Perang Soviet-Afganistan merupakan masa sembilan tahun di mana Uni Soviet berusaha mempertahankan pemerintahan Marxis Afganistan, yaitu Partai Demokrasi Rakyat Afganistan, menghadapi mujahidin
Afganistan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Uni Soviet mendukung
pemerintahan Afganistan, sementara para mujahidin mendapat dukungan dari
banyak negara, antara lain Amerika Serikat dan Pakistan.
Pasukan Soviet pertama kali sampai di Afganistan pada tanggal 25 Desember 1979, dan penarikan pasukan terakhir terjadi pada tanggal 2 Februari 1989. Uni Soviet lalu mengumumkan bahwa semua pasukan mereka sudah ditarik dari Afganistan pada tanggal 15 Februari 1989.
Karena banyaknya biaya dan akhirnya kesia-siaan konflik ini, Perang
Soviet-Afganistan sering disamakan sebagai padanan Uni Soviet daripada Perang Vietnam Amerika Serikat.
Perang ini memiliki dampak yang sangat besar, dan merupakan salah satu faktor leburnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Perang Soviet-Afghanistan merupakan bagian dari Perang Dingin, dan Perang Saudara Afghanistan
Tanggal Desember 1979 - Februari 1989
Lokasi Afghanistan
Hasil Soviet mundur, dan perang saudara Afghanistan berlanjut
Korban 14.751 tewas atau hilang
53.753 terluka
415.932 sakit
53.753 terluka
415.932 sakit
Casus Belli Perjanjian antara Soviet dengan pemerintah Afghanistan
Latar Belakang Perang
Daerah yang kini bernama Afganistan telah secara luas merupakan wilayah Muslim sejak tahun 882 M.
Negara dengan keadaan geografisnya yang nyaris tidak bisa dimasuki,
tercerminkan pada komposisi etnis, budaya dan bahasanya. Populasinya pun
terbagi menjadi beberapa kelompok etnis, Pashtun adalah etnis terbesar, bersama dengan Tajik, Hazara, Aimak, Uzbek, Turkmen dan kelompok kecil lainnya.
Keikutsertaan militer Rusia di Afganistan memiliki sejarah yang panjang, berawal pada ekspansi Tsar pada “Permainan Besar” antara Rusia dengan Britania Raya, dimulai pada abad ke-19 dengan kejadian seperti insiden Panjdeh.
Ketertarikan akan daerah ini berlanjut saat era Soviet di Rusia, dengan
adanya miliaran uang bantuan ekonomi dan militer untuk Afganistan pda
tahun 1955 sampai 1978.
Pada Februari 1979, revolusi Islam Iran telah mengusir shah yang didukung oleh Amerika Serikat di Iran.
Di Uni Soviet, tetangga Afganistan yang terletak di sebelah utara
Afganistan, lebih dari 20% populasinya adalah Muslim. Banyak Muslim Soviet di Asia Tengah
mempunyai hubungan yang baik terhadap Iran maupun Afganistan. Uni
Soviet juga telah terpojok oleh fakta bahwa sejak Februari, Amerika
Serikat telah menurunkan 20 kapal, termasuk 2 pesawat pengangkut dan
ancaman konstan peperangan dari Amerika Serikat dan Iran.[4] Maret 1979 juga ditandai Amerika Serikat yang mencanangkan perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir.
Pemimpin Uni Soviet melihat perjanjian damai antara Israel dan Mesir
sebagai langkah peningkatan kekuatan Amerika Serikat di daerah tersebut.
Faktanya, sebuah koran Soviet menyatakan bahwa Mesir dan Israel
sekarang adalah sekutu dari Pentagon. Uni Soviet melihat perjanjian
tidak hanya perjanjian tertulis di antara dua negara tapi juga
persetujuan militer. Selain itu, Uni Soviet menemukan bahwa Amerika
Serikat menjual lebih dari 5.000 peluru kendali ke Arab Saudi dan juga membantu atas kesuksesan pertahanan Yemen melawan Faksi Komunis. Republik Rakyat Tiongkok juga menjual RPG Tipe 69 kepada Mujahidin dalam kooperasi dengan CIA. Kemudian, hubungan erat Uni Soviet dengan Irak mengasam, karena Irak, pada Juni 1978, mulai membeli senjata yang dibuat Perancis dan Italia,
dan bukan senjata buatan Uni Soviet. Namun, bantuan barat membantu
pemberontakan melawan Soviet dilakukan. Beberapa partai memberikan
bantuan mereka untuk membantu Mujahidin dalam alasan untuk menghancurkan
pengaruh Uni Soviet
PERANG AMERIKA SERIKAT-AFGHANISTAN
Tata dunia internasional (world order) kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining moment yang
dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera
diikuti dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin
runtuh pada tahun 1989, masyarakat internasional melihatnya sebagai awal
dari lahirnya era Pasca Perang Dingin. Runtuhnya gedung World Trade
Centre (WTC) di New York tanggal 11 September lalu akibat serangan
teroris kini dilihat banyak pihak sebagai defining moment yang
mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 September membawa
implikasi fundamental terhadap situasi dan percaturan politik
internasional. Bagi Amerika Serikat (AS) sendiri, peristiwa tersebut
merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon
dalam bentuk “perang terhadap terorisme.” Bagi negara-negara lainya,
selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan
dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya,
tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari
terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh
meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme)
dan hegemonisme AS sebagai adidaya tunggal. Namun, berubahnya situasi
keamanam pada level global itu tidak berarti bahwa situasi keamanan
regional juga telah mengalami perubahan secara fundamental. Meskipun
negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga mengakui bahwa terorisme
merupakan ancaman serius bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak
berarti bahwa isyuisyu keamanan lainnya di kawasan menjadi tidak
penting. Bagi kawasan Asia Tenggara, peristiwa 11 September hanya
semakin memperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yang
sebelumnya telah ” akrab” dengan berbagai ancaman non-tradisional
termasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya terorisme sebagai
agenda utama – kalaupun bukan sebagai agenda tunggal– dalam kebijakan
keamanan nasional dan politik luar negeri AS, negara-negara Asia
Tenggara terpaksa dihadapkan pada sebuah realita baru yang merupakan
konsekuensi dari dari kebijakan AS itu. Makalah ini menyoroti situasi
dan karakteristik keamanan internasional pasca tragedi 11 September dan
implikasinya terhadap kawasan Asia Tenggara. Pembahasan dibagi ke dalam
tiga bagian. Bagian pertama membahas respon AS terhadap terorisme, dan
makna serangan AS ke Afghanistan dan Irak bagi politik global, sebagai
dua factor yang akan membentuk karakteristik politik global dewasa ini.
Bagian kedua, disamping menyoroti implikasi “perang terhadap terorisme”
bagi kawasan Asia Tenggara, juga
membahas
sejumlah persoalan keamanan yang menjadi tantangan bagi negara-negara
di kawasan, termasuk Indonesia. Bagian ketiga secara spesifik membahas
posisi dan opsiopsi yang dapat ditempuh ASEAN dan Indonesia dalam
merespon berbagai perkembangan global dan regional.
Situasi Global Pasca 11 September
Ketika
Perang Dingin dinyatakan berakhir dengan runtuhnya tembok Berlin dan
disintegrasi Uni Soviet di akhir 1990-an, bentuk dan masa depan peran AS
sebagai satusatunya negara adidaya merupakan salah satu isyu yang kerap
menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi. Sebagian
kalangan pada waktu itu berpendapat bahwa peran global AS bisa jadi akan
mengalami tekanan-tekanan domestik, yang pada gilirannya dapat
mendorong negara itu untuk mengambil posisi isolasionis, mengedepankan
pengaturan keamanan regional, dan menjalankan keterlibatan terbatas
dalam masalah-masalah internasional. Akibat hilangnya ancaman strategis
dari Uni Soviet, AS diperkirakan akan lebih memprioritaskan agenda
non-militer dan nontradisional dalam politik globalnya, terutama dalam
hal penyebaran demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan
penanganan ancaman lintas-batas (transnational threats).
Kecenderungan demikian setidaknya terlihat dalam kebijakan luar negeri
AS selama dekade 1990-an. Namun, tragedi 11 September 2001 membalik
semua kecenderungan yang ada. Seolah mendapat alasan dan keharusan baru,
peristiwa tersebut menjadi faktor signifikan bagi penguatian hegemoni
AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS
dalam pentas politik internasional secara lebih dominan. Serangan
teroris 11 September memperkuat keyakinan para pemimpin AS bahwa
kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi
keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni
AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional.
Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respon AS
terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afghanistan dan Irak
pada tataran khusus.
Respon AS Terhadap Terorisme:
Dalam
merespon terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar
negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada
gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional.Pertama
dengan sikapnya yang keras, AS tampaknya ingin melahirkan semacam
struktur “bipolar” baru yang memperumit pola-pola hubungan antar negara. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you are with the terrorists,” secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil).
Pemilahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara, khususnya
negara-negara pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan oleh
konstituennya berada dalam orbit AS. Lagipula, tampaknya sulit bagi AS
untuk menerima pendapat negara-negara lain bahwa perang melawan
terorisme tidak harus dilakukan dibawah pimpinan AS. Sementara itu bagi
banyak negara berkembang, masalah kemiskinan, pengangguran,
keterbelakangan, dan konflik antar-etnik dilihat lebih berbahaya
ketimbang masalah terorisme sebagai ancaman utama bagi kelangsungan
hidup mereka sebagai sebuah negara. Kedua, tragedi 11 September juga
telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang gunakan AS dalam
menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau kepada
masalah terorisme ketimbang isyu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan naik ke panggung
kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi
penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan negara
itu. Dengan kata lain, AS tampaknya cenderung menjadikan “komitmen”
melawan terorisme, ketimbang komitmen terhadap demokrasi dan HAM,
sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya, telah terjadi
pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang khususnya
terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan AS secara
langsung. Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan
Islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS,
tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS
dengan negara-negara Islam ataupun negara-negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim. Kehati-hatian dari negara-negera berpenduduk mayoritas
Muslim dalam merespon persoalan terorisme ini kerap menimbulkan
kecurigaan dari AS, dan bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan
politik
yang tidak mudah untuk dihadapi. Akibatnya, pemerintah di negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim kerap dihadapkan kepada dilema antara
“kewajiban” memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan untuk
menjaga hak-hak konstituen domestik di lain pihak. Dengan kata lain,
kebijakan “perang terhadap terorisme” yang dijalankan AS telah
menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah
dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara Muslim. Sampai sekarang, AS
tampaknya masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan
kebijakan “perang melawan terorisme” yang tidak menimbulkan komplikasi
dalam hubungannya dengan Dunia Islam. Keempat, untuk mengantisipasi
kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS juga telah
mengadopsi sebuah doktrin baru, yakni doktrin preemption.
Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya
sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui
tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang
dipersepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap kepentingan
AS di mana saja. Doktrin preemption tersebut jelas meresahkan
banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan norma-norma
hubungan antarnegara secara fundamental. Dalam konteks doktrin preempition dan kecenderungan
unilateralis
itu, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran
institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional,
serta ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan.
Dengan kata lain, unilateralisme AS, yang didukung dengan kekuatan
ekonomi dan militer yang tidak tertandingi, akan menjadi faktor penentu
yang sangat dominan bagi tatanan politik global di waktu mendatang.
Kelima,
AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa
pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan
melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya. Aksi serangan militer ke
Afghanistan, dan invasi ke Irak, merupakan contoh nyata dari keyakinan
demikian. Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui
peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan sejak 11 September,
peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, dan
peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negaranegara yang
diharapkan AS dapat menjadi mitra dalarn perang melawan terorisme,
seperti Pakistan, Filipina, dan negara lainnya di Timur Tengah.
Kecenderungan demikian juga terlihat dalam upayanya membangun koalisi
internasional melawan terorisme, dimana AS tidak segan-segan mengucurkan
dana milyaran dolar untuk memperkuat hubungan militer dengan
negara-negara yang diharapkan dapat menjadi mitra dalam perang terhadap
terorisme. Bagi AS, upaya untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang
dituduh menjadi organisasi teroris tampaknya jauh lebih penting
ketimbang mencari dan menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan
lahirnya terorisme itu sendiri.
0 comments:
Posting Komentar