
kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan Ternate yang
merupakan pusat cengkeh, yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri.
Dibawah
Sultan Babullah Ternate mengadakan perjanjian persahabatab dengan
Gowa-Tallo. Ketika ini raja Ternate mengajak penguasa Gowa-Tallo masuk
Islam, tetapi gagal. Pada masa
Dato’ ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa-Tallo, agam Islam mulai masuk
dalam kerajaan ini. Raja Gowa yang pertama menganut Islam ialah Sultan
Alauddin sedangkan raja Tallo yang pertama mengambil gelar Abdullah
dengan julukan Awalul Islam.
Tahun
1607, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk menjadikan Ilam sebagai
agama resmi kerajaan dan masyarakat. Dwitunggal Alauddin dan Abdullah
ini sangat giat mengislamkan rakyat mereka dan juga memperluas daerah
kerajaan mereka. Sehingga kerajaan Islam yang pertama di Sulawesi
Selatan itu menguasai tidak hanya meliputi sebagian besar Sulawesi dan
pulau-pulau sekitarnya melainkan sampai dibagian Tumur Nusa Tenggara.
Kerajaan kembar Gowa-Tallo menyampaikan pesan Islam kepada
kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi yang belum menganut agama Islam
seperti, kerajaan luwu yang lebih tua menerima pesan Islam tersebut
dengan baik.
Namun,
tidak semua penyebaran agama Islam di Sulawesi ini berjalan dengan
lancar, ada beberapa kerajaan yang belum bisa menerima pesan tersebut
deperti, kerajaan Wojo, Soppeng, dan Bone, tiga kerajaan ini terikat
dalam hegemoni dengan Gowa-Tallo. Walaupun demikian Wojo dan Soppeng
menerima ajakan, dan disertai ancaman dari Gowa-Tallo, tetapi Bone yang
merupakan kerajaan bugis terbesar menolak.
Gowa-Tallo
akhirnya melancarkan ekspedisi militer ke Bone, perang pun meletus
ditahun 1611. Dalam perperangan ini Gowa-Tallo menang dalam penyebaran
Islam. Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa Sultan dari kerajaan
Gowa-Tallo sangat memegang tradisi yang mengatakan bahwa seorang raja
harus memberikan hal baik kepada orang lain, dengan menyampaikan pesan
Islam keberbagai daerah di Sulawesi, sehingga Islam dapat berkembang
dengan luas di wilayah ini.
Mundurnya Kerajaan Makassar dan Bugis
Pada
masa pemerintahan Hasanuddin (1653-1669), Belanda mulai menyebar di
daerah ini. Sultan Hasanuddin berusaha untuk menjaga kedaulatan dan
kerajaan Makassar dari cengkraman Belanda. Belanda sangat membenci
Kesultanan Makassar karena, Sultan selalu mengirim angkatan laut untuk
mengawal para pedagang yang berangkat dari Makassar menuju Maluku,
sehingga pedagang Makassar diluar pengawasan Belanda.
Terjadi
beberapa kali perperangan antara Sultan Hasanuddin dengan Belanda.
Akhirnya Sultan bersedia melakukan perjanjian damai di Batavia. Setelah
perjanjian tesebut, Sultan kembali membangun pertahanan dengan
mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone, Soppeng dan
lain-lain. Namun dalam perperangan ini Sultan Hasanuddin kehilangan
seorang tokoh Bugis yaitu, Arung Palakka.
Arung
Palakka bersatu dengan Belanda untuk membebaskan suku Bugis dari
kekuasaan Makassar. Pada tahun 1666 terjadi perang besar-besaran antara
Kesultanan Makkasar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Belanda
dipimpin oleh Cornelis Speelman yang dibantu oleh Arung Palakka. Belanda
dan Arung Palakka berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin. Pada tahun
1667, Sultan Hasanuddin terpaksa melakukan perjanjian dengan Belanda,
perjanjian ini sangat merugikan Kesultanan Makassar.
Karena
tidak puas dengan perjanjian ini maka, pada tahun 1668 kembali terjadi
perperangan antara Kesultanan Makassar dan Belanda, akhirnya benteng
pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin dapat dikuasai oleh Belanda.
Sehingga pada tahun 1670 Sultan Hasanuddin wafar, pengganti Sultan
Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan Kesultanan Makassar,
karena selalu diawasi Belanda. Jatuhnya Makassar ketangan ketangan
Belanda, maka pelaut dan pedangan Bugis dan Makassar migrasi keberbagai
wilayah Nusantara. (YS)
0 comments:
Posting Komentar