A. Sejarah Singkat Tentang Pewarisan
- I. Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar
mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak,
tergantung kepada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau
suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka
berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada
adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut
ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak
perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta
peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa
janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan
boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
- Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan
dan yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan
mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain.
Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan
kerabat terdiri dari:
a) Anak laki-laki
b) Sudara laki-laki
c) Paman
d) Anak paman
[1].
- Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati
berhak mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia
tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah
pihak telah mengadakan
ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu
mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena
tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku
terhadapmu”.
- Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai
orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan
hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak
mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam
segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan
dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan
atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan
harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk
mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk
saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya
tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan
janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka
melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah
keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka
miliki.
- II. Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah,
lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy
yang sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota
Mekkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam
memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
a) Adanya pertalian kerabat (القربة)
b) Adanya pengangkatan anak (التبني)
c) Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
- III. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara
mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka
kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin
maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah
stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian
yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan
oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ
وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء :٧
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S
al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ
قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى
السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ
لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka
sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab
[33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam
yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki
yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan
dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan
pengangkatan anak (adopsi)
[3].
B. Pengertian
Lafadz
faraidh (الفَرَئِض), sebagai jamak dari lafadz
faridhah (فريضة), oleh ulama
Faradhiyunmafrudhah (مفروضة), yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya.
Adapun lafadz al-Mawarits (المواريث) merupakan jamak dari lafadz
mirats (ميراث). Maksudnya adalah diartikan semakna dengan lafadz
التِّرْكَةُ الَّتِي خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ
“Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (
ahli waris)”.
Sedangakan pendapat-pendapat ulama mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih Mawaris:
- Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh sebagai berikut:
الفِقْهُ المُتَعَلِّقُ بِالإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ
المُوَصِّلُ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَالِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الْوَجِبِ مِنَ
التَّرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ
“Ilmu
fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan
tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan
bagi setiap pemilik hak waris (
ahli waris)”.
- Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ
“Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan
siapa yang tidak mendapatkannya, kadar-kadar yang diterima oelh
tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
العِلْمُ الْمُوَصِّلُ إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرٍ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ مِنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (
ahli waris)”.
- Rifa’I Arief mendefinisikan sebagai berikut:
قَوَاعِدُ وأُصُوْلٌ تُعْرَفُ بِهَا الْوَرِثَهُ وَالنَّصِيْبُ
الْمُقَدَّرُ لَهُمْ وَطَرِيْقَهُ تَقْسِبْمِ التَّرْكَةِ
لِمُسْتَحِقِّهَا
“Kaidah-kaidah dan pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (
ahli waris) dan cara membagikan harta peninggalan kepada orang (
ahli waris) yang berhak menerimanya”.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh
atau fiqih Mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan
harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih
hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris,
maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.
C. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris
yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan
syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat
warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan
dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat
seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang
untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh
sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan
kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan
Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا
الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ
وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى
الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku
adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan
dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan
mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan
perkara mereka”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada
umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak
terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan,
disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung
perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur
apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada
seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung
dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain, kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk
menjalankan syariat Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah)
pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh
Rangkuman Ilmu Faraidh:
- Pengertian Ilmu Faraid
- Sebab sebab menerima warisan
- Orang yang tidak boleh menerima warisan
- Yang harus dikeluarkan sebelum warisan dibagikan
- Ahli waris laki-laki dan perempuan
- Ashobah dan ashabul furudh
- Aul dan radd
- Akdariyah
- Ghorowaian
- Ahli Waris.
Ahli ada dua jenis lelaki dan perempuan .
- Ahli Waris lelaki terdiri dari.
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
- Ayah
- Kakek sampai keatas garis ayah
- Saudara laki-laki kandung
- Saudara laki-laki seayah
- Saudara laki-laki seibu
- Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
- Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
- Paman kandung
- Paman seayah
- Anak paman kandung sampai kebawah.
- Anak paman seayah sampai kebawah.
- Suami
- Laki-laki yang memerdekakan
- Ahli Waris wanita terdiri dari
- Anak perempuan
- Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
- Ibu
- Nenek sampai keatas dari garis ibu
- Nenek sampai keatas dari garis ayah
- Saudara perempuan kandung
- Saudara perempuan seayah
- Yang Saudara perempuan seibu.
- Isteri
- Wanita yang memerdekakan
- Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
- Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
- Ditinjau dari dapat bagian ½ harta.
1) Anak perempuan kalau sendiri
2) Cucu perempuan kalau sendiri
3) Saudara perempuan kandung kalau sendiri
4) Saudara perempuan seayah kalau sendiri
5) Suami
- Yang mendapat bagian ¼ harta
1) Suami dengan anak atau cucu
2) Isteri atau beberapa kalau tidak ada anak atau cucu
c. Yang mendapat 1/8
Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
- Yang mendapat 2/3
1) Dua atau lebih anak perempuan
2) Dua atau lebih cucu perempuan dari garis anak laki-laki
3) Dua atau labih saudara perempuan kandung
4) Dua atau lebih saudara perempuan seayah
- Yang mendapat 1/3
1) Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
2) Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
- Yang mendapat 1/6
1) Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan seibu.
2) Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
3) Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
4) Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
5) Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
6) Ayah bersama anak lk atau cucu lk
7) Kakek jika tidak ada ayah
8) Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
- Ashobah yaitu orang yang tidak mendapat bagian tertentu
- Tertib ashobah binafsihi
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
3) Ayah
4) Kakek dari garis ayah keatas
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
9) Paman kandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
12) Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
13) Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
- Ashobah dengan dengan saudaranya
1) Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
2) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3) Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah.
4) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
- Menghabiskan bagian tertentu
1) Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
2) Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
- Orang tidak boleh menerima warisan.
- Orang yang yang membunuh mayat
- karena berbeda agama
- karena perbudakan
- Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris
- Biaya jenazah
- Utang yang belum dibayar
- Zakar yang belum dikeluarkan
- Wasiat