Senin, 26 Januari 2015
Minggu, 25 Januari 2015
Dani Hilman Natawijaya - Penemu Indikator Alam (Terumbu Karang) terhadap Siklus Gempa
Gempa bumi di Samudra Hindia 2004
Dr Danny Hilman Natawijaya adalah Seorang peneliti dan pakar yang menguasai geologi gempa bumi (earthquake geologist) asal Indonesia. Ia merupakan peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di kalangan peneliti geologi dan geofisika di Indonesia dan dunia ia telah diakui sebagai ahli gempa tektonik Sumatera.
Dr. Dani
Sabtu, 24 Januari 2015
Biografi Friedrich Nietzsche - Tokoh Pertama Eksistensialisme Modern Yang Ateistis
Friedrich Nietzsche
Lahir: Friedrich Wilhelm Nietzsche 15 Oktober 1844 Röcken-bei-Lützen, Kerajaan Prusia
Meninggal: 25 Agustus 1900 (umur 55) Weimar, Saxony, Kekaisaran Jerman
Kediaman: Jerman
Kebangsaan: Jerman
Era: Filsafat abad ke-19
Aliran: Weimar classicism
Minat utama: Estetika , Etnis, Metafisika, Nihilisme, Psikologi, Ontologi, Puisi, Value theory, Voluntarisme,
Jumat, 23 Januari 2015
William Standish Knowles - Penemu Sintesis Asimetris Terkatalisis
Lahir: Taunton, Massachusetts, Amerika Serikat
Meninggal: 13 Juni 2012 (umur 95) Chesterfield, Missouri, Amerika Serikat
Bidang: Kimia
Lembaga: Thomas dan Hochwalt Laboratorium, Monsanto Company
Alma mater: Harvard University (BS), Columbia University (Ph.D.)
Penasihat Doktor: Robert Elderfield
Dikenal untuk: Ligan fosfin kiral yang terbukti efektif dalam sintesis enantio selektif dari L-DOPA
Meninggal: 13 Juni 2012 (umur 95) Chesterfield, Missouri, Amerika Serikat
Bidang: Kimia
Lembaga: Thomas dan Hochwalt Laboratorium, Monsanto Company
Alma mater: Harvard University (BS), Columbia University (Ph.D.)
Penasihat Doktor: Robert Elderfield
Dikenal untuk: Ligan fosfin kiral yang terbukti efektif dalam sintesis enantio selektif dari L-DOPA
Kamis, 22 Januari 2015
Søren Aabye Kierkegaard - Bapak Filsafat Eksistensialisme
Søren Aabye Kierkegaard
Lahir: Kopenhagen,Denmark, 5 Mei 1813
Meninggal: Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855
Aliran/tradisi: Filsafat Eropa Zaman Keemasan Tradisi Sastra dan Seni, pendahulu dari Eksistensialisme, Pasca-modernisme, Pasca-strukturalisme, Psikologi eksistensial, Neo ortodoksi, dan masih banyak lagi
Minat utama: Agama, Metafisika, Epistemologi, Estetika, Etika,
Félix Dujardin - Peneliti protozoa, konsep Protoplasma dan invertebrata
Eucoleus aerophilus (Creplin, 1839) Dujardin, 1845 ( Nematoda ), contoh parasit yang dikerjakan Felix Dujardin
Félix Dujardin adalah seorang ahli biologi Perancis . Dia dikenang untuk penelitiannya tentang protozoa, konsepnya tentang Protoplasma dan invertebrata lainnya. Pada tahun 1850 dia adalah orang pertama yang menggambarkan badan jamur seranga yang merupakan kunci dalam sistem struktur
Rabu, 21 Januari 2015
Francis Herbert Bradley - Filsuf Idealis Asal Inggris
Francis Herbert (FH) Bradley
Lahir: 30 Januari 1846 Clapham, Surrey, Inggris
Meninggal: 18 September 1924 (umur 78) Oxford, Oxfordshire, Inggris
Era: Filsafat abad ke-19
Daerah: Filsafat Barat
Sekolah: Idealisme Inggris
Kepentingan utama: Metafisika, Etika, Filsafat sejarah, Logika
Francis Herbert Bradley adalah seorang filsuf idealis asal Inggris. Karyanya yang paling
Abbas Abu Firnas - Manusia Pertama yang Terbang Sebelum Wright Bersaudara
Abbas Abu Firnas atau yang memiliki lengkap Abbas Qasim bin Firnas adalah ilmuwan serba bisa yang menguasai beragam disiplin ilmu pengetahuan. Selain dikenal sebagai seorang penerbang perintis yang tangguh, dia juga adalah seorang ahli kimia. Dia dikenal ahli dalam berbagai disiplin ilmu, selain seorang ahli kimia, ia juga seorang humanis, penemu, musisi, ahli ilmu alam, penulis puisi, dan
Senin, 19 Januari 2015
Fakta Dibalik Bunga Mawar Hitam
Salah satu jenis bunga mawar yang cukup populer adalah bunga mawar hitam. Para peminat bunga yang satu ini ternyata sangat banyak, mereka umumnya menyukainya karena terbilang cukup unik dari jenis mawar lainnya. Disamping unik, ada beberapa orang tertentu yang memanfaatkan bunga mawar hitam untuk tujuan-tujuan tertentu.
Di antara berbagai jenis bunga mawar, boleh jadi saat ini keberadaan jenis bunga mawar hitam adalah yang paling langka dibandingkan jenis bunga mawar lainnya. Keberadaan bunga mawar hitam selama ini identik dengan ilmu hitam atau digunakan untuk bahan sesaji dalam ritual-ritual tertentu, dan ancaman kematian atau pembunuhan. Selain itu penggunaan bunga mawar hitam juga melambangkan perpisahan, akhir dari suatu hubungan, atau berakhirnya suatu kerjasama. Bunga mawar hitam hanya ditemukan di pedalaman hutan-hutan belantara yang bersuhu sejuk dengan curah hujan tinggi. Biasanya tanaman mawar hitam tumbuh sebagai parasit dengan menempel pada batang atau akar pohon berukuran besar. Namun, apa yang telah kita kenal selama ini sebagai bunga mawar hitam tidak lain adalah jenis dari bunga mawar merah yang mempunyai intensitas warna merah yang sangat banyak atau pekat. Kepekatan warna merah dari jenis bunga mawar merah tersebut disebabkan oleh kandungan pigmen antosianin dan senyawa flavonoid yang sangat tinggi. banyak penyebab yang menjadikan jenis bunga mawar merah tersebut memiliki kepekatan warna yang tinggi sehingga terlihat seperti sebuah bunga mawar hitam. Di antaranya, varian atau spesies jenis bunga, cuaca, sinar matahari, kandungan substrat tempat tumbuh, dan kelainan genetik.
Habitat bunga mawar hitam banyak ditemukan di pedalaman hutan yang sedkit mendapat sinar matahari, cuaca di lingkungan hutan yang sering hujan dan bersuhu dingin. Hal ini karena dengan sedikit intensitas dari cahaya matahari yang menyinari tanaman mawar merah akan membuat penumpukan terhadap kadar antosianin menjadi banyak sehingga tidak terurai atau teroksidasi. Begitu juga pengaruhnya dengan cuaca, seperti udara dingin. Udara dingin akan membuat reaksi metabolisme atau penguraian senyawa pigmen oleh enzim tanaman menjadi lambat sehingga warna yang dihasilkan tidak menjadi cepat rusak. Oleh karena itu, mengapa tanaman bunga mawar hitam hanya ditemukan di daerah tersebut. Namun demikian, para peneliti tanaman juga sangat antusias meneliti kemungkinan pengembangan varietas baru bunga mawar hitam dari penyilangan jenis-jenis mawar tertentu. Jadi, suatu hari nanti kita dapat melihat varietas baru murni jenis tanaman bunga mawar hitamyang dapat dibeli di toko-toko tanaman bunga.
Cara Menanam Anggur Dalam Pot di Halaman Rumah
Buah anggur adalah salah satu tumbuhan merambat. Buah ini biasanya dikonsumsi langsung atau bisa juga diolah menjadi jus atau untuk bahan campuran makanan lainnya. Buah ini juga bisa diolah menjadi kismis. Rasanya manis dan sedikit kecut. Bentuknya juga bulat dan ada juga yang lonjong dan warnanya bervariasi. Ada yang warna merah, ungu, dan hijau. Buah anggur mengandung vitamin yang dapat mencegah terkena kanker dan juga penyakit lainnya. Selain itu juga bermanfaat sebagai anti radikal bebas. Cara penanamannya sendiri macam-macam. Ada yang cara menanam anggur di pot atau dirambatkan langsung di halaman rumah.
Dengan ditanam di dalam pot, kita bisa
mendapatkan keindahannya juga. Karena tanaman ini termasuk tanaman
merambat, maka buah akan bergelantungan sehingga tampak unik. Jadi
selain untuk dibudidayakan, cara menanam anggur di pot juga bisa untuk
menghiasi halaman rumah anda. Namun cara menanam anggur dalam pot tidak
bisa sembarangan. Karena ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya
tanaman buah anggur dapat tumbuh dengan baik. Dari pemilihan pot, media
tanam, hingga perawatannya juga perlu dilakukan dengan benar. Karena
menanam anggur sendiri jika ingin hasilnya baik, caranya berbeda dengan
menanam tumbuhan yang lainnya.
Langkah pertama cara menanam anggur di
pot adalah memilih pot yang tepat. Dari berbagai jenis pot yang ada,
jenis pot yang cocok untuk tanaman anggur adalah yang terbuat dari bahan
dasar tanah. Karena pot dari tanah memiliki pori-pori di bagian
dasarnya yang bisa menyerap air. Sehingga pengaruhnya cukup baik untuk
menanam anggur. Pilih juga model pot yang bagus karena cara tumbuh
tanaman anggur ini yang unik, ditambah dengan pot yang bagus bisa
membuat tampilan menjadi lebih cantik. Pilih pot yang ukuran diameternya
lebih besar dari permukaan dasarnya atau bisa juga ukurannya sama
besar.
Cara menanam anggur dalam pot adalah
langkah pertama, masukkan terlebih dahulu batu bata yang sudah dipecah
menjadi kecil-kecil dimasukkan ke dasar pot. Batu bata bisa diganti
dengan genting. Lalu media tanam yang sudah dicampur dengan rata tadi
dimasukkan ke dalam pot. Lalu isi sampai penuh. Setelah itu buat lubang
untuk menanam anggur di tengahnya dengan ukuran lebih besar dari polybag
yang digunakan bibit anggur
Lalu cara tanam anggur dalam pot
berikutnya, masukkan bibit anggur yang sudah dilepas dari polybag ke
dalam lubang di dalam pot tersebut. Atur posisi tanaman supaya tegak.
Lalu tutup lagi permukaan media tanam. Selanjutnya siram dan ketinggian
tanah akan menurun sampai 5 cm dari pinggir pot karena pemadatan pada
media tanam. Terakhir, letakkan tanaman di tempat dengan pencahayaan
matahari penuh. Demikian informasi mengenai cara menanam anggur di pot. Semoga informasi ini bisa membantu anda mengetahui menanam anggur di pot dengan benar.
Minggu, 18 Januari 2015
Cara Menghilangkan Jerawat dan Bekas Jerawat secara Alami dengan Cepat
Masterz Seo - Cara ampuh mengobati jerawat serta menghilangkan bekas jerawat secara alami dengan cepat. Jerawat merupakan suatu keadaan di mana pori-pori pada kulit tersumbat oleh kotoran Akibatnya terjadilah iritasi atau peradangan di area tersebut. Biasanya penyakit jerawat ini akan muncul pada usia puber atau remaja dan akan sembuh dengan sendirinya ketika telah melewati masa puber kira kira pada usia 25 tahun keatas namun terkadang kondisi ini terus berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan. Memang jerawat bukan termasuk penyakit kronis yang berbahaya namun penyakit ini dapat mengurangi kepercayaan diri kita, minder dan membuat kita menjadi frustasi atau stres karena jerawat pada
umumnya muncul diarea wajah kita.
Pada umumnya penyebab jerawat di wajah adalah :
Cara menghilangkan Jerawat
1. Ambil beberapa lembar daun sirih (daun suruh)lima atau tujuh lembar (kata orang jawa kalau untuk pengobatan lebih baik ganjil)
2. Rebuslah daun sirih tersebut beberapa menit sampai mendidih dan airnya berwarna agak kehijau hijauan, kemudian air rebusan tersebut tuangkan kira kira setengah gelas untuk diminum dan sisanaya untuk cuci muka. Air rebusan yang anda tuangkan kedalam gelas tadi biarkan sampai dingin baru kemudian diminum setiap hari rutin. Kata orang orang air rebusan daun sirih sangat bagus untuk membersihkan darah kotor yangada didalam tubuh kita. Sedangkan air rebusan daun sirih untuk cuci muka tadi tuangkan kedalam wadah baskom atau apa saja namun usahakan air rebusan ini jangan sampai dingin ketika anda gunakan untuk cuci muka.
Jadi anda cuci muka dengan air rebusan daun sirih ini dalam keadaan masih hangat pokoknya jangan sampai dingin, karena kalau sampai dingin maka kasiat daun sirih ini kurang bereaksi. Karena pori pori kulit kita akan terbuka saat terkena terkena air hangat dari rebusan air sirih tersebut.
Atau anda bisa memakai saputangan atau handuk kecil kemudian masukan saputangan tersebut kedalam air rebusan daun sirih yang masih agak panas tadi kemudian peras dan seka disekitar area wajah anda yang terkena jerawan. Lakukan langkah langkah ini kira kira satu bulan secara rutin satu kali setiap hari sebelum tidur malam. Dari pengalaman pribadi cara ini sangat ampuh menghilangkan jerawat pada wajah saya.
Cara Menghilangkan Bekas Jerawat
Setelah jerawat anda sembuh pastinya akan meninggalkan bekas jerawat yang hitam hitam pada wajah anda dan cara menghilangkan bekas jerawat seperti ini memang tergolong susah dan lama jadi anda harus bersabar dan berikut tips menghilangkan bekas jerawat :
umumnya muncul diarea wajah kita.
Pada umumnya penyebab jerawat di wajah adalah :
- Kelenjar minyak pada kulit kita memproduksi minyak secara berlebihan,
- Penyumbatan saluran pembuangan kelenjar minyak pada permukaan kulit
- Bakteri yang menyebabkan terjadinya infeksi.
Cara menghilangkan Jerawat
1. Ambil beberapa lembar daun sirih (daun suruh)lima atau tujuh lembar (kata orang jawa kalau untuk pengobatan lebih baik ganjil)
2. Rebuslah daun sirih tersebut beberapa menit sampai mendidih dan airnya berwarna agak kehijau hijauan, kemudian air rebusan tersebut tuangkan kira kira setengah gelas untuk diminum dan sisanaya untuk cuci muka. Air rebusan yang anda tuangkan kedalam gelas tadi biarkan sampai dingin baru kemudian diminum setiap hari rutin. Kata orang orang air rebusan daun sirih sangat bagus untuk membersihkan darah kotor yangada didalam tubuh kita. Sedangkan air rebusan daun sirih untuk cuci muka tadi tuangkan kedalam wadah baskom atau apa saja namun usahakan air rebusan ini jangan sampai dingin ketika anda gunakan untuk cuci muka.
Jadi anda cuci muka dengan air rebusan daun sirih ini dalam keadaan masih hangat pokoknya jangan sampai dingin, karena kalau sampai dingin maka kasiat daun sirih ini kurang bereaksi. Karena pori pori kulit kita akan terbuka saat terkena terkena air hangat dari rebusan air sirih tersebut.
Atau anda bisa memakai saputangan atau handuk kecil kemudian masukan saputangan tersebut kedalam air rebusan daun sirih yang masih agak panas tadi kemudian peras dan seka disekitar area wajah anda yang terkena jerawan. Lakukan langkah langkah ini kira kira satu bulan secara rutin satu kali setiap hari sebelum tidur malam. Dari pengalaman pribadi cara ini sangat ampuh menghilangkan jerawat pada wajah saya.
Cara Menghilangkan Bekas Jerawat
Setelah jerawat anda sembuh pastinya akan meninggalkan bekas jerawat yang hitam hitam pada wajah anda dan cara menghilangkan bekas jerawat seperti ini memang tergolong susah dan lama jadi anda harus bersabar dan berikut tips menghilangkan bekas jerawat :
- Ambil satu buah timun yang masih muda kemudian cuci bersih.
- Parut sampai halus
- Timun yang sudah anda parut tadi peras airnya kemudian tempelkan keseluruh wajah anda yang terkena jerawat seperti masker.
- Lakukan rutin satu minggu dua kali setiap malam sebelum tidur sampai bekas-bekas jerawant anda mulai pudar dan menghilang.
Related Post :
Demikian tips dari saya mengenai cara mengobati jerawat dan bekas jerawat secara alami dengan cepat, terimakasih telah berkunjung dan semoga ulasan uni bermanfaat buat anda.
Demikian tips dari saya mengenai cara mengobati jerawat dan bekas jerawat secara alami dengan cepat, terimakasih telah berkunjung dan semoga ulasan uni bermanfaat buat anda.
Sabtu, 17 Januari 2015
Sejarah Perang Puputan Margarana
Sumber Foto : google.co.id
Beritabali.com, Tabanan. Latar belakang munculnya
puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada
tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan linggarjati
dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan Linggajati
adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya
Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat
tanggal 1 Januari 1949.Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan.
Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara.
Puncak Peristiwa
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa. (bb.com/wikipedia/berbagai sumber)
Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 24 Agustus
1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai
suatu persetujuan yang terkenal dengan nama Cvil Affairs Agreement.
Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan
Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah
Belanda.
Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggung jawab komando Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka.
Sementara di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur republik yang berada di kota Medan.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Pada 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi dan Aceh.
Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggung jawab komando Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka.
Sementara di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur republik yang berada di kota Medan.
Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area.
Pada 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi dan Aceh.
SEJARAH : PERTEMPURAN 5 HARI DI SEMARANG
Pertempuran dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober 1945.
Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
[sunting]
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan tokoh-tokohnya
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb : [1.] dr. Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara. [2.] Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang. [3.] Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro. [4.] Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh. [5.] drg. Soenarti istri dr. kariadi [6.] Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia. [7.] Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
[sunting]
Perjuangan Pemuda Semarang
Berita Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda menggunakan taktik gerilya.
[sunting]
Sumber Air Minum Diracuni
Setelah pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
[sunting]
Dr. Kariadi Terbunuh
Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Kejadian ini merupakan penyulut utama Perang Lima Hari di Semarang.
[sunting]
Kronologis
Sekitar pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut : [a.] 7 oktober : pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda berunding mengenai penyerahan senjata. [b.] 13 oktober : suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak. [c.] 14 oktober : Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul 18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan. Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000 tentara Jepang di Cepiring. [d.] 15 oktober: pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr. Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta. [e.] 16 oktober : pertempuran terus berlanjut [f.] 17 oktober : Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro [g.] 18 oktober : Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan pengeboman pada tanggal 19 oktober 1945 pukul 10.00. [h.] 19 oktober : Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat sehingga perang berakhir.
[sunting]
Peringatan
Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.
Peristiwa 10 November, Peristiwa Heroik Arek Suroboyo
Pertempuran
Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara
Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal
10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah
perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Kronologi penyebab peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah
tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah
penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh
Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan
kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris
mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok
Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para
tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke
negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda
sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk
tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan
pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah
munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah
Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl.
Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok
orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera
Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah
Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.
Tak
lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku
Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati
kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.
Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman
tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda
yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian
pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan
terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah
insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris .
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah
gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata
antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan
bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30
Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir
Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika
akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya
tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby
ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh
untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak
Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom
Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris
(Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen
Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh
pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak
ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak
mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
“…
Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di
sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan
tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis
pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan
senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan
berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka
patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun
menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka
melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari
untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar.
Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka
tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah,
setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah
itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak
benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati
mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).
Saya
pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena
informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira
Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat
jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan … “
Ultimatum 10 November 1945
Setelah
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan
dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan
senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal
10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi.
Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa
Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan
Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah
pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai
bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut
dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di
seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya
penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh
menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di
luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya
bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti
pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus
menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga
perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai
pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta
kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan
masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat
tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan
taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung
lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya
6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India
kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan
ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di
seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi
korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan
oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober 1945,
pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer
Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk
menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6
di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio,
pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba
di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan
pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area
dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar
kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan
tembak-menembak.
Kapten Shaw,
Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk
menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung,
hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam
mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah
rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan
tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan
ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung
sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat
mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945,
yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia,
sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh
untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
- Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
- Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya
Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai
menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru
datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa
perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak.
Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya
dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara
licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris
-untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela
mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara
licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran-
yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta.
Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8
Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan
pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak
Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya
dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah
keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg.
Dengan
pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar
balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak
Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang
bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada
kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan
tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio
pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai
permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan
persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui
permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari Kapten Shaw.
Kemudian
tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”,
perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku
bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I.
Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai
yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah,
dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan
besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10
November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang
saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno.
Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November
1945.
Dari
berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan
pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada
seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat
tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6,
Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer
Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama,
kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg
di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam
analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At
approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were
ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde.,
to proceed to the Government offices, where we were each to collect an
Indonesian representative. From there one of us was to go north, and the
other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back
to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with
the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan
Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak
Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan
keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan
dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan
terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973,
Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
Tentu
sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam
mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang
mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan
itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan
jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang
perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas
sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam
tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan
keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus
oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain
itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh
Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka,
artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut
pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali,
karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di
kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk
memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri
tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W.
Hutagalung.
Seandainya
keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk
memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw
untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka
meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi
pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi,
Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai
tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan.
Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu
bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian
justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi.
Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby
meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan
Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo,
seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo
ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil
kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar,
diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa
Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama
Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby.
Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan
granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di
sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain
Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil.
Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah
penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang
telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik
dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi
sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan
pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil,
sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi
paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia
menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah
kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan.
Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian
jantung.
Di
samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda
tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith-
ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak
ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru
pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang
menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol,
sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post
mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945,
menuliskan (Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray,
London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.
Pertempuran Bojong Kokosan
Pertempuran Besar Pasca Kemerdekaan yang Terlupakan Pencegatan konvoi Tentara Sekutu dari Jakarta menuju Bandung di Desa Bojong-kokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi pada 9 Desember 1945 belum pernah dicatatkan dalam sejarah nasional Indonesia. Padahal, peristiwa itu layak disejajarkan dengan peristiwa 10 November di Surabaya. Peristiwa Bojongkokosan pada tanggal 9 Desember 1945 adalah awal dari serangan – serangan yang disusun oleh TKR pimpinan Letnan Kolonel Eddie Sukardi. Peristiwa ini kemudian menjadi pemicu awal dalam peristiwa yang kita kenal dengan perang konvoi dan merupakan perang konvoi pertama (The Firs Convoy Battle) tanggal 9 sampai dengan 12 Desember 1945 penghadangan sepanjang 81 Km mulai dari Cigombong (Bogor) sampai Ciranjang (Cianjur) telah mengakibatkan banyak korban dari kedua belah pihak : pihak sekutu : 50 orang meninggal, 100 orang luka berat dan 30 orang menyerah. Koraban di pihak pejuang : 73 orang meninggal sedangkan perang konvoi kedua pada tanggal 10 sampai dengan 14 maret 1946 Sukabumi merupakan daerah perkebunan yang menguntungkan dan dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan yang baik bagi Belanda/NICA. Faktor inilah yang mengakibatkan sekutu datang ke Sukabumi kondisi demikianpun telah melahirkan sebuah “asumsi” yang mengatakan bahwa “apabila ingin menguasai Jakarta harus dapat menguasai Jawa Barat dan apa ia ingin menguasai Jawa Barat, kuasai dulu Sukabumi”. Hal ini pulalah yang juga turut membakar semangat para pejuang untuk mempertahankan Sukabumi sampai titik darah penghabisan. Salah satu upaya mempertahankan Sukabumi dari serangan musuh adalah mengatur strategi dan rencana yang matang Resimen III yang di tugasi operasi penghadangan konvoi pasukan sekutu mengadakan Herdiskolasi Batalayon – batalayonnya. Oleh karena itu, para pejuang Sukabumi berusaha mempertahankan Sukabumi dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh ke tangan Belanda. Komandan Resimen III, Letkol Edi Sukardi memberikan instruksi untuk berdislokasi pasukan, yaitu batalyon yang berkedudukan di kota Sukabumi dipindahkan ke luar kota atas dasar strategis dan teknis pertempuran. Pertempuran pertama antara tentara Sekutu dengan para pejuang Sukabumi terjadi di daerah Gekbrong. Pertempuran terjadi karena adanya serangan para pejuang Sukabumi terhadap konvoi Sekutu/NICA yang menuju Bandung. Akibat serangan itu, tentara Sekutu dan NICA kembali datang ke Sukabumi dengan konvoi besar sebanyak kurang lebih 100 truk(Badan Pengelola Monumen Pa-lagan Perjuangan 1945, 1986: 15). TKR dan laskar rakyat yang mengetahui akan kedatangan tentara Sekutu,berkumpul di daerah Gekbrong sekitar 10.000 orang. Pada pukul satu siang didaerah Pancuran Luhur (tidak jauh dari Gekbrong) terjadi pertempuran sengit antara pejuang Sukabumi melawan tentara Sekutu. Pertempuran berlangsung sampai pukul 17.00 sore. Akibat perbedaan senjata menyebabkan para pejuang Sukabumi tidak dapat menahan serangan Sekutu. Untuk meng-hindari korban yang lebih banyak, TRI dan laskar rakyat mundur dan membiarkan tentara Sekutu me-lanjutkan perjalanan ke arah Bogor(wawancara dengan Mohtar K, tanggal 12 Juni 1997). Pertempuran terus merembet ke daerah lain. Pada tanggal 2 Desember 1945 mulai terjadi pertempuran di daerah Bojong Kokosan. Pada tanggal 9 Desember 1945, para pejuang Sukabumi melakukan penghadangan terhadap konvoi tentara Sekutu sehingga terjadi pertempuran yang dasyat. Pertempuran ini dikenal sebagai Peristiwa Bojong Kokosan, yang menimbulkan korban yang banyak dikedua belah pihak. Peristiwa di atas terjadi, berawal dari adanya berita yang diterima para pejuang Sukabumi di Pos Cigombong, bahwa tentara Sekutu sedang menuju Sukabumi. Mendengar berita tersebut, Kompi III yang dipimpin Kapten Murad dan kepala seksi I dan seksi II serta laskar rakyat Sukabumi berusaha menduduki tempat pertahanan di pinggir (tebing) utara dan selatan Jalan Bojong Kokosan. Barisan TKR yang ikut terlibat dalam peristiwa Bojong Kokosan diperkuat 165 orang yang bersenjata senapan Ediston/ Hamburg, Bou-man/Double Loap, Pistol Parabelm, granat tangan, dan senjata tajam (golok, tombak, dan bamboo run-cing) serta senjata buatan sendiri berupa botol berisi bensin yang di-sumbat karet mentah yang disebut "krembing" (granat pembakar). Sedangkan laskar rakyat didukung oleh Barisan Banteng pimpinan Haji Toha, Hisbullah pimpinan Haji Akbar, dan Pesindo. Barisan laskar rakyat bersenjatakan Kara-ben Jepang, pistol, dan bom molotov(Badan Pengelola Monumen: 20). Sekitar pukul 15.00, konvoi tentara Sekutu datang. Konvoi di-dahului dengan tank, panser wagon, 100 truk berisi pasukan Gurkha dan pembekalan, serta dilindungi 3 pesawat terbang pemburu. Pada saat mendekati Bojong Kokosan konvoi berhenti karena terhalang barikade yang dibuat para pejuang Sukabumi. Adanya barikade ter-sebut membuat tentara Sekutu terlihat panik dan bersiaga. Pada saat itulah, Kapten Murad, komandan kompi III memberi isyarat dengan tembakan dua kali, sebagai tanda mulai penyerangan. Terjadilah pertempuran sengit. Para pejuang segera melemparkan granat tangan, granat krembing, dan tembakan. Serangan ini mengakibatkan korban jatuh di pihak tentara Sekutu(wawancara dengan M. Sholeh Shafei, tanggal 12 Juni 1997). Dalam situasi kacau, koman-dan tentara Sekutu berhasil meng-konsolidasi pasukannya dan mengetahui lakasi pertahanan para pejuang Sukabumi. Tentara Sekutu segera menembaki kubu-kubu pertahanan para pejuang dengan senjata berat dari tank dan panser. Tanah tebing yang dijadikan kubu pertahanan jebol dan longsor sehingga beberapa pejuang yang berada di kubu pertahanan terjatuh ke jalan raya yang berada di bawahnya. Para pejuang yang jatuh tersebut menjadi sasaran empuk senjata tentara Sekutu. Dalam situasi yang tegang, tiba-tiba sebuah panser kecil berhenti di depan salah satu kubub pertahanan. Panser tersebut berpenumpang dua orang. Salah seorang memakai baret hitam dan seorang lagi memakai ubel-ubel yang diperkirakan sebagai pim-pinan pasukan. Salah seorang penumpang keluar dari kendaraan dan melihat sekelilingnya. Dia mengira situasi telah aman dan dengan santai mengisap rokok cangklong sambil tertawa-tawa. Tentara TRI yang berada di tebing mendapat perintah dari komandan seksi II agar menembak tentara Sekutu yang memakai baret hitam. Tembakan mengenai sasaran dengan tepat. Melihat temannya tertembak, tentara Sekutu yang berada di dalam mobil berusaha menolong. Pada saat mereka turun dari mobil diberondong oleh tembakan tentara TKR dan laskar rakyat. Adanya kejadian tersebut, tentara Sekutu meningkatkan ke-waspadaan. Mereka melakukan gerakan melambung dari samping dan belakang untuk mengurung dan menyergap tentara TKR. Dengan demikian, kedudukan TKR menjadi terjepit dan panik karena kehabisan peluru. Pada saat yang kritis, tiba-tiba turun hujan lebat disertai kabut. Suasana menjadi gelap sehingga para pejuang berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Sekutu. TKR seksi II yang dipimpin Letnan Muda D. Kusnadi mundur ke arah Parungkuda. TKR seksi I yang dipimpin Letda Mustar mundur ke arah perkampungan Bojong Kokosan atau sebelah utara (sekitar 300 meter) dari medan pertempuran(Badan Pengelola Monumen: 22). TKR yang bergerak mundur secara diam-diam diikuti oleh ten-tara Sekutu. Tentara Sekutu naik ke atas bukit dan menembakkan mortir ke bekas pertahanan TKR. Tembakan tersebut salah sasaran, bukannya mengenai para pejuang melainkan mengenai tentara Sekutu sendiri. Korban pun jatuh di pihak tentara Sekutu. Pada saat hujan reda dan cuaca kembali cerah, terdengar bunyi peluit dari tentara Sekutut sebagai tanda pertempuran telah selesai. Pada saat itu, sisa tentara Sekutu yang ada segera naik ke kendaraan sambil membawa rekan-rekannya yang telah menjadi korban. Tentara Sekutu meninggalkan Bojong-kokosan menuju Sukabumi dan sepanjang perjalanan mereka me-nembakkan senjata secara membabi buta(wawancara dengan M. Mohtar, tanggal 12 Juni 1997). Setelah pertempuran di Bojong Kokosan berakhir, maka satu regu TKR memeriksa bekas pertempuran. Setelah diperiksa ternyata TKR telah kehilangan 73 orang, yaitu 28 orang gugur (pasukan yang menempati tebing bagian bawah pinggir jalan seperti Suban dan Aceng), dan 45 orang gugur di sepanjang jalan Bojong Kokosan. Tentara Sekutu yang gugur diperkirakan sebanyak 50 orang. (Sumber: Museum Bojong Kokosan). Adanya tembakan tentara Sekutu yang dilakukan dalam gerakan menuju Sukabumi dibalas oleh para pejuang Indonesia. Pertempuran terus berkobar sepanjang jalur Bojong Kokosan sampai perbatasan Cianjur, seperti di Ungkrak, Selakopi, Cikukulu, Situawi, Ciseureuh sampai Degung; dan Ngaweng, Cimahpar di Pasekon Sukaraja sampai Gekbrong. Serangan terhadap tentara Sekutu mendapat bantuan rakyat yang ada di sekitar daerah tersebut(Rusman Wijaya,1996: 67). Pada saat tentara Sekutu tiba di Sukabumi, Komandan tentara Sekutu segera mengajak berunding para pemimpin TKR dan pe-merintah setempat, yaitu Letkol Edi Sukardi (Komandan Resimen III), Bupati dan Walikota Sukabumi, dan Dr Abu Hanifah. Tentara Sekutu minta dilakukan gencatan senjata. TKR dan pemerintah setempat menyetujui usul tersebut dan menginstruksikan penghentian tembak menembak. Pada kenyataannya, tentara Sekutu sendiri yang bertindak curang dengan tidak mentaati ke-sepakatan gencatan senjata. Pada tanggal 10 Desember 1945, tentara Sekutu membombandir Cibadak dari udara melalui pengeboman beberapa pesawat tempur. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk balas dendam atas banyaknya korban di pihak tentara sekutu pada pertempuran sebelumnya. Menurut catatan sejarah, pengeboman udara tersebut sebagai serangan udara terbesar setelah jaman perang dunia kedua. Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Bandung Lautan Api
Pertempuran
Bandung Lautan Api atau Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa
pembumihangusan Kota Bandung pada Maret 1946. Pembumihangusan yang
dilakukan pejuang Republik Indonesia tersebut dilakukan untuk mencegah
tentara sekutu dan Belanda memanfaatkan fasilitas-fasilitas di kota yang
ditinggalkan.
Peristiwa
pertempuran Bandung Lautan Api terjadi pada bulan Oktober 1945. Saat
itu tentara sekutu mulai memasuki Kota Bandung. Hal tersebut tentu saja
mengusik ketenangan dan rasa nasionalisme para pemuda Bandung. Bersamaan
dengan datangnya para tentara sekutu, para pemuda dan pejuang di
Bandung juga sedang berjuang merebut senjata dari tangan tentara Jepang.
Tentara sekutu yang sesuka hati memasuki wilayah Bandung kemudian
menuntut agar senjata-senjata yang telah direbut para pemuda diserahkan
kepada mereka. Permintaan tentara sekutu, tentu menjadi hal yang
mustahil karena semangat pejuang Bandung yang sangat tinggi untuk
mempertahankan wilayahnya.
Tentara
sekutu memberikan ultimatum pertama pada 21 November 1945. Dengan alasan
untuk menjaga keamanan, mereka menuntut agar Kota Bandung bagian utara
dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November
1945. Ancaman-ancaman seperti itu semakin membuat pejuang Indonesia yang
ada di daerah Bandung merasa kesal. Pihak sekutu membatasi wilayah di
tanah yang jelas-jelas bukan milik mereka dan memerintahkan warga
Bandung mengosongkan wilayah Bandung.
Batas
kota bagian utara dan selatan yang harus dikosongkan adalah rel kereta
api yang melintasi Kota Bandung. Para pejuang Republik Indonesia tidak
mau mengindahkan ultimatum Sekutu tersebut. Sejak saat itu, sering
terjadi insiden antara pasukan sekutu dan pejuang Republik. Insiden
tersebut seperti sebuah rangkaian peristiwa pertempuran Bandung Lautan
Api yang jauh lebih dahsyat. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 25
November 1945, rakyat Bandung ditimpa musibah, yakni banjir besar akibat
meluapnya Sungai Cikapundung. Bencana alam tersebut menelan ratusan
korban yang dihanyutkan derasnya arus sungai. Ribuan penduduk Bandung
juga kehilangan tempat tinggal.
Keadaan
tersebut justru dimanfaatkan tentara sekutu dan Belanda atau NICA
(Netherland Indies Civil Administration). Mereka menyerang rakyat yang
sedang tertimpa musibah. Pada 5 Desember 1945, pesawat-pesawat tempur
Inggris mengebom daerah Lengkong Besar. Pada 21 November 1945 tentara
Sekutu kembali menjatuhkan bom di kota Bandung, tepatnya di daerah
Cicadas. Dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh para tentara sekutu,
persenjataan lengkap, semuanya serba terbaru, mereka menyerang warga
Bandung yang saat itu tengah dilanda musibah banjir.
Tentara
sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946. Kali ini, mereka
menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota
Bandung. Pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar TRI
mengosongkan Kota Bandung. Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifuddin
tiba di Bandung dengan perintah kepada TRI untuk mengundurkan diri dari
Kota Bandung. Sementara itu, dari Markas TRI di Jogjakarta datang
perintah yang berbeda. Tentara Republik Indonesia dinstruksikan untuk
tidak meninggalkan Kota Bandung. Walau dengan berat hati, TRI di Bandung
akhirnya mematuhi perintah dari Jakarta. Akan tetapi, sebelum
meninggalkan Kota Bandung, para pejuang Republik melancarkan serangan ke
arah kedudukan-kedudukan tentara Sekutu. Hal tersebut bukan lantas
menghentikan perjuangan warga Bandung untuk mempertahankan wilayahnya.
Membela dengan cara lain pun dilakukan, pertempuran Bandung Lautan Api
menjadi salah satu cara peristiwa dari cara yang dipilih.
Selain
menyerang kedudukan tentara sekutu, para pejuang juga membumihanguskan
Kota Bandung bagian selatan. Pembumihangusan Kota Bandung diputuskan
melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada 24
Maret 1946. Keputusan musyawarah tersebut diumumkan oleh Kolonel Abdoel
Haris Nasoetion selaku Panglima Divisi III/ Priangan dan meminta rakyat
untuk meninggalkan kota. Peristiwa Bandung Lautan Api dilakukan dengan
banyak pertimbangan, mengingat akibat yang akan dirasakan oleh warganya.
Bersama rakyat, TRI sengaja membakar kota mereka. Udara Kota Bandung
yang biasanya sejuk dipenuhi asap hitam yang membubung tinggi dan
listrik di Kota Bandung juga mati.
Pasukan
sekutu pun mulai menyerang yang mengakibatkan pertempuran sengit karena
para pejuang memberikan perlawanan hebat. Di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, pertempuran paling dahsyat terjadi karena terdapat
gudang mesiu yang dikuasai sekutu. Para pejuang bermaksud menghancurkan
gudang mesiu tersebut. Dua orang pemuda, Muhammad Toha dan Muhammad
Ramdan diperintahkan untuk meledakkan gudang mesiu di Dayeuhkolot dan
berhasil meledakkannya dengan menggunakan granat tangan. Dalam peristiwa
tersebut Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan gugur karena ikut terbakar
bersama gudang mesiu yang mereka ledakkan.
Semula,
staf pemerintahan Kota Bandung memutuskan akan tetap tinggal di dalam
kota. Namun, demi keselamatan mereka ikut keluar kota bersama masyarakat
lainnya Sekitar tengah malam, Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan Tentara Republik Indonesia, akan tetapi api masih membakar
kota, Bandung telah berubah menjadi lautan api.
Langganan:
Postingan (Atom)