Pages

Subscribe:

Selasa, 07 April 2015

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


* Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudra Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Khair. Ia bergelar Maharaja Mahmud Syah (1042-1078). Pengganti Meurah Khair adalah Maharaja Mansyur Syah dari tahun 1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syah dari tahun 1133-1155.
Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya dadalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja Nuruddin berkuasa dari tahun1155-1210. Raja ini dikenal juga dengan sebutan Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini sebenarnya berasal dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut pelabuhan di Gujarat. Raja ini tidak memiliki keturunan sehingga pada saat wafat, kerajaan Samudra Pasai dilanda kekacauan karena perebutan kekuasaan.
Meurah Silu bergelar Sultan Malik-al Saleh (1285-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja Perlak (sekarang Malaysia) yang mendirikan dinasti kedua kerajaan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahannya,  system pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka. Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Meurah Silu memperkokoh hubungan ini dengan menikahi putri Ganggang Sari, anak Raja Perlak. Meurah Silu berhasil memperkuat pengaruh Kerajaan Samudra Pasai di pantai timur Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka.
Raja-raja Samudra Pasai selanjutnya adalah Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345), Sultan Manshur Malik Zahir (1345-1346), dan Sultan Ahmad Malik Zahir (1346-1383). Raja selanjutnya adalah Sultan Zainal Abidin (1383-1405). Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya. Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam kepulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirimkan ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak.

* Kerajaan Malaka

 
Iskandar Syah merupakan raja pertama Kerajaan Malaka. Iskandar Syah awalnya adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit yang melarikan diri setelah Majapahit kalah dalam perang Paregreg. Nama asli Iskandar Syah adalah Parameswara. Ia melarikan diri bersama pengikutnya ke Semenanjung Malaya dan membangun kerajaan baru yang kemudian diberi nama Malaka.
Kerajaan Malaka merupakan kerajaan Islam kedua setelah Kerajaan Samudra Pasai. Berkembangnya kegiatan perdagangan dan pelayaran di Kerajaan Malaka banyak didukung para pedagang Islam dari Arab dan India. Kerajaan Malaka pun banyak mendapatkan pengaruh budaya Islam dari kedua daerah ini. Nama Iskandar Syah sendiri merupakan nama Islam, yang diperoleh setelah ia menjadi pemeluk agama Islam. Pada periode kekuasaan Raja Iskandar Syah (1396-1414), Kerajaan Malaka berkembang sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar yang disegani kerajaan lain di sekitarnya.
Muhammad Iskandar Syah merupakan putra mahkota, Kerajaan Malaka yang naik tahta menggantikan ayahnya, Selama memerintah Malaka, Muhammad Iskandar Syah berhasil memajukan bidang perdagangan dan pelayaran. Ia juga berhasil menguasai jalur perdagangan di kawasan Selat Malaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar Syah menikahi putri raja Kerajaan Samudra Pasai dengan tujuan menundukkan Kerajaan Samudra Pasai secara politis. Setelah mendapatkan kekuasaan politik Kerajaan Samudra Pasai, ia baru menguasai wilayah perdagangan disekitarnya. Muhammad Iskandar Syah berkuasa dari tahun 1414-1424.
Sultan Mudzafat Syah memerintah Kerajaan Malaka dari tahun 1424-1458. Ia menggantikan Muhammad Iskandar Syah setelah menyingkirkannya dari tahta Kerajaan Malaka melalui sebuah kemelut politik. Pada masa pemerintahannya Sultan Mudzafat Syah juga berhasil memperluas kekuasaannya hingga ke Pahang, Indragiri, dan Kampar.
Setelah Sultan Mudzafat Syah wafat, ia digantikan oleh putranya Sultan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka berhasil menguasai kerajaan Siam sebagai bagian taktik memperluas wilayah kekuasaan dan mengokohkan kebesarannya di antara kerajaan-kerajaan lain disekitarnya.
Sultan Mansyur Syah tidak menyerang Kerajaan Samudra Pasai yang merupakan kerajaan Islam. Hal ini merupakan salah satu kebijakan politik Sultan Mansyur Syah untuk menjalin hubungan baik dengan sesama kerajaan-kerajaan Islam yang ada disekitarnya. Sultan Mansyur Syah berkuasa dari tahun 1458-1477
Setelah Sultan Mansyur Syah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alauddin Syah. Pada masa pemerintahannya, perekonomian Kerajaan Malaka dalam kondisi cukup stabil. Arus perdagangan dan pelayaran di sekitar Pelabuhan Malaka masih cukup ramai, namun selama pemerintahannya Kerajaan Malaka mengalami kemunduran. Banyak daerah taklukan Kerajaan Malaka yang melepaskan diri. Perang dan pemberontakan terjadi di banyak kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Malaka. Sultan Alauddin Syah berkuasa dari tahun 1477-1488 M.
Sultan Mahmud Syah menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Syah yang wafat pada tahun 1488 M. Secara politik, kekuasaan Kerajaan Malaka hanya tinggal mencakup wilayah utama Semenanjung Malaka. Daerah-daerah lain telah memisahkan diri dan menjadi kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Dalam kondisi yang semakin lemah, pada tahun 1511 M, armada perang bangsa Portugis yang dipimpin oleh Afonso d’Albuquerque akhirnya berhasil menguasai dan menaklukan Kerajaan Malaka.

Kerajaan Aceh Darussalam

Sebagai pusat penyebaran agama Islam, berdirinya kerajaan Samudra Pasai mengilhami pendirinya Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1511 M. Kerajaan Aceh Darusalam berlokasi di daerah hulu pulau Sumatra, atau ujung Pantai Aceh yang disebut sebagai Aceh Besar. Raja pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat, tahta Kerajaan Aceh Darussalam beralih pada putranya yang kemudian bergelar Sultan Salahuddin. Sayangnya, keadaan pemerintahan kurang mendapat perhatian raja sehingga selama masa pemerintahannya Aceh Darussalam mengalami kemunduran drastis. Kekuasan Sultan Salahuddin, kemudian direbut oleh Sultan Alauddin.
Selama pemerintahan, Sultan Alauddin mengadakan perbaikan kondisi kerajaan dan perluasan wilayah, antara lain ke Kerajaan Aru. Namun, usahanya untuk merebut Malaka dari Portugis mengalami kegagalan. Sultan Alauddin juga aktif menyebarkan pengaruh Islam dengan mengirim banyak ahli dakwah ke Pulau Jawa. Salah satunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sultan Alauddin wafat, Kerajaan Aceh Darussalam kembali mengalami kemunduran. Hal ini terjadi akibat pergolakan politik internal dan pemberontakan yang berlangsung cukup lama. Kerajaan Aceh Darussalam mengalami perkembangan pesat dan mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh Darussanlam pada saat itu tumbuh menjadi kerajaan besar yang berhasil menguasai jalur perdagangan alternatif. Keberhasilan ini mampu menyaingi monopoli perdagangan Portugis di Kerajaan Malaka.
Struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda. Pada dasarnya, struktur kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi dua wilayah, yaitu kekuasaan oleh kaum bangsawan dan alim ulama. Dalam kekuasaan kebangsawanan, wilayah Kerajaan Aceh Darusalam terbagi dalam daerah-daerah kehulubalangan yang dikepalai oleh Uleebalang.
Penganti Sultan Iskandar Muda adalah menantunya yang bergelar Sultan Iskandar Thani. Ia menjadi raja pada tahun 1636. Pada masa itu Sultan Iskandar Thani menerapkan kebijakan yang lebih lunak daripada Iskandar Muda. Hal itu menyebabkan daerah-daerah taklukan melepaskan diri satu per satu. Pemerintahan Iskandar Thani tidak berlangsung lama karena meninggal pada tahun 1641. Pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam akhirnya dilanjutkan oleh putri Sri Alam Permaisuri, putri Sultan Iskandar Muda, yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675M). Sultanah adalah gelar untuk ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Selama 59 tahun berikutnya, Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh ratu.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia, secara perlahan Kerajaan Aceh Darussalam mengalami kemunduran. Hal ini karena raja-raja setelah sultan Iskandar Muda tidak mampu mempertahankan wilayah Aceh yang sangat luas. Terjadi perpecahan antar kelompok dalam masyarakat Aceh, yaitu antara golongan ulama (Tengku) dan golongan bangsawan yang lebih dekat dengan penjajahan Kolonial Belanda.

Kerajaan Demak

Berdirinya Kerajaan Demak dilatarbelakangi oleh melemahnya pemerintahan Kerajaan Majapahit atas daerah-daerah pesisir utara Jawa. Daerah-daerah pesisir seperti Tuban dan Cirebon sudah mendapat pengaruh Islam. Dukungan daerah-daerah yang juga merupakan jalur perdagangan yang kuat ini sangat berpengaruh bagi pendirian Demak sebagai kerajaan Islam yang merdeka dari Majapahit.
Raden Patah adalah raja pertama Kerajaan Demak. Ia memerintah dari tahun 1500-1518. Pada masa pemerintahan agama Islam mengalami perkembangan pesat. Raden Patah bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Pengangkatan Raden Patah sebagai Raja Demak dipimpin oleh anggota wali lainnya. Pada masa pemerintahannya, wilayah kerajaan Demak meliputi daerah Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi, dan beberapa daerah di Kalimantan. Pada masa pemerintahannya juga dibangun Masjid Agung Demak yang dibantu oleh para wali dan sunan sahabat Demak.
Pada masa Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Raden Patah merasa berkewajiban untuk membantu. Jatuhnya kerajaan Malaka berarti putusnya jalur perdagangan nasional. Untuk itu, ia mengirimkan putrannya, Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518, ia digantikan oleh putranya Pati Unus. Pati Unus hanya memerintah tidak lebih dari tiga tahun. Ia wafat tahun 1521 dalam usahanya mengusir Portugis dari kerajaan Malaka.
Saudaranya, Sultan Trenggono, akhirnya menjadi raja Demak ketiga dan merupakan raja Demak terbesar. Sultan Trenggono berkuasa di kerajaan Demak dari tahun 1521-1546. Sultan Trenggono dilantik menjadi raja Demak oleh Sultan Gunung Jati. Ia memerintah Demak dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama Islam berkembang lebih luas lagi. Sultan Trenggono mengirim Fatahilallah ke Banten. Dalam perjalanannya ke Banten, Fatahillah singgah di Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Bersama-sama dengan pasukan Kesultanan Cirebon, Fatahillah kemudian dapat menaklukan Banten dan Pajajaran.
Setelah wafatnya Sultan Trenggono pada tahun 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran karena terjadinya perebutan kekuasaan. Perebutan tahta Kerajaan Demak ini terjadi antara Sunan Prawoto dengan Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang (sekarang Bojonegoro) yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Demak. Perebutan kekuasaan ini berkembang menjadi konflik berdarah dengan terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang. Arya Penangsang juga membunuh adik Sunan Prawoto, yaitu Pangeran Hadiri.
Usaha Arya Penangsang menjadi Sultan Demak di halangi oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir mendapat dukungan dari para tetua Demak, yaitu Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Konflik berdarah ini akhirnya berkembang menjadi Perang Saudara. Dalam pertempuran ini, Arya Penagsang terbunuh sehingga tahta Kerajaan Demak jatuh ke tangan Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir menjadi raja Kerajaan Demak dengan gelar Sultan Hadiwijya. Ia kemudian memindahan pusat kerajaan Demak ke daerah Pajang.Walaupun sebenarnya sudah menjadi kerajaan baru, kerajaan Pajang masih mengklaim diri sebagai penerus Kerajaan Demak. Sebagai tanda terima kasih kepada Ki Gede Pemanahan yang telah mendukungnya, Sultan Hadiwijaya memberikan sebuah daerah Perdikan (otonom) yang disebut Mataram. Ki Gede Pemanahan kemudian menjadi penguasa Mataram dan di sebut Ki Gede Mataram.
Sultan Hadiwijaya bukanlah digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benawa, melainkan putra Sunan Prawoto, Aria Pangiri. Pangeran Benawa sendiri diangkat sebagai penguasa daerah Jipang. Pangeran Benawan kurang puas dengan keputusan ini. Apalagi, pemerintahan Aria Pangiri di Pajang juga dikelilingi oleh para bekas pejabat Kerajaan Demak. Pangeran Benawa kemudian minta bantuan kepada Sutawijaya, putra Ki Ageng Mataram, untuk merebut kembali tahta Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1588, Sutawijaya dan Pangeran Benawan berhasil merebut kembali tahta Kerajaan Pajang. Kemudian, Benawa menyerahkan hak kuasanya pada Sutawijaya secara simbolis melalui penyerahan pusaka Pajang pada Sutawijaya. Dengan demikian, Pajang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.

Kerajaan Banten

Kerajaan Banten meliputi wilayah sebelah barat pantai Jawa sampai ke Lampung. Daerah ini sebenarnya merupakan daerah tetangga Kerajaan Pajajaran, yang dalam Carita Parahyangan dikenal dengan nama Wahanten Girang. Peletak dasar Kerajaan Banten adalah Syarif Hidayutullah atau Sunan Gunung Jati. Tahun 1526 M, Syarif Hidayatullah menguasai bagian barat pantai utara jawa untuk menundukkan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Banten dijadikan sebagai basis penyerangan ke Karajaan Pajajaran dilakukan karena Kerajaan Pajajaran menolak usaha penyebaran agama Islam.
Akhirnya pelabuhan Sunda Kelapa merhasil dikuasai pada tahun1527, tetapi Kerajaan Banten masih tetap menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Demak, Ketika Sultan Hadiwijaya berkuasa di Demak. Raja yang pertama adalah putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin. Penguasa Kerajaan Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580). Selama sembilan tahun dibawah pimpinan Maulana Yusuf kerajaan Banten berusaha menundukkan Pakuan ibukota kerajaan Pajajaran, Namun pada tahun 1579 Banten berhasil menaklukan Pakuan.
Setelah Maulana Yusuf meninggal dunia tahun1580, tahta kerajaan Banten jatuh ke tanggan Maulana Muhammad yang masih berusia 9 tahun. Oleh karena masih sangat muda, kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh sebuah badan perwalian yang terdiri dari Kali (Jaksa Agung) dan empat menteri. Badan perwalian ini berkuasa sampai Maulana Muhammad cukup umur untuk memerintah.
Tahun 1596, Banten melancarkan serangan terhadap Kerajaan Palembang, serangan tersebut dipimpin oleh Maulana Muhammad, penyerangan ini bertujuan untuk melancarkan jalur perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah dari daerah Sumatra. Namun penyerangan itu tidak berhasil dan Maulana Muhammad gugur. Wafatnya Maulana mengakibatkan kosongnya pemerintahan di Banten. Sedangkan anaknya yang bernama Abu Mufakhir masih berusia 5 bulan. Untuk sementara Kerajaan Banten di pimpin oleh badan perwalian yang di ketuai oleh Jayanegara(wali kerajaan) dan Nyai Emban Rangkung (pengasuh pangeran). Pada masa ini armada dagang Belanda tiba di Banten, Armada ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596.
Abu Mufakhir baru resmi menjadi pemimpin kerajaan Banten pada tahun 1596. Tahun 1638, khalifah Mekah memberikan gelar Sultan pada Abu Mufakhir. Beliau wafat pada tahun 1651. Kemudian putranya mengantikannya dengan gelar Sultan Abu Ma’ali Ahmad Rahmatullah, tetapi tidak lama kemudian beliau wafat.
Raja Banten berikutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Di bawah pemerintahannya kerajaan Banten berhasil mencapai kejayaannya. Beliau berusaha keras mengusir kekuasaan armada Balanda (VOC) dari kerajaan Banten. Pada tahun 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkotanya yaitu Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji sebagai Raja Muda. Pemerintahan sehari-hari di jalankan oleh Sultan Haji namun Sultan Ageng Tirtayasa tetap mengawasi.
Selam pemerintahannya, Sultan Haji cenderung bersahabat dengan VOC. VOC memanfaatkan kesempatan ini untuk mempengruhi kebijakan pemerintahan Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa tidak menyetujui hubungan baik Sultan Haji dengan Belanda dan berrencana mencabut kembali kekuasaannya. Sultan Haji dengan dukungan Belanda tetap mempertahankan tahta Kerajaan Banten sehingga timbul persengketaan dan perang saudara. Akibat penghianatan ini pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda di Batavia. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat pada tahun 1692 dan kerajaan Banten menjadi kerajaan boneka di bawah kendali Belanda.

Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya, ia memerintah dari tahun 1575-1601. Penguasa kerajaan Mataram Islam selanjutnya adalah Masjolang atau Panembahan Sedo Krapyak. Ia memerintah dari tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram Islam terus menaklukkan daerah-daerah pantai di sekitarnya. Namun, ia gugur dalam usahanya menyatukan Kerajaan Mataram Islam.
Raja Mataram Islam berikutnya adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia memerintah di Mataram dari tahun 1613-1645. Ia merupakan raja terbesar Kerajaan Mataram Islam yang mempunyai cita-cita menyatukan Pulau Jawa. Pada masa Sultan Agung perdagangan di Mataram Islam semakin melemah, sehingga pelayaran dan perdagangan menjadi mundur. Pada tahun 1628-1629, Sultan Agung ingin menguasai Batavia, ia pun mengirim pasukan yang dipimpin oleh Baureksa dan dibantu oleh Adipati Ukur serta Suro Agul-Agul, tapi usaha itu gagal. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri.
Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat memerintah dari tahun 1645-1677. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram menjalin hubungan dengan Belanda, orang-orang Belanda diperkenankan untuk membangun Benteng di kerajaan Mataram. Namun, pendirian benteng dan tindakan sewenang-wenangan Belanda akhirnya menyulutkan rasa tidak puas dari beberapa kalangan di Kerajaan Mataram terhadap pemerintahan Amangkurat I. Di antaranya dari Pangeran Trunajaya dari Madura dengan dibantu para bupati di daerah pesisir pantai, Pangeran Trunajaya melakukan pemberontakan.
Dalam peperangan di ibu kota Kerajaan Mataram, Amangkurat I menderita luka-luka. Ia dilarikan ke Tegalwangi dan meninggal disana. Pemberontakantersebut akhirnya dapat di padamkan oleh Belanda. Raja Amangkurat I wafat dan digantikan oleh Amangkurat II. Ia memerintah  dari tahun 1677-1703. Pada masa pemerintahannya, Belanda menguasai hamper sebagian besar wilayah Kerajaan Mataram. Amangkurat II sendiri menyingkir ke daerah pedesaan dan mendirikan ibu kota Kerajaan Mataram baru di desa Wonokerto yang diberi nama Kartasura. Amangkurat II wafat pada tahun 1703.
Setelah Amangkurat II wafat, berdasarkan perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram terbagi menjad dua, yaitu daerah kesultanan Yogyakrta yang di perintah oleh Raja Mangkubumi yang bergelar  Hamengkubuwono I, dan kesultanan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Pakubowono III. Pada tahun 1757, berdasarkan perjanjian Salatiga, Kerajaan Mataram dipecah lagi menjadi tiga daerah, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegara. Daerah Mangkunegara diperintah oleh Mas Said yang bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.
Pada tahun 1813, Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu kesultanan Yogyakarta dan kerajaan Pakualaman. Kerajaan Pakualaman diperintah oleh Paku Alam yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian kerajaan Mataram akhirnya terbagi menjadi empat kerajaan kecil, yakni Kesultanan Yogyakarta, Kesuhunan Surakarta, Kerajaan Mangkunegara dan kerajaan Pakualaman.
Kehidupan ekonomi kerajaan Mataram Islam adalah agraris yang banyak menghasilkan beras dan kemudian hasilnya diekspor ke Kerajaan Malaka, Untuk meningkatkan hasil produksi beras Sultan Agung memindahkan para petani ke daerah Karawang yang subur hal ini dilakukan juga untuk persiapan menyerang Batavia.

Kerajaan Gowa dan Tallo

Kerajaan Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan baik. Banyak orang mengetahuinya sebagai Kerajaan Makassar. Makassar sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang juga disebut sebagai Ujungpandang.
Sebelum abad ke-16, raja-raja Makassar belum memeluk agama Islam. Baru setelah datangnya Dato’ Ri Bandang, seorang penyiar islam dari Sumatra, Makassar berkembang menjadi kerajaan Islam.
Sultan Alauddin adalah Raja Makassar pertama yang memeluk agama Islam. Ia memimpin Makassar dari tahun 1591-1638. Sebelumnya, Sultan Alauddin bernama asli Karaeng Ma ‘towaya Tumamenanga Ri Agamanna. Setelah Sultan Alauddin wafat, Kerajaan Makassar dipimpin oleh Muhammad Said 1639-1653. Setelah Muhammad Said  wafat, beliau kemudian digantikan oleh Sultan Hasanuddin. Beliau berkuasa sejak tahun 1653. Masa pemerintahannya merupakan masa gemilang kerajaan Makassar.
Dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, yaitu Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Sultan Hasanuddin juga berniat menjadikan Kerajaan Makassar sebagai penguasa tunggal di jalur perdagangan Indonesia bagian timur. Oleh karena itu Sultan Hasanuddin harus menghadapi kekuatan armada VOC Belanda sebelum dapat menguasai Maluku.
Belanda berusaha keras menghentikan serangan-serangan Kerajaan Makasar. Untuk itu Belanda bersekutu dengan Raja Bone, yaitu Arub(Tuan) Palaka. Aru Palaka bersedia membantu Belanda dengan syarat akan diberikan kemerdekan. Pada tahun 1667, dengan bantuan Kerajaan Bone berhasil menekan Makassar untuk menyetujui perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi tiga buah kesepakatan yaitu VOC mendapat hak monopoli dagang di Makassar, Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makassar, Makassar harus melepas daerah yang dikuasainya seta mengakui Aru Palaka sebagai Raja Bone.
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669, Mapasomba putranya berusaha menggantikan kepemimpinan ayahnya dan meneruskan perjuangan perjuangan ayahnya melewan Belanda. Pasukan Kerajaan Makassar akhirnya bisa dipukul mundur oleh Belanda dan jalur perdagangan di kuasai oleh Belanda.

Kerajaan Ternate dan Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini meliputi Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. Tanah Maluku yang kaya akan rempah-rempah menjadikannya terkenal di dunia Internasional dengan sebutan Spice Island.
Pada abad ke 12 M, Permintaan akan cengkeh dan Pala dari negara Eropa meningkat pesat. Hal ini menyebabkan dibukannya perkebunan di daerah Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dengan adanya kepentingan atas penguasa perdagangan terjadilah persekutuan daerah antara kerajaan. Persekutuan-persekutuan tersebut adalah Uli Lima (Persekutuan Lima). Yaitu persekutuan antara lima saudara yang dipimpin oleh Ternate (yang meliputi Obi, Bacan, Seram dan Ambon, serta Uli Siwa (persekutuan Sembilan) yaitu persekutuan antara sembilan bersaudara yang wilayahnya meliputi Pulau Tidore, Makyan, Jahilolo atau Halmahera dan pulau-pulau di daerah itu sampai Papua.
Antara kedua persekutuan tersebut telah terjadi persaingan yang sangat tajam. Hal ini terjadi setelah para pedagang Eropa datang ke Maluku. Pada tahun 1512, bangsa Portugis datang ke Ternate, sedangkan tahun 1521 bangsa Spanyol datang ke Tidore.
Setelah 10 tahun berada di Kerajaan Ternate, bangsa Portugis mendirikan Benteng yang diberi nama Sao Paolo. Menurut  Portugis , benteng tersebut berguna untuk melindungi Ternate dari Kerajaan Tidore. Namun hal tersebut hanyalah taktik Portugis agar mereka dapat tetap berdagang dan menguasai Ternate. Pembangunan Benteng Soa Paolo mendapat perlawanan dan salah seorang yang menantang kehadiran kekuasaan militer Portugis tersebut yaitu Sultan Hairun. Beliau berkuasa di kerajaan Ternate sejak tahun 1559. Sultan tidak ingin perekonomian dan pemerintahan kerajaan di kuasai oleh bangsa lain dan pendirian benteng tersebut dianggap menunjukkan niat buruk Portugis atas Ternate.
Ketidak setujuan Sultan Hairun terhadap Portugis tidak berbentuk kekerasan, sebaliknya Sultan Haitun bersedia berunding dengan Portugis di Benteng Sao Paolo. Ternyata niat baik Sultan Hairun dimanfaatkan Portugis untuk menahannya di benteng tersebut. Keesokan harinya Sultan Hairun telah terbunuh hal ini terjadi pada tahun 1570.
Wafatnya Sultan Hairun menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin besar. Sultan Baabullah yang menjadi Raja Ternate berikutnya dan memimpin perang melawan Portugis. Usaha ini menampakkan hasil pada tahun 1575, setelah Portugis berhasil dipukul mundur dan pergi meninggalkan bentengnya di Ternate.
Bangsa Portugis bergerak ke Selatan dan Menaklukan Timor pada tahun 1578. Sultan Baabullah kemudian memperluas kekuasaannya hingga Maluku, Sulawesi, Papua, Mindano dan Bima. Keberhasilan pemerintahannya membuat Sultan Baabullah mendapat julukan Tuan dari Tujuh Pulau Dua Pulau.

0 comments: