A. PENDAHULUAN
Kerajaan
Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama.1
Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan
akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia
dan Eropa bagian Timur.2 Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang
waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam
abad (600 tahun).3
Dalam
rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami
dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam
pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari
kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena
sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya
terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama.
Pada periode berikutnya4, kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada
Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada
akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan
gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya
berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam
tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum yang
disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di samping piagam
Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan
hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba
menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sekilas tentang Turki Usmani,
Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah
tanzimat.
B. SEKILAS TENTANG TURKI USMANI
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz5 yang mendiami
daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih
kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika
menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada
abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju
dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin
oleh Sultan Alauddin II.
Artogol
dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin
II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya
pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan
Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan
dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya
dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.6
Pada
tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan
oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri
kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana
ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M,
Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh.
Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil.
Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang
didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri.
Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan.
Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol
(1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan
dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu
dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.7
C. SEBELUM TANZIMAT
Sebagai
diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang
mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau
rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai
kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.8 Dengan demikian
Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara
dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk
urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal
pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan
berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi
qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.9 Dalam melaksanakan
tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.10 Hal ini
yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi.
Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.11
Lembaga
peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena
terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai
oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas
pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D. MASA TANZIMAT (1839-1876 M) Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.12 Term ini
dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi
di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai
dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar
dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan,
keuangan, perdagangan dan sebagainya.13 Tanzimat merupakan suatu gerakan
pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh
Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni.
Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada
masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).14 Ia memusatkan perhatiannya pada
berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan
dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama
kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan
dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).15 Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam,
sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum
untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa,
Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama ).16 Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II
memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan
dunia. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat17 yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.18
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1.
Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan
fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan
dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan
dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3.
Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu
merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan
zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu
diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.19
Agaknya
keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan
lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini
dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada
tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid
(1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai
bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at
Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh
dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan
perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.21
Selanjutnya
dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum
pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak
dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak
diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai
kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena
hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian
pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.22 Melihat muatan
Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan
rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan23, serta
institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup,
ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini
adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua
lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas
dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai
institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum
dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah24
dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah
dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan
agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan
ulama.25 Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat.
Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini
berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856M26 Sultan Abdul
Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung
pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di
bawah kekuasaan Turki Usmani,27 sehingga antara orang Eropa dan rakyat
Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang
sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat
keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini
memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin
memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada
akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam
menghadapi Eropa.
Dapat
dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan
Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah
bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane
menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui
perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak
dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas
diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan
pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang
merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang
melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak
melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan.28 Namun pada akhirnya lembaga
yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya
karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini
menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
E. MAJALLAH AL-AHKAM AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika
masa Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini
belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik
dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan
suatu hal yang positif.29 Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an
tidak membutuhkan intervensi pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat
kemajuan kebudayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat yang
melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab yang tersebar di seluruh
pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan selanjutnya muncul rasa
fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya semangat ijtihad,
kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi kepada
perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah
untuk mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman
hukum dalam satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H
pemerintah Turki Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia
yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan hukum muamalat
(perdata). Panitia menetapkan hukum berpegang pada mazhab Hanafi, dengan
memperhatikan kemaslahatan umat dan perkembangan zaman tanpa harus
terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab ini.30 Maksudnya pendapat
yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia yang
terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun
mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M
panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang
bernama Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah ini
di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria.31 Peraturan Undang-undang
ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2.
Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16
kitab. Pada muqaddimah setiap bab berisikan istilah-istilah fiqh yang
berkaitan dengan setiap kitab.32
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan
kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari
ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping
pendapat lain33 dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya
dalam majallah ini tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga
produk hukum yang dihasilkan beragam. Di samping itu juga ada
undang-undang lain yang ditetapkan yaitu Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat)
tahun 1326 H. Undang-undang ini khusus menyangkut persoalan pernikahan
dan perceraian yang berasal dari mazhab selain Hanafi.34 Dengan adanya
undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak hanya
terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi)
dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman
hukum dalam satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan
yang mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga
kurangnya ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah
dipola dengan acuan yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan
terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada
menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa
kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
F. TASYRI’ SETELAH TANZIMAT
Pada
akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan
sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam
saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa
ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda,
yaitu:35
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu
pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan
Mahkamah Agung.36 Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah
beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode
sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak
seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan
mendapat kritikan dari para cedikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani.
Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk
(Bapak Turki),37 yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki
dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme38 dan nasionalisme
menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat
maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia
memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal
selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan
menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta
hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat,
dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum
sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak
lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai
seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama
Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan
Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada
rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di
Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia
beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh
pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa
Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki
ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme
dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama,
namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang
politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada
perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat
berpengaruh sampai saat ini.
G. KESIMPULAN
Perkembangan
hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang
beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam
tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka
mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat, dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.
Endnotes : 1
Kerajaan Turki Usmani muncul setelah kehancuran kerajaan Mamalik di
Mesir. Menurut sejarahwan dan beberapa penulis kerajaan Turki Usmani
lahir pada tahun 1290 M dan berakhir 1923 M, lihat Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124. 2. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83. 3 Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London:
The Mac Millan Press, 1974), h. 710. 4 Para ahli sejarahwan
mensistimatir periode perkembangan kerajaan Turki Usmani menjadi 5
periode. Pertama, (1299-1140), masa pembentukan kerajaan dan penalikan
pertama hingga kekalahannya atas Timur Lenk. Kedua, (1403-1566), masa puncak kejayaan yang ditandai dengan kembalinya kerajaan dari tangan Timur Lenk dan takluknya Konstantinopel. Ketiga, (1566-1703)
Sultan Salim sampai Mustafa II, yang ditandai dengan terjadinya
penaklukan-penaklukan dan jatuhnya Hongaria di tangan musuh. Keempat, (1703-1839),
Masa Ahmad III sampai Mahmud II, merupakan masa kemunduran yang
ditandai dengan banyaknya perjanjian dengan para penguasa di luar Islam.
Kelima,(1839-1922), masa Abdul Majid I sampai Muhammad VI,
merupakan masa kebangkitan yang ditandai dengan bangkitnya kebudayaan
dan administrasi setelah terjadinya konflik dengan Barat. Lihat Syafiq
A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 54-66. Lihat juga Ahmad Syatanawiy, Dirasah al-Ma’aruf al- Islami, (Kairo: Al-Syu’b t.t), h. 162-164. 5. C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam,(Bandung: Mizan, 1980), h. 163. 6 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2. 7 Harun Nasution, op.cit., h. 84. 8 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 92. 9 Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298. 10 Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278. 11 Ibid., h. 299-384. 12 Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq), h. 818.
13 Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan, op.cit., h. 97. Arthur Goldschmidh menuliskan bahwa tanzimat terpusat
setidak-tidaknya pada tiga persoalan pokok yaitu: tentang pemilikan
tanah, kodifikasi hukum-hukum, dan reorganisasi militer. Lihat Arthur
Goldschmidh, A concise History of the Midle East, (USA: Westview Press, 1991), h. 124. 14 Arthur, Ibid., h. 156. 15 Tasyri’ Madani, pada masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler, Harun nasution, op.cit., h. 93. 16 Abdurrahman, loc.cit. 17
Tokoh yang muncul pada masa tanzmat dominan memiliki latar belakang
pemikiran Barat, diantaranya, Musytafa Rasyid Pasya (1800-1858 M). Ia
mengemukakan kemajuan Turki Usmani harus diupayakan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang Eropa. Mahmud Sadik Pasya
(1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah akan menimbulkan
permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan. Mustafa Sawi
melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia
menambahkan disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama,
adanya kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan
pria dan wanita, Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan
ide dalam hukum yaitu Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi Islam, loc.cit. 18 Ibid. 19 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), h. 107-110. 20 Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit. 21 Harun Nasution, op.cit., h. 99-100. 22 Ibid. 23 Albert, op.cit., h. 63. 24 Kodifikasi ini dikenal dengan Majallah al-Ahkam Al-Adliyah. Yang akan dibicarakan lebih lanjut pada poin E. 25 Albert, op.cit., h. 352. Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 101. 26 Bertepatan dengan tanggal 28 Zulhijjah 1273 H. Abdurrahman, loc.cit. 27
Piagam Humayun dikeluarkan atas desakan negara-negara Eropa pada
Kerajaan Turki Usmani yang pada waktu itu dalam keadaan lemah dan selalu
mengalami kekalahan dalam peperangan. Negara Eropa menjamin keutuhan
Kerajaan Turki Usmani kalau mereka diberi hak yang sama dengan orang
Islam. 28 Duraib, op.cit. h. 384. 29 Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115. 30 Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, op.cit., h. 116. 31 Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404. 32 Diantara kitab tersebut adalah al-Bai’ah,
alIijarah, al-Kafalah, al-Hiwalah, al-Rahnu al-Ghasab wa al-Ittilaf,
al-Hajru, al-Syirku, al-Wakalah, al-Shulhu wa al-Ibra’, al-Ikrar,
al-Da’wa, al-Bayyinat wa al-Taklif, lihat Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, loc.cit. Manna Qaththan, loc.cit. Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid
I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t). h. 13-17. 33 Diantara pendapat
yang sesuai dengan kondisi ketika itu adalah persoalan al-Hajru diambil dari pendapat Abu Yusuf dan Ibn Hasan al-Syaibani, demikian juga Muhammad Ibn Subhi Mahsani, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), h. 71. 34 Salam Madkhur, loc.cit. 35 Duraib, op.cit. h. 284. 36 Ibid., h. 299-384. 37 Harun Nasution, op.cit., h.
147-152. 38 Westernisme yaitu proses penyerapan kebudayaan atau adat
istiadat (gaya hidup) Barat oleh Timur karena dibawa orang barat yang
datang ke timur atau orang-orang Timur yang pernah menetap ke negeri
Barat. Sekularisme adalah proses melepaskan diri dari ikatan agama
tertentu, namun tidak mutlak berasal dari Barat dan bukan dari syari’at
Islam. Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, (Surabaya: Penerbit Kartika, t.t), h. 523 dan 467.
Jumni
Nelli, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim
Riau Pekanbaru. Alumni Program Pascasarjana (S2) IAIN Imam Bonjol Padang
(2000)