Falatehan atau Fatahillah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa beliau berasal serta mempunyai keturunan Persia. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau itu putra dari raja Mekah (Arab) yang kawin dengan putri Pajajaran (Sunda). Fatahillah atau Falatehan mempunyai banyak nama, seperti: Muhammad Nuruddin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiayah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makhdum Jati.
Menurut sumber tertulis (babad), nama Falatehan ini ternyata sangat
panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil Syarif Hidayatullah
Said Kamil Maulana Syekh Makhdum Rahmatullah, kemudian sesudah
mangkatnya beliau digelar Sunan Gunung Jati. Menurut de Barros, seorang
ahli sejarah Portugis mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati itu namanya
Falatehan. Penyelidikan lebih lanjut oleh Schrieke, salah seorang
orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan mungkin
berasal dari bahasa Arab yaitu Fatahillah. 1)
Falatehan ketika masih kecil, belajar agama pada orang tuanya di Pasai.
Ketika usianya menginjak dewasa, daerah Pasai diduduki oleh Portugis
yang datang dari Malaka yang berhasil direbut oleh Portugis pada tahun
1511.
Saat Pasai oleh Portugis, Falatehan pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu
dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sesuadah beliau pergi
merantau ke tanah Arab selama kurang lebih 3 tahun, dikiranya
orang-orang Portugis telah meninggalkan Pasai. Namun kenyataannya tidak
demikian, sehingga Falatehan meninggalkan lagi Pasai dan pergi ke tanah
Jawa. Kedatangan Falatehan ini disambut baik oleh kerajaan Islam Demak
yang pada masa itu di bawah pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546). 2)
Menurut Solichim Salam, bahwa:Pada jaman Trenggono inilah kerajaan Demak mengalami jaman keemasannya. Daerah kekuasaannya semakin luas, di samping itu juga telah memiliki armada yang kuat. Pada masa Trenggono pula, berkat usaha dan jasa Falatehan beberapa daerah di Jawa Barat berhasil diislamkan serta berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak pula.3)
Kedatangan Falatehan ke Kerajaan Demak merupakan sumbangan yang besar
bagi penyiaran dan perkembangan Islam di Jawa. Untuk mengikat hati
Falatehan agar senang dan tetap tinggal di Jawa, maka dikawinkanlah
Falatehan dengan adik dari Sultan Trenggono.
Dalam menyebarkan agama Islam, Falatehan (Sunan Gunung Jati)
menyesuaikan dengan unsur-unsur kultur pra-Islam. Misalnya cerita
Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syekh Maghribi dan lewat
kesusasteraan suluk dengan mudah diadakan penyesuaian tentang konsep dan
gambaran tentang mengenai hidup yang telah berakar dalam kebudayaan
pra-Islam. 4)
Menurut Hamka, bahwa Falatehan yang berkunjung ke Demak pada mulanya
hanya untuk mengajar anak-anak raja tentang Islam. Penjelasan Hamka ini
menegaskan bahwa kepergian Falatehan ke Kerajaan Demak semata-mata untuk
kepentingan penyebaran Islam, seperti yang dikemukan oleh R.A. Kern dan
Hoesin Djajadiningrat, bahwa:
Menurut segala sesuatu yang kami ketahui mengenai Falatehan, ia adalah seorang penganut Islam yang sangat saleh yang tidak mempunyai tujuan lain dari pada penyebaran agama yang telah berpaling dari kehidupan duniawi, seorang yang hidup untuk agama. 5)
Dengan demikian nampak bahwa dalam menjalankan peranannya sebagai
seorang wali, Falatehan telah menampakkan dirinya sebagai seorang yang
mengabdi hanya untuk kepentingan Islam. Di samping itu, perhatiannya
terhadap kemajuan dan perkembangan Islam sangat besar yang pada dasarnya
merupakan mata rantai dari penguasaannya terhadap wilayah-wilayah yang
ada di Jawa Barat sebagai daerah yang amat strategis.
Seperti yang diketahui, Banten diislamkan oleh Falatehan atas nama raja
Demak. Segera kedudukan Banten diperkuat dan untuk kepentingan
perdagangan, maka seluruh pantai utara diislamkan pula sampai ke
Cirebon. Sunda Kelapa, kota pelabuhan Pajajaran yang dapat menjadi
saingan direbut dalam tahun 1527, lalu diubah namanya menjadi Jayakarta
yang artinya “kota kemenangan” sesuai dengan gelarnya “Fatahillah” yang
artinya kemenangan Allah.
Setahun kemudian, tepatnya tahun 1528, Cirebon juga jatuh ke tangan
Falatehan. Dengan dikuasainya Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon, hal ini
berarti Falatehan telah berhasil merintis jalan perhubungan di pantai
utara Jawa Barat yang menyebabkan sepanjang pesisir pantai utara dari
Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon, Demak, Jepara dan Kudus, Tuban serta
Gresik berada di tangan Islam.
Ekspansi Kerajaan Demak di pesisir utara Jawa Barat memiliki tujuan
politis dan ekonomis. Tujuan politisnya ialah untuk memutuskan hubungan
Kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman dengan
Portugis di Malaka. Dari segi ekonomi, pelabuhan-pelabuhan Sunda,
seperti Cirebon, Sunda Kelapa dan Banten memiliki potensi besar dalam
mengekspor hasil bumi, terutama lada yang juga diambil dari daerah
Lampung.
Pemerintahan daerah Banten dipegang sendiri oleh Falatehan, sedangkan
daerah Cirebon diserahkan kepada anaknya, Pangeran Pasarean. Pada tahun
1522 Falatehan menyerahkan pemerintahan di Banten kepada putranya,
Hasanuddin. Dia sendiri mengundurkan diri dari pemerintahan dan
memusatkan perhatiannya pada pengajaran dan penyiaran Islam. 6)
Waktu ia telah benar-benar pindah dari Banten ke Cirebon, umurnya telah
lebih 60 tahun. Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan Banten
yang makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui dengan pasti,
namun dapat dimengerti bahwa asal-usul istrinya yang berasal dari Demak
dan Falatehan lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh dari
pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah yang dalam hal ini masjid Demak.
Menurutnya itu lebih baik ketimbang bertempat tinggal di sudut negeri
yang paling barat.
Semenjak itu Falatehan tidak lagi menetap di Demak, beliau menetap di
Cirebon hingga wafatnya. Meskipun Falatehan telah mengislamkan beberapa
daerah di Jawa Barat, namun kekuasaan tertinggi masih dipegang oleh
Kerajaan Demak. Sesudah Trenggono wafat, Falatehan memisahkan diri dari
ikatan Demak, yaitu tatkala Demak terjadi perselisihan antara Sultan
Adiwijaya dengan Arya Penangsang.
Di Cirebon, Falatehan lebih menekuni kegiatan keagamaan, dan setelah ia
serahkan pemerintahan kepada seorang cucunya, ia lalu mengundurkan diri
di Gunung Jati.
Daftar Referensi:
1) Solichim Salam, 1960. Sekitar Wali Sanga. Yogyakarta: Menara Kudus, hal. 56
2) Ibid, hal. 58
3) Ibid, hal. 58
4) Sartono Kartodirjo, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta: Gramedia,
hal. 35
5) R.A. Kern dan Hoesin Djajadiningrat, 1973. Masa Awal Kerajaan Cirebon. Bharatara, hal. 17
6) Drs. Abd. Rauf Rahim, dkk. 1992. Sejarah Indoensia Madya. FPIPS, IKIP Ujung Pandang, hal.
32
1) Solichim Salam, 1960. Sekitar Wali Sanga. Yogyakarta: Menara Kudus, hal. 56
2) Ibid, hal. 58
3) Ibid, hal. 58
4) Sartono Kartodirjo, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta: Gramedia,
hal. 35
5) R.A. Kern dan Hoesin Djajadiningrat, 1973. Masa Awal Kerajaan Cirebon. Bharatara, hal. 17
6) Drs. Abd. Rauf Rahim, dkk. 1992. Sejarah Indoensia Madya. FPIPS, IKIP Ujung Pandang, hal.
32
0 comments:
Posting Komentar