Pada tahun 1513, Demak mengerahkan kekuatan 100 kapal
perang dengan ribuan prajurit untuk bergabung dengan pasukan dari Banten,
Palembang, Aceh dan Johor. Armada Demak mengambil rute melalui Banten
bersama-sama armada Banten lewat selat Sunda - Pantai Barat Sumatera - Aceh
-Selat Malaka –Malaka. Jadi penyerangan armada Demak dan kawan-kawan dilakukan
dari arah utara ( lor ). Karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan
perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan
tidak berhasil.
Kegagalan mengusir Portugis di Malaka ini membuat Demak
harus semakin waspada dari ancaman Portugis. Untuk itu Demak lebih meningkatkan
pertahanannnya dengan menambah jumlah kapal perang dan prajurit. Terutama pada
saat Dipati Unus naik tahta pada tahun 1518 menggantikan ayahnya, Raden Patah .
Baru berlangsung sekitar 3 tahun, Dipati Unus jatuh sakit dan wafat tahun 1521.
Pati Unus meninggal tanpa memiliki keturunan, oleh karena itu yang berhak
menggantikan kedudukannya adalah adiknya, Raden Trenggono.
- Sultan
Baabullah ( 1570 – 1583 )
Maluku merupakan daerah
yang kaya rempah-rempah terutama pala dan cengkih. Banyak pedagang dari Jawa,
Aceh, Arab dan Cina datang membeli rempah-rempah di Maluku, khususnya di
Ternate.Posisi kerajaan Ternate menjadi penting pada masa itu.
Kedatangan
Portugis ( 1512 ) dan Spanyol ( 1521 ) di Maluku merupakan awal malapetaka
mengarah terpecah belah dan kesengsaraan. Pada tahun 1535 , Portugis di Ternate
bertindak sewenang-wenang dengan menurunkan secara paksa raja Tabariji .
Raja Tabariji berkuasa tahun 1523 – 1535.
Tabariji diasingkan Portugis ke Goa dipaksa untuk murtad. Jordao de Freitas,
orang Portugis yang berhasil mengkristenkan Tabariji dengan nama baptis Dom
Manuel. Pada tahun 1545 Tabariji
meninggal dengan sempat memberi janji
menyerahkan Ambon pada Portugis.
Sultan
Khaerun yang pada saat itu berkuasa di Ternate menolak keras pernyataan Gubernur
de Mesquita pimpinan Portugis untuk
:
- Menyerahkan
Ambon
- Memonopoli
perdagangan
- Agar
membatasi bahkan mencegah kapal-kapal dagang selain Portugis.
Sultan Khaerun tetap memberi kebebasan kepada kapal-kapal
dagang dari Aceh, Persia, Gujarat, Demak dan Gresik untuk berdatangan ke
Ternate membeli cengkih, pala dan lada. Sultan Khaerun membangun terus armada
lautnya dengan membeli kapal-kapal dari Gresik
dan senjata baru dari Aceh dan Turki.
Portugis memandang tindakan Sultan Khaerun sangat
membahayakan monopoli perdagangannya. Oleh karena itu, pada tanggal 17 Februari
1570, dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah
damai di paraf, de Mosquita mengundang Sultan Khaerun menghadiri pesta
perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Khaerun hadir dan dibunuh di dalam
benteng.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat
Maluku dan terutama Sultan Baabullah .Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad
menggempur Portugis. Gelombang perang besar segera melanda lautan dan daratan
Ternate. Bergandeng dengan Tidore yang
semula musuh, menyerang dan menghancurkan
benteng Portugis di Ambon.
Sultan Baabullah ( 1570 – 1583 ) adalah
putra Sultan Khaerun ( 1550 – 1570 ) berhasil mengusir Portugis dari bumi
Maluku dan mengantarkan Ternate mencapai
puncak kejayaan . Wilayah Ternate sampai ke daerah Philipina bagian selatan .
Kemudian
pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng
Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya orang Portugis mampu bertahan di dalam
benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal.
Penurunan bendera Portugis sebagai lambang kekalahan yang kemudian sebagian
dari mereka diberi kebebasan pergi
menuju Timor-Timur.
3. Panglima Fatahillah ( 1527 – 1570 )
Pada tahun 1521, Pasai
berhasil diduduki oleh armada Portugis yang mula-mula hanya untuk berdagang,
tetapi kemudian berusaha menyebarkan agama Khatolik dan menjajah. Fatahillah
tidak rela melihat tanah tumpah darahnya diduduki bangsa asing. Ia tidak mau
hidup di bawah perintah orang asing, namun untuk melawan belum memungkinkan.
Fatahillah dilahirkan sekitar tahun 1490 di
Pasai, Sumatera Utara. Nama lain Fatahillah adalah Falatehan, Fadhilah Khan,
Ratu Bagus Pase dan Ratu Sunda Kelapa.
Ayahnya bernama Maulana Makhdar Ibrahim selaku guru agama Islam di Pasai
kelahiran Gujarat, India Selatan
Berkat kemauan yang keras
dan ikhtiar yang terus menerus, Fatahillah berlayar menuju tanah suci Arab.
Tujuan utama untuk menunaikan ibadah haji, menggembleng diri memperdalam ilmu
agama dan menambah kecakapan yang lainnya seperti olah bela diri dan strategi
perang. Tiga tahun telah berlalu, saat pulang ke Pasai ternyata orang Portugis
masih bercokol. Dengan hati berat Fatahillah tidak mendarat melainkan
melanjutkan perjalanan menuju pulau Jawa.
Pada sekitar tahun 1525,
Fatahillah mendarat di pelabuhan Jepara, pelabuhan utama kesultanan Demak.
Sultan Demak waktu itu adalah Sultan Trenggono, menyambut baik kedatangan dan
maksud Fatahillah. Sultan sangat mengagumi fatahillah atas kedalaman ilmunya,
kecakapan dan keberaniannya. Tanpa ragu Sultan Demak mengangkat fatahillah
sebagai guru agama di lingkungan istana, penasehat Sultan dan panglima perang
tentara Demak.
Sultan Trenggono sangat
mendukung cita-cita Fatahillah untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pulau
Jawa. Pada tahun 1526, Fatahillah di Banten dengan bantuan Maulana Hasanuddin,
putra Sunan Gunung Jati, berhasil mengislamkan masyarakat Banten tanpa
kekerasan. Rakyat Banten menerima agama Islam dengan penuh keikhlasan dan
kesadaran. Selanjutnya pada tahun 1527,
Sunda Kelapa dapat di kuasai. Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai
wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Sunda Kelapa.
Ketika orang Portugis di
bawah pimpinan Fransisco De Sa tiba di Sunda Kelapa tahun 1527,
terjadilah pertempuran hebat dengan laskar Fatahillah. Portugis berhasil diusir
dari Sunda Kelapa, sejak tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diubah menjadi
Jayakarta atau Jakarta yang berarti ‘kemenangan yang sempurna’.
- Sultan
Iskandar Muda ( 1607 - 1636 )
Sultan pertama kerajaan
Aceh adalah Ali Mughayat Syah ( 1514 –1530 ). Selama masa pemerintahannya,
sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena pendudukan Malaka oleh
Portugis, singgah dan menetap di Aceh. Pada tahun 1520, Aceh mulai memperluas
pengaruhnya dengan menyerang
daerah
Daya, Pantai Timur , Deli, Pedir, Pasai, Aru dan Johor.
Tujuan penyerangan Aceh untuk
menaklukkan sejumlah daerah adalah :
1. Memperluas
hegemoni kerajaan Aceh.
2. Menyebarkan
agam Islam ke daerah-daerah yang belum menganut agama Islam.
3. Menguasai
daerah-daerah penghasil lada dan emas.
4. Membangun
pelabuhan produsen yang ingin menyelenggarakan perdagangan bebas.
5. Persaingan
mengganti posisi Malaka sebagai pelabuhan transit di Nusantara bagian barat.
6. Sebagai
negara yang paling kuat di kawasan selat Malaka.
Penguasa Aceh berikut
yang tergolong mencapai kejayaan adalah masa Sultan Alaudin Riayat Syah al
Kahar ( 1537 – 1571 ). Dia berhasil
menakhlukkan Batak di sebelah selatan Aceh pada tahun 1539. Walaupun
penyerangan berikut terhadap Aru yang dikuasai Johor dan terhadap Malaka yang
diduduki Portugis mengalami kegagalan, Sultan Alaudin telah menunjukkan
ketangguhan sebagai kekuatan militer yang disegani dan diperhitungkan di
kawasan selat Malaka.
Pada awal abad ke-17,
penguasa terbesar di antara penguasa-penguasa Aceh adalah masa Sultan Iskandar
Muda ( 1607 – 1636 ). Aceh benar-benar menjadi kerajaan yang paling kuat di
Nusantara bagian barat. Pada tahun 1612, akhirnya Deli, Aru dan Johor berhasil
ditaklukkan. Pada tahun 1614, armada Portugis di Bintan berhasil dikalahkan.
Pada tahun 1624, Pahang dan Nias
berhasil dikuasai. Pada tahun 1529 , Aceh menggempur Portugis di Malaka
dengan sejumlah kapal yang memuat 19.000 prajurit. Pertempuran sengit tak
terelakkan yang kemudian berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh.
Alasan politik yang menyebabkan
Aceh mengalami kemunduran adalah :
1. Kalangan
elit Aceh atau kelompok bangsawan yang terdiri atas para ‘Panglima
Perang’ (
hulubalang, ule balang )kurang mendukung cita-cita Sultan.
2. Adanya
perpecahan di dalam negeri, dimana para ulee balang menjadi penguasa-
penguasa local
( feodal ).
5. Sultan Agung
Hanyokrokusumo ( 1613 – 1645 )
Daerah Mataram
semula merupakan bagian dari wilayah kerajaan Pajang. Bupati Mataram
pertama adalah Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 , Ki Gede diganti oleh
puteranya yaitu Danang Sutawijaya. Sultan Pajang wafat ( Sultan Hadiwijaya )
sekitar tahun 1582, Mataram menyatakan
memisahkan diri dari Pajang. Sutawijaya didampingi penasehatnya Ki Jurumertani,
mengukuhkan diri sebagai raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati.
Mataram kemudian diperintah oleh putra Panembahan
Senopati yang bernama Mas Jolang ( 1601 – 1613 ). Mas Jolang gugur dalam suatu
pertempuran sengit di Krapyak, sehingga mendapat sebutan Panembahan Seda
Krapyak. Sebagai penggatinya yang sah adalah putranya yang bernama Raden Mas
Rangsang
yang untuk selanjutnya dikenal
dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sultan Agung di samping cakap sebagai raja juga fasih
dalam hal seni budaya, ekonomi, sosial dan perpolitikkan. Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa yang berhasil disatukan antara lain Gresik ( 1613 ), Tuban ( 1616
), Madura ( 1624 ), dan Surabaya ( 1625 ).
Latar
belakang kejengkelan Sultan Agung
(Mataram ) bersitegang dengan kompeni Belanda antara lain :
- Kompeni Belanda memonopoli perdagangan.
- Kompeni
Belanda mengingkari Perjanjian 1614.
- Kompeni
Belanda berkali-kali merampok kapal dagang Mataram.
- Kompeni
Belanda suka menghina orang Islam dan memperkosa para wanita.
Pada tahun 1614 sebenarnya VOC telah melakukan kontak dengan Mataram (
Sultan Agung ) yang melahirkan Perjanjian 1614, berisi :
1.
Sultan
memperkenankan Kompeni Belanda mendirikan kantor dagang ( loji ) di
Jepara.
2.
Belanda siap
memberikan apa saja yang diminta Sultan Agung.
Sultan
Agung menyadari bahwa Kompeni Belanda tidak dapat dipercaya, ingin mencari
enaknya sendiri dan sewenang-wenang. Karena kekesalan itulah Sultan Agung
memerintahkan Adipati Jepara untuk menghancurkan loji Belanda di Jepara. Serangan
yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 1618 inilah sejumlah kompeni Belanda dan
pemimpinnya, Cornelis van Masyck dan Balthasar van Eyndhoven
dinyatakan tewas.
Selanjutnya, pada tanggal 22 Agustus 1628 pasukan Mataram
tidak tanggung-tanggung menyerang Batavia, jantung kekuatan VOC. Serangan
pertama Mataram ini dipimpin Tumenggung Baureksa dan Dipati Ukur, berhasil membunuh 56 orang, 24 luka berat dan
200 orang menyerah dalam penyerbuan terhadap benteng Holland, Parel,
Gelderland, Bommel dan Freesland.
Kekuatan Mataram pada serangan pertama ke Batavia tahun 1628 :
1.
Kekuatan
armada laut :
a. Pendaratan tanggal 22 Agustus 1628,
berjumlah 59 kapal dagang.
b. Tanggal 24 Agustus 1628, armada ke 2
mendarat 7 kapal perang.
c. Pada tanggal 25 Agustus 1628, pendaratan ke
3 berjumlah 27 kapal
2. Serangan darat :
a.
Tumenggung
Baurekso menyerang dari front Timur.
b.
Adipati Ukur
menyerang dari front Selatan
Setelah mendapat serangan bertubi-tubi, Gubernur Jendral
VOC, J.P. Coen pada tanggal 21 Oktober 1628 mengadakan
serangan balasan dengan kekuatan 700 orang yang dipimpin Jaques le Febre.
Senopati Tumenggung Baurekso gugur, bantuan dari Mataram yang dipimpin
Tumenggung Suro Agul-Agul, Kyai Adipati Manduwa Reja, dan Kyai Adipati Upasanta
datang terlambat. Pertempuran ini mengakibatkan banyak korban dikedua belah
pihak. Mataram kehilangan 744 orang prajurit, kompeni Belanda kehilangan
ratusan serdadunya.
Serangan kedua pasukan Mataram
dimulai tanggal 22 Agustus 1629. Pasukan
Mataram mengerahkan 130.000 orang prajurit dan semua perbekalan, senjata diatur
dengan tertib. Sasaran penyerbuan diarahkan pada benteng Parel, Holland,
Robiju, Safier dan Diamant. Benteng-benteng itu dikepung oleh berlapis-lapis
prajurit Mataram. Pertempuran serupun terjadi pada tanggal 20 September 1629,
kompeni yang bertahan di dalam benteng mulai kehabisan bekal dan peluru. Selain
jatuh korban 600 serdadu kompeni,
Gubernur
Jendral
J.P. Coen juga tewas, yang menurut versi Belanda disebabkan oleh
wabah penyakit menular. Meskipun Mataram tidak mutlak berhasil menghancurkan
kompeni di Batavia apalagi mengusirnya, tetapi Sultan Agung sudah menunjukkan
semangat anti penjajahan asing, khususnya kompeni Belanda.
6. Sultan Ageng
Tirtayasa ( 1651 – 1683 )
Pada masa pemerintahan Sulten Ageng atau Sultan Tirtayasa
merupakan jaman keemasan Kerajaan Banten. Armada Banten di tata dan dibangun
mengikuti model Eropa. Kapal-kapal berlayar menggunakan surat jalan Sultan.
Orang Banten mampu menjalin transaksi dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Cina, Filipina dan Jepang. Sultan Ageng juga menaruh perhatian terhadap
pengembangan agrarisnya. Pada tahun 1663 sampai tahun 1677, dibangunlah sistem
irigasi besar-besaran di Banten. Kanal-kanal dibangun sepanjang 30 – 40 km yang
mempekerjakan sekitar 16.000 orang. Kanal-kanal ini mampu mengairi 30.000 –
40.000 hektar persawahan dan ribuan hektar perkebunan. Proyek-proyek ini berguna tidak hanya dalam
meningkatkan kekayaan pertanian kerajaan, tetapi juga dalam membawa
daerah-daearh pedalaman.
Sultan Ageng memajukan perdagangan luar
negeri dan pertanian daerah pedalaman tergolong berhasil. Kincir angin yang
paling mutakhir sengaja didatangkan dari Batavia digunakan untuk irigasi. Pada
tahun 1620, para pedagang Cina memperkenalkan tebu. Kerajaan Banten menjadi
makmur.
Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC
ingin mendapatkan monopoli lada di
Banten. Pada tahun 1656 pecah perang, Banten menyerang daerah-daerah Batavia
dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659
tercapai suatu penyelesaian damai. VOC mencari siasat memecah belah dengan
memanfaatkan konflik internal dalam keluarga Kerajaan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang
bergelar Sultan Haji ( 1682 –1687 ) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dengan
Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti VOC
sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin
hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji
dari tahtanya.
Konflik antara ayah dan anak ini dimanfaatkan oleh
VOC dengan menerima permintaan Sultan
Haji untuk membantu mengembalikan tahta Kerajaan Banten. Pihak Sultan Ageng didukung oleh kalangan
pemuka muslim baik di Banten sendiri maupun dari luar seperti Makasar, Madura
dan Mataram. VOC memerangi Sultan Ageng dan mengejar sampai ke daerah-daerah
pegunungan. Pada tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, ditahan di Banten
untuk beberapa lama kemudian dipindah ke Batavia sampai wafatnya tahun 1695.
Syekh Yusup Makasar ( 1626 – 1699 ) dari Sulawesi Selatan yang mendukung
perjuangan Sultan Ageng berhasil ditangkap pada tahun itu juga, 1683. Syekh
Yusup diasingkan ke kawasan Tanjung Harapan, Afrika bagian selatan sampai wafatnya
pada tahun 1699.
Sultan Haji kembali menduduki tahta Kerajaan Banten.
Namun sebagian besar wilayah Banten telah diambil alih oleh VOC. Monopoli
perdagangan lada di Banten akhirnya dapat dilaksanakan oleh VOC. Sisa-sisa
perlawanan menentang VOC terus dilakukan secara gerilya oleh pengikut Sultan
Ageng, yaitu Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.
7. Sultan
Hasanuddin ( 1654 – 1669 )
Jauh sebelum orang-orang VOC datang, orang-orang suku
Makasar dan Bugis sudah terkenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung.
Seluruh penjuru Nusantara telah dijelajah dengan perahu-perahu pinisi yang
terkenal lincah dan cekatan. Bandar Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa-Tallo
merupakan pelabuhan transip menawarkan barang-barang lebih murah seperti
rempah-rempah, beras, ternak, dan kayu cendana.
Di Sulawesi Selatan terdapat
banyak rejaan besar dan kecil, seperti :
1. Kerajaan
Gowa-Tallo adalah kerajaan orang-orang suku Makasar
2. Kerajaan
Soppeng, Wajo, Tanete, dan Sawitto merupakan kerajaan suku Bugis.
3. Kerajaan
Balanipa, Binnang, Campala Giang, Bampuang, Cenrana, Tapalang dan Mamuju adalah
kerajaan suku Mandar.
Raja suku Makasar disebut :
Karaeng
Raja suku Bugis disebut :
Aru atau Arung
Raja suku Mandar disebut :
Maladdia
Akhirnya VOC berusaha untuk menguasai wilayah timur ini
dengan sewenang-wenang. VOC berani melarang dengan keras orang-orang Makasar
melakukan transaksi dagang di kepulauan Maluku. Raja Gowa waktu itu Sultan Alaudin dengan tegas menentang dan
menjawab “Tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki bersama. Tak pernah
ada terdengar orang dilarang berdagang dan berlayar . Yang melarang hal itu
berarti merenggut nafkah orang”.
Kepentinga kerajaan Gowa dan kepentingan VOC saling
bertentangan, maka pada perkembangan
selanjutnya tidaklah mengherankan jika terjadi benturan dan peperangan. Hal ini
berlanjut pada masa Sultan Muhamad Said, putra Sultan Alaudin yang wafat pada
tanggal 15 Juni 1639.VOC dilarang membuka kantor perdagangan di Sobbaopu.
Orang-orang makasar tidak peduli terhadap larangan-larang dan peraturan yang
dibuat VOC.
Pada tanggal 6 Nopember 1653, Sultan Muhamad Said wafat
diganti putranya yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin adalah
adalah seorang ksatria gemblengan kerajaan Gowa, pernah menjabat sebagai Karaeng
Tumakhajannangngang ( pasukan elite/ istimewa ).
Sultan Hasanuddin tetap menjalankan dan melanjutkan
kebijaksanaan yang diambil oleh almarhum kakek dan ayahnya. Kerajaan Gowa tetap
tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan VOC di Maluku maupun di Sobaopu.
Pada bulan April 1655 armada Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin mampu
merebut Buton dari pendudukan VOC. Pada tanggal 23 Oktober 1655, kapal VOC yang
dipimpin Casper Buytendijk dan 24 anak buahnya berhasil dihancurkan. Konflik
antara VOC dan kerajaan Gowa terus berlanjut, hampir tak terputus sejak tahun
1615.
Pada bulan Desember 1666, armada VOC dengan kekuatan 21
kapal yang dilengkapi meriam, mengangkut 600 tentara yang dipimpin Cornelis
Speelman tiba dan menyerang Makasar dari laut. Arung Palaka dan orang-orang
suku Bugis rival suku Makasar membantu VOC menyerang melalui daratan. Akhirnya
VOC dengan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang, Sultan Hasanuddin
dipaksa menanda tangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667, yang
berisi :
- Sultan
Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan .
- VOC
memegang monopoli perdagangan di Sombaopu .
- Benteng
Makasar di Ujung Pandang diserahkan pada VOC.
- Bone
dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
Sultan Hasanuddin tetap gigih,
masih mengobarkan pertempuran-pertempuran. Serangan besar-besaran terjadi pada
bulan April 1668 sampai Juni 1669. Akhirnya Sultan tak berdaya namun semangat
juangnya menentang VOC masih dilanjutkan oleh orang-orang Makasar.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan
Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005.
Materi Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Edi S. Ekajati, Drs., 1985. Fatahillah Pahlawan Arif
Bijaksana. Jakarta: PT Mutiara Sumber
Widya.
Hamlan Arpan, H., 1992.
Pangeran Antasari.
Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.
Kutoyo, Sutrisno, dkk. 1986. Sejarah Ekspedisi Pasukan
Sultan Agung ke Batavia. Jakarta:
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Marwati Djoenet
P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
MD, Sagimun, 1985. Sultan Hasanudin Menentang V.O.C. Jakarta : Departemen Pendidikan
dan
Lebudayaan.
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia
Since c. 1200. alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2004,
Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta.
Satia, Meta Candra. 1985. Sultan Baab Ullah Pengusir
Portugis dari Maluku, Jakarta :
C.V.
Muara Cipta.