Siffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah.
Suatu
hari, putri Rasulullah SAW, Fatimah ra, mengadu kepada suaminya, Ali
bin Abi Thalib ra. Fatimah mengadu tangannya luka-luka akibat terlalu
sering membikin adonan roti dari gandum. Ali berkata, "Ayahmu telah
datang dengan membawa beberapa tawanan, pergilah temui ayahmu dan
mintalah seorang dari mereka untuk menjadi pembantumu."
Fatimah
pun menemui ayahnya. Namun, ia tak berani menyampaikan maksudnya.
Lalu, Ali datang menemui Rasul dan menyampaikan maksudnya. Tetapi,
Rasulullah SAW tak mengabulkan permintaan orang yang paling
dicintainya itu meski beliau tahu bahwa keluarga putrinya itu memang
serbakekurangan.
Nabi SAW kemudian menemui putri dan
suaminya. Rasulullah bersabda, "Maukah aku ajarkan kepada kamu berdua
sesuatu yang baik dari apa yang kalian minta? Jika hendak tidur,
bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali.
Sesungguhnya hal itu lebih baik dari seorang pelayan."
Ali
bin Abi Thalib ra selalu melaksanakan nasihat Rasulullah SAW itu. Ia
pernah mengatakan, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak
beliau mengajarkannya kepadaku." Salah seorang sahabat yang bertanya,
"Hatta pada malam peristiwa Siffin?" Ali menjawab, "Ya, benar, Hatta
pada malam peristiwa Siffin." (HR Bukhari Muslim).
Kisah dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim itu menyebut nama "peristiwa Siffin". Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi mengungkapkan, Siffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah-sekitar 15 kilometer di tepian Sungai Eufrat.
"Dari
arah barat dan timur, Siffin berada di antara Raqqah dan Palas. Saat
ini, Siffin berada di tenggara desa Ekrsye (hanya berjarak 500 meter),"
papar Syauqi. Di wilayah itu, pernah terjadi sebuah peristiwa
bersejarah dalam peradaban Islam. Peristiwa itu dikenal sebagai "Perang
Siffin".
Perang Siffin terjadi antara pasukan Ali bin
Abi Thalib ra dengan Muawiyah bin Abi Sufyan-pendiri Dinasti Umayyah.
Perang saudara itu terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/ 26-28 Juli 657 M.
Perang saudara pertama dalam sejarah peradaban Islam itu terjadi pada
zaman fitnah besar.
Menurut sebuah versi, perang saudara
itu terjadi akibat ulah dan provokasi dari pengikut Abdullah bin Saba.
Adalah dendam lama pengikut Abdullah bin Saba' terhadap Muawiyah yang
memantik pertempuran itu. Abdullah bin Saba menurut sebuah versi adalah
seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin
Affan dan kemudian melakukan makar.
Kelompok Abdullah bin
Saba berupaya menebar fitnah untuk menjatuhkan citra pejabat negara.
Upaya itu dilakukan agar rakyat membenci pejabat yang ditunjuk Khalifah
Utsman. Amru bin Ash, gubernur Mesir, menjadi sasaran pertama. Fitnah
yang ditebarkan Abdullah bin Saba dan pengikutnya berhasil menjatuhkan
sang gubernur.
Setelah berhasil mendongkel gubernur
Mesir, kelompok itu lalu mengajak pendukungnya di Syam, Kufah, dan
Bashrah untuk menggulingkan gubernur mereka. Gubernur Kufah, Said bin
Ash, berhasil digulingkan. Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari
kursi Gubernur Syam-yang telah berkuasa sejak era Khalifah Umar.
Kelompok
pengikut Abdullah bin Saba atau Sabaiyah membunuh Khalifah Utsman.
Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah
Ustman terbunuh oleh kelompok Saba'iyah, Muawiyah tetap menjabat sebagai
Gubernur Syam.
Posisi Muawiyah sebagai gubernur memang
terbilang cukup kuat alias tak bisa didongkel oleh gerakan kelompok
Sabaiyah. Dalam Tarikh At-Thabari ditulis, Khalifah Utsman telah
mengingatkan Muawiyah akan adanya upaya makar itu. Utsman berkata,
"Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah untuk membuat fitnah,
hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik, terimalah. Akan
tetapi, jika mereka melemahkanmu, kembalikan ke Kufah."
Kelompok
itu sempat datang menemui Muawiyah, kelompok Sabaiyah meminta agar
Muawiyah melepas jabatannya. Namun, ia menolaknya. Kelompok itu lalu
dikeluarkan dari Syam. Setelah wafatnya Utsman, kelompok ini yang
pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib.
Dr Hamid Muhammad Khalifah dalam Al-Inshaf (hal 418) menyebutkan,
penyebab meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para
"provokator" dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ingin
memerangi Muawiyah.
Sebenarnya, tak ada perselisihan
antara Ali dan Muawiyah. Yang ada perselisihan antara pengikut Abdullah
bin Saba' dan Muawiyah. Terlebih, Muawiyah mendesak dilakukannya
hukuman hadd kepada kelompok itu atas terbunuhnya Utsman.
Perselisihan terjadi setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dari jabatan Gubernur Syam. Posisinya diganti oleh Sahl bin Hunaif.
Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan berangkat ke
Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui
rombongan itu dan meminta mereka kembali.
Ali lalu
mengirim surat kepada Muawaiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga
tiga bulan setelah wafatnya Utsman. Lalu, Muawiyah mengutus Qubishah Al
Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak
melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku pembunuhan Utsman diadili.
Kaum
Sabayah lalu mencoba memprovokasi dan bahkan memerintahkan agar utusan
Muawiyah dibunuh. Dalam Tarikh At-Thabari disebutkan, Bani Mudhar
mencegah mereka yang hendak membunuh Qubishah.
Utusan
Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak
memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum.
Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di
balik peristiwa tragis itu.
Lalu, mereka mendesak Amirul
Mukminin untuk memerangi Muawiyah. "Maka, para tokoh yang secara
langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi
Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya
sebagai Gubernur Syam," demikian tertulis dalam Al Bidayah wa An Nihayah.
Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah
menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan
kepada penduduk Syam bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak
untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah.
Mendengar
kabar itu, Muawiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah,
"Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian. Apa
pendapat kalian?" Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada
yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan." Akhirnya,
Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan
menjadi tiga bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju
Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya
naik mimbar dan mengatakan kepada jamaah, "Muawiyah telah mengumpulkan
pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?" Semua hadirin
terheran dan berbicara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari
mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)"
Setelah
pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Siffin, kedua pihak mengambil
posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan
dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah,
disebutkan Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi
Muawiyah dan bertanya, "Apakah engkau melawan Ali?" Muawiyah menjawab,
"Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali)
lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini
(kekhalifahan) daripada aku."
"Akan tetapi, bukanlah
kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi,
sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan
kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan
persoalan ini kepadanya."
Ibnu Katsir menyebutkan, perang
Siffin melibatkan 120 ribu orang pasukan Kufah dan yang terbunuh
mencapai 40 ribu. Sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang
terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Dalam pertempuran itu, pasukan
Muawiyah nyaris kalah.
Dalam posisi terdesak, penasihat
Muawiyah Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Alquran
di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Alquran.
Atas desakan kelompok Khawarij, Khalifah Ali akhirnya menghentikan
serangan dan kedua belah pihak memilih berdamai. berbagai sumber
Muawiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah
Umayyad Mosque di Damaskus, Syria
Sistem
pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium.
Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar
tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Namanya
dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam
pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya
dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan
bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan
bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan
bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu
menikah kembali dengan Abu Sufyan.
Muawiyyah tidak
terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru
masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya
sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah,
Abu Sufyan, yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang
Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan
tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup,
Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang penyatat wahyu.
Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab
sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa
kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat
yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.
Terkisah,
kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar
yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar
pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri
cara hidup Muawiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras.
Namun,
teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut
dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh
Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa
Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan
begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan,
bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti
itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak
pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya
mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar,
itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu
merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak
pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.
Muawiyyah tercatat
sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam,
misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan
mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan
bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia,
Azerbaijan, dan Asia Kecil. Pada tahun 653, Muawiiyah membangun
benteng-benteng di perbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan
tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil
membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh.
Hubungannya
dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak
mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela
atas kematian sang Khalifah. Muawiyyah termasuk pemimpin daerah yang
paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum
orang yang membunuh Khalifah Usman.
Pembunuhan Usman itu sendiri
boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yang
tidak suka pada kebijakan sang Khalifah. Ada yang tidak suka karena
kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi
tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Usman memecat sejumlah pejabat
yang dinilai sebagai administrator yang piawai. Pembunuhan itu sendiri
berlangsung pada 655, setelah sebelas tahun Usman memegang tampuk
kepemimpinan umat Islam.
Pembunuhan Usman itu menandai
semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin
Abu Thalib dan kubu Muawiyyah. Seperti diketahui, sebagian besar umat
kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Usman. Tapi,
kenyataan ini ditampik oleh Muawiyyah. Ia secara terang-terangan
menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah
Usman dihukum.
Ali sendiri saat menerima tampuk
kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali
ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Usman. Ia
bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh
Usman. Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui
kepemimpinannya, termasuk Muawiyyah.
Sikap Khalifah Ali
itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yang mendukung dan ada yang
menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh
yang nyata-nyata musuh umat. Maka, selain Muawiyyah, tampil tiga
pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah,
Zubair, dan Thalhah.
Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan
ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan
Muawiyyah. Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam.
Sementara Muawiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung
Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya.
Muawiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.
Pertempuan
kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu
Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah.
Dalam pertempuran itu, sebenarnya Muawiyyah sudah terdesak. Dengan
siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Muawiyyah
mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.
Siasat
itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut
dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Muawiyyah.
Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih
memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili
oleh Abu Musa al-Anshari, sedangkan Muawiyyah diwakili Amru bin Ash.
Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Muawiyyah. Tapi,
ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.
Perpecahan umat
itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus,
komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah
melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan
keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena
itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan
semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan
hukum Allah.
Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij
merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan
Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina
Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661. Sedangkan
Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat
itu, Muawiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus.
Lolos
dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Muawiyyah
untuk lebih mengokohkan kekuasaan. Pada masa itulah berakhirnya model
pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah lalu dilanjutkan
oleh Khulafa Urrasyidun. Muawiyyah menyanangkan berdirinya Dinasti Bani
Umayyah dan dialah raja pertamanya. Sistem pemerintahannya mirip-mirip
pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam
usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan
diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Sejalan dengan itu, di
kubu Muawiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan
kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk
kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah. Kaum yang
berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki
sebagai kaum Jabariyah. Ibnu Abdul Bar
Tahkim Pascaperang Siffin
Perang
saudara antara kubu Muawiyah dan Ali akhirnya mereda. Kedua belah
pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui Tahkim, yakni
penunjukan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil
dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut.
Kedua
pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah
sepakat memilih Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi penengah. Ibnu
Hibban dalam At Tsiqat mengungkapkan, tahkim itu berisi keputusan bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Irak dan penduduknya.
Sedangkan
Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya.
Sesuai kesepakatan tidak ada penggunaan senjata dan hal ini berlaku
dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa
menolaknya, atau bisa memperpanjang.
Tahkim itu sama
sekali tak mengharuskan Muawaiyah membaiat Ali. Dan Khalifah Ali pun
tidak memiliki keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Hasil tahkim
itu membuat sebagian kubu Ali protes dan bahkan murka. Mereka
menyatakan diri keluar dari Ali dan membentuk kelompok Khawarij.
Gerakan
Khawarij pun berencana untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin
Ash. Dari ketiga orang yang diincar Khawarij itu, hanya Ali bin Abi
Thalib yang berhasil dibunuh. Khalifah Ali wafat pada malam ke-17
bulan Ramadhan tahun 40 H. berbagai sumber
khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Ali
kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah
memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati
kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah.
Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap
kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah
bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada
Allah Rabb semesta sekalian alam.
Kematian ayahnya tanpa
membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia
kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua
kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi
menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak
cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan
tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia
lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.
Betul-betul
pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan
Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat
berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi
Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia
tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".
Sejak masih
berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia
Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada
kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru
berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada
disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam
kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri
Rasulullah terancam.
Kecintaan Ali pada Rasulullah,
dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia
menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu :
"Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."
Ali,
adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi
ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah.
Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari
kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah
berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh
Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku
selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu
membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai
dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali
mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah
Rasulullah wafat.
Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi
pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para
tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak
bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi
rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah
lama binasa"
Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah
Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan
dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik
utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali
bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia
masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu
'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan
Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling
berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para
sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul
Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu
ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh.
Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali
mengamuk laksana badai gurun.
Perang Badar adalah perang
spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama
Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan
iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya
menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah
menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip
ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya
Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak
menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."
Dalam
berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan
muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih
dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun
dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah,
kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak
hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok
yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali
menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji
Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang
terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga
gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan
takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat,
terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.
Perang
Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah
banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk
pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi,
sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah
Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga
terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang
Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya,
mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan
Islam.
Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan
imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang
Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga
Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.
Juga
di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama
yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia
satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang
musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam
gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu
lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman
sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.
Dan
teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan
kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam
tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah.
kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan :
“Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari
kiamat kelak”.
Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh
Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di
Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui,
ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam
saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah,
meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu.
Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Perubahan
drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka
menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya.
Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang
pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok
yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata
Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu
gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu
tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke
gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam
sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan
sahabat.
Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya,
sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan
Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu
hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa
Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa
merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran
kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan
dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.
Bagi
Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling
dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka,
begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika.
Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya.
Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya
hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena
Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah
yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua.
Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.
Maka,
saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan
jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari
paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali
adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.
Suka
duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari
setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat
pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar
bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada
mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.
Mereka
berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai
mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis
karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari
berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan
mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap
timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein
bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.
Pun,
demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka
masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat
mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya,
seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan
pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa
itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu
persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya
bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut
seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.
Dan
lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga,
melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah.
Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan
punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang
terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling
berhak...Fatimah.
Namun, waktu terus berjalan. Cinta di
dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati.
Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian.
Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak
pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa
menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya.
Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri
umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap
kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.
Pada
masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat
pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian
Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan
sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah
tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah
rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau
saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya,
Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku),
engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."
Kini,
Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan
ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam
erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di
surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya...
dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta
itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak
ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut
dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur
di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah
setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian,
dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak
sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A
R".
Pertempuran Antar Sahabat
Amirul
Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat.
Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas
pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat
dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah
sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam
kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah
Ustman ke pengadilan.
Yang harus dihadapi Ali tak
tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang
bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang
hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi
khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul
pahit.
Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh
siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau,
"orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras
mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di
mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi
haknya".
Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di
pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam,
yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar
membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa
Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari
permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun
makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs),
kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi
awal mulanya masa kemunduran Islam.
Ketidaksempurnaan
informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa
kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal
(Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin
perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula
sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali
menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah.
Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda
Aisyah ke Mekkah.
Berikutnya adalah Perang Shiffin.
Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan
penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur.
Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam
Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam
kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang
membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian
dibukalah pintu dialog.
Perundingan inilah yang kemudian
membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat
ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali
di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di
sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan
negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan
kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini
dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya.
Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase
itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan
menggantikannya dengan Muawiyah.
Dan ini menimbulkan
ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah
para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian
Khalifah Ali.
Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka
membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang
dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut.
Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin
Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi
untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh
ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.
Menjelang wafatnya
Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah
termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali
meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun
warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak
psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi
acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.
Karena
itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak
menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang
tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian
tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama
yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah
kalian?”
Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata,
“Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan
jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang
yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang.
Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka,
dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak
lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama
kalian, aku merasa sebatang kara.”
"Jika bersama kalian,
aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih.
Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita
pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam
hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu.
Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan
yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah
mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari
kelakuan keji itu...
Usaha Khalifah Ali ra untuk
menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang
keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali
berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah
berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan
setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul
kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang
Pencipta, Allah SWT.
Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun
40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang
beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur
deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik
Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran
darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia
menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga
dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota
Kuffah.
Di detik-detik kematiannya, bibir beliau
berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman
ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala
dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan
kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa
saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan
mendapatkan balasannya.”
Beliau sempat pula mewasiatkan
nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya :
menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak
yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat
yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad,
zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta
menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Islam telah
ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik
hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin
akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang
ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.
Saat
ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para
pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan
Allah”.
Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit
berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan
dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu
biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari,
dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi
sahabatmu pada suatu hari".
Beliau juga sangat
menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar
dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang
untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau,
"Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan
hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan
perenungnya sangat sedikit".
Khalifah Ali ra adalah
sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati.
Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu,
dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian
matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini,
dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang
bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi.
Wallahu`alam