Riwayat Hidup Paulo Freire
Paulo
Freire lahir di Recife, sebuah kota pantai timur laut Brasil pada tahun
1921. Dibesarkan oleh ibunya yang seorang Katolik yang taat dan ayahnya
yang seorang pengusaha kelas menengah.
Walaupun
lahir dan besar dari kalangan kelas menengah Brasil, tetapi Freire
mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar
1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum
miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang khas. Seperti simbol
kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu mengenakan dasi
dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka, menunjukkan warisan
keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda dengan kondisi
sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan. Merefleksikan
situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak
kelas”. Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan dengan perbaikan
bertahap pada situasi keuangan keluarganya, ia mampu masuk Universitas
Recife.
Freire
mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang
mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psiklogi bahasa.
Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar
berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya ia bekerja sebagai guru di
sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah
dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka
berdua bekerja selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan
kelima anak mereka. Selain karir mereka bersama dalam mengajar, mereka
bekerja sama dengan teman kelas menengah dalam Gerakan Aksi Katolik.
Kerja ini menjadi meresahkan, karena mereka berjuang dengan kontradiksi
antara iman Kristen dan gaya hidup teman-teman mereka. Secara khusus
mereka menghadapi perlawanan yang kuat ketika memberi kesan bahwa
pegawai harus ditangani sebagai manusia. Kemudian mereka memutuskan
untuk bekerja semata-mata dengan “orang-orang” populasi besar masyarakat
miskin Brasil.
Pada
1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu
kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di
antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk
pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai Teologi
Pembebasan. (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan
agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf
merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Sebuah
pengalaman kedua yang memberi fokus untuk kehidupan Freire selanjutnya
dating ketika ia bekerja sebagai pengacara buruh untuk orang-orang
miskin dan terlibat diskusi dengan para buruh mengenai teori Jan Piaget,
seorang psikolog terkemuka. Komentar-komentar Freire dalam diskusi ini
jelas-jelas tidak dimengerti oleh para buruh miskin itu. Salah satu
buruh mencatat, “Kau bicara berdasar latar belakang makanan, kenyamanan
dan istirahat yang cukup. Kenyataannya adalah kami hanya memiliki satu
kamar, tanpa makanan dan harus bercinta di depan anak-anak”. Berdasarkan
pengalaman tersebut serta studi lanjutan, Freire mulai menyadari bahwa
masyarakat miskin memiliki rasa yang berbeda dari realitas dan bahwa
untuk berkomunikasi dengan mereka ia harus menggunakan bahasa. Istilah
dan simbol yang mereka mengerti. Pengakuan ini menjadi dasar untuk
desertasi doktoralnya pada tahun 1959 di Universitas Recife, di mana ia
menjadi profesor sejarah dan filsafat pendidikan.
Pada
1961, Freire diangkat ,sebagai direktur dari Departemen Perluasan
Budaya dari Universitas Recife, dan pada tahun 1962 ia diangkat oleh
walikota Recife sebagai kepala program keaksaraan dewasa untuk kota.
Pada saat itulah Freire mendapatkan kesempatan untuk menerapkan secara
luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk
membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan atas
eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya lingkaran
budaya di seluruh negeri. Karena kesuksesan program ini, pada tahun
berikutnya, Presiden Brasil menunjuk Freire untuk memimpin Program
Keaksaraan Nasional. Sebuah surat kabar konservatif berpengaruh
mengklaim bahwa program melek huruf yang dilakukan Freire ada bertujuan
untuk menghasut dan mempengaruhi massa rakyat miskin untuk melakukan
subversi.
Pada
1964, kudeta militer mengakhiri usaha itu, dan menyebabkan Freire
dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah
itu, Freire diasingkan di Bolivia dan Chile selama 5 tahun. Selama di
Chile, Freire bekerja untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis
Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku
ini disambut dengan baik dan Freire ditawari jabatan sebagai professor
tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya ia menulis bukunya yang
paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Oppressed),
yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu
baru diterbitkan di Brasil tahun 1974 (karena perseteruan antara junta
militer yang otoriter dengan Freire yang Sosialis Kristen ketika
Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai
proses liberalisasi).
Setelah
setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja
sebagai penasehat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia.
Pada masa itu, Freire bertindak sebagai penasehat untuk pembaruan
pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea
Bissau dan Mozambik.
Pada
1979, status pengasingan Freire dicabut dan ia kembali ke Brasil pada
tahun 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh Brasil di kota Sao
Paolo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa
1980 hingga 1986. Ketika Partai Buruh menang dalam pemilu-pemilu
municipal, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk Sao
Paolo.
Pada
1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araujo
Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang
radikal.
Pada
1991 didirikanlah Institut Paulo Freire di Sao Paulo untuk memperluas
dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Dan di
Institut inilah disimpan semua arsip-arsip Freire.
- Penyadaran Sebagai Inti Proses Pendidikan Untuk Pembebasan
Manusia dan Dunia Menjadi Pusat Masalah
Filsafat
Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar
manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati
jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok
yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia.
Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut
memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu
yang disebut Freirensebagai “situasi penindasan”.
Bagi
Freire, penindasan, apapun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi,
sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).
Dehumanisasi,
yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya,
tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda) mereka yang telah
merampasnya, adalahs ebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia
sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu
fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi
tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka
dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence).
Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah
mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi sesamanya.
Maka
dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan
pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena
walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah
peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di
masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis,
suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan
menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya
agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).
Bagi
Freire, kodrat manusia adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan
penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku
yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas
atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini
bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus
diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib
yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan
realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti
mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan
bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada
hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan
dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis”nya
ia merubah dunia dan realitas. Maka dari itu manusia berbeda dengan
binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki
naluri, namun juga memiliki kesadaran (consciousness). Manusia
memliki kepribadian, eksistensi. Hal ini tidak berarti bahwa manusia
tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya
seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit situations)
yang mengekangnya. Jika seseorang pasrah, menyerah pada situasi batas
tersebut, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, ia sedang
tidak manusiawi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator)
sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang
lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses menjadi (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan sekedar adaptasi, namun integrasi untuk menjadi manusia seutuh-utuhnya.
Manusia
adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah
menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya
humanisasinya Freire. Humanisasi, karenanya juga berarti pemerdekaan
atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar
kehendaknya. Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri
mereka sendiri dari penindasan yang tidak menusiawi sekaligus
membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur
melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, kemerdekaan dan
kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.
Pembebasan Menjadi Hakekat Tujuan
Bertolak
dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia tersebut, Freire
kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam
suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaharu.
Bagi
Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas
diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya
bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan
obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan
kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih
dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang
obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi
dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam
pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah
suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia
dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus
dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu
bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada
pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian
si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak
berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh
karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam
hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
· Pengajar
· Pelajar atau anak didik
· Realitas dunia.
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education)
di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat
mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek
investasi dan sumber deposito petensial. Mereka tidak berbeda dengan
komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya
adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan
berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang
diajarkan kepada anak didik. Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan
sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi
kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka, namun tepatnya karena
hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai suatu subsistem dengan
sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal
balik. Anak didik pun lantas diperlakukan
sebagai”bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau
penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.
Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif
yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari
realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu
pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya
bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan
murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire
menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri
9. Guru
mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh
karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang
lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti
gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu,
harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu
menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”.
Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid
akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka
dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia
penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik,
daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian
terjadi seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana
terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force)
ke arah perubahan dan pembaruan. Bagi Freire, sistem pendidikan justru
harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem
pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai
manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses)
dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia
telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti orang
lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola
pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah
“penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak
akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton
dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu
revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi
digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan
seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan
mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang
sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan terkadang jauh lebih
buruk.
Akhirnya
Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang
dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem
pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan
diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini,
kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk
penguasaaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan,
bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication).
Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara
metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total,
yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada
sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan
realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Inilah makna
dan hakekat praxis itu.
Dengan kata lain, “praxis”
adalah “manunggal karsa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya
adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.
Pada
saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan
dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini,
setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam
permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di
dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai
“pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak
didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir,
dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah
pikirannya. Begitu juga sang guru.
Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan
pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan
dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun
menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realita.
Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk
memahami suatu obyek bersama.
Penyadaran Merupakan Inti Proses
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
· Kesadaran
magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan
antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin
yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem
politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar
manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan
ketidakberdayaan.
· Kesadaran
naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
· Kesadaran
kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims”
dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan
sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan
masyarakat.
Dengan
aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung
dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka kaum
tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan
seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom).
Dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka
pendidikan kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba
pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi).
Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam artian
yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari
realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu
mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah
dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah
mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya
memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia
sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan
dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin
baginya.
Dengan
kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan
pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus-menerus, suatu “commencement”,
yang selalu “mulai dan mulai lagi”, maka proses penyadaran akan selalu
ada dan merupakan proses yang inheren dalam keseluruhan proses
pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti
atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran
seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus
selalu berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap
berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ke tingkat “kesadaran
kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan
terdalam, yakni “kesadaran kesadaran” (the consice of the consciousness).
Jika
seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap
realitas, orang itu pun mulai ke dalam proses pengertian dan bukan
proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang
menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu
“sistem kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri
atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya,
dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk
apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.
Di
situlah letak berikut arti penting dari kata-kata, karena kata-kata
yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi
interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang
benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang
disadari atau disadari maknanya, di situlah arti memahami realitas,
berarti telah melakukan “praxis”, dari situlah ia telah berperan, andil
merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dniyatakan sebagai bentuk
pengucapan dari dunia kesadaran yang kritis bukanlah kata-kata yang
diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan slogan-slogan, namun
berasal dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan
dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhananya.
Maka,
pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan
kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi
kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata
sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses
pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat
yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah
benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu
kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta
merangkaikan menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun
secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan dialognya dengan kaum petani
miskin dan buta huruf (terutama di Brasil dan Chile), Freire kemudian
menyusun suatu konsep pendidikan melek huruf fungsional menggunakan
perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok” (generative theme)
pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam
pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini
terdiri dari tiga tahapan utama:
1. Tahap
Kodifikasi dan Dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek huruf
elementer dalam “konteks konkret” dan “konteks teoritis” (melalui
gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya).
2. Tahap
Diskusi Kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan
kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan
menggunakan “kata-kata kunci” (generative words).
3. Tahap
Aksi Kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana
setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.
- Manfaat Teori
1. Memberikan
solusi alternatif atas kebuntuan yang melanda praktik pendidikan di
seantero dunia. Freire mengambil ide pembebasan dan mengkombinasikan
dengan apa yang disebut “bahasa kritis” dan “bahasa alternatif” (the language of possibility).
Dengan bahasa kritik, Freire menciptakan teori pendidikan yang
benar-benar mengkaitkan antara teori kritis-radikal dengan tuntutan
perjuangan yang juga radikal. Karena perjuangannya melawan suatu
dominasi, menurut Freire logika dominasi menunjukkan adanya kombinasi
rekayasa “ideologis” dan “material” pada masa lalu dan sekarang.
2. Teori
pendidikan pembebasan Freire berhasil membongkar praktik-praktik
pendidikan mapan yang selama ini dianut oleh sebagian besar
Negara-nagara di dunia (termasuk Indonesia), di mana praktik pendidikan
tersebut hanyalah melanggengkan dominasi kekuasaan dari kelas yang
berkuasa.
3. Teori
pendidikan Freire telah menjadi rujukan dan diadopsi oleh banyak
lembaga pendidikan di beberapa Negara “kiri” atau paling tidak berpaham
sosialis (seperti Brasil, Venezule, Chile, Bolivia, dll) juga beberapa
lembaga pendidikan di Indonesia yang menganut metode pendidikan
partisipatoris.
- Komentar
Dampak
riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan
pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan
yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan
sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis
dan cerdas.
“Pendidikan
kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire)
merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”. Semua pengetahuan pada
dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara
sosial dan historis; individu-individu secara syechochical
berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi
(yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya
pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan
konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis
terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan
yang bernuansa sosio-historis.
Lebih
lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri,
museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki
visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap
dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk
mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak
berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak
individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan
dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan
pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap
berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya
menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan
kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim
pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem
kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan
(selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan
telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran
kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan
tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini
menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu
membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur
sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas
masyarakat keseluruhan.
Pendidikan
pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu
dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang
baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan
yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep
pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong
oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi
terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan”
dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan
dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Kebebasan
tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri,
tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut.
Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu,
justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya
akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis
menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis
rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin
pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire
ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui
pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat
tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan
rupanya lebih dipandang sebagai suatu “gerakan politik” ketimbang suatu
gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire
diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan,
menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi
“masyarakat kerucut” (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Walaupun
teori yang dikembangkan oleh Freire ini (tampak) ideal, penulis melihat
ada kelemahan (jika bisa disebut sebagai kelemahan). Dalam beberapa
kondisi politik, ekonomi, social dan budaya, masyarakat (juga Negara)
sering tidak bisa terlepas dari kondisi-kondisi mereka harus melindungi
masyarakat dari hegemoni yang menjadi musuh ideologis dari Negara. Dalam
teori Gramsci mengenai hegemoni, hegemoni hanya bisa dilawan jika kita
menciptakan kontra hegemoni, sehingga idelogi masyarakat (juga Negara)
bisa dilindungi, sedangkan teori Freire menentang segala macam hegemoni
dari suatu ideologi tertentu padahal dalam suatu kondisi krisis atau
revolusioner kondisi seperti ini sering diidentikkan dengan kondisi
perang sehingga diperlukan langkah yang cepat dan terpusat untuk
mengatasinya.
- Kesimpulan
Tujuan
Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan manusia dari
kondisi-kondisi penindasan yang telah membawa kehidupan manusia pada
sikap “tidak manusiawi”, baik itu korban penindasan maupun pelaku
penindasan. Freire menganggap bahwa situasi penindasan bukanlah
keharusan sejarah, tetapi lebih karena diciptakan, maka pendidikan
berfungsi untuk merubah itu semua.
Dalam
melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah
memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan
bahwa ia mampu untuk merubah itu semua.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness)
· Kesadaran
magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan
antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin
yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem
politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar
manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan
ketidakberdayaan.
· Kesadaran
naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
· Kesadaran
kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims”
dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan
sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan
masyarakat.
Untuk
membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara
searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus
berada dalam kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek
yang hanya berperan sebagai wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan
yang hanya berasal dari sang guru (pendidikan gaya bank”, tetapi guru
dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa menjadi murid, murid pun
bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi permasalahan sehari-hari
pengalaman setiap orang berbeda-beda dan berbeda pula cara mengatasi
permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih pandai
dari orang lain begitu juga sebaliknya.
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Jawa Tengah.
PRAXIS (Yunani) =
PRACTIVE (Inggris) = Kegiatan (Indonesia) (lihat Wiratmo Sukito, dalam
Prisma, Nomor 3/VIII/Maret 1979). PRAXIS adalah pemahaman tentang dunia
dan kehidupan serta hasrat untuk merubahnya (lihat Brian McCall,
“Peralihan ke Arah Berdikari”, dalam Masyarakat Studi Pembangunan, Nomor 2/III/LSP/1981), PRAXIS adalah konsep filsafat tentang aktifitas manusia (lihat Adolfo Sanches Vasques, The Philosophy of Praxis, Merlin Books, London, 1978).
Dalam kepustakaan
ekonomi, anak didik atau manusia terpelajar (lulusan sebuah lembaga
pendidikan atau sekolah) disebut dengan istilah “earning-assets” dari proses produksi, jadi merupakan faktor produksi yang berfungsi instrumental. Tidak kurang dari “fons et erigo”nya
ilmu ekonomi modern, yakni buku “ The Wealth of Nation” dari Adam Smith
yang menyatakan: “…an education man is sort of expensive machines, my
be compared to one of those expensive machine…”. Adalah Alfred Marshall
yang kemudian memberi aktifkan tambahan penjelasan yang lebih baik,
bahwa:”…the first point to which we have to direct out attention is the
fact that human agents of production are not bought and sold as
machinery and other material agents of production are the worker sells
his work, but the himself remains his own property: those who bear the
expenses or rearing and educating him receive but very little of price
that is paid for his service in later gears…”(lihat: Mark Blang, An Introduction to the Economics of Education, Penguin London, 1976).
Istilah ini berasal dari
ahli psikoanalisa kontemporer Erich Fromm. “Nekrofili” adalah rasa
kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan. “Biofili”
sebaliknya adalah kecintaan pada segala yang memiliki jiwa kehidupan,
yang maknawiah (Lihat Erich Fromm, The Heart of Man, Routledge & Keegan, New York, 1996).
Freire menggunakan suatu
istilah yang unik, yakni “guru yang murid” (teacher-pupil) dan “murid
yang guru” (pupil-teacher), yang pada dasarnya sekedar menegaskan bahwa
baik guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan dan
pengalamannya sendiri-sendiri terhadap obyek realitas yang mereka
pelajari, sehingga bisa saja pada suatu saat murid menyajikan
pengetahuan, penghayatan, dan pengalamannya tersebut sebagai suatu
“insight” bagi sang guru, seperti yang secara klasik menjadi tugas sang
guru selama ini.
Freire mengutip
pengertian filosofis ini dari Karl Jaspers, dan dengan mengutip
pokok-pokok pemikiran filsuf eksistensialis lainnya, Jean-Paul Sartre,
Freire tiba pada kesimpulan bahwa inti dari kesadaran manusia adalah
intensionalitas pengalaman akan relaitas (keterlibatan penuh dan sadar
dalam suatu proses).
0 comments:
Posting Komentar