Pages

Subscribe:

Senin, 06 Oktober 2014

SEJARAH PERANG AFGHANISTAN

Perang Soviet-Afganistan merupakan masa sembilan tahun di mana Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan Marxis Afganistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afganistan, menghadapi mujahidin Afganistan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Uni Soviet mendukung pemerintahan Afganistan, sementara para mujahidin mendapat dukungan dari banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Pakistan.
Pasukan Soviet pertama kali sampai di Afganistan pada tanggal 25 Desember 1979, dan penarikan pasukan terakhir terjadi pada tanggal 2 Februari 1989. Uni Soviet lalu mengumumkan bahwa semua pasukan mereka sudah ditarik dari Afganistan pada tanggal 15 Februari 1989. Karena banyaknya biaya dan akhirnya kesia-siaan konflik ini, Perang Soviet-Afganistan sering disamakan sebagai padanan Uni Soviet daripada Perang Vietnam Amerika Serikat.
Perang ini memiliki dampak yang sangat besar, dan merupakan salah satu faktor leburnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Perang Soviet-Afghanistan merupakan bagian dari Perang Dingin, dan Perang Saudara Afghanistan
Tanggal Desember 1979 - Februari 1989
Lokasi Afghanistan
Hasil Soviet mundur, dan perang saudara Afghanistan berlanjut
Korban 14.751 tewas atau hilang
53.753 terluka
415.932 sakit
Casus Belli Perjanjian antara Soviet dengan pemerintah Afghanistan
Latar Belakang Perang
Daerah yang kini bernama Afganistan telah secara luas merupakan wilayah Muslim sejak tahun 882 M. Negara dengan keadaan geografisnya yang nyaris tidak bisa dimasuki, tercerminkan pada komposisi etnis, budaya dan bahasanya. Populasinya pun terbagi menjadi beberapa kelompok etnis, Pashtun adalah etnis terbesar, bersama dengan Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek, Turkmen dan kelompok kecil lainnya.
Keikutsertaan militer Rusia di Afganistan memiliki sejarah yang panjang, berawal pada ekspansi Tsar pada “Permainan Besar” antara Rusia dengan Britania Raya, dimulai pada abad ke-19 dengan kejadian seperti insiden Panjdeh. Ketertarikan akan daerah ini berlanjut saat era Soviet di Rusia, dengan adanya miliaran uang bantuan ekonomi dan militer untuk Afganistan pda tahun 1955 sampai 1978.
Pada Februari 1979, revolusi Islam Iran telah mengusir shah yang didukung oleh Amerika Serikat di Iran. Di Uni Soviet, tetangga Afganistan yang terletak di sebelah utara Afganistan, lebih dari 20% populasinya adalah Muslim. Banyak Muslim Soviet di Asia Tengah mempunyai hubungan yang baik terhadap Iran maupun Afganistan. Uni Soviet juga telah terpojok oleh fakta bahwa sejak Februari, Amerika Serikat telah menurunkan 20 kapal, termasuk 2 pesawat pengangkut dan ancaman konstan peperangan dari Amerika Serikat dan Iran.[4] Maret 1979 juga ditandai Amerika Serikat yang mencanangkan perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir. Pemimpin Uni Soviet melihat perjanjian damai antara Israel dan Mesir sebagai langkah peningkatan kekuatan Amerika Serikat di daerah tersebut. Faktanya, sebuah koran Soviet menyatakan bahwa Mesir dan Israel sekarang adalah sekutu dari Pentagon. Uni Soviet melihat perjanjian tidak hanya perjanjian tertulis di antara dua negara tapi juga persetujuan militer. Selain itu, Uni Soviet menemukan bahwa Amerika Serikat menjual lebih dari 5.000 peluru kendali ke Arab Saudi dan juga membantu atas kesuksesan pertahanan Yemen melawan Faksi Komunis. Republik Rakyat Tiongkok juga menjual RPG Tipe 69 kepada Mujahidin dalam kooperasi dengan CIA. Kemudian, hubungan erat Uni Soviet dengan Irak mengasam, karena Irak, pada Juni 1978, mulai membeli senjata yang dibuat Perancis dan Italia, dan bukan senjata buatan Uni Soviet. Namun, bantuan barat membantu pemberontakan melawan Soviet dilakukan. Beberapa partai memberikan bantuan mereka untuk membantu Mujahidin dalam alasan untuk menghancurkan pengaruh Uni Soviet
PERANG AMERIKA SERIKAT-AFGHANISTAN
Tata dunia internasional (world order) kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin. Runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) di New York tanggal 11 September lalu akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 September membawa implikasi fundamental terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat (AS) sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang terhadap terorisme.” Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemonisme AS sebagai adidaya tunggal. Namun, berubahnya situasi keamanam pada level global itu tidak berarti bahwa situasi keamanan regional juga telah mengalami perubahan secara fundamental. Meskipun negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga mengakui bahwa terorisme merupakan ancaman serius bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak berarti bahwa isyuisyu keamanan lainnya di kawasan menjadi tidak penting. Bagi kawasan Asia Tenggara, peristiwa 11 September hanya semakin memperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yang sebelumnya telah ” akrab” dengan berbagai ancaman non-tradisional termasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya terorisme sebagai agenda utama – kalaupun bukan sebagai agenda tunggal– dalam kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri AS, negara-negara Asia Tenggara terpaksa dihadapkan pada sebuah realita baru yang merupakan konsekuensi dari dari kebijakan AS itu. Makalah ini menyoroti situasi dan karakteristik keamanan internasional pasca tragedi 11 September dan implikasinya terhadap kawasan Asia Tenggara. Pembahasan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas respon AS terhadap terorisme, dan makna serangan AS ke Afghanistan dan Irak bagi politik global, sebagai dua factor yang akan membentuk karakteristik politik global dewasa ini. Bagian kedua, disamping menyoroti implikasi “perang terhadap terorisme” bagi kawasan Asia Tenggara, juga
membahas sejumlah persoalan keamanan yang menjadi tantangan bagi negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Bagian ketiga secara spesifik membahas posisi dan opsiopsi yang dapat ditempuh ASEAN dan Indonesia dalam merespon berbagai perkembangan global dan regional.
Situasi Global Pasca 11 September
Ketika Perang Dingin dinyatakan berakhir dengan runtuhnya tembok Berlin dan disintegrasi Uni Soviet di akhir 1990-an, bentuk dan masa depan peran AS sebagai satusatunya negara adidaya merupakan salah satu isyu yang kerap menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi. Sebagian kalangan pada waktu itu berpendapat bahwa peran global AS bisa jadi akan mengalami tekanan-tekanan domestik, yang pada gilirannya dapat mendorong negara itu untuk mengambil posisi isolasionis, mengedepankan pengaturan keamanan regional, dan menjalankan keterlibatan terbatas dalam masalah-masalah internasional. Akibat hilangnya ancaman strategis dari Uni Soviet, AS diperkirakan akan lebih memprioritaskan agenda non-militer dan nontradisional dalam politik globalnya, terutama dalam hal penyebaran demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan penanganan ancaman lintas-batas (transnational threats). Kecenderungan demikian setidaknya terlihat dalam kebijakan luar negeri AS selama dekade 1990-an. Namun, tragedi 11 September 2001 membalik semua kecenderungan yang ada. Seolah mendapat alasan dan keharusan baru, peristiwa tersebut menjadi faktor signifikan bagi penguatian hegemoni AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS dalam pentas politik internasional secara lebih dominan. Serangan teroris 11 September memperkuat keyakinan para pemimpin AS bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respon AS terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afghanistan dan Irak pada tataran khusus.
Respon AS Terhadap Terorisme:
Dalam merespon terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional.Pertama dengan sikapnya yang keras, AS tampaknya ingin melahirkan semacam
struktur “bipolar” baru yang memperumit pola-pola hubungan antar negara. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you are with the terrorists,” secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Pemilahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara, khususnya negara-negara pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan oleh konstituennya berada dalam orbit AS. Lagipula, tampaknya sulit bagi AS untuk menerima pendapat negara-negara lain bahwa perang melawan terorisme tidak harus dilakukan dibawah pimpinan AS. Sementara itu bagi banyak negara berkembang, masalah kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan konflik antar-etnik dilihat lebih berbahaya ketimbang masalah terorisme sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup mereka sebagai sebuah negara. Kedua, tragedi 11 September juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang gunakan AS dalam menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau kepada masalah terorisme ketimbang isyu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan negara itu. Dengan kata lain, AS tampaknya cenderung menjadikan “komitmen” melawan terorisme, ketimbang komitmen terhadap demokrasi dan HAM, sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya, telah terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang khususnya terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan AS secara langsung. Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan Islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kehati-hatian dari negara-negera berpenduduk mayoritas Muslim dalam merespon persoalan terorisme ini kerap menimbulkan kecurigaan dari AS, dan bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan
politik yang tidak mudah untuk dihadapi. Akibatnya, pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim kerap dihadapkan kepada dilema antara “kewajiban” memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan untuk menjaga hak-hak konstituen domestik di lain pihak. Dengan kata lain, kebijakan “perang terhadap terorisme” yang dijalankan AS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara Muslim. Sampai sekarang, AS tampaknya masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan “perang melawan terorisme” yang tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungannya dengan Dunia Islam. Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS juga telah mengadopsi sebuah doktrin baru, yakni doktrin preemption. Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang dipersepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap kepentingan AS di mana saja. Doktrin preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan norma-norma hubungan antarnegara secara fundamental. Dalam konteks doktrin preempition dan kecenderungan
unilateralis itu, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan. Dengan kata lain, unilateralisme AS, yang didukung dengan kekuatan ekonomi dan militer yang tidak tertandingi, akan menjadi faktor penentu yang sangat dominan bagi tatanan politik global di waktu mendatang.
Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya. Aksi serangan militer ke Afghanistan, dan invasi ke Irak, merupakan contoh nyata dari keyakinan demikian. Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan sejak 11 September, peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, dan peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negaranegara yang diharapkan AS dapat menjadi mitra dalarn perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Filipina, dan negara lainnya di Timur Tengah. Kecenderungan demikian juga terlihat dalam upayanya membangun koalisi internasional melawan terorisme, dimana AS tidak segan-segan mengucurkan dana milyaran dolar untuk memperkuat hubungan militer dengan negara-negara yang diharapkan dapat menjadi mitra dalam perang terhadap terorisme. Bagi AS, upaya untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang dituduh menjadi organisasi teroris tampaknya jauh lebih penting ketimbang mencari dan menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya terorisme itu sendiri.

0 comments: