Pages

Subscribe:

Selasa, 07 April 2015

Lembaga-lembaga Perlindungan HAM di Indonesia dan Peranannya

1.    Komnas HAM
Komnas HAM adalah lembaga  mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Komnas HAM untuk pertama kalinya dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993, atas rekomendasi Lokakarya I Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berdasarkan pasal 75 UU No. 39 tahun 1999 tujuan dari pembentukan Komnas HAM adalah :
1)    Membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2)    Meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bisang kehidupan.
Dalam melaksanakan tugasnya Komnas HAM dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu oleh 2 orang wakil ketua. Anggota Komnas HAM terdiri dari 35 orang dengan masa jabatan 5 tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan lagi. Anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR berdasarkan usulan dari Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Selain itu Komnas HAM mempunyai subkomisi-subkomisi. Subkomisi adalah kelengkapan Komnas HAM yang bertugas melaksanakan fungsi Komnas HAM. Subkomisi tersebut adalah:
1)    Subkomisi Hak Sipil dan Politik
2)    Subkomisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
3)    Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus
Peranan Komnas HAM dalam penegakkan HAM antara lain sebagai berikut:
1)      sebagai salah satu lembaga penggerak dalam menjalankan perlindungan HAM
2)      sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan kajian tentang HAM
3)      sebagai salah satu lembaga yang turut serta secara aktif dalam menegakkan HAM
4)      sebagai salah satu lembaga yang bergerak sebagai media (perantara) bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan HAM


2.    Pengadilan HAM
Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 7, 8, dan 9 UU No. 26 tahun 2000. Berdasarkan peraturan tersebut pelanggaran HAM yang berat meliputi:
1)    Kejahatan Genosida
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a.    membunuh anggota kelompok,
b.    mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok,
c.    menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian,
d.    melaksanakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e.    memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2)    Kejahatan terhadap kemanusiaan
Adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa/penculikan, kejahatan apartheid.
Tugas dan wewenang Pengadilan HAM adalah:
1)    Memutus perkara pelanggaran HAM berat
2)    Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh WNI
3)    Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Sanksi bagi pelanggar HAM:
1)    Kejahatan Genosida, dipidana dengan pidana:
a.    pidana mati, atau
b.    pidana penjara seumur hidup,
c.    pidana paling lama 25 tahun
d.    pidana paling singkat 10 tahun
2)    Kejahatan terhadap kemanusiaan
a.    Kejahatan pembunuhan, pemusnahan, pengusiran perampasan kebebasan atau kejahatan apartheid dapat dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun
b.    Kejahatan perbudakan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau paling singkat 5 tahun
c.    Kejahatan penyiksaan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau paling singkat 5 tahun
d.    Kejahatan perkosaan, penganiayaan atau penculikan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun.
3.    Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
UU RI No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewuhjudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegak hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik adalah
1)    memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2)    menegakkn hukum
3)    memberikan pengayoman dan pelayanan pada masyarakat
4)    membina ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM
4.    Lembaga Bantuan Hukum
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah lembaga independen yang memberi bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Lembaga ini bersifat pengabdian dan profesional. LBH mempunyai peran antara lain:
1)    sebagai relawan membantu kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan hukum
2)    sebagai pembela dalam menegakkan keadilan dan kebenaran
3)    sebagai pembela dan melindungi HAM
4)    sebagai penyuluhdan penyebar informasi di bidang hukum dan HAM
5.    Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi
Tridaharma perguruan tinggi terdiri dari 3 macam pengabdian perguruan tinggi; yaitu; pengembangan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam rangka mewujudkan pengabdian pada masyarakat perguruan tinggi yang mempunyai fakultas hukum membentuk biro konsultasi dan Bantuan Hukum. Biro ini antara lain berperan sebagai:
1)    kantor, pusat kegiatan untuk memberikan layanan kepada semua pihak yang ingin berkonsultasi dan meminta bantuan di bidang hukum dan HAM
2)    Pelaksana program tridharma perguruan tinggi di bidang hukum dan HAM
Pelatihan dalam pembelaan dan penegakkan hukum dan HAM

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


* Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudra Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Khair. Ia bergelar Maharaja Mahmud Syah (1042-1078). Pengganti Meurah Khair adalah Maharaja Mansyur Syah dari tahun 1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syah dari tahun 1133-1155.
Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya dadalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja Nuruddin berkuasa dari tahun1155-1210. Raja ini dikenal juga dengan sebutan Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini sebenarnya berasal dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut pelabuhan di Gujarat. Raja ini tidak memiliki keturunan sehingga pada saat wafat, kerajaan Samudra Pasai dilanda kekacauan karena perebutan kekuasaan.
Meurah Silu bergelar Sultan Malik-al Saleh (1285-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja Perlak (sekarang Malaysia) yang mendirikan dinasti kedua kerajaan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahannya,  system pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka. Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Meurah Silu memperkokoh hubungan ini dengan menikahi putri Ganggang Sari, anak Raja Perlak. Meurah Silu berhasil memperkuat pengaruh Kerajaan Samudra Pasai di pantai timur Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka.
Raja-raja Samudra Pasai selanjutnya adalah Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345), Sultan Manshur Malik Zahir (1345-1346), dan Sultan Ahmad Malik Zahir (1346-1383). Raja selanjutnya adalah Sultan Zainal Abidin (1383-1405). Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya. Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam kepulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirimkan ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak.

* Kerajaan Malaka

 
Iskandar Syah merupakan raja pertama Kerajaan Malaka. Iskandar Syah awalnya adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit yang melarikan diri setelah Majapahit kalah dalam perang Paregreg. Nama asli Iskandar Syah adalah Parameswara. Ia melarikan diri bersama pengikutnya ke Semenanjung Malaya dan membangun kerajaan baru yang kemudian diberi nama Malaka.
Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam kedua setelah Kerajaan Samudra Pasai. Berkembangnya kegiatan perdagangan dan pelayaran di Kerajaan Malaka banyak didukung para pedagang Islam dari Arab dan India. Kerajaan Malaka pun banyak mendapatkan pengaruh budaya Islam dari kedua daerah ini. Nama Iskandar Syah sendiri merupakan nama Islam, yang diperoleh setelah ia menjadi pemeluk agama Islam. Pada periode kekuasaan Raja Iskandar Syah (1396-1414), Kerajaan Malaka berkembang sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar yang disegani kerajaan lain di sekitarnya.
Muhammad Iskandar Syah merupakan putra mahkota, Kerajaan Malaka yang naik tahta menggantikan ayahnya, Selama memerintah Malaka, Muhammad Iskandar Syah berhasil memajukan bidang perdagangan dan pelayaran. Ia juga berhasil menguasai jalur perdagangan di kawasan Selat Malaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar Syah menikahi putri raja Kerajaan Samudra Pasai dengan tujuan menundukkan Kerajaan Samudra Pasai secara politis. Setelah mendapatkan kekuasaan politik Kerajaan Samudra Pasai, ia baru menguasai wilayah perdagangan disekitarnya. Muhammad Iskandar Syah berkuasa dari tahun 1414-1424.
Sultan Mudzafat Syah memerintah Kerajaan Malaka dari tahun 1424-1458. Ia menggantikan Muhammad Iskandar Syah setelah menyingkirkannya dari tahta Kerajaan Malaka melalui sebuah kemelut politik. Pada masa pemerintahannya Sultan Mudzafat Syah juga berhasil memperluas kekuasaannya hingga ke Pahang, Indragiri, dan Kampar.
Setelah Sultan Mudzafat Syah wafat, ia digantikan oleh putranya Sultan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka berhasil menguasai kerajaan Siam sebagai bagian taktik memperluas wilayah kekuasaan dan mengokohkan kebesarannya di antara kerajaan-kerajaan lain disekitarnya.
Sultan Mansyur Syah tidak menyerang Kerajaan Samudra Pasai yang merupakan kerajaan Islam. Hal ini merupakan salah satu kebijakan politik Sultan Mansyur Syah untuk menjalin hubungan baik dengan sesama kerajaan-kerajaan Islam yang ada disekitarnya. Sultan Mansyur Syah berkuasa dari tahun 1458-1477
Setelah Sultan Mansyur Syah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Syah. Pada masa pemerintahannya, perekonomian Kerajaan Malaka dalam kondisi cukup stabil. Arus perdagangan dan pelayaran di sekitar Pelabuhan Malaka masih cukup ramai, namun selama pemerintahannya Kerajaan Malaka mengalami kemunduran. Banyak daerah taklukan Kerajaan Malaka yang melepaskan diri. Perang dan pemberontakan terjadi di banyak kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Malaka. Sultan Alauddin Syah berkuasa dari tahun 1477-1488 M.
Sultan Mahmud Syah menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Syah yang wafat pada tahun 1488 M. Secara politik, kekuasaan Kerajaan Malaka hanya tinggal mencakup wilayah utama Semenanjung Malaka. Daerah-daerah lain telah memisahkan diri dan menjadi kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Dalam kondisi yang semakin lemah, pada tahun 1511 M, armada perang bangsa Portugis yang dipimpin oleh Afonso d’Albuquerque akhirnya berhasil menguasai dan menaklukan Kerajaan Malaka.

Kerajaan Aceh Darussalam

Sebagai pusat penyebaran agama Islam, berdirinya kerajaan Samudra Pasai mengilhami pendirinya Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1511 M. Kerajaan Aceh Darusalam berlokasi di daerah hulu pulau Sumatra, atau ujung Pantai Aceh yang disebut sebagai Aceh Besar. Raja pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat, tahta Kerajaan Aceh Darussalam beralih pada putranya yang kemudian bergelar Sultan Salahuddin. Sayangnya, keadaan pemerintahan kurang mendapat perhatian raja sehingga selama masa pemerintahannya Aceh Darussalam mengalami kemunduran drastis. Kekuasan Sultan Salahuddin, kemudian direbut oleh Sultan Alauddin.
Selama pemerintahan, Sultan Alauddin mengadakan perbaikan kondisi kerajaan dan perluasan wilayah, antara lain ke Kerajaan Aru. Namun, usahanya untuk merebut Malaka dari Portugis mengalami kegagalan. Sultan Alauddin juga aktif menyebarkan pengaruh Islam dengan mengirim banyak ahli dakwah ke Pulau Jawa. Salah satunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sultan Alauddin wafat, Kerajaan Aceh Darussalam kembali mengalami kemunduran. Hal ini terjadi akibat pergolakan politik internal dan pemberontakan yang berlangsung cukup lama. Kerajaan Aceh Darussalam mengalami perkembangan pesat dan mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh Darussanlam pada saat itu tumbuh menjadi kerajaan besar yang berhasil menguasai jalur perdagangan alternatif. Keberhasilan ini mampu menyaingi monopoli perdagangan Portugis di Kerajaan Malaka.
Struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda. Pada dasarnya, struktur kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi dua wilayah, yaitu kekuasaan oleh kaum bangsawan dan alim ulama. Dalam kekuasaan kebangsawanan, wilayah Kerajaan Aceh Darusalam terbagi dalam daerah-daerah kehulubalangan yang dikepalai oleh Uleebalang.
Penganti Sultan Iskandar Muda adalah menantunya yang bergelar Sultan Iskandar Thani. Ia menjadi raja pada tahun 1636. Pada masa itu Sultan Iskandar Thani menerapkan kebijakan yang lebih lunak daripada Iskandar Muda. Hal itu menyebabkan daerah-daerah taklukan melepaskan diri satu per satu. Pemerintahan Iskandar Thani tidak berlangsung lama karena meninggal pada tahun 1641. Pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam akhirnya dilanjutkan oleh putri Sri Alam Permaisuri, putri Sultan Iskandar Muda, yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675M). Sultanah adalah gelar untuk ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Selama 59 tahun berikutnya, Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh ratu.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia, secara perlahan Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kemunduran. Hal ini karena raja-raja setelah sultan Iskandar Muda tidak mampu mempertahankan wilayah Aceh yang sangat luas. Terjadi perpecahan antar kelompok dalam masyarakat Aceh, yaitu antara golongan ulama (Tengku) dan golongan bangsawan yang lebih dekat dengan penjajahan Kolonial Belanda.

Kerajaan Demak

Berdirinya Kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir utara Jawa. Daerah-daerah pesisir seperti Tuban dan Cirebon sudah mendapat pengaruh Islam. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur perdagangan yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai kerajaan Islam yang merdeka dari Majapahit.
Raden Patah adalah raja pertama Kerajaan Demak. Ia memerintah dari tahun 1500-1518. Pada masa pemerintahan agama Islam mengalami perkembangan pesat. Raden Patah bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Pengangkatan Raden Patah sebagai Raja Demak dipimpin oleh anggota wali lainnya. Pada masa pemerintahannya, wilayah kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi, dan beberapa daerah di Kalimantan. Pada masa pemerintahannya juga dibangun Masjid Agung Demak yang dibantu oleh para wali dan sunan sahabat Demak.
Pada masa Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir Portugis dari kerajaan Malaka.
Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran.
Setelah wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri.
Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan sebuah daerah Perdikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram.
Sultan Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak. Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng Mataram, untuk merebut kembali tahta Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.

Kerajaan Banten

Kerajaan Banten meliputi wilayah sebelah barat pantai Jawa sampai ke Lampung. Daerah ini sebenarnya merupakan daerah tetangga Kerajaan Pajajaran, yang dalam Carita Parahyangan dikenal dengan nama Wahanten Girang. Peletak dasar Kerajaan Banten adalah Syarif Hidayutullah atau Sunan Gunung Jati. Tahun 1526 M, Syarif Hidayatullah menguasai bagian barat pantai utara jawa untuk menundukkan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Banten dijadikan sebagai basis penyerangan ke Karajaan Pajajaran dilakukan karena Kerajaan Pajajaran menolak usaha penyebaran agama Islam.
Akhirnya pelabuhan Sunda Kelapa merhasil dikuasai pada tahun1527, tetapi Kerajaan Banten masih tetap menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Demak, Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa di Demak. Raja yang pertama adalah putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin. Penguasa Kerajaan Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580). Selama sembilan tahun dibawah pimpinan Maulana Yusuf kerajaan Banten berusaha menundukkan Pakuan ibukota kerajaan Pajajaran, Namun pada tahun 1579 Banten berhasil menaklukan Pakuan.
Setelah Maulana Yusuf meninggal dunia tahun1580, tahta kerajaan Banten jatuh ke tanggan Maulana Muhammad yang masih berusia 9 tahun. Oleh karena masih sangat muda, kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh sebuah badan perwalian yang terdiri dari Kali (Jaksa Agung) dan empat menteri. Badan perwalian ini berkuasa sampai Maulana Muhammad cukup umur untuk memerintah.
Tahun 1596, Banten melancarkan serangan terhadap Kerajaan Palembang, serangan tersebut dipimpin oleh Maulana Muhammad, penyerangan ini bertujuan untuk melancarkan jalur perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah dari daerah Sumatra. Namun penyerangan itu tidak berhasil dan Maulana Muhammad gugur. Wafatnya Maulana mengakibatkan kosongnya pemerintahan di Banten. Sedangkan anaknya yang bernama Abu Mufakhir masih berusia 5 bulan. Untuk sementara Kerajaan Banten di pimpin oleh badan perwalian yang di ketuai oleh Jayanegara(wali kerajaan) dan Nyai Emban Rangkung (pengasuh pangeran). Pada masa ini armada dagang Belanda tiba di Banten, Armada ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596.
Abu Mufakhir baru resmi menjadi pemimpin kerajaan Banten pada tahun 1596. Tahun 1638, khalifah Mekah memberikan gelar Sultan pada Abu Mufakhir. Beliau wafat pada tahun 1651. Kemudian putranya mengantikannya dengan gelar Sultan Abu Ma’ali Ahmad Rahmatullah, tetapi tidak lama kemudian beliau wafat.
Raja Banten berikutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Di bawah pemerintahannya kerajaan Banten berhasil mencapai kejayaannya. Beliau berusaha keras mengusir kekuasaan armada Balanda (VOC) dari kerajaan Banten. Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkotanya yaitu Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji sebagai Raja Muda. Pemerintahan sehari-hari di jalankan oleh Sultan Haji namun Sultan Ageng Tirtayasa tetap mengawasi.
Selam pemerintahannya, Sultan Haji cenderung bersahabat dengan VOC. VOC memanfaatkan kesempatan ini untuk mempengruhi kebijakan pemerintahan Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa tidak menyetujui hubungan baik Sultan Haji dengan Belanda dan berrencana mencabut kembali kekuasaannya. Sultan Haji dengan dukungan Belanda tetap mempertahankan tahta Kerajaan Banten sehingga timbul persengketaan dan perang saudara. Akibat penghianatan ini pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda di Batavia. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat pada tahun 1692 dan kerajaan Banten menjadi kerajaan boneka di bawah kendali Belanda.

Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya, ia memerintah dari tahun 1575-1601. Penguasa kerajaan Mataram Islam selanjutnya adalah Masjolang atau Panembahan Sedo Krapyak. Ia memerintah dari tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram Islam terus menaklukkan daerah-daerah pantai di sekitarnya. Namun, ia gugur dalam usahanya menyatukan Kerajaan Mataram Islam.
Raja Mataram Islam berikutnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia memerintah di Mataram dari tahun 1613-1645. Ia merupakan raja terbesar Kerajaan Mataram Islam yang mempunyai cita-cita menyatukan Pulau Jawa. Pada masa Sultan Agung perdagangan di Mataram Islam semakin melemah, sehingga pelayaran dan perdagangan menjadi mundur. Pada tahun 1628-1629, Sultan Agung ingin menguasai Batavia, ia pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Baureksa dan dibantu oleh Adipati Ukur serta Suro Agul-Agul, tapi usaha itu gagal. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri.
Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat memerintah dari tahun 1645-1677. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjalin hubungan dengan Belanda, orang-orang Belanda diperkenankan untuk membangun Benteng di kerajaan Mataram. Namun, pendirian benteng dan tindakan sewenang-wenangan Belanda akhirnya menyulutkan rasa tidak puas dari beberapa kalangan di Kerajaan Mataram terhadap pemerintahan Amangkurat I. Di antaranya dari Pangeran Trunajaya dari Madura dengan dibantu para bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya melakukan pemberontakan.
Dalam peperangan di ibu kota Kerajaan Mataram, Amangkurat I menderita luka-luka. Ia dilarikan ke Tegalwangi dan meninggal disana. Pemberontakantersebut akhirnya dapat di padamkan oleh Belanda. Raja Amangkurat I wafat dan digantikan oleh Amangkurat II. Ia memerintah  dari tahun 1677-1703. Pada masa pemerintahannya, Belanda menguasai hamper sebagian besar wilayah Kerajaan Mataram. Amangkurat II sendiri menyingkir ke daerah pedesaan dan mendirikan ibu kota Kerajaan Mataram baru di desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura. Amangkurat II wafat pada tahun 1703.
Setelah Amangkurat II wafat, berdasarkan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram terbagi menjad dua, yaitu daerah kesultanan Yogyakrta yang di perintah oleh Raja Mangkubumi yang bergelar  Hamengkubuwono I, dan kesultanan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Pakubowono III. Pada tahun 1757, berdasarkan perjanjian Salatiga, Kerajaan Mataram dipecah lagi menjadi tiga daerah, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegara. Daerah Mangkunegara diperintah oleh Mas Said yang bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.
Pada tahun 1813, Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu kesultanan Yogyakarta dan kerajaan Pakualaman. Kerajaan Pakualaman diperintah oleh Paku Alam yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian kerajaan Mataram akhirnya terbagi menjadi empat kerajaan kecil, yakni Kesultanan Yogyakarta, Kesuhunan Surakarta, Kerajaan Mangkunegara dan kerajaan Pakualaman.
Kehidupan ekonomi kerajaan Mataram Islam adalah agraris yang banyak menghasilkan beras dan kemudian hasilnya diekspor ke Kerajaan Malaka, Untuk meningkatkan hasil produksi beras Sultan Agung memindahkan para petani ke daerah Karawang yang subur hal ini dilakukan juga untuk persiapan menyerang Batavia.

Kerajaan Gowa dan Tallo

Kerajaan Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan baik. Banyak orang mengetahuinya sebagai Kerajaan Makassar. Makassar sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang juga disebut sebagai Ujungpandang.
Sebelum abad ke-16, raja-raja Makassar belum memeluk agama Islam. Baru setelah datangnya Dato’ Ri Bandang, seorang penyiar islam dari Sumatra, Makassar berkembang menjadi kerajaan Islam.
Sultan Alauddin adalah Raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam. Ia memimpin Makassar dari tahun 1591-1638. Sebelumnya, Sultan Alauddin bernama asli Karaeng Ma ‘towaya Tumamenanga Ri Agamanna. Setelah Sultan Alauddin wafat, Kerajaan Makassar dipimpin oleh Muhammad Said 1639-1653. Setelah Muhammad Said  wafat, beliau kemudian digantikan oleh Sultan Hasanuddin. Beliau berkuasa sejak tahun 1653. Masa pemerintahannya merupakan masa gemilang kerajaan Makassar.
Dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, yaitu Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Sultan Hasanuddin juga berniat menjadikan Kerajaan Makassar sebagai penguasa tunggal di jalur perdagangan Indonesia bagian timur. Oleh karena itu Sultan Hasanuddin harus menghadapi kekuatan armada VOC Belanda sebelum dapat menguasai Maluku.
Belanda berusaha keras menghentikan serangan-serangan Kerajaan Makasar. Untuk itu Belanda bersekutu dengan Raja Bone, yaitu Arub(Tuan) Palaka. Aru Palaka bersedia membantu Belanda dengan syarat akan diberikan kemerdekan. Pada tahun 1667, dengan bantuan Kerajaan Bone berhasil menekan Makassar untuk menyetujui perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi tiga buah kesepakatan yaitu VOC mendapat hak monopoli dagang di Makassar, Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makassar, Makassar harus melepas daerah yang dikuasainya seta mengakui Aru Palaka sebagai Raja Bone.
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669, Mapasomba putranya berusaha menggantikan kepemimpinan ayahnya dan meneruskan perjuangan perjuangan ayahnya melewan Belanda. Pasukan Kerajaan Makassar akhirnya bisa dipukul mundur oleh Belanda dan jalur perdagangan di kuasai oleh Belanda.

Kerajaan Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini meliputi Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. Tanah Maluku yang kaya akan rempah-rempah menjadikannya terkenal di dunia Internasional dengan sebutan Spice Island.
Pada abad ke 12 M, Permintaan akan cengkeh dan Pala dari negara Eropa meningkat pesat. Hal ini menyebabkan dibukannya perkebunan di daerah Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dengan adanya kepentingan atas penguasa perdagangan terjadilah persekutuan daerah antara kerajaan. Persekutuan-persekutuan tersebut adalah Uli Lima (Persekutuan Lima). Yaitu persekutuan antara lima saudara yang dipimpin oleh Ternate (yang meliputi Obi, Bacan, Seram dan Ambon, serta Uli Siwa (persekutuan Sembilan) yaitu persekutuan antara sembilan bersaudara yang wilayahnya meliputi Pulau Tidore, Makyan, Jahilolo atau Halmahera dan pulau-pulau di daerah itu sampai Papua.
Antara kedua persekutuan tersebut telah terjadi persaingan yang sangat tajam. Hal ini terjadi setelah para pedagang Eropa datang ke Maluku. Pada tahun 1512, bangsa Portugis datang ke Ternate, sedangkan tahun 1521 bangsa Spanyol datang ke Tidore.
Setelah 10 tahun berada di Kerajaan Ternate, bangsa Portugis mendirikan Benteng yang diberi nama Sao Paolo. Menurut  Portugis , benteng tersebut berguna untuk melindungi Ternate dari Kerajaan Tidore. Namun hal tersebut hanyalah taktik Portugis agar mereka dapat tetap berdagang dan menguasai Ternate. Pembangunan Benteng Soa Paolo mendapat perlawanan dan salah seorang yang menantang kehadiran kekuasaan militer Portugis tersebut yaitu Sultan Hairun. Beliau berkuasa di kerajaan Ternate sejak tahun 1559. Sultan tidak ingin perekonomian dan pemerintahan kerajaan di kuasai oleh bangsa lain dan pendirian benteng tersebut dianggap menunjukkan niat buruk Portugis atas Ternate.
Ketidak setujuan Sultan Hairun terhadap Portugis tidak berbentuk kekerasan, sebaliknya Sultan Haitun bersedia berunding dengan Portugis di Benteng Sao Paolo. Ternyata niat baik Sultan Hairun dimanfaatkan Portugis untuk menahannya di benteng tersebut. Keesokan harinya Sultan Hairun telah terbunuh hal ini terjadi pada tahun 1570.
Wafatnya Sultan Hairun menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin besar. Sultan Baabullah yang menjadi Raja Ternate berikutnya dan memimpin perang melawan Portugis. Usaha ini menampakkan hasil pada tahun 1575, setelah Portugis berhasil dipukul mundur dan pergi meninggalkan bentengnya di Ternate.
Bangsa Portugis bergerak ke Selatan dan Menaklukan Timor pada tahun 1578. Sultan Baabullah kemudian memperluas kekuasaannya hingga Maluku, Sulawesi, Papua, Mindano dan Bima. Keberhasilan pemerintahannya membuat Sultan Baabullah mendapat julukan Tuan dari Tujuh Pulau Dua Pulau.

Perlawanan Untung Suropati Terhadap Belanda (VOC)

Untung Suropati adalah putera Bali yang menjadi prajurit kompeni di Batavia. Ketika Untung Suropati mendapat tugas untuk memadamkan perlawanan rakyat Banten, ia berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Meskipun Untung Suropati telah menangkap Pangeran Purbaya, ia tidak tega untuk membunuh Purbaya sehingga dituduh sebagai pengecut oleh sesama opsir Belanda.

Perlawanan Untung Suropati Terhadap Belanda (VOC)
Selanjutnya, antara tahun 1686 sampai 1706, Untung Suropati dan kawan-kawannya menyingkir ke Mataram dan bekerja sama dengan Sunan Mas atau Amangkurat III untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda (VOC) dan membangun pertahanan yang berpusat di Pasuruan (Jawa Timur) dan dinobatkan menjadi Adipati dengan gelar Aria Wiranegara. Wilayah kekuasaan Untung Suropati meliputi Blambangan, Pasuruan, Probolinggo, Bangil, Malang, dan Kediri.
Pada tahun 1705, kompeni Belanda secara sepihak mengangkat Pangeran Puger sebagai Sunan Pakubuwana I untuk menggantikan Amangkurat III atau Sunan Mas. Pada saat Sunan Mas diturunkan oleh kompeni Belanda, ia bergabung dengan Untung Suropati.
Pada tahun 1706, wilayah pertahanan Untung Suropati diserbu oleh kompeni Belanda. Ketika pertempuran sengit terjadi, Untung Suropati gugur di Bangil dan Amangkurat III atau Sunan Mas tertangkap, kemudian diasingkan ke Sri Lanka.

Perlawanan Kerajaan & Rakyat di Indonesia dalam Menentang Kolonialisme Barat

1.  Perlawanan terhadap Portugis dan VOC
a.  Perlawanan terhadap Portugis
1)  Perlawanan Kesultanan Ternate
Perlawanan kesultanan Ternate terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan Hairun. Adapun penyebab terjadinya perlawanan yaitu adanya monopoli perdagangan oleh Portugis, adanya campur tangan Portugis dalam pemerintahan, adanya penindasan oleh Portugis terhadap rakyat. Akan tetapi perlawanan ini dapat diredam Portugis dengan tipu muslihatnya yang mengakibatkan Sultan Hairun wafat tahun 1570.
Perlawanan dilanjutkan oleh putra Sultan Hairun yaitu Sultan Baabullah. Pada tahun 1574, benteng Portugis mengalami kekalahan dan dapat direbut yang selanjutnya Portugis menyingkir ke daerah Timor Timur (Timor Loro Sae).
2)  Perlawanan Kesultanan Demak
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis membuat perdagangan Islam mengalami kesulitan sehingga menimbulkan kerugian. Raden Patah mengirim pasukan di bawah komando Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1513, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
Karena Portugis sudah menanamkan kekuasaannya di Sunda Kelapa maka pada tahun 1527, Raja Demak waktu itu yakni Sultan Trenggono memerintahkan Fatahillah menyerang Portugis. Serangan tersebut dapat mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Pada tanggal 22 Juni 1527, Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta dan Fatahillah diangkat Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Jayakarta.
3)  Perlawanan Kerajaan Aceh
Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam penyerang tersebut Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis akan tetapi mengalami kegagalan. Permusuhan Aceh dan Portugis berakhir setelah Portugis harus keluar dari Malaka karena telah direbut Belanda tahun 1641.
b.  Perlawanan terhadap VOC
1)  Perlawanan Kerajaan Mataram
Perlawanan Mataram terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1628 dan 1629. Dalam serangan pertama, pasukan pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso, sedangkan tentara kedua dipimpin oleh Suro Agul-Agul, Dipati Uposonto, Dipati Mandurejo, dan Dipati Ukur. Dalam pertempuran tersebut,Tumenggung Bahurekso gugur. Serangan ini mengalami kegagalan dikarenakan Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran, kurang bahan makanan serta persenjataan yang kurang lengkap.
Oleh sebab itu dalam serangan kedua mempersiapkan persenjataan dan membangun gudang padi di Tegal dan Cirebon. Namun, persiapan matang ini ternyata diketahui oleh VOC sehingga gudang-gudang padi milik Mataram di bakar akibatnya prajurit mengalami kekurangan makanan ditambah adanya wabah penyakit. Serangan kedua Mataram ini akhirnya juga mengalami kegagalan.
SetelahSultan Agung Hanyokrokusumo wafat (1645), Mataram tidak lagi melancarkan serangan ke Batavia karena penerusnya Amangkurat I bekerja sama dengan VOC. Dan setelah Amangkurat I, perlawanan kembali timbul yang dilancarkan oleh Trunojoyo, Untung Suropati (1685-1706), Mangkubumi, dan Mas Said (1749-1755).
2)  Perlawanan Kerajaan Banten
Perlawanan Kerajaan Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi putranya yakni Sultan Haji malah sebaliknya, mau bekerja sama dan tunduk kepada VOC. Hal ini dimanfaatkan VOC untuk mengadu domba antara keduanya. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji berada. Serangan itu mengalami kegagalan, karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap. Tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan pemerintahan dipegang oleh Sultan Haji di bawah kendali VOC. Dan Sultan Ageng Tirtayasa dibuang ke Pulau Edam.
3)  Perlawanan Kerajaan Makassar
Perlawanan Kerajaan Makassar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Untuk menguasai Makassar, VOC mendekati Aru Palaka untuk membantu dalam penyerangan terhadap Sultan Hasanudin. Di mana VOC menyerang Kerajaan Makassar dari laut dan Aru Palaka menyerang dari darat. Keadaan ini membuat Sultan Hasanudin menyerah dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Isi dari perjanjian Bongaya yaitu:
a)  Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan.
b)  VOC memegang monopoli perdagangan di Sombaopu.
c)  Benteng Makassar di Ujungpandang diserahkan pada VOC.
d)  Aru Palaka menjadi raja Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
4)  Perlawanan rakyat Maluku
Perlawanan rakyat Maluku khususnya di Ternate terhadap VOC dipimpin oleh Kakiali dan Kapten Hitu tahun 1635. Kemudian pada tahun 1646, terjadi perlawanan kembali yang dipimpin oleh Telukabesi. Perlawanan terbesar terhadap VOC saat dipimpin oleh Saidi pada tahun 1650.
Sedang perlawanan di Tidore dipimpin oleh Sultan Jamaludin. Pada tahun 1779, Sultan Jamaludin tertangkap dan dibuang ke Sailan. Perlawanan dilanjutkan oleh putra Sultan Jamaludin yaitu Sultan Nuku. VOC dapat menguasai wilayah Tidore setelah Sultan Nuku wafat pada tahnu 1805.
2.  Perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Kolonial
a.  PerangMaluku (1817)
Perang Maluku juga disebut sebagai perang rakyat Saparua. Sebab terjadinya perang Maluku yaitu: Peredaran uang kertas yang membingungkan; Dikuasainya Benteng Duurstede oleh Belanda; Himbauan agar pemuda Maluku menjadi prajurit Belanda; Adanya penindasan rakyat Maluku.
Perang ini meluas hingga ke Ambon, Hitu, Haruku dan Larike. Pemimpin perlawanan ini yaitu Thomas Matulessy (Kapiten Patimura). Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan Pattimura menyerbu ke Benteng Duurstede yang dibantu oleh Anthonie Rheebok, Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina dan Kapiten Said Printah. Dalam penyerang itu banyak pasukan Belanda yang tewas dan menyerah.
Untuk mengatasi perlawanan Patimura, Belanda mendatangakan bantuan ke Saparua di bawah pimpinan Kapten Lisnet. Pada tanggal 11 November 1817, Thomas Matulessy tertangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria. Bersama tokoh lainnya yakni Anthonie Rheebok, Said Printah dan Philip Latumahina. Thomas Matulessy dijatuhi hukuman gantung pada tanggal 10 Desember 1817.
b.  Perang Paderi (1821-1837)
Perang ini terjadi dari gerakan Paderi yang ingin memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini antara kaum Paderi dengan kaum adat yang dibantu oleh Belanda. Jalannya perang Paderi terbagi dalam 2 tahap:
1)  Tahap I (1821-1825)
Pada tahap ini kaum Paderi menyerang pos-pos patroli Belanda. Tokoh pemimpin dari kaum Paderi diantaranya Tuanku Pasaman memusatkan gerakannya di Lintau, Tuanku Nan Renceh di sekitar Baso, Peto Syarif yang terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol memusatkan perlawanan di Bonjol. Dari berbagai perlawanan tersebut yang paling sengit yaitu perlawanan kaum Paderi di Agam tahun 1823 pimpinan Tuanku Imam Bonjol (M. Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. Karena di Jawa, Belanda sedang menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro, akhirnya Belanda melakukan perdamaian dengan kaum Paderi di Bonjol tanggal 15 November 1825.
2)  Tahap II (1825-1837)
Setelah menundukkan Diponegoro, Belanda kembali berkonsentrasi menghadapi Perang Paderi. Untuk menghadapi perlawanan kaum Paderi, Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukittinggi dan Benteng Fort van der Cappelen. Kedua benteng tersebut merupakan benteng pertahanan. Pada tanggal 21 September 1837, markas Bonjol jatuh dan Tuanku Imam Bonjol menyerah. Ia diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864. Jenazahnya dimakamkan di Pineleng dekat Manado.
c.  Perang Diponegoro (1825-1830)
Sebab khusus terjadinya perang yaitu adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sedang sebab umum terjadinya perang adalah penderitaan rakyat sebagai akibat adanya berbagai macam pajak, seperti: pajak bumi, pajak jembatan, pajak jalan dan pajak ternak; wilayah Mataram dipersempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan; Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan; para bangsawan kecewa karena dilarang menyewa tanahnya (mulai tahun 1824); para bangsawan dan ulama kecewa karena peradaban Barat dimasukkan dalam keraton; sebagian bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat keraton.
Dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan Pangeran Dipokusumo. Untuk menghindari penyergapan, Pangeran Diponegoro menjalankan siasat perang gerilya dengan markas berpindah-pindah dari Selarong, ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.
Untuk mengatasi perlawanan Diponegoro, Belanda menggunakan siasat Benteng stelsel akan tetapi siasat ini kurang efektif. Kemudian Jenderal De Kock, menjalankan siasat licik melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda di rumah Residen Kedu di Magelang. Saat berunding Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Semarang lalu dipindah ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Menado. Pada tahun 1834, Diponegoro dipindah ke Makassar dan meninggal di sana pada tanggal 8 Januari 1855.
d.  Perang Bali (1846-1849)
Penyebab terjadinya perang Bali yaitu: Belanda menolak adanya Hukum Tawan Karang yaitu hak dari raja-raja Bali untuk merampas semua perahu asing yang terdampar di wilayah kerajaannya; Kerajaan Bali tidak mau memenuhi tuntutan Belanda untuk menghapuskan Hukum Tawan Karang; Belanda menuntut agar kerajaan-kerajaan Bali melindungi perdagangannya; Belanda menuntut agar Kerajaan Bali tunduk pada pemerintah Hindia Belanda.
Karena adanya masalah tersebut akhirnya Belanda menyerang Pulau Bali pada tahun 1846 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V. Michiels dan wakilnya van Swieten. Sasaran utama dari penyerangannya yaitu Kerajaan Buleleng. Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan sudah mempersiapkan diri. Serangan tersebut membuat pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak hingga keluar Benteng Jagaraga.
Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).
e.  Perang Banjar (1859-1863)
Penyebab meletusnya perang Banjar yaitu adanya campur tangan Belanda dalam pergantian kepemimpinan di Banjar. Ketika pengganti dari Sultan Adam Al Wasikbillah yakni putranya yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman meninggal dunia, maka yang menjadi raja yaitu cucunya (Pangeran Hidayatullah atau Pangeran Tamjid).
Pangeran Hidayatullah memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan dan disukai rakyat akan tetapi Pangeran Tamjid sebaliknya, ia lebih dekat dengan Belanda. Maka dari itu Sultan Adam Al Wasikbillah lebih memilih Pangeran Hidayatullah menjadi penggantinya. Akan tetapi Belanda mendesak sekaligus mengancam bila Sultan Adam Al Wasikbillah tidak memilih Pangeran Tamjid sebagai penggantinya.
Kebencian rakyat terhadap Pangeran Tamjid dan Belanda semakin meluas, sehingga muncul perlawanan yang berkobar sekitar tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang didukung oleh Pangeran Hidayatullah. Selain itu perlawanan terhadap Belanda mendapat dukungan dari Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin dan Kyai Langlang. Perlawanan tersebut diawali dengan menyerbu pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Merasa terdesak Belanda meminta bantuan dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick. Keadaan menjadi terbalik, akibatnya Pangeran Hidayatullah tertangkap dan diasingkan Belanda ke Cianjur tanggal 3 Maret 1862. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat. Sepeninggal Pangeran Antasari, para pemimpin satu per satu tertangkap dan perang Banjar dapat dipadamkan.
f.  Perang Aceh (1873-1904)
Penyebab terjadinya perang Aceh yaitu adanya penandatanganan Traktat Sumatra oleh Belanda dan Inggris yang menggantikan Traktat London. Isi Traktat London (1824) menyatakan bahwa Inggris dan Belanda harus menghormati kedaulatan Aceh, sedang Traktat Sumatra (1871) berisi bahwa Belanda bebas meluaskan kekuasaannya di Sumatra, termasuk Aceh.
Karena rakyat Aceh tidak mau mengakui kekuasaan pemerintah Belanda, maka pada tanggal 5 April 1873 terjadi pertempuran di Masjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal Kohler tewas. Tokoh-tokoh perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda diantaranya Panglima Polem, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Sultan Daud Syah, Teuku Leung Bata, Cut Nyak Dien, Cut Meutia. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh Belanda menggunakan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan yang memusatkan pasukan di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Akan tetapi, siasat ini gagal mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Karena kesulitan mengalahkan rakyat Aceh, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya ditulis dalam buku yang berjudul De Atjeher. Kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje tentang penelitiannya yaitu bahwa pemerintah kolonial harus mengesampingkan sultan yang kedudukannya hanya sebagai lambang pemersatu dan kekuatan Aceh justru terletak pada hulubalang dan ulama, untuk menaklukkan Aceh pemerintah Belanda harus melakukan serangan secara besar-besaran ke seluruh wilayah Aceh dengan siasat kekerasan, setelah mampu menduduki Aceh pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan yang dipimpin oleh van Heutsz. Dalam serangan tersebut banyak rakyat Aceh yang menjadi korban. Satu per satu pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Pada tahun 1903, Sultan Daud Syah menyerah, diikuti Panglima Polem, sementara Teuku Umar gugur di Meulaboh. Cut Nyak Dien bersama Cut Meutia melanjutkan perjuangan. Jatuhnya Benteng Kuto Reh ke tangan Belanda tahun 1904 membuat Aceh harus menandatangani Perjanjian Singkat (Korte Verlelaring), yang isinya rakyat Aceh harus mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di negerinya.

Peranan Falatehan dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat

Falatehan atau Fatahillah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa beliau berasal serta mempunyai keturunan Persia. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau itu putra dari raja Mekah (Arab) yang kawin dengan putri Pajajaran (Sunda). Fatahillah atau Falatehan mempunyai banyak nama, seperti: Muhammad Nuruddin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiayah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makhdum Jati.

Menurut sumber tertulis (babad), nama Falatehan ini ternyata sangat panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil Syarif Hidayatullah Said Kamil Maulana Syekh Makhdum Rahmatullah, kemudian sesudah mangkatnya beliau digelar Sunan Gunung Jati. Menurut de Barros, seorang ahli sejarah Portugis mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati itu namanya Falatehan. Penyelidikan lebih lanjut oleh Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan mungkin berasal dari bahasa Arab yaitu Fatahillah. 1)
Falatehan ketika masih kecil, belajar agama pada orang tuanya di Pasai. Ketika usianya menginjak dewasa, daerah Pasai diduduki oleh Portugis yang datang dari Malaka yang berhasil direbut oleh Portugis pada tahun 1511.
Saat Pasai oleh Portugis, Falatehan pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sesuadah beliau pergi merantau ke tanah Arab selama kurang lebih 3 tahun, dikiranya orang-orang Portugis telah meninggalkan Pasai. Namun kenyataannya tidak demikian, sehingga Falatehan meninggalkan lagi Pasai dan pergi ke tanah Jawa. Kedatangan Falatehan ini disambut baik oleh kerajaan Islam Demak yang pada masa itu di bawah pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546). 2)
Menurut Solichim Salam, bahwa:
Pada jaman Trenggono inilah kerajaan Demak mengalami jaman keemasannya. Daerah kekuasaannya semakin luas, di samping itu juga telah memiliki armada yang kuat. Pada masa Trenggono pula, berkat usaha dan jasa Falatehan beberapa daerah di Jawa Barat berhasil diislamkan serta berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak pula.3)
Kedatangan Falatehan ke Kerajaan Demak merupakan sumbangan yang besar bagi penyiaran dan perkembangan Islam di Jawa. Untuk mengikat hati Falatehan agar senang dan tetap tinggal di Jawa, maka dikawinkanlah Falatehan dengan adik dari Sultan Trenggono.
Dalam menyebarkan agama Islam, Falatehan (Sunan Gunung Jati) menyesuaikan dengan unsur-unsur kultur pra-Islam. Misalnya cerita Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syekh Maghribi dan lewat kesusasteraan suluk dengan mudah diadakan penyesuaian tentang konsep dan gambaran tentang mengenai hidup yang telah berakar dalam kebudayaan pra-Islam. 4)
Menurut Hamka, bahwa Falatehan yang berkunjung ke Demak pada mulanya hanya untuk mengajar anak-anak raja tentang Islam. Penjelasan Hamka ini menegaskan bahwa kepergian Falatehan ke Kerajaan Demak semata-mata untuk kepentingan penyebaran Islam, seperti yang dikemukan oleh R.A. Kern dan Hoesin Djajadiningrat, bahwa:
Menurut segala sesuatu yang kami ketahui mengenai Falatehan, ia adalah seorang penganut Islam yang sangat saleh yang tidak mempunyai tujuan lain dari pada penyebaran agama yang telah berpaling dari kehidupan duniawi, seorang yang hidup untuk agama. 5)
Dengan demikian nampak bahwa dalam menjalankan peranannya sebagai seorang wali, Falatehan telah menampakkan dirinya sebagai seorang yang mengabdi hanya untuk kepentingan Islam. Di samping itu, perhatiannya terhadap kemajuan dan perkembangan Islam sangat besar yang pada dasarnya merupakan mata rantai dari penguasaannya terhadap wilayah-wilayah yang ada di Jawa Barat sebagai daerah yang amat strategis.
Seperti yang diketahui, Banten diislamkan oleh Falatehan atas nama raja Demak. Segera kedudukan Banten diperkuat dan untuk kepentingan perdagangan, maka seluruh pantai utara diislamkan pula sampai ke Cirebon. Sunda Kelapa, kota pelabuhan Pajajaran yang dapat menjadi saingan direbut dalam tahun 1527, lalu diubah namanya menjadi Jayakarta yang artinya “kota kemenangan” sesuai dengan gelarnya “Fatahillah” yang artinya kemenangan Allah.
Setahun kemudian, tepatnya tahun 1528, Cirebon juga jatuh ke tangan Falatehan. Dengan dikuasainya Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon, hal ini berarti Falatehan telah berhasil merintis jalan perhubungan di pantai utara Jawa Barat yang menyebabkan sepanjang pesisir pantai utara dari Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon, Demak, Jepara dan Kudus, Tuban serta Gresik berada di tangan Islam.
Ekspansi Kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Barat memiliki tujuan politis dan ekonomis. Tujuan politisnya ialah untuk memutuskan hubungan Kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman dengan Portugis di Malaka. Dari segi ekonomi, pelabuhan-pelabuhan Sunda, seperti Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten memiliki potensi besar dalam mengekspor hasil bumi, terutama lada yang juga diambil dari daerah Lampung.
Pemerintahan daerah Banten dipegang sendiri oleh Falatehan, sedangkan daerah Cirebon diserahkan kepada anaknya, Pangeran Pasarean. Pada tahun 1522 Falatehan menyerahkan pemerintahan di Banten kepada putranya, Hasanuddin. Dia sendiri mengundurkan diri dari pemerintahan dan memusatkan perhatiannya pada pengajaran dan penyiaran Islam. 6)
Waktu ia telah benar-benar pindah dari Banten ke Cirebon, umurnya telah lebih 60 tahun. Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan Banten yang makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui dengan pasti, namun dapat dimengerti bahwa asal-usul istrinya yang berasal dari Demak dan Falatehan lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah yang dalam hal ini masjid Demak. Menurutnya itu lebih baik ketimbang bertempat tinggal di sudut negeri yang paling barat.
Semenjak itu Falatehan tidak lagi menetap di Demak, beliau menetap di Cirebon hingga wafatnya. Meskipun Falatehan telah mengislamkan beberapa daerah di Jawa Barat, namun kekuasaan tertinggi masih dipegang oleh Kerajaan Demak. Sesudah Trenggono wafat, Falatehan memisahkan diri dari ikatan Demak, yaitu tatkala Demak terjadi perselisihan antara Sultan Adiwijaya dengan Arya Penangsang.
Di Cirebon, Falatehan lebih menekuni kegiatan keagamaan, dan setelah ia serahkan pemerintahan kepada seorang cucunya, ia lalu mengundurkan diri di Gunung Jati.
Daftar Referensi:
1)  Solichim Salam, 1960. Sekitar Wali Sanga. Yogyakarta: Menara Kudus, hal. 56
2)  Ibid, hal. 58
3)  Ibid, hal. 58
4)  Sartono Kartodirjo, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta: Gramedia,
     hal. 35
5)  R.A. Kern dan Hoesin Djajadiningrat, 1973. Masa Awal Kerajaan Cirebon. Bharatara, hal. 17
6)  Drs. Abd. Rauf Rahim, dkk. 1992. Sejarah Indoensia Madya. FPIPS, IKIP Ujung Pandang, hal.
     32

PARA RAJA MELAWAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA



      Perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme Barat sebagai reaksi terhadap pengaruh kolonialisme dan imperialisme yang sangat merugikan baik dari segi politik, ideologi, sosial, ekonomi maupun budaya di Indonesia, dapat dikelompokkan dalam dua periode besar menurut kontek waktu. Pertama, perlawanan terhadap para pedagang Barat yang berpolitik, seperti para pedagang Portugis, VOC dan EIC yang terjadi sepanjang abad ke –16 sampai akhir abad ke –18.  Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia-Belanda sejak abad ke –19.
      Perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme ini dilakukan oleh pihak kerajaan, elit lokal dan rakyat dengan motif dan bentuk gerakan yang berbeda. Satu hal yang pasti, perlawanan ini muncul seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai wilayah di Indonesia.
A.   PERIODE SEBELUM ABAD KE -18
            1.   Dipati Unus   (1518 – 1521)
            Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Malaka ( 1511 ), perlawanan terhadap dominasi Barat mulai muncul. Jatuhnya Malaka ke pihak Portugis sangat merugikan jaringan perdagangan para pedagang Islam dari kepulauan Indonesia. Aktivitas perdagangan para pedagang Islam di selat Malaka terhenti dan para pedagang Islam mencari jalan sendiri lewat pantai barat Sumatera untuk menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Islam di sebelah Barat Indonesia. Di samping itu, kedudukan kerajaan Islam di Indonesia merasa terancam oleh pengaruh Portugis di Malaka. Kenyataan, kedatangan Portugis tidak hanya untuk berdagang tetapi juga untuk menyebarkan agama Khatolik dan menguasai.
            Solidaritas sesama pedagang Islam terbangun saat Malaka di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah jatuh ke pihak Portugis. Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Johor dan Demak bersekutu untuk menghadapi Portugis di Malaka. Keterlibatan Demak juga dikarenakan banyak komoditas dari Demak melalui pelabuhan Jepara ikut dirugikan sejak Malaka dikuasai Portugis. Pasukan dari Demak dipimpin langsung oleh putra mahkotanya, yaitu Dipati Unus siap menyerang Portugis di  Malaka.
            Dipati Unus atau Yunus adalah putra Raden Patah penguasa kerajaan Demak di Jawa. Dipati Unus mendapat sebutan “Pangeran Sabrang Lor “ karena jasanya memimpin armada laut Demak dalam penyerangan ke Malaka. Pemerintahan Pangeran Sabrang Lor tidak berlangsung lama, dari tahun 1518 – 1521
            Pada tahun 1513, Demak mengerahkan kekuatan 100 kapal perang dengan ribuan prajurit untuk bergabung dengan pasukan dari Banten, Palembang, Aceh dan Johor. Armada Demak mengambil rute melalui Banten bersama-sama armada Banten lewat selat Sunda - Pantai Barat Sumatera - Aceh -Selat Malaka –Malaka. Jadi penyerangan armada Demak dan kawan-kawan dilakukan dari arah utara ( lor ). Karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
            Kegagalan mengusir Portugis di Malaka ini membuat Demak harus semakin waspada dari ancaman Portugis. Untuk itu Demak lebih meningkatkan pertahanannnya dengan menambah jumlah kapal perang dan prajurit. Terutama pada saat Dipati Unus naik tahta pada tahun 1518 menggantikan ayahnya, Raden Patah . Baru berlangsung sekitar 3 tahun, Dipati Unus jatuh sakit dan wafat tahun 1521. Pati Unus meninggal tanpa memiliki keturunan, oleh karena itu yang berhak menggantikan kedudukannya adalah adiknya, Raden Trenggono.
  1. Sultan Baabullah ( 1570 – 1583 )
Maluku merupakan daerah yang kaya rempah-rempah terutama pala dan cengkih. Banyak pedagang dari Jawa, Aceh, Arab dan Cina datang membeli rempah-rempah di Maluku, khususnya di Ternate.Posisi kerajaan Ternate menjadi penting pada masa itu.
Kedatangan Portugis ( 1512 ) dan Spanyol ( 1521 ) di Maluku merupakan awal malapetaka mengarah terpecah belah dan kesengsaraan. Pada tahun 1535 , Portugis di Ternate bertindak sewenang-wenang dengan menurunkan secara paksa raja Tabariji .
Raja Tabariji berkuasa tahun 1523 – 1535. Tabariji diasingkan Portugis ke Goa dipaksa untuk murtad. Jordao de Freitas, orang Portugis yang berhasil mengkristenkan Tabariji dengan nama baptis Dom Manuel. Pada tahun 1545  Tabariji meninggal dengan sempat memberi janji  menyerahkan Ambon pada Portugis.
            Sultan Khaerun yang pada saat itu berkuasa di Ternate menolak keras pernyataan Gubernur de Mesquita pimpinan Portugis untuk   :
  1. Menyerahkan Ambon
  2. Memonopoli perdagangan
  3. Agar membatasi bahkan mencegah kapal-kapal dagang selain Portugis.
Sultan Khaerun tetap memberi kebebasan kepada kapal-kapal dagang dari Aceh, Persia, Gujarat, Demak dan Gresik untuk berdatangan ke Ternate membeli cengkih, pala dan lada. Sultan Khaerun membangun terus armada lautnya dengan membeli kapal-kapal dari Gresik  dan senjata baru dari Aceh dan Turki.
            Portugis memandang tindakan Sultan Khaerun sangat membahayakan monopoli perdagangannya. Oleh karena itu, pada tanggal 17 Februari 1570, dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah damai di paraf, de Mosquita mengundang Sultan Khaerun menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Khaerun hadir dan dibunuh di dalam benteng.
            Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah .Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Gelombang perang besar segera melanda lautan dan daratan Ternate.  Bergandeng dengan Tidore yang semula musuh, menyerang dan menghancurkan  benteng Portugis di Ambon.
Sultan Baabullah ( 1570 – 1583 ) adalah putra Sultan Khaerun ( 1550 – 1570 ) berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku dan  mengantarkan Ternate mencapai puncak kejayaan . Wilayah Ternate sampai ke daerah Philipina bagian selatan .
Kemudian pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya orang Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Penurunan bendera Portugis sebagai lambang kekalahan yang kemudian sebagian dari mereka diberi kebebasan  pergi menuju Timor-Timur.
3.   Panglima Fatahillah  ( 1527 – 1570 )
Pada tahun 1521, Pasai berhasil diduduki oleh armada Portugis yang mula-mula hanya untuk berdagang, tetapi kemudian berusaha menyebarkan agama Khatolik dan menjajah. Fatahillah tidak rela melihat tanah tumpah darahnya diduduki bangsa asing. Ia tidak mau hidup di bawah perintah orang asing, namun untuk melawan belum memungkinkan.
Fatahillah dilahirkan sekitar tahun 1490 di Pasai, Sumatera Utara. Nama lain Fatahillah adalah Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Bagus Pase dan  Ratu Sunda Kelapa. Ayahnya bernama Maulana Makhdar Ibrahim selaku guru agama Islam di Pasai kelahiran Gujarat, India Selatan
Berkat kemauan yang keras dan ikhtiar yang terus menerus, Fatahillah berlayar menuju tanah suci Arab. Tujuan utama untuk menunaikan ibadah haji, menggembleng diri memperdalam ilmu agama dan menambah kecakapan yang lainnya seperti olah bela diri dan strategi perang. Tiga tahun telah berlalu, saat pulang ke Pasai ternyata orang Portugis masih bercokol. Dengan hati berat Fatahillah tidak mendarat melainkan melanjutkan perjalanan menuju pulau Jawa.
Pada sekitar tahun 1525, Fatahillah mendarat di pelabuhan Jepara, pelabuhan utama kesultanan Demak. Sultan Demak waktu itu adalah Sultan Trenggono, menyambut baik kedatangan dan maksud Fatahillah. Sultan sangat mengagumi fatahillah atas kedalaman ilmunya, kecakapan dan keberaniannya. Tanpa ragu Sultan Demak mengangkat fatahillah sebagai guru agama di lingkungan istana, penasehat Sultan dan panglima perang tentara Demak.
Sultan Trenggono sangat mendukung cita-cita Fatahillah untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Pada tahun 1526, Fatahillah di Banten dengan bantuan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, berhasil mengislamkan masyarakat Banten tanpa kekerasan. Rakyat Banten menerima agama Islam dengan penuh keikhlasan dan kesadaran.  Selanjutnya pada tahun 1527, Sunda Kelapa dapat di kuasai. Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Sunda Kelapa.
Ketika orang Portugis di bawah pimpinan Fransisco De Sa tiba di Sunda Kelapa tahun 1527, terjadilah pertempuran hebat dengan laskar Fatahillah. Portugis berhasil diusir dari Sunda Kelapa, sejak tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti ‘kemenangan yang sempurna’. 
  1. Sultan Iskandar Muda  ( 1607 - 1636 )
Sultan pertama kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Syah ( 1514 –1530 ). Selama masa pemerintahannya, sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena pendudukan Malaka oleh Portugis, singgah dan menetap di Aceh. Pada tahun 1520, Aceh mulai memperluas pengaruhnya dengan menyerang  daerah Daya, Pantai Timur , Deli, Pedir, Pasai, Aru dan Johor.
Tujuan penyerangan Aceh untuk menaklukkan sejumlah daerah adalah  :
1.      Memperluas hegemoni kerajaan Aceh.
2.      Menyebarkan agam Islam ke daerah-daerah yang belum menganut agama Islam.
3.      Menguasai daerah-daerah penghasil lada dan emas.
4.      Membangun pelabuhan produsen yang ingin menyelenggarakan perdagangan bebas.
5.      Persaingan mengganti posisi Malaka sebagai pelabuhan transit di Nusantara bagian barat.
6.      Sebagai negara yang paling kuat di kawasan selat Malaka.
Penguasa Aceh berikut yang tergolong mencapai kejayaan adalah masa Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar ( 1537 – 1571 ).  Dia berhasil menakhlukkan Batak di sebelah selatan Aceh pada tahun 1539. Walaupun penyerangan berikut terhadap Aru yang dikuasai Johor dan terhadap Malaka yang diduduki Portugis mengalami kegagalan, Sultan Alaudin telah menunjukkan ketangguhan sebagai kekuatan militer yang disegani dan diperhitungkan di kawasan selat Malaka.
Pada awal abad ke-17, penguasa terbesar di antara penguasa-penguasa Aceh adalah masa Sultan Iskandar Muda ( 1607 – 1636 ). Aceh benar-benar menjadi kerajaan yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1612, akhirnya Deli, Aru dan Johor berhasil ditaklukkan. Pada tahun 1614, armada Portugis di Bintan berhasil dikalahkan. Pada tahun 1624, Pahang dan Nias  berhasil dikuasai. Pada tahun 1529 , Aceh menggempur Portugis di Malaka dengan sejumlah kapal yang memuat 19.000 prajurit. Pertempuran sengit tak terelakkan yang kemudian berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh.
Alasan politik yang menyebabkan Aceh mengalami kemunduran adalah  :
1.      Kalangan elit Aceh atau kelompok bangsawan yang terdiri atas para ‘Panglima
Perang’ ( hulubalang, ule balang )kurang mendukung cita-cita Sultan.
2.      Adanya perpecahan di dalam negeri, dimana para ulee balang menjadi penguasa-
penguasa local ( feodal ).
5.   Sultan Agung Hanyokrokusumo  ( 1613 – 1645 )
            Daerah Mataram  semula merupakan bagian dari wilayah kerajaan Pajang. Bupati Mataram pertama adalah Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 , Ki Gede diganti oleh puteranya yaitu Danang Sutawijaya. Sultan Pajang wafat ( Sultan Hadiwijaya ) sekitar tahun 1582, Mataram  menyatakan memisahkan diri dari Pajang. Sutawijaya didampingi penasehatnya Ki Jurumertani, mengukuhkan diri sebagai raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati.
            Mataram kemudian diperintah oleh putra Panembahan Senopati yang bernama Mas Jolang ( 1601 – 1613 ). Mas Jolang gugur dalam suatu pertempuran sengit di Krapyak, sehingga mendapat sebutan Panembahan Seda Krapyak. Sebagai penggatinya yang sah adalah putranya yang bernama Raden Mas Rangsang  yang untuk selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo.
            Sultan Agung di samping cakap sebagai raja juga fasih dalam hal seni budaya, ekonomi, sosial dan perpolitikkan. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang berhasil disatukan antara lain Gresik ( 1613 ), Tuban ( 1616 ), Madura ( 1624 ), dan Surabaya ( 1625 ).
            Latar belakang kejengkelan Sultan Agung  (Mataram ) bersitegang dengan kompeni Belanda antara lain  :
  1. Kompeni  Belanda memonopoli perdagangan.
  2. Kompeni Belanda mengingkari Perjanjian 1614.
  3. Kompeni Belanda berkali-kali merampok kapal dagang Mataram.
  4. Kompeni Belanda suka menghina orang Islam dan memperkosa para wanita.
Pada tahun 1614 sebenarnya VOC telah melakukan kontak dengan Mataram ( Sultan Agung ) yang melahirkan Perjanjian 1614, berisi   :
1.       Sultan memperkenankan Kompeni Belanda mendirikan kantor dagang ( loji ) di
      Jepara.
2.       Belanda siap memberikan apa saja yang diminta Sultan Agung.
            Sultan Agung menyadari bahwa Kompeni Belanda tidak dapat dipercaya, ingin mencari enaknya sendiri dan sewenang-wenang. Karena kekesalan itulah Sultan Agung memerintahkan Adipati Jepara untuk menghancurkan loji Belanda di Jepara. Serangan yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 1618 inilah sejumlah kompeni Belanda dan pemimpinnya, Cornelis van Masyck dan Balthasar van Eyndhoven dinyatakan tewas. 
            Selanjutnya, pada tanggal 22 Agustus 1628 pasukan Mataram tidak tanggung-tanggung menyerang Batavia, jantung kekuatan VOC. Serangan pertama Mataram ini dipimpin Tumenggung Baureksa dan Dipati Ukur,  berhasil membunuh 56 orang, 24 luka berat dan 200 orang menyerah dalam penyerbuan terhadap benteng Holland, Parel, Gelderland, Bommel dan Freesland.
Kekuatan Mataram pada serangan pertama ke Batavia tahun 1628   :
1.      Kekuatan armada laut  :
a.      Pendaratan tanggal 22 Agustus 1628, berjumlah 59 kapal dagang.
b.      Tanggal 24 Agustus 1628, armada ke 2 mendarat 7 kapal perang.
c.       Pada tanggal 25 Agustus 1628, pendaratan ke 3 berjumlah   27 kapal
     2.   Serangan darat   :
a.      Tumenggung Baurekso menyerang dari front Timur.
b.      Adipati Ukur menyerang dari front Selatan
            Setelah mendapat serangan bertubi-tubi, Gubernur Jendral VOC,  J.P.  Coen pada tanggal 21 Oktober 1628 mengadakan serangan balasan dengan kekuatan 700 orang yang dipimpin Jaques le Febre. Senopati Tumenggung Baurekso gugur, bantuan dari Mataram yang dipimpin Tumenggung Suro Agul-Agul, Kyai Adipati Manduwa Reja, dan Kyai Adipati Upasanta datang terlambat. Pertempuran ini mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Mataram kehilangan 744 orang prajurit, kompeni Belanda kehilangan ratusan serdadunya.            
            Serangan kedua pasukan Mataram  dimulai tanggal 22 Agustus 1629. Pasukan Mataram mengerahkan 130.000 orang prajurit dan semua perbekalan, senjata diatur dengan tertib. Sasaran penyerbuan diarahkan pada benteng Parel, Holland, Robiju, Safier dan Diamant. Benteng-benteng itu dikepung oleh berlapis-lapis prajurit Mataram. Pertempuran serupun terjadi pada tanggal 20 September 1629, kompeni yang bertahan di dalam benteng mulai kehabisan bekal dan peluru. Selain jatuh korban 600 serdadu kompeni,  Gubernur Jendral J.P. Coen juga tewas, yang menurut versi Belanda disebabkan oleh wabah penyakit menular. Meskipun Mataram tidak mutlak berhasil menghancurkan kompeni di Batavia apalagi mengusirnya, tetapi Sultan Agung sudah menunjukkan semangat anti penjajahan asing, khususnya kompeni Belanda.
6.   Sultan Ageng Tirtayasa ( 1651 – 1683 )
            Pada masa pemerintahan Sulten Ageng atau Sultan Tirtayasa merupakan jaman keemasan Kerajaan Banten. Armada Banten di tata dan dibangun mengikuti model Eropa. Kapal-kapal berlayar menggunakan surat jalan Sultan. Orang Banten mampu menjalin transaksi dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Cina, Filipina dan Jepang. Sultan Ageng juga menaruh perhatian terhadap pengembangan agrarisnya. Pada tahun 1663 sampai tahun 1677, dibangunlah sistem irigasi besar-besaran di Banten. Kanal-kanal dibangun sepanjang 30 – 40 km yang mempekerjakan sekitar 16.000 orang. Kanal-kanal ini mampu mengairi 30.000 – 40.000 hektar persawahan dan ribuan hektar perkebunan.  Proyek-proyek ini berguna tidak hanya dalam meningkatkan kekayaan pertanian kerajaan, tetapi juga dalam membawa daerah-daearh pedalaman.
Sultan Ageng memajukan perdagangan luar negeri dan pertanian daerah pedalaman tergolong berhasil. Kincir angin yang paling mutakhir sengaja didatangkan dari Batavia digunakan untuk irigasi. Pada tahun 1620, para pedagang Cina memperkenalkan tebu. Kerajaan Banten menjadi makmur.
            Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC ingin mendapatkan  monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang, Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC mencari siasat memecah belah dengan memanfaatkan konflik internal dalam keluarga Kerajaan Banten.
            Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji ( 1682 –1687 ) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dengan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya.
            Konflik antara ayah dan anak ini dimanfaatkan oleh VOC  dengan menerima permintaan Sultan Haji untuk membantu mengembalikan tahta Kerajaan Banten.   Pihak Sultan Ageng didukung oleh kalangan pemuka muslim baik di Banten sendiri maupun dari luar seperti Makasar, Madura dan Mataram. VOC memerangi Sultan Ageng dan mengejar sampai ke daerah-daerah pegunungan. Pada tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, ditahan di Banten untuk beberapa lama kemudian dipindah ke Batavia sampai wafatnya tahun 1695. Syekh Yusup Makasar ( 1626 – 1699 ) dari Sulawesi Selatan yang mendukung perjuangan Sultan Ageng berhasil ditangkap pada tahun itu juga, 1683. Syekh Yusup diasingkan ke kawasan Tanjung Harapan, Afrika bagian selatan sampai wafatnya pada tahun 1699.
            Sultan Haji kembali menduduki tahta Kerajaan Banten. Namun sebagian besar wilayah Banten telah diambil alih oleh VOC. Monopoli perdagangan lada di Banten akhirnya dapat dilaksanakan oleh VOC. Sisa-sisa perlawanan menentang VOC terus dilakukan secara gerilya oleh pengikut Sultan Ageng, yaitu Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.
7.   Sultan Hasanuddin ( 1654 – 1669 )
            Jauh sebelum orang-orang VOC datang, orang-orang suku Makasar dan Bugis sudah terkenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung. Seluruh penjuru Nusantara telah dijelajah dengan perahu-perahu pinisi yang terkenal lincah dan cekatan. Bandar Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa-Tallo merupakan pelabuhan transip menawarkan barang-barang lebih murah seperti rempah-rempah, beras, ternak, dan kayu cendana.
           
Di Sulawesi Selatan terdapat banyak rejaan besar dan kecil, seperti  :
1.      Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan orang-orang suku Makasar
2.      Kerajaan Soppeng, Wajo, Tanete, dan Sawitto merupakan kerajaan suku Bugis.
3.      Kerajaan Balanipa, Binnang, Campala Giang, Bampuang, Cenrana, Tapalang dan Mamuju adalah kerajaan suku Mandar.
Raja suku Makasar disebut   :   Karaeng
Raja suku Bugis disebut        :   Aru atau Arung
Raja suku Mandar disebut     :   Maladdia
            Akhirnya VOC berusaha untuk menguasai wilayah timur ini dengan sewenang-wenang. VOC berani melarang dengan keras orang-orang Makasar melakukan transaksi dagang di kepulauan Maluku. Raja Gowa waktu itu  Sultan Alaudin dengan tegas menentang dan menjawab “Tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki bersama. Tak pernah ada terdengar orang dilarang berdagang dan berlayar . Yang melarang hal itu berarti merenggut nafkah orang”.
            Kepentinga kerajaan Gowa dan kepentingan VOC saling bertentangan,  maka pada perkembangan selanjutnya tidaklah mengherankan jika terjadi benturan dan peperangan. Hal ini berlanjut pada masa Sultan Muhamad Said, putra Sultan Alaudin yang wafat pada tanggal 15 Juni 1639.VOC dilarang membuka kantor perdagangan di Sobbaopu. Orang-orang makasar tidak peduli terhadap larangan-larang dan peraturan yang dibuat VOC.
            Pada tanggal 6 Nopember 1653, Sultan Muhamad Said wafat diganti putranya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin adalah adalah seorang ksatria gemblengan kerajaan Gowa, pernah menjabat sebagai Karaeng Tumakhajannangngang ( pasukan elite/ istimewa ).  
            Sultan Hasanuddin tetap menjalankan dan melanjutkan kebijaksanaan yang diambil oleh almarhum kakek dan ayahnya. Kerajaan Gowa tetap tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan VOC di Maluku maupun di Sobaopu. Pada bulan April 1655 armada Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin mampu merebut Buton dari pendudukan VOC. Pada tanggal 23 Oktober 1655, kapal VOC yang dipimpin Casper Buytendijk dan 24 anak buahnya berhasil dihancurkan. Konflik antara VOC dan kerajaan Gowa terus berlanjut, hampir tak terputus sejak tahun 1615.
            Pada bulan Desember 1666, armada VOC dengan kekuatan 21 kapal yang dilengkapi meriam, mengangkut 600 tentara yang dipimpin Cornelis Speelman tiba dan menyerang Makasar dari laut. Arung Palaka dan orang-orang suku Bugis rival suku Makasar membantu VOC menyerang melalui daratan. Akhirnya VOC dengan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang, Sultan Hasanuddin dipaksa menanda tangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667, yang berisi   :
  1. Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan .
  2. VOC memegang monopoli perdagangan di Sombaopu .
  3. Benteng Makasar di Ujung Pandang diserahkan pada VOC.
  4. Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
Sultan Hasanuddin tetap gigih, masih mengobarkan pertempuran-pertempuran. Serangan besar-besaran terjadi pada bulan April 1668 sampai Juni 1669. Akhirnya Sultan tak berdaya namun semangat juangnya menentang VOC masih dilanjutkan oleh orang-orang Makasar.

DAFTAR PUSTAKA


Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Edi S. Ekajati, Drs., 1985. Fatahillah Pahlawan Arif Bijaksana. Jakarta: PT Mutiara Sumber
             Widya.
Hamlan Arpan, H., 1992.  Pangeran Antasari.  Jakarta:  PT Mutiara Sumber Widya.
Kutoyo, Sutrisno, dkk. 1986. Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia. Jakarta:
           Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Marwati Djoenet P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI.                       Jakarta: Balai Pustaka
MD, Sagimun, 1985. Sultan Hasanudin Menentang V.O.C.  Jakarta : Departemen Pendidikan
           dan Lebudayaan.
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200.  alih bahasa  Satrio
Wahono dkk. Sejarah Indonesia Modern  1200 – 2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.
Satia, Meta Candra. 1985. Sultan Baab Ullah Pengusir Portugis dari Maluku, Jakarta :  C.V.
Muara Cipta.