1. Perlawanan terhadap Portugis dan VOC
a. Perlawanan terhadap Portugis
1) Perlawanan Kesultanan Ternate
Perlawanan
kesultanan Ternate terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan Hairun. Adapun
penyebab terjadinya perlawanan yaitu adanya monopoli perdagangan oleh Portugis,
adanya campur tangan Portugis dalam pemerintahan, adanya penindasan oleh Portugis
terhadap rakyat. Akan tetapi perlawanan ini dapat diredam Portugis dengan tipu
muslihatnya yang mengakibatkan Sultan Hairun wafat tahun 1570.
Perlawanan
dilanjutkan oleh putra Sultan Hairun yaitu Sultan
Baabullah. Pada tahun 1574, benteng Portugis mengalami kekalahan dan dapat
direbut yang selanjutnya Portugis menyingkir ke daerah Timor Timur (Timor Loro
Sae).
2) Perlawanan Kesultanan Demak
Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis membuat perdagangan Islam mengalami kesulitan
sehingga menimbulkan kerugian. Raden Patah mengirim pasukan di bawah komando
Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1512 dan 1513, akan
tetapi selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan jarak yang begitu jauh
dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu,
penyerangan tidak berhasil.
Karena
Portugis sudah menanamkan kekuasaannya di Sunda Kelapa maka pada tahun 1527,
Raja Demak waktu itu yakni Sultan Trenggono memerintahkan Fatahillah menyerang
Portugis. Serangan tersebut dapat mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Pada
tanggal 22 Juni 1527, Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta dan Fatahillah
diangkat Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di
Jayakarta.
3) Perlawanan Kerajaan Aceh
Perlawanan
Kerajaan Aceh terhadap Portugis dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Dalam penyerang tersebut Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut
800 prajurit. Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis akan tetapi
mengalami kegagalan. Permusuhan Aceh dan Portugis berakhir setelah Portugis
harus keluar dari Malaka karena telah direbut Belanda tahun 1641.
b. Perlawanan
terhadap VOC
1) Perlawanan Kerajaan Mataram
Perlawanan
Mataram terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1628
dan 1629. Dalam serangan pertama,
pasukan pertama dipimpin oleh
Tumenggung Bahurekso, sedangkan tentara kedua dipimpin oleh Suro Agul-Agul,
Dipati Uposonto, Dipati Mandurejo, dan Dipati Ukur. Dalam pertempuran tersebut,Tumenggung Bahurekso
gugur. Serangan ini mengalami
kegagalan dikarenakan Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran,
kurang bahan makanan serta persenjataan yang kurang lengkap.
Oleh sebab
itu dalam serangan kedua mempersiapkan persenjataan dan membangun gudang
padi di Tegal dan Cirebon. Namun, persiapan matang ini ternyata diketahui oleh
VOC sehingga gudang-gudang
padi milik Mataram di bakar akibatnya
prajurit mengalami kekurangan makanan ditambah adanya wabah penyakit. Serangan kedua Mataram ini akhirnya
juga mengalami kegagalan.
SetelahSultan Agung Hanyokrokusumo wafat (1645),
Mataram tidak lagi melancarkan serangan ke Batavia karena penerusnya Amangkurat I bekerja sama
dengan VOC. Dan setelah
Amangkurat I, perlawanan kembali timbul yang dilancarkan oleh Trunojoyo, Untung Suropati (1685-1706), Mangkubumi, dan Mas
Said (1749-1755).
2) Perlawanan Kerajaan Banten
Perlawanan
Kerajaan Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi putranya yakni Sultan Haji
malah sebaliknya, mau bekerja sama dan tunduk kepada VOC. Hal ini dimanfaatkan
VOC untuk mengadu domba antara keduanya. Oleh sebab itu pada tanggal 27
Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan
Haji berada. Serangan itu
mengalami kegagalan, karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih
lengkap. Tahun 1683, Sultan
Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan pemerintahan dipegang oleh Sultan Haji
di bawah kendali VOC. Dan Sultan Ageng Tirtayasa dibuang ke Pulau Edam.
3) Perlawanan Kerajaan Makassar
Perlawanan
Kerajaan Makassar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Untuk menguasai
Makassar, VOC mendekati Aru Palaka untuk membantu dalam penyerangan terhadap
Sultan Hasanudin. Di mana VOC menyerang Kerajaan Makassar dari laut dan Aru
Palaka menyerang dari darat. Keadaan ini membuat Sultan Hasanudin menyerah dan
harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Isi dari
perjanjian Bongaya yaitu:
a) Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC
melaksanakan perdagangan.
b) VOC memegang monopoli perdagangan di Sombaopu.
c) Benteng Makassar di Ujungpandang diserahkan
pada VOC.
d) Aru Palaka menjadi raja Bone dan
kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
4) Perlawanan rakyat Maluku
Perlawanan
rakyat Maluku khususnya di Ternate terhadap VOC dipimpin oleh Kakiali dan
Kapten Hitu tahun 1635. Kemudian pada tahun 1646, terjadi perlawanan kembali
yang dipimpin oleh Telukabesi. Perlawanan terbesar terhadap VOC saat dipimpin
oleh Saidi pada tahun 1650.
Sedang
perlawanan di Tidore dipimpin oleh Sultan Jamaludin. Pada tahun 1779, Sultan
Jamaludin tertangkap dan dibuang ke Sailan. Perlawanan dilanjutkan oleh putra
Sultan Jamaludin yaitu Sultan Nuku. VOC dapat menguasai wilayah Tidore setelah
Sultan Nuku wafat pada tahnu 1805.
2. Perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Kolonial
a. PerangMaluku (1817)
Perang
Maluku juga disebut sebagai perang rakyat Saparua. Sebab terjadinya perang
Maluku yaitu: Peredaran uang kertas yang membingungkan; Dikuasainya Benteng
Duurstede oleh Belanda; Himbauan agar pemuda Maluku menjadi prajurit Belanda;
Adanya penindasan rakyat Maluku.
Perang ini
meluas hingga ke Ambon, Hitu, Haruku dan Larike. Pemimpin perlawanan ini yaitu
Thomas Matulessy (Kapiten Patimura). Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan
Pattimura menyerbu ke Benteng Duurstede yang dibantu oleh Anthonie Rheebok,
Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina dan Kapiten Said Printah. Dalam
penyerang itu banyak pasukan Belanda yang tewas dan menyerah.
Untuk
mengatasi perlawanan Patimura, Belanda mendatangakan bantuan ke Saparua di
bawah pimpinan Kapten Lisnet. Pada tanggal 11 November 1817, Thomas Matulessy
tertangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria. Bersama tokoh lainnya yakni
Anthonie Rheebok, Said Printah dan Philip Latumahina. Thomas Matulessy dijatuhi
hukuman gantung pada tanggal 10 Desember 1817.
b. Perang Paderi (1821-1837)
Perang ini
terjadi dari gerakan Paderi yang ingin memurnikan ajaran Islam di Minangkabau,
Sumatra Barat. Perang ini antara kaum Paderi dengan kaum adat yang dibantu oleh
Belanda. Jalannya perang Paderi terbagi dalam 2 tahap:
1) Tahap I (1821-1825)
Pada tahap
ini kaum Paderi menyerang pos-pos patroli Belanda. Tokoh pemimpin dari kaum
Paderi diantaranya Tuanku Pasaman memusatkan gerakannya di Lintau, Tuanku Nan
Renceh di sekitar Baso, Peto Syarif yang terkenal dengan sebutan Tuanku Imam
Bonjol memusatkan perlawanan di Bonjol. Dari berbagai perlawanan tersebut yang
paling sengit yaitu perlawanan kaum Paderi di Agam tahun 1823 pimpinan Tuanku
Imam Bonjol (M. Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan
Alahan. Karena di Jawa, Belanda sedang menghadapi perlawanan Pangeran
Diponegoro, akhirnya Belanda melakukan perdamaian dengan kaum Paderi di Bonjol
tanggal 15 November 1825.
2) Tahap II (1825-1837)
Setelah
menundukkan Diponegoro, Belanda kembali berkonsentrasi menghadapi Perang Paderi.
Untuk menghadapi perlawanan kaum Paderi, Belanda menerapkan sistem pertahanan
Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukittinggi dan Benteng Fort van der
Cappelen. Kedua benteng tersebut merupakan benteng pertahanan. Pada tanggal 21
September 1837, markas Bonjol jatuh dan Tuanku Imam Bonjol menyerah. Ia
diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat
tahun 1864. Jenazahnya dimakamkan di Pineleng dekat Manado.
c. Perang Diponegoro (1825-1830)
Sebab
khusus terjadinya perang yaitu adanya rencana pembuatan jalan yang melalui
makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sedang sebab umum terjadinya
perang adalah penderitaan rakyat sebagai akibat adanya berbagai macam pajak,
seperti: pajak bumi, pajak jembatan, pajak jalan dan pajak ternak; wilayah
Mataram dipersempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan
kedaulatan; Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan; para
bangsawan kecewa karena dilarang menyewa tanahnya (mulai tahun 1824); para
bangsawan dan ulama kecewa karena peradaban Barat dimasukkan dalam keraton;
sebagian bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat
istiadat keraton.
Dalam
melakukan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Kyai
Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo dan Pangeran
Dipokusumo. Untuk menghindari penyergapan, Pangeran Diponegoro menjalankan
siasat perang gerilya dengan markas berpindah-pindah dari Selarong, ke Plered kemudian ke Dekso dan ke
Pengasih.
Untuk
mengatasi perlawanan Diponegoro, Belanda menggunakan siasat Benteng stelsel
akan tetapi siasat ini kurang efektif. Kemudian Jenderal De Kock, menjalankan
siasat licik melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran
Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda di rumah Residen Kedu di Magelang.
Saat berunding Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Semarang lalu dipindah ke
Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Menado. Pada tahun 1834,
Diponegoro dipindah ke Makassar dan meninggal di sana pada tanggal 8
Januari 1855.
d. Perang Bali (1846-1849)
Penyebab
terjadinya perang Bali yaitu: Belanda menolak adanya Hukum Tawan Karang yaitu
hak dari raja-raja Bali untuk merampas semua perahu asing yang terdampar di
wilayah kerajaannya; Kerajaan Bali tidak mau memenuhi tuntutan Belanda untuk
menghapuskan Hukum Tawan Karang; Belanda menuntut agar kerajaan-kerajaan Bali
melindungi perdagangannya; Belanda menuntut agar Kerajaan Bali tunduk pada
pemerintah Hindia Belanda.
Karena
adanya masalah tersebut
akhirnya Belanda menyerang Pulau Bali pada tahun 1846 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V.
Michiels dan wakilnya van Swieten. Sasaran utama dari penyerangannya yaitu
Kerajaan Buleleng. Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta
pasukan sudah mempersiapkan diri. Serangan tersebut membuat pasukan I Gusti
Ktut Jelantik terdesak hingga keluar Benteng Jagaraga.
Raja
Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik dapat meloloskan diri dari kepungan
pasukan Belanda menuju Karangasem. Belanda kemudian berusaha menaklukkan
kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Ternyata perlawanan sengit dari rakyat
setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di
mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang
Puputan Klungkung (1908).
e. Perang
Banjar (1859-1863)
Penyebab meletusnya perang Banjar yaitu adanya campur
tangan Belanda dalam pergantian kepemimpinan di Banjar. Ketika pengganti dari
Sultan Adam Al Wasikbillah yakni putranya yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman
meninggal dunia, maka yang menjadi raja yaitu cucunya (Pangeran Hidayatullah
atau Pangeran Tamjid).
Pangeran Hidayatullah memiliki perangai yang baik,
taat beragama, luas pengetahuan dan disukai rakyat akan tetapi Pangeran Tamjid
sebaliknya, ia lebih dekat dengan Belanda. Maka dari itu Sultan Adam Al
Wasikbillah lebih memilih Pangeran Hidayatullah menjadi penggantinya. Akan
tetapi Belanda mendesak sekaligus mengancam bila Sultan Adam Al Wasikbillah
tidak memilih Pangeran Tamjid sebagai penggantinya.
Kebencian rakyat terhadap Pangeran Tamjid dan Belanda
semakin meluas, sehingga muncul perlawanan yang berkobar sekitar tahun 1859 di
bawah pimpinan Pangeran Antasari yang didukung oleh Pangeran Hidayatullah.
Selain itu perlawanan terhadap Belanda mendapat dukungan dari Kyai Demang
Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin dan Kyai Langlang. Perlawanan tersebut
diawali dengan menyerbu pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Merasa
terdesak Belanda meminta bantuan dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick. Keadaan
menjadi terbalik, akibatnya Pangeran Hidayatullah tertangkap dan diasingkan
Belanda ke Cianjur tanggal 3 Maret 1862. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran
Antasari wafat. Sepeninggal
Pangeran Antasari, para pemimpin satu per satu tertangkap dan perang Banjar
dapat dipadamkan.
f. Perang Aceh (1873-1904)
Penyebab terjadinya perang Aceh yaitu adanya
penandatanganan Traktat Sumatra oleh Belanda dan Inggris yang menggantikan
Traktat London. Isi Traktat London (1824) menyatakan bahwa Inggris dan Belanda
harus menghormati kedaulatan Aceh, sedang Traktat Sumatra (1871) berisi bahwa
Belanda bebas meluaskan kekuasaannya di Sumatra, termasuk Aceh.
Karena rakyat Aceh tidak mau mengakui kekuasaan
pemerintah Belanda, maka pada tanggal 5 April 1873 terjadi pertempuran di
Masjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Mayor Jenderal Kohler tewas.
Tokoh-tokoh perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda diantaranya Panglima Polem,
Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Sultan Daud Syah, Teuku Leung Bata, Cut Nyak
Dien, Cut Meutia. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh Belanda menggunakan
siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan yang memusatkan pasukan
di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan
serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos
sekitarnya. Akan tetapi, siasat ini gagal mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Karena kesulitan mengalahkan rakyat Aceh, Belanda
memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk
mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya ditulis
dalam buku yang berjudul De Atjeher. Kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje tentang
penelitiannya yaitu bahwa pemerintah kolonial harus mengesampingkan sultan yang
kedudukannya hanya sebagai lambang pemersatu dan kekuatan Aceh justru terletak
pada hulubalang dan ulama, untuk menaklukkan Aceh pemerintah Belanda harus
melakukan serangan secara besar-besaran ke seluruh wilayah Aceh dengan siasat
kekerasan, setelah mampu menduduki
Aceh pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat
kekerasan yang dipimpin oleh van Heutsz. Dalam serangan tersebut banyak rakyat
Aceh yang menjadi korban. Satu per satu pemimpin perlawanan rakyat Aceh
menyerah dan terbunuh. Pada tahun 1903, Sultan Daud Syah menyerah, diikuti
Panglima Polem, sementara Teuku Umar gugur di Meulaboh. Cut Nyak Dien bersama
Cut Meutia melanjutkan perjuangan. Jatuhnya Benteng Kuto Reh ke tangan Belanda
tahun 1904 membuat Aceh harus menandatangani Perjanjian Singkat (Korte
Verlelaring), yang isinya rakyat Aceh harus mengakui kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda di negerinya.
0 comments:
Posting Komentar