Pages

Subscribe:

Sabtu, 13 Desember 2014

/Tema Terpilih Cerpen Pilihan UNSA 2015 MITOS dan DONGENG KONTEMPORER


Seiring dengan sambutan yang cukup besar dari para penulis dan pembaca terhadap Cerpen Pilihan UNSA, maka sudah sewajarnya kami memberikan perhatian yang serius dalam meningkatkan kualitas terhadap ajang tahunan komunitas UNSA ini, salah satunya dengan pemilihan tema yang tidak biasa tapi mampu menantang kesungguhan calon peserta untuk menuliskannya dalam sebuah cerpen yang berkualitas. Maka, kami memutuskan untuk memberikan tema berikut pada ajang cerpen pilihan 2015, yaitu:


Jadi peserta setiap bulannya boleh memilih salah satu dari kedua tema tersebut untuk dituliskan dalam sebuah cerita pendek. Adapun cerita mitos atau dongeng yang diinginkan boleh dari dalam atau luar negeri atau dunia antah berantah, sehingga jika terangkum dalam sebuah cerita akan nampak menarik dengan kepelbagiannya.
Kami sengaja memberi tahu jauh-jauh hari agar calon peserta bisa memiliki banyak waktu untuk memahami tema yang kami maksud, sehingga mulai bulan Januari 2015 pasa peserta sudah benar-benar siap mengirimkan naskahnya yang terbaik.
Rekomendasi dari kami untuk memahami konsep tema mitos dan dongeng dengan perkara kontemporer adalah: Buku kumcer "Dunia di Kepala Alice" karya Ucu Agustin atau beberapa cerpen di dalam buku "Bumi Kuntilanak" misalnya untuk tema dongeng kontemporer: Lunatic, Dongeng Luna, Hikayat Guru Semut, sedangkan untuk cerpen bertema mitos: Lulun Samak, Memelihara Burung Koreak, Dunia Setelah Senja, Kuntilanak, Pelet Marongge. Semoga contoh yang kami berikan tersebut dapat membantu, atau silakan melakukan riset akan kedua tema tersebut dengan contoh-contoh cerpen dari penulis di tanah air lainnya.
Untuk pemenang yang mengajukan tema tersebut adalah: Dewi Nur Karomah. Pemenang berhak mendapat 1 eksemplar buku pemenang cerpen pilihan UNSA 2014.
Kami tunggu partisipasi rekan-rekan penulis di tanah air untuk bergabung dalam lomba Cerpen Pilihan UNSA 2015 dengan tema "Mitos dan Dongeng Kotemporer".
Salam Hangat,
-Crew UNSA.

Jumat, 12 Desember 2014

Profil Moeldoko - Panglima TNI ke-15




Moeldoko



Panglima Tentara Nasional Indonesia ke-15

Mulai menjabat: 30 Agustus 2013



Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-28

Masa jabatan: 20 Mei 2013 – 30 Agustus 2013



Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi ke-30

Masa jabatan: Oktober 2010 – Agustus 2011



Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura ke-1

Masa jabatan: Juni 2010 – Oktober 2010



Panglima Divisi Infanteri 1

Ad-Din Muhammad bin Ma'ruf Taqi - Ilmuwan Muslim



Taqi ad-Din Muhammad ibn Ma'ruf ash-Shami al-Asadi adalah seorang Muslim yang telah menulis lebih dari sembilan puluh buku tentang berbagai mata pelajaran, termasuk astronomi, jam rekayasa, matematika, mekanika, optik dan filsafat alam. Pada 1574 tahun Sultan Ottoman Murad III mengundang Taqi ad-Dīn untuk membangun observatorium di Istanbul. Menggunakan pengetahuan yang luar biasa dalam seni

Cara Menghapus Blog di Blogger Secara Permanen

Cara Menghapus Blog di Blogger Secara Permanen - Setelah belajar dan mendalami cara membuat website/blog gratis menggunakan blogspot lama kelamaan mulai membosankan menjadi seorang blogger yang pekerjaannya setiap hari cuma menulis artikel dan optimasi blog terus-terusan apalagi blog yang kita kelola lebih dari satu blog. Hal tersebut pernah saya alami dan akhirnya dengan sangat terpaksa saya harus menghapus salah satu blog saya yang trafiknya paling kecil agar tidak memberatkan pekerjaan sampingan saya sebagai seorang blogger. Buat teman teman blogger yang saat ini telah mengelola banyak blog dan mulai merasa terbebani seperti yang saya rasakan mungkin tutorial cara menghapus blog dibawah ini bisa meringankan beban anda sebagai seorang blogger. Karena dari pengalaman pribadi, mengelola banyak blog itu susah dan kita tidak akan bisa fokus dalam megoptimalkan blog kita. Lebih baik mempunyai satu atau dua blog yang terawat setiap hari dari pada mempunyai banyak blog yang akhirnya berantakan gara-gara kita tidak bisa memaksimalkan kinerja dari blog yang kita miliki.

Cara Menghapus Blog di Blogger Secara Permanen
1. Untuk menghapus sebuah blog yang menggunakan subdomain blogspot saya rasa tidak sulit yang perlu dilakukan adalah anda harus terlebih dahulu login ke akun blogger anda. Jika blog anda lebih dari satu, pilihlah salah satu blog anda yang ingin dihapus, kemudian silakan menuju ke bagian setting atau setelan kemudian klik lainnya dan akan muncul tampilan seperti gambar dibawah ini :

Cara pertama Menghapus Blog

2. Jika anda sudah terlihat tampilan seperti diatas keludian pilih hapus blog atau delete blog setelah itu akan muncul tampilan seperti gambar dibawah ini dan akan ada verifikasi apakah akan membackup data blog terlebih dahulu atau tidak, dan jika tidak Sobat bisa langsung klik Hapus blog ini.

Cara kedua Menghapus Blog di Blogger Secara Permanen

Jika tutorial diatas anda lakukan dengan benar maka cara menghapus blog di blogger secara permanen sudah berhasil.

Artikel lainya :
Demikian sedikit informasi dari saya, semoga ulasan ini dapat bermanfaat buat anda dan terimakasih telah berkunjung.

EVENT AKHIR TAHUN KALIMAYA PUBLISHING (13 feb)

Salam sastra semua penggiat literasi, berkat Tuhan Yang Maha Esa dan juga kerja keras dari semua tim maka akhirnya kami dapat mendirikan Penerbitan indie Kalimaya Publishing sebagai lini salah satu penerbit yang berada di Jogjakarta. Dengan ini akan mempersembahkan sebuah event sebagai penutup tahun 2014.



Kami akan membuat sebuah event dengan 2 tema dengan 2 genre, yaitu: Horor dan Romance.


Tema kali ini adalah:

    Tema Horor: Langit-Langit Retak
    Tema Romance: Senandung Hujan


Mohon disimak ketentuan event kami :

    Like halaman FB Fanpage Glen Tripollo ( https://www.facebook.com/GlenTripolloID), Berteman dengan Ana Sue ( https://www.facebook.com/anasue23 ), tergabung atau sudah join di grup Kalimaya Publishing ( https://www.facebook.com/groups/Kalimaya.Publishing )
    Cerpen dibuat dengan format:
        Untuk Tema Romance: Dapat dibuat happy ending ataupun sad ending.
        Untuk Tema Horor: Bebas.
    Dibuat dengan ketentuan: Ms. Word, ukuran font 12, Times New Roman, ukuran kertas A4, line spacing 1.5, dan margin normal. Panjang naskah adalah 8 halaman pas.
    Sertakan biodata narasi maksimal 100 kata yang mencantumkan nama asli atau nama pena kamu, akun social media, dll. Taruh file ini di akhir naskah.
    Naskah merupakan karya asli penulis, bukan hasil plagiat, dan belum pernah dipublikasikan lewat media apapun, juga tidak mengandung konten pornografi, menyinggung SARA, atau bersifat huru-hara.
    Tidak diharuskan memberi tag kepada 25 teman atau lebih, hanya syarat mutlak sudah berteman dengan akun Penerbit Kalimaya.
    Update peserta bisa dilihat di grup Kalimaya Publishing, dan page KaliStories.
    Kirim naskah kamu ke email kalimaya.publisher@gmail.com, taruh pada lampiran dan biarkan badan email kosong, dengan format file dan format judul : ( Event Akhir Tahun_Judul naskah_Nama Penulis_Tema ), mohon perhatikan hal ini untuk memudahkan pendataan kami.
    Naskah bisa dikirim mulai tanggal 13 Desember 2014 dan paling lambat kami terima pada tanggal 13 Februari 2015, pukul 23.59 WIB. Tengat waktu dua bulan.
    Penilaian akan dilakukan dari segi (Mohon diperhatikan):
        EYD
        Alur cerita
        Logika bercerita
        Kerapian format naskah
    Bagi yang tidak memiliki PC kami memberikan kemudahan untuk menghubungi admin jika naskah harus dicopas via inbox.
    Kami akan memilih 13 naskah terbaik untuk dibukukan secara gratis oleh Kalimaya Publishing dan terbit versi Digital atau bahasa kerennya E-book alias Electronic Book alias .... silakan isi sendiri, (berarti akan ada 26 naskah masing-masing genre, dan akan memilih 3 pemenang utama (masing-masing genre) yang berhak mendapatkan hadiah. Hadiah Untuk Juara 1-3 dan 26 naskah terpilih adalah:
        Juara 1 berhak mendapatkan : Uang tunai 150.000,- + 1 eksemplar buku bukti terbit, e-sertifikat, dan diskon pembelian 10%.
        Juara 2 berhak mendapatkan : Uang tunai 100.000,- + 1 eksemplar buku bukti terbit, e-sertifikat, dan diskon pembelian 10%.
        Juara 3 berhak mendapatkan : Uang tunai 50.000,- + 1 eksemplar buku bukti terbit, e-sertifikat, dan diskon pembelian 10%.
        26 Kontributor terpilih mendapatkan : e-sertifikat, dan diskon pembelian 10%.


Mungkin ada dermawan yang ingin beramal dengan menambahkan jumlah uang tunai hadiah bagi para pemenang? Silakan bisa inbox ke admin, dan ini serius. :D


Silakan dishare info berikut. Baik ke teman, saudara, atau tetangga.

Link penting:
Kalimaya Publishing community: https://www.facebook.com/Kalimaya.Publishing

Kalimaya FB Fanpage: https://www.facebook.com/KalimayaPublishing




Salam Sukses,


Kalimaya Publishing Team

Kamis, 11 Desember 2014

Sejarah Terbentuknya PBB

Sejarah PBB


Liga Bangsa-Bangsa dianggap gagal mencegah meletusnya Perang Dunia II (1939-1945). Untuk mencegah meletusnya Perang Dunia Ketiga, yang mana tidak diinginkan oleh seluruh umat manusia, pada tahun 1945 PBB didirikan untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa yang gagal dalam rangka untuk memelihara perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial dan kemanusiaan internasional.
Rencana konkrit awal untuk organisasi dunia baru ini dimulai di bawah naungan Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1939. Franklin D. Roosevelt dipercaya sebagai seorang yang pertama menciptakan istilah "United Nations" atau Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai istilah untuk menggambarkan negara-negara Sekutu. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada 1 Januari 1942, ketika 26 pemerintah menandatangani Piagam Atlantik, dimana masing-masing negara berjanji untuk melanjutkan usaha perang.
Pada tanggal 25 April 1945, Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional dimulai di San Francisco, dihadiri oleh 50 pemerintah dan sejumlah organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam penyusunan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB resmi dibentuk pada 24 Oktober 1945 atas ratifikasi Piagam oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan-Perancis, Republik Cina, Uni Soviet, Inggris dan Amerika Serikat-dan mayoritas dari 46 anggota lainnya. Sidang Umum pertama, dengan 51 wakil negara, dan Dewan Keamanan, diadakan di Westminster Central Hall di London pada Januari 1946
Kedudukan organisasi ini awalnya menggunakan bangunan milik Sperry Gyroscope Corporation di Lake Success, New York, mulai dari 1946 hingga 1952. Sampai gedung Markas Besar PBB di Manhattan telah selesai dibangun.
Sejak pendiriannya, banyak kontroversi dan kritik tertuju pada PBB. Di Amerika Serikat, saingan awal PBB adalah John Birch Society, yang memulai kampanye "get US out of the UN" pada tahun 1959, dan menuduh bahwa tujuan PBB adalah mendirikan "One World Government" atau Pemerintah Seluruh Dunia.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, Komite Kemerdekaan Perancis terlambat diakui oleh AS sebagai pemerintah resmi Perancis, sehingga Perancis awalnya tidak diikutsertakan dalam konferensi yang membahas pembentukan PBB. Charles de Gaulle menyindir PBB dengan menyebutnya le machin (dalam bahasa Indonesia: "Si Itu"), dan merasa tidak yakin bahwa aliansi keamanan global akan membantu menjaga perdamaian dunia, dia lebih percaya pada perjanjian/pakta pertahanan antar negara secara langsung

Organisasi

Sistem PBB berdasarkan lima organ utama (sebelumnya enam--Dewan Perwalian dihentikan operasinya pada tahun 1994, setelah kemerdekaan Palau, satu-satunya wilayah perwalian PBB yang tersisa); Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Dewan Sosial (ECOSOC), Sekretariat, dan Mahkamah Internasional. Lima dari enam organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di wilayah internasional di kota New York. Mahkamah Internasional berkedudukan di Den Haag, sementara lembaga-lembaga besar lainnya berbasis di kantor PBB di Jenewa, Wina, dan Nairobi. Lembaga PBB lainnya tersebar di seluruh dunia.
Enam bahasa resmi PBB, yang digunakan dalam pertemuan antar pemerintah dan pembuatan dokumen-dokumen, adalah Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol. Sekretariat dan Dewan Keamanan menggunakan dua bahasa kerja, bahasa Inggris dan Perancis, sedangkan Majelis Umum menggunakan tiga bahasa kerja, bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol. Empat dari bahasa resmi adalah bahasa nasional dari anggota tetap Dewan Keamanan (Britania Raya dan Amerika Serikat masing-masing menggukanan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi secara de facto), Spanyol dan Arab adalah bahasa dari dua blok terbesar bahasa resmi di luar dari anggota permanen (Spanyol merupakan bahasa resmi di 20 negara, sedangkan Arab di 26). Lima dari bahasa resmi dipilih ketika PBB didirikan; Arab ditambahkan kemudian pada tahun 1973. Editorial PBB Manual menyatakan bahwa standar untuk dokumen-dokumen bahasa Inggris adalah menggunakan Bahasa Inggris dari Inggris (British-English) dalam Ejaan Oxford, standar penulisan Bahasa Cina menggunakan aksara Cina yang disederhanakan, sebelumnya menggunakan aksara Cina tradisional sampai pada tahun 1971 ketika representasi PBB dari China berubah dari Republik Cina ke Republik Rakyat Cina.

Sekertariat PBB

 Sekretariat PBB dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal PBB, dibantu oleh suatu staf pegawai sipil internasional dari seluruh dunia. Tugas utama seorang Sekretaris-Jenderal adalah menyediakan penelitian, informasi, dan fasilitas yang diperlukan oleh badan-badan PBB untuk pertemuan mereka. Dia juga membawa tugas seperti yang diperintahkan oleh Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, dan badan PBB lainnya. Piagam PBB menjelaskan bahwa staf yang akan dipilih oleh penerapan "standar tertinggi efisiensi, kompetensi, dan integritas," dengan memperhatikan pentingnya merekrut luas secara geografis.
Piagam menetapkan bahwa staf tidak akan meminta atau menerima instruksi dari otoritas lain selain PBB. Setiap negara anggota PBB diperintahkan untuk menghormati karakter internasional dari Sekretariat dan tidak berusaha untuk memengaruhi para stafnya. Sekretaris Jenderal sendiri bertanggung jawab untuk pemilihan staf.
Tugas Sekretaris-Jenderal termasuk membantu menyelesaikan sengketa internasional, administrasi operasi penjaga perdamaian, menyelenggarakan konperensi internasional, mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan keputusan Dewan Keamanan, dan konsultasi dengan pemerintah anggota mengenai berbagai inisiatif. Sekretariat kunci kantor di daerah ini termasuk Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan dan Departemen Operasi Penjaga Perdamaian. Sekretaris-Jenderal dapat membawa kepada perhatian Dewan Keamanan setiap masalah yang, menurut nya, bisa mengancam perdamaian dan keamanan internasional.


Sekjen PBB

Sekretariat dipimpin oleh Sekretaris Jenderal PBB, yang bertindak sebagai juru bicara de facto dan pemimpin PBB. Sekretaris Jenderal saat ini Ban Ki-moon, yang mengambil alih dari Kofi Annan pada tahun 2007 dan akan memenuhi syarat untuk pengangkatan kembali ketika masa jabatan pertamanya berakhir pada tahun 2011
Dibayangkan oleh Franklin D. Roosevelt sebagai "moderator dunia", posisi ini ditetapkan dalam Piagam PBB sebagai "kepala pegawai administrasi" organisasi,  tetapi Piagam juga menyatakan bahwa Sekretaris Jenderal dapat membawa ke perhatian Dewan Keamanan "setiap masalah yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional", memberikan ruang lingkup yang lebih besar untuk posisi aksi di panggung dunia. Posisi ini telah berkembang menjadi peran ganda dari administrator organisasi PBB, dan seorang diplomat dan mediator menangani yang sengketa antara negara-negara anggota dan menemukan konsensus dalam menangani isu-isu global.
Sekretaris Jenderal diangkat oleh Majelis Umum, setelah direkomendasikan oleh Dewan Keamanan, setiap anggota yang dapat memveto, dan Majelis Umum secara teoritis dapat mengabaikan rekomendasi Dewan Keamanan jika suara mayoritas tidak tercapai, meskipun smapai sekarang hal ini tidak terjadi. Pada 1996, Dewan Keamanan mengadopsi seperangkat pedoman untuk proses seleksi yang dicetuskan oleh Duta Permanen Indonesia untuk PBB pada waktu itu, Nugroho Wisnumurti. Pedoman Wisnumurti (Wisnumurti Guidelines) telah mempengaruhi proses seleksi, termasuk penggunaan surat suara berkode warna untuk memilih kandidat . Tidak ada kriteria khusus untuk jabatan tersebut, tetapi selama bertahun-tahun, telah diterima bahwa jabatan itu bisa dijabat untuk jangka satu atau dua dari lima tahun, dan akan diangkat pada dasar rotasi geografis, dan bahwa Sekretaris-Jenderal tidak berasal dari salah satu lima negara anggota tetap Dewan Keamanan.
Sekretaris-Jenderal PBB
No. Nama Asal negara Mulai menjabat Selesai menjabat Catatan
1 Trygve Lie  Norwegia 2 Februari 1946 10 November 1952 Mundur
2 Dag Hammarskjöld  Swedia 10 April 1953 18 September 1961 Meninggal sewaktu menjabat
3 U Thant  Burma 30 November 1961 1 Januari 1972 Sekjen pertama dari Asia
4 Kurt Waldheim  Austria 1 Januari 1972 1 Januari 1982
5 Javier Pérez de Cuéllar  Peru 1 Januari 1982 1 January 1992 Sekjen pertama dari Amerika
6 Boutros Boutros-Ghali  Mesir 1 Januari 1992 1 Januari 1997 Sekjen pertama dari Afrika
7 Kofi Annan  Ghana 1 Januari 1997 1 Januari 2007
8 Ban Ki-moon  Korea Selatan 1 Januari 2007 Petahana

Negara anggota

Dengan penambahan Sudan Selatan pada tanggal 14 Juli 2011, saat ini ada 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk semua negara yang menyatakan kemerdekaannya masing-masing dan diakui kedaulatannya secara internasional, kecuali Vatikan (Tahta Suci, yang memegang kedaulatan atas Vatikan, adalah pengamat permanen).
Piagam PBB menguraikan aturan untuk keanggotaan:
  1. Keanggotaan di PBB terbuka untuk semua negara cinta damai lainnya yang menerima kewajiban yang termuat dalam Piagam ini dan, menurut penilaian Organisasi, mampu dan mau melaksanakan kewajiban-kewajiban ini.
  2. Penerimaan dari negara tersebut kepada keanggotaan di PBB akan dipengaruhi oleh keputusan Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan.

Kelompok 77

Kelompok 77 di PBB merupakan koalisi longgar dari negara-negara berkembang, yang dirancang untuk mempromosikan kepentingan kolektif ekonomi anggotanya dan menciptakan kemampuan bernegosiasi bersama di PBB yang disempurnakan. Ada 77 anggota pendiri organisasi, namun organisasi akhirnya diperluas menjadi 130 negara anggota. Kelompok ini didirikan pada tanggal 15 Juni 1964 oleh "Deklarasi Bersama Tujuh puluh Tujuh Negara" yang dikeluarkan pada Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Pertemuan pertama dilaksanakan di Aljir pada tahun 1967, dimana Piagam Aljir diadopsi dan dasar untuk struktur kelembagaan permanen dimulai.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Perserikatan_Bangsa-Bangsa 

*******

Cara Ternak Arwana Dan Budidaya Ikan Arwana 

Induk ikan arwana dipelihara dalam kolam yang berukuran 5 x 5 m dengan kedalaman air 0,5-o,7 m. Kemudian kolam ditutup plastic setinggi 0,75 m untuk mencegah supaya tidak melompat ikan.

Aktivitas Politik Tan Malaka Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pertemuan antara Soekarno dengan Tan Malaka tanggal 25 Agustus 1945 merupakan awal lahirnya “Surat Wasiat  Politik”. Tentang surat wasiat tersebut masih terdapat perbedaan pendapat para ahli sejarah tentang siapa yang mengusulkan keluarnya surat wasiat itu, siapa yang menulisnya dan apakah surat tersebut benar ditandatangani oleh Soekarno/Hatta atau dibuat palsu oleh Tan Malaka.

APEC - Asia-Pacific Economic Cooperation

Bahasa kerja resmi APEC adalah bahasa Inggris. Melalui perkemgbangan selama bertahun-tahun, telah terbentuk mekanisme kerja berbagai tingkat seperti pertemuan informal pemimpin, pertemuan tingkat menteri, dan pertemuan pejabat senior serta komite, tim kerja 

PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA

Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.

 

Profil Andhi Nirwanto




Andhi Nirwanto




Jaksa Agung Republik Indonesia



(Pelaksana Tugas)



Masa jabatan: 21 Oktober 2014 – 20 November 2014







Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia



Masa jabatan: 21 November 2013 – 21 Oktober 2014







Biodata:



Lahir: 8 Januari 1956 Kabupaten Kudus, Jawa Tengah



Kebangsaan: Indonesia



Agama: Islam





Andhi Nirwanto adalah Wakil Jaksa Agung pada Kejaksaan

Andrias Wiji Setio Pamuji - Penemu Reaktor Biogas




Andrias Wiji Setio Pamuji



Lahir: Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur



Pendidikan: Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB)



Penemuan: Reaktor Biogas



Istri: Mila Juliani Perangin-angin



Anak: Aldo Adicipta Yanuar




Andrias Wiji Setio Pamuji adalah mahasiswa lulusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut

Profil Marwan Ja'far - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ke-5




Marwan Jafar



Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ke-5

Mulai menjabat: 27 Oktober 2014




Biodata:


Lahir: 12 Maret 1971 Pati, Jawa Tengah, Indonesia

Kebangsaan: Indonesia

Partai politik: Partai Kebangkitan Bangsa

Suami/istri: Ari Haryati

Profesi: Politisi

Agama: Islam




H. Marwan Ja'far, SE., SH., MM., MSi adalah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal

Rabu, 10 Desember 2014

Thomas Midgley Jr - Pengembang tetraethyllead (TEL) aditif dan chlorofluorocarbons (CFC)




Thomas Midgley, Jr.




Lahir: 19 Mei 1889 Beaver Falls, Pennsylvania, AS



Meninggal: 2 November 1944 (umur 55) Worthington, Ohio



Tempat tinggal: AS



Kebangsaan: Amerika



Bidang: Teknik mesin, Kimia



Alma mater: Cornell University



Dikenal untuk: Bensin bertimbal, CFC



Penghargaan: William H. Nichols Medal (1922) ; Longstreth Medal (1925) ; Perkin Medal (1937) ; Medali Priestley

Profil Imam Nahrawi- Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia ke-12




Imam Nahrawi



Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia ke-12

Mulai menjabat: 27 Oktober 2014


Biodata

Nama: H. Imam Nahrawi

Tempat Tanggal Lahir: Bangkalan, 8 Juli 1973

Agama: Islam

Alamat rumah Asal: Magersari RT/RW 04/02 Kedungcangkring, Jabon, Sidoarjo Jawa Timur

Alamat di Jakarta: RJA DPR RI Block A4/72 Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan

Nama Istri: Hj. Shobibah Rohmah

Selasa, 09 Desember 2014

Paulo Freire Pendidikan untuk Pembebasan

Riwayat Hidup Paulo Freire

Paulo Freire lahir di Recife, sebuah kota pantai timur laut Brasil pada tahun 1921. Dibesarkan oleh ibunya yang seorang Katolik yang taat dan ayahnya yang seorang pengusaha kelas menengah.
Walaupun lahir dan besar dari kalangan kelas menengah Brasil, tetapi Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang khas. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu mengenakan dasi dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka, menunjukkan warisan keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda dengan kondisi sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan. Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak kelas”. Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan dengan perbaikan bertahap pada situasi keuangan keluarganya, ia mampu masuk Universitas Recife.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psiklogi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya ia bekerja sebagai guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka. Selain karir mereka bersama dalam mengajar, mereka bekerja sama dengan teman kelas menengah dalam Gerakan Aksi Katolik. Kerja ini menjadi meresahkan, karena mereka berjuang dengan kontradiksi antara iman Kristen dan gaya hidup teman-teman mereka. Secara khusus mereka menghadapi perlawanan yang kuat ketika memberi kesan bahwa pegawai harus ditangani sebagai manusia. Kemudian mereka memutuskan untuk bekerja semata-mata dengan “orang-orang” populasi besar masyarakat miskin Brasil.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai Teologi Pembebasan. (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Sebuah pengalaman kedua yang memberi fokus untuk kehidupan Freire selanjutnya dating ketika ia bekerja sebagai pengacara buruh untuk orang-orang miskin dan terlibat diskusi dengan para buruh mengenai teori Jan Piaget, seorang psikolog terkemuka. Komentar-komentar Freire dalam diskusi ini jelas-jelas tidak dimengerti oleh para buruh miskin itu. Salah satu buruh mencatat, “Kau bicara berdasar latar belakang makanan, kenyamanan dan istirahat yang cukup. Kenyataannya adalah kami hanya memiliki satu kamar, tanpa makanan dan harus bercinta di depan anak-anak”. Berdasarkan pengalaman tersebut serta studi lanjutan, Freire mulai menyadari bahwa masyarakat miskin memiliki rasa yang berbeda dari realitas dan bahwa untuk berkomunikasi dengan mereka ia harus menggunakan bahasa. Istilah dan simbol yang mereka mengerti. Pengakuan ini menjadi dasar untuk desertasi doktoralnya pada tahun 1959 di Universitas Recife, di mana ia menjadi profesor sejarah dan filsafat pendidikan.
Pada 1961, Freire diangkat ,sebagai direktur dari Departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada tahun 1962 ia diangkat oleh walikota Recife sebagai kepala program keaksaraan dewasa untuk kota. Pada saat itulah Freire mendapatkan kesempatan untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan atas eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya lingkaran budaya di seluruh negeri. Karena kesuksesan program ini, pada tahun berikutnya, Presiden Brasil menunjuk Freire untuk memimpin Program Keaksaraan Nasional. Sebuah surat kabar konservatif berpengaruh mengklaim bahwa program melek huruf yang dilakukan Freire ada bertujuan untuk menghasut dan mempengaruhi massa rakyat miskin untuk melakukan subversi.
Pada 1964, kudeta militer mengakhiri usaha itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah itu, Freire diasingkan di Bolivia dan Chile selama 5 tahun. Selama di Chile, Freire bekerja untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku ini disambut dengan baik dan Freire ditawari jabatan sebagai professor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil tahun 1974 (karena perseteruan antara junta militer yang otoriter dengan Freire yang Sosialis Kristen ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi).
Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasehat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu, Freire bertindak sebagai penasehat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.
Pada 1979, status pengasingan Freire dicabut dan ia kembali ke Brasil pada tahun 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh Brasil di kota Sao Paolo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa 1980 hingga 1986. Ketika Partai Buruh menang dalam pemilu-pemilu municipal, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk Sao Paolo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araujo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.
Pada 1991 didirikanlah Institut Paulo Freire di Sao Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Dan di Institut inilah disimpan semua arsip-arsip Freire.
Paulo Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997.
  1. Penyadaran Sebagai Inti Proses Pendidikan Untuk Pembebasan
Manusia dan Dunia Menjadi Pusat Masalah
Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freirensebagai “situasi penindasan”.
Bagi Freire, penindasan, apapun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).
Dehumanisasi, yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda) mereka yang telah merampasnya, adalahs ebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.
Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).
Bagi Freire, kodrat manusia adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis”nya ia merubah dunia dan realitas. Maka dari itu manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, namun juga memiliki kesadaran (consciousness). Manusia memliki kepribadian, eksistensi. Hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit situations) yang mengekangnya. Jika seseorang pasrah, menyerah pada situasi batas tersebut, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, ia sedang tidak manusiawi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator) sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses menjadi (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan sekedar adaptasi, namun integrasi untuk menjadi manusia seutuh-utuhnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Humanisasi, karenanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak menusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.
Pembebasan Menjadi Hakekat Tujuan
Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia tersebut, Freire kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaharu.
Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
· Pengajar
· Pelajar atau anak didik
· Realitas dunia.
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito petensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai”bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan. Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk penguasaaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Inilah makna dan hakekat praxis itu.
Dengan kata lain, “praxis” adalah “manunggal karsa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.
Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.
Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama.
Penyadaran Merupakan Inti Proses
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
· Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
· Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
· Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi). Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus-menerus, suatu “commencement”, yang selalu “mulai dan mulai lagi”, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang inheren dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus selalu berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadaran kesadaran” (the consice of the consciousness).
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun mulai ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.
Di situlah letak berikut arti penting dari kata-kata, karena kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang disadari atau disadari maknanya, di situlah arti memahami realitas, berarti telah melakukan “praxis”, dari situlah ia telah berperan, andil merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dniyatakan sebagai bentuk pengucapan dari dunia kesadaran yang kritis bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan slogan-slogan, namun berasal dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhananya.
Maka, pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkaikan menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf (terutama di Brasil dan Chile), Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek huruf fungsional menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok” (generative theme) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga tahapan utama:
1. Tahap Kodifikasi dan Dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek huruf elementer dalam “konteks konkret” dan “konteks teoritis” (melalui gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya).
2. Tahap Diskusi Kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan “kata-kata kunci” (generative words).
3. Tahap Aksi Kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.
  1. Manfaat Teori
1. Memberikan solusi alternatif atas kebuntuan yang melanda praktik pendidikan di seantero dunia. Freire mengambil ide pembebasan dan mengkombinasikan dengan apa yang disebut “bahasa kritis” dan “bahasa alternatif” (the language of possibility). Dengan bahasa kritik, Freire menciptakan teori pendidikan yang benar-benar mengkaitkan antara teori kritis-radikal dengan tuntutan perjuangan yang juga radikal. Karena perjuangannya melawan suatu dominasi, menurut Freire logika dominasi menunjukkan adanya kombinasi rekayasa “ideologis” dan “material” pada masa lalu dan sekarang.
2. Teori pendidikan pembebasan Freire berhasil membongkar praktik-praktik pendidikan mapan yang selama ini dianut oleh sebagian besar Negara-nagara di dunia (termasuk Indonesia), di mana praktik pendidikan tersebut hanyalah melanggengkan dominasi kekuasaan dari kelas yang berkuasa.
3. Teori pendidikan Freire telah menjadi rujukan dan diadopsi oleh banyak lembaga pendidikan di beberapa Negara “kiri” atau paling tidak berpaham sosialis (seperti Brasil, Venezule, Chile, Bolivia, dll) juga beberapa lembaga pendidikan di Indonesia yang menganut metode pendidikan partisipatoris.
  1. Komentar
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”. Semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu “gerakan politik” ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi “masyarakat kerucut” (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Walaupun teori yang dikembangkan oleh Freire ini (tampak) ideal, penulis melihat ada kelemahan (jika bisa disebut sebagai kelemahan). Dalam beberapa kondisi politik, ekonomi, social dan budaya, masyarakat (juga Negara) sering tidak bisa terlepas dari kondisi-kondisi mereka harus melindungi masyarakat dari hegemoni yang menjadi musuh ideologis dari Negara. Dalam teori Gramsci mengenai hegemoni, hegemoni hanya bisa dilawan jika kita menciptakan kontra hegemoni, sehingga idelogi masyarakat (juga Negara) bisa dilindungi, sedangkan teori Freire menentang segala macam hegemoni dari suatu ideologi tertentu padahal dalam suatu kondisi krisis atau revolusioner kondisi seperti ini sering diidentikkan dengan kondisi perang sehingga diperlukan langkah yang cepat dan terpusat untuk mengatasinya.
  1. Kesimpulan
Tujuan Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan manusia dari kondisi-kondisi penindasan yang telah membawa kehidupan manusia pada sikap “tidak manusiawi”, baik itu korban penindasan maupun pelaku penindasan. Freire menganggap bahwa situasi penindasan bukanlah keharusan sejarah, tetapi lebih karena diciptakan, maka pendidikan berfungsi untuk merubah itu semua.
Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia mampu untuk merubah itu semua.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness)
· Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
· Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
· Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus berada dalam kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek yang hanya berperan sebagai wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru (pendidikan gaya bank”, tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa menjadi murid, murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi permasalahan sehari-hari pengalaman setiap orang berbeda-beda dan berbeda pula cara mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.
Kahar Muamalsyah
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Jawa Tengah.

Ensiklopedia Tokoh Dunia, Paulo Freire.
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, April 2000, Halaman 11.
Kebudayaan bisu, menurut Freire adalah “kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri”, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati.
PRAXIS (Yunani) = PRACTIVE (Inggris) = Kegiatan (Indonesia) (lihat Wiratmo Sukito, dalam Prisma, Nomor 3/VIII/Maret 1979). PRAXIS adalah pemahaman tentang dunia dan kehidupan serta hasrat untuk merubahnya (lihat Brian McCall, “Peralihan ke Arah Berdikari”, dalam Masyarakat Studi Pembangunan, Nomor 2/III/LSP/1981), PRAXIS adalah konsep filsafat tentang aktifitas manusia (lihat Adolfo Sanches Vasques, The Philosophy of Praxis, Merlin Books, London, 1978).
Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan REaD (Research, Education and Dialogue), Yogyakarta, September 1999.
Miguel Escobar, dkk (Ed), Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah, Kapitalisme yang Licik, LKiS, Yogyakarta, Januari 2000, Halaman 32.
Dalam kepustakaan ekonomi, anak didik atau manusia terpelajar (lulusan sebuah lembaga pendidikan atau sekolah) disebut dengan istilah “earning-assets” dari proses produksi, jadi merupakan faktor produksi yang berfungsi instrumental. Tidak kurang dari “fons et erigo”nya ilmu ekonomi modern, yakni buku “ The Wealth of Nation” dari Adam Smith yang menyatakan: “…an education man is sort of expensive machines, my be compared to one of those expensive machine…”. Adalah Alfred Marshall yang kemudian memberi aktifkan tambahan penjelasan yang lebih baik, bahwa:”…the first point to which we have to direct out attention is the fact that human agents of production are not bought and sold as machinery and other material agents of production are the worker sells his work, but the himself remains his own property: those who bear the expenses or rearing and educating him receive but very little of price that is paid for his service in later gears…”(lihat: Mark Blang, An Introduction to the Economics of Education, Penguin London, 1976).
Istilah ini berasal dari ahli psikoanalisa kontemporer Erich Fromm. “Nekrofili” adalah rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan. “Biofili” sebaliknya adalah kecintaan pada segala yang memiliki jiwa kehidupan, yang maknawiah (Lihat Erich Fromm, The Heart of Man, Routledge & Keegan, New York, 1996).
Freire menggunakan suatu istilah yang unik, yakni “guru yang murid” (teacher-pupil) dan “murid yang guru” (pupil-teacher), yang pada dasarnya sekedar menegaskan bahwa baik guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan dan pengalamannya sendiri-sendiri terhadap obyek realitas yang mereka pelajari, sehingga bisa saja pada suatu saat murid menyajikan pengetahuan, penghayatan, dan pengalamannya tersebut sebagai suatu “insight” bagi sang guru, seperti yang secara klasik menjadi tugas sang guru selama ini.
William A. Smith, Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, November 2001.
Mansour Fakih, Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis, Read Book, Yogyakarta, 2001, Halaman 23-24.
Istilah ini berasal dari Erich Fromm, salah seorang anggota terkemuka “Sosiologi Kritis” (Sekolah Frankfurt) yang sering dikutip oleh Freire, di samping Herber Marcuse, “nabi”nya gerakan Kiri Baru (New-Left) tahun 60-an (lihat Erich Fromm, Escape from Freedom, Avon Books, New York, 1941).
Penyadaran (conscientization, conscientizacao), menurut perumusan Freire adalah: “belajar memahami pertentangan-pertentangan sosial ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari suatu pertentangan itu”.
Freire mengutip pengertian filosofis ini dari Karl Jaspers, dan dengan mengutip pokok-pokok pemikiran filsuf eksistensialis lainnya, Jean-Paul Sartre, Freire tiba pada kesimpulan bahwa inti dari kesadaran manusia adalah intensionalitas pengalaman akan relaitas (keterlibatan penuh dan sadar dalam suatu proses).
Menurut Antonio Gramsci, Negara adalah representasi dari kelas yang berkuasa. Lihat juga V.I. Lenin, Negara terbentuk akibat tidak terdamaikannya pertentangan kelas.

1) Agresi Militer Pertama Belanda (21 Juli 1947-4 Agustus 1947)

Pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan secara serentah terhadap daerah daerah republic. Serangan ini diarahkan ke Pulau Jawa dan Sumatra. Serangan militer tersebut oleh pihak republic dikenal sebagai Agresi Militer Pertama Belanda. Sementara itu, pihak Belanda menyebut aksi agresinya sebagai “Operasi Produk” karena serangan pertama yang dilancarkannya ditujukan pada sasaran yang bersifat ekonomis. Agresi militer pertama Belanda berada dibawah pimpinan seorang mantan perwira KNIL, Letnan Jenderal Simon M. Spoor.
Agresi Militer I Belanda
Dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai Jakarta dan kota kota penting di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Belanda tidak menemui kesulitan yang berarti dalam menjalankan agresi militer pertama. Hal ini disebabkan oleh hal hal berikut.
a) Belanda memiliki senjata yang lengkap dan modern, sedangkan tentara republic hanya menggunakan sisa sisa senjata dari Jepang dan Belanda yang sedikit dan using.
b) Pasukan republic menjadi terpencar pencar sebagai akibat agresi Belanda.
c) Pasukan republic banyak kehilangan koordinasi dengan kesatuan atau pimpinanannya setelah jalur komunikasi diputus Belanda.
d) Sebagian besar rakyat belum sepenuhnya dapat bekerja sama dan mendukung tentara republic untuk bersama sama menghalau musuh.
Dalam perkembangan selanjutnya, tentara republic militer dapat melakukan konsolidasi dan berusaha membangun daerah daerah pertahanan baru. System gerilya diterapkan untuk menggantikan Belanda dibatasi hanya di kota kota besar, sedangkan diluar itu kekuasaan berada ditangan republic.
Agresi Militer Belanda pertama mengundang reaksi dunia. India dan Australia mengajukan usul agar masalah Indonesia dibicarakan dalam Dewan Keamanan PBB. Usul ini diterima baik oleh PB sehingga pada 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian tembak menebak. Tiga hari kemudian, Indonesia dan Belanda mengumumkan genjatan senjata. Dengan demikian, sejak 4 Agustus 1947 berakhirlah agresi militer Belanda yang pertama.
2) Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948-28 Januari 1949)
Pada 19 Desember 1948 Belanda dibawah koordinasi Dr. Bell melancarkan agresi militer kedua. Dengan pasukan lintas udara yang dimilikinya, Belanda terlebih dahulu menyerang pangkalan udara Maguwo. Setelah Maguwo dikuasai, sasaaran beralih langsung ke ibu kota RI di Yogyakarta. Pesawat pesawat terbang Belanda seger menghujani jalan, jembatan, dan barak barak militer dengan bom dan roket.
Agresi Militer Belanda Kedua
Dalam serangan itu Belanda berhasil menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi lainnya. Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat (dekat Danau Toba) dan kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Hatta langsung ditawan di Bangka. Setelah itu Belanda meyiarkan berita keseluruh dunia yang menyatakan bahwa RI sudah tidak ada dan perlawanan TNI sama sekali tidak berarti. Propaganda semacam itu jelas menyudutkan kedudukan RI dimata dunia internasional.
Kendati demikian, sebelum para pemimpin republic ditawan, Presiden Soekarno masih sempat memimpin sidang cabinet secara singkat. Hasil sidang cabinet tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Pemerintah republic Indonesia memberikan mandate melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra.
b) Presiden dan wakil presiden tetap tinggal didalam kota agar tetap dekat dengan KTN dengan risiko ditawan Belanda.
c) Pimpinan TNI akan menyingkir ke luar kota untuk melaksanakan perang gerilya dengan membentuk wilayah komando di Jawa dan Sumatra.
Agresi militer Belanda kedua ini mengundang reaksi dan kecaman dari dunia internasional. Belanda dinilai selalu menganggu ketertiban dan perdamaian dunia. Belanda pun dianggap tidak menghormati setiap persetujuan yang dibuatnya.
Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB mulai membicarakan agresi militer Belanda kedua ini. Dalam pertemuan tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang memerintahkan penghentian semua operasi militer Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya tentara republic.

Selanjutnya :