…………….” Pemberontakan “Kapal Tujuh” adalah pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia…………
Jiwa “Kapal Tujuh” adalah jiwa yang tidak akan ada mati-matinya, Dia adalah api abadi”.
“Harian Rakyat”, 5 Febuary 1958
Jiwa “Kapal Tujuh” adalah jiwa yang tidak akan ada mati-matinya, Dia adalah api abadi”.
“Harian Rakyat”, 5 Febuary 1958
Pemberontakan di Kapal
Tujuh yang dilakukan pada tanggal 4 febuary 1933 tak dapat tidak
merupakan suatu pendahuluan daripada kejadian-kejadian yang hebat di
Indonesia yang dialami oleh kita pada masa sekarang. Pemberontakan ini
merupakan suatu pengalaman hebat yang dialami dalam perjuangan melawan
modal. Pengalaman itu membuktikan kekuatan persekutuan antara rakyat
pekerja di negeri belanda dan rakyat tertindas di Indonesia.
Pemberontakan itu tak dapat dihapuskan dan tinggal tercatat dalam buku
sejarah pembebasan bangsa-bangsa yang terjajah.
Paraja, Rumambi, Gosal,
Kawilarang, Maud Boshart dan semua kawan-kawan lainnya………… Beberapa
diantaranya telah gugur, yang lain telah dipenjarakan bertahun-tahun
lamanya. Tetapi tak ada suatupun yang dapat menolong memadamkan api yang
pernah dinyalakan.
Umat manusia tidak lupa
wajah kelasi Indonesia Kawilarang yang dengan mempergunakan
mesin-mesinnya sebagai pengganti kemudi dapat menghindari karang Oleh-le
dan juga tidak lupa persahabatannya denagn masinis Boshart dari negeri
Holland yang dalam kamar mesin membaca dan mengerjakan semua perintah
yang dikirimkan oleh Kawilarang melalui pesawat telegraf.
Dengan memperhatikan
uraian yang saya sitir diatas maka kita bangsa Indonesia sebenarnya
harus merasa bangga bahwa 76 tahun yang lalu para pemuda Indonesia telah
menampakkan sikap-sikap kepahlawanan dalam peristiwa pemberontakan di
Kapal Tujuh itu sehingga dengan demikian jalan yang menuju kearah
proklamasi 17 Agusutus 1945 menjadi lebih lurus dan lebih pendek dengan
bertambahnya kesadaran berjuang yang ditimbulkan oleh salah satu
peristiwa besar yaitu peristiwa pemberontakan di Kapal Tujuh, dari
pengalaman itu ada hal-hal yang dapat kita ambil pelajaran yaitu “Bahwa
peristiwa-peristiwa pada masa sekarang adalah hasil atau katakanlah
lanjutan daripada peristiwa-peristiwa revolusioner yang telah terjadi di
masa lalu”
Setiap kejadian
revolusioner dalam perjuangan menentang Imperialisme & Kapitalisme
pada hakekatnya mengandung bibit-bibit untuk melahirkan
kejadian-kejadian revolusioner berikutnya.
Peristiwa pemberontakan
di Kapal Tujuh merupakan pemberontakan yang mana terang sekali berada
dibawah pengaruh nasionalisme yang revolusioner (kiri). Pemberontakan
tersebut pada hakikatnya merupakan salah satu mata rantai dalam
rangkaian aksi-aksi revolusioner yang pernah terjadi di Indonesia.
Memang harus diakui
bahwa pemberontakan di Kapal Tujuh itu bukan merupakan suatu aksi
komunis, akan tetapi tidak dapat dibantah lagi bahwa pemberontakan itu
merupakan suatu aksi revolusioner!!
Barang siapa memandang
pemberontakan di Kapal Tujuh itu sebagai salah satu kejadian yang
berdiri sendiri terlepas dari kejadian-kejadian yang lampau,
sesungguhnya membuat suatu kekeliruan besar yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah!
Faktor-faktor pendorong utama di Indonesia yang nantinya akan menjadi pemicu pemberontakan di Kapal Tujuh:
1. Sebagian besar
rakyat Indonesia, sejak Belanda mendirikan pemerintahan kolonial di
Tanah Air Kita, menderita nasib yang sangat buruk terutama di lapangan
ekonomi, dimana rakyat harus menerima peraturan-peraturan kapitalis dan
perlakukan-perlakuan yang sangat menurunkan martabatnya sebagai manusia,
bahkan sampai-sampai ada diantara kaum penjajah yang berani mengatakan
bahwa rakyat Indonesia cukup hidup dengan sebenggol sehari, di
daerah-daerah khususnya pulau jawa & sumatera, kapitalisme dalam
bentuk modal monopoli asing mengakibatkan penderitaan-penderitaan di
lapangan ekonomi berupa kemiskinan dan kemelaratan diantara rakyat –
Dalam setiap agresi kaum Imperialis tujuan yang pokok bagi mereka bukan
hanya menduduki daerah lawan tetapi yang terutama adalah untuk merebut
alat-alat produksi seperti pabrik2, perkebunan2 dan sebagainya.
Penderitaan rakyat
Indonesia dengan adanya peraturan-peraturan colonial tersebut telah
menderita dibawah dua macam penghisapan dan penindasan, yaitu pertama:
penghisapan dan penindasan dibawah kaum penindas colonial Belanda dan
kedua: dibawah penindas feudal Indonesia yang dalam hal ini bersekongkol
dan bersatu dengan pihak penjajah!
2. Dilapangan politik,
rakyat terutama para pemimpinnya mengalami larangan yang macam-macam
yang mempersempitkan kemerdekaan berfikirnya, “tidak boleh ini &
tidak boleh itu”.
Pada tahun 1914 pada
bulan mei didirikanlah ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
yang beraliran sosialisme kiri oleh seorang Belanda totok yang bernama
Hendricus Sneevliet. Dia merupakan orang pertama yang membawa aliran
sosialisme kiri yang kemudian terkenal dengan nama komunisme itu ke
Indonesia. Berjalannya waktu H. Sneevliet ternyata dapat mempengaruhi
Sarekat Islam yaitu suatu perkumpulan para pedagang islam yang didirikan
pada tahun 1911, pada saat itu SI merupakan organisasi terbesar di
Indonesia. Para pemimpin-pemimpin Sarekat Islam mengijinkan dan member
kesempatan H. Sneevliet untuk berbicara dan hadir dengan leluasa dalam
kongres-kongres atau pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Sarekat
Islam. Dengan adanya pengaruh H. Sneevliet tadi, maka semangat anti
kapitalisme dan imperialism semakin meluap-luap didalam SI.
Kemenangan revolusi
oktober di Rusia dibawah kepemimpinan Partai Bolseviks (Lenin) yang
menghantarkan kaum buruh menuju kekemenangannya dalam menggulingkan
kekuasaan kelas feudal & kaum borjuis memberikan dukungan moreel
yang amat besar kepada H. Snevliet dkk untuk melebarkan pengaruh ISDV
dengan aliran sosialisme kirinya.
Kejadian-kejadian dalam
revolusi oktober yang didukung oleh kaum komunis di Rusia itu
dibentangkan secara jelas oleh ISDV yang bernama “Het Vrije Woord”
(Pikiran Bebas). Dengan demikian kaum terpelajar bangsa Indonesia, yang
berada dibawah pengaruh ISDV, semakin condong untuk mengajak massa
rakyat menempuh jalan revolusioner.
Mengenai kebangkitan gerakan perlawanan di Jawa ini Lenin pernah berujar:
………………….. ”Suatu
perkembangan yang penting adalah meluasnya gerakan demokratis
revolusioner ke Hindia Belanda, ke Jawa dan jajahan-jajahan Belanda
lainnya yang berpenduduk kurang lebih 40 juta.
Ia dilakukan oleh,
pertama, massa Rakyat Jawa, dikalangan mana telah timbul gerakan
nasionalis Islam, kedua, oleh intelegensia yang dilahirkan oleh
perkembangan kapitalisme. Mereka terdiri dari orang-orang Eropa yang
telah menyesuaikan diri dengan keadaan ditanah jajahan yang menuntut
kemerdekaan untuk Hindia Belanda, ketiga, penduduk Tionghoa yang cukup
banyak jumlahnya di Jawa dan pulau2 lainnya, yang membawa gerakan
revolusioner dari Tiongkok.
Dalam melukiskan
kebangkitan ini, van Ravesteyn, seorang Marxis Belanda, menunjukkan
bahwa despotism dan tirani pemerintah Belanda yang sudah berabad-abad
itu kini menjumpai perlawanan dan protes yang kuat dari massa
pribumi”…………………….
…………………………….”Di Jawa
telah terbentuk perkumpulan Pribumi Nasional yang mempunyai anggota
80.000 dan mengadakan rapat2 masal. Tidak ada berhentinya pertumbuhan
gerakan demokratis itu.
Akhirnya Kapitalisme
dunia dan gerakan 1905 di Rusia telah membangkitkan Asia. Beratus-ratus
juta kaum yang terhina dan yang berada dalam kegelapan telah tergugah
dari kemacetan jaman tengah kekehidupan yang baru dan bangun berjuang
untuk hak2 manusia dan demokrasi yang elementer.
Kaum buruh negeri-negeri
yang maju dengan perhatian dan inspirasi mengikuti pertumbuhan yang
perkasa dari gerakan kemerdekaan ini, dalam segala bentuknya, disetiap
penjuru dunia. Borjuasi Eropa, takut akan kekuatan gerakan buruh,
mencari bantuan kepada kekuatan-kekuatan reaksi, militerisme,
klerikalisme dan obskurantisme. Tetapi proletariat negeri-negeri Eropa
dan demokrasi yang muda di Asia, yakin sepenuhnya akan kekuatannya dan
dengan kepercayaan yang abadi kepada massa, sedang maju merebut tempat
dari borjuasi yang dekaden dan sekarat ini.
Kebangkitan Asia dan
awal perjuangan proletariat Eropa yang maju untuk kekuasaan adalah
lambang taraf baru dalam sejarah dunia yang dimulai pada awal abad
ini”……………………………………..
Dari uraian Lenin diatas
kita melihat bagaimana kebangkitan Rakyat Jawa untuk menentang
kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial semakin menjadi-jadi tahun
demi tahun berikutnya dan tidak heran jika pada akhirnya
pemimpin-pemimpin ISDV itu, bertindak semakin tegas dengan mendirikan
secara terang-terangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23
mei 1920. Bahwa suatu kenyataan PKI adalah Partai yang pertama-tama
memakai nama Indonesia, dan itu yang merupakan salah satu factor yang
menyebabkan PKI popular namanya diantara rakyat.
Diantara para pemimpin-pemimpin PKI itu telah diadakan pembagian tugas antara lain sebagai berikut:
• Semaun, Darsono, Tan Malaka & Alimin, ditugaskan untuk mendekati rakyat yang merupakan massa dari Sarekat Islam.
• Sneevliet ditugaskan untuk mendekati serdadu-serdadu Bangsa Belanda dalam Angkatan Darat.
• Brandsteder untuk mendekati serdadu-serdadu bangsa Belanda dalam Angkatan Laut.
• Ir. Baars dan Van Burink untuk mendekati pegawai-pegawai negeri bangsa Belanda bagian sipil.
Pembagian tugas diatas
memberikan kesan bahwa sangat boleh jadi pemberontakan di kapal Tujuh
itu salah satu akibat atau hasil juga dari aktifitas-aktifitas yang
dilakukan oleh Brandsteder sesuai dengan tugas yang diberikan oleh
pimpinan PKI itu.
Dan lagi kalau diingat
bahwa sebagian besar kaum pemberontak di kapal Tujuh itu dilakukan oleh
anggota-anggota serikat buruh dalam Angkatan Laut Belanda yang bernama
“Inlandsche Marine Bond”, maka timbullah suatu kesan bahwa pengaruh PKI
juga merupakan salah satu factor yang merupakan timbulnya aksi
revolusioner yang berupa pemberontakan di kapal Tujuh itu.
Pada bulan November 1926
dan bulan febuary tahun 1927 timbullah pemberontakan PKI melawan kaum
penjajah Belanda, pemberontakan itu dilakukan di jawa dan juga menjalar
ke sumatera. Pemberontakan ini gagal dan mengakibatkan PKI oleh
pemerintah colonial Belanda dinyatakan sebagai salah satu partai
terlarang. Walaupun pada saat itu partai hancur berantakan, ribuan
kader-kader & anggotanya banyak yang di tahan serta diasingkan ke
Digul masih ada juga beberapa orang yang luput atau lolos tidak ditahan
atau di tangkap, melalui perantaraan kader2nya itu maka perjuangan
partai beralih dari perjuangan secara legal menjadi perjuangan secara
illegal.
Faktor Pendorong kedua
Sesudah berakhirnya
perang dunia pertama (1918), pemerintahan colonial Belanda memandang
perlu untuk melengkapi armadanya dengan dua kapal penjelajah (cruiser)
baru yang masing-masing diberi nama “Java” & “Sumatera”. Untuk
melengkapi armada lautnya maka Belanda sangat membutuhkan tenaga-tenaga,
terutama tenaga yang masih muda, untuk dipekerjakan dalam ikatan dinas
Angkatan Laut Belanda yang pada masa itu bernama “Koninklijke Marine”.
Banyak pemuda-pemuda, oleh karena tertarik dengan propaganda Belanda
tadi, mendaftarkan dirinya untuk masuk bekerja dalam “Koninklijke
Marine”.
Pada umumnya para pemuda
yang diterima untuk bekerja dalam dinas AL Belanda tersebut terdiri
dari pemuda2 yang terpelajar dan mampu berbahasa Belanda. Pemerintah
colonial Belanda saat itu juga mengijinkan para pemuda-pemuda tersebut
untuk mendirikan organisasi-organisasi serikat buruh yang tujuannya
adalah memperjuangkan perbaikan nasib anak marine bangsa Indonesia yang
bekerja dalam ikatan dinas Angkatan Laut Belanda. Maka sejak itu
berdirilah dua buah organisasi serikat buruh yaitu:
I. Inlandsche Marine Bond dengan singkatan IMB dengan jumlah anggota kl. 1100 orang
II. Inlandsche Christelijke Marine Bond dengan singkatan I.Ch.MB dengan jumlah anggota kl. 500 orang.
Pemerintahan Belanda
rupa-rupanya lupa bahwa organisasi-organisasi serikat buruh merupakan
suatu saluran yang bagus untuk menyalurkan kesadaran kebangsaan
Indonesia kedalam tubuh Angkatan Laut Belanda.
Mengenai IMB perlu
dicatat disini adalah organisasi ini lebih progresiff dalam
tindakan-tindakannya dari pada pada organisasi serikat buruh yang kedua
yaitu I.Ch.MB yang memakai kitab Injil (Bijbel) sebagai dasar
perjuangannya.
Bahkan pada
perkembangannya pada masa itu pada IMB ditetapkan juga Marx-isme sebagai
dasar ideology organisasi pada saat itu. Salah satu tujuan dari
perjuangan IMB adalah untuk mencapai perbaikan nasib dari
anggota-anggotanya dan berusaha memperkuat untuk menciptakan persatuan
antara anak-anak marine bangsa Indonesia dengan anak-anak marine bangsa
Belanda, jadi hal ini sudah sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh
Karl Marx dalam sebuah bukunya: “Kaum Buruh Seluruh Dunia Bersatulah”.
Disamping organisasi IMB
& I.Ch.MB tadi juga terdapat pula organisasi serikat buruh Belanda,
dimana kl. 900 orang anak marine bangsa kulit putih yang berpangkat
dibawah bintara tercatat sebagai anggota.
Para bintara Belanda
tersebut membentuk organisasi serikat buruhnya yang bekerjasama dengan
organisasi serikat buruh bawahan Belanda dalam satu comite yang
dinamakan: CAMBO (Comite to Behartiging van de Algemeene Belangen Van
Het Marine Personeel Beneden de Rang Van Officier).
Dapat diterangkan disini
bahwa pada umumnya para pemimpin CAMBO berada dibawah pengaruh SDAP
(Sociaal Democratische Arbeiders Partij). Jadi kesimpulannya
pengaruh-pengaruh didalam lingkungan Marine Belanda di Indonesia dapat
ditetapkan sebagai berikut: pengaruh nasionalisme Indonesia, pengaruh
paham buruh (Marxis-me atau Sosialisme Kiri) dan ketiga adalah pengaruh
SDAP (Sosialis Kanan).
Di Indonesia juga ada
pengaruh SDAP yang dibawa oleh JE. Stokvis dkk tetapi pengaruhnya tidak
besar karena tidak mengakar pada massa rakyat, sangat berbeda dengan
ISDV-nya H. Sneevliet yang menghubungkan massa rakyat dengan aliran
sosialisme kirinya didalam perjuangannya.
Menurut keterangan
anggota Tweede Kamer Belanda yang bernama Vliegen pada tanggal 8 maret
1933, maka organisasi serikat buruh Belanda yang terdapat dalam
lingkungan Koninklijke Marine terdapat pengaruh SDAP. Pada saat itu
perlu diketahui bahwa anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di Surabaya
(1932-1933) berjumlah kl. 4200 orang, diantaranya terdapat 2200 orang
Indonesia, sedangkan sisanya adalah 2000 orang Belanda. Diantara 2000
orang Belanda ini terdapat kl. 700 orang dibawah pengaruh SDAP, maka
dapatlah dibayangkan bahwa pengaruh SDAP dalam Angkatan Laut Belanda di
Indonesia dapat ditempatkan pada urutan no. 2, sedangkan pengaruh
nasionalisme Indonesia dan nasionalisme kiri bergabung menjadi satu pada
urutan no. 1. Perhitungan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa anggota
IMB yang berada dibawah pengaruh nasionalisme Indonesia dan sosialisme
kiri berjumlah kl. 1100 orang. IMB pada saat itu memang terkenal sebagai
salah satu vakbond yang berhaluan kiri.
Hal ini dapat dilihat
antara lain pada artikel2 yang dimuat dalam majalah IMB yang bernama
“Sinar Lautan”. Dalam majalah itu dimuat karangan-karangan yang
bertendes kiri yang terang sekali dipengaruhi oleh aliran nasionalisme
kiri yang bersifat revolusioner ! Salah satu hal yang menyebabkan kaum
nasionalis & rakyat Indonesia lebih mudah terpengaruh oleh
Sosialisme Kiri daripada Sosialisme Kanan (SDAP), bahwa dalam
kenyataannya dalam membela cita-cita Indonesia Merdeka kaum Sosialis
Kiri (Sneevliet dkk) adalah lebih tegas dan revolusioner daripada kaum
Sosialis Kanan (Stokvis, Ir Cramer, Prof. Van Gelderen dkk) yang dalam
banyak hal bersifat lunak (reformis) dan reaksioner kepada cita-cita
Indonesia Merdeka ! Pada masa itu massa rakyat di Indonesia lebih suka
kepada sifat-sifat tegas, radikal & revolusioner dengan sendirinya
mereka lebih condong untuk bekerjasama dengan kaum Sosialis Kiri.
Selain berpropaganda
lewat majalah para anggota IMB juga mulai mengadakan aksi untuk menuntut
kesejahteraan bagi anggota2nya. Tidak mengherankan aksi2 bahwa
aksi-aksi IMB mulai mendapat perhatian dari pihak atasan (dalam hal ini
perwira2 Angkatan Laut Belanda). Lebih-lebih lagi ketika IMB mendapat
kunjungan dari wakil-wakil buruh yang datang dari negeri Belanda yaitu
tuan Danz & Kupers (yang merupakan perwakilan dari SDAP), maka boleh
dikatakan perhatian tadi semakin menjadi besar dan menjadi “kewaspadaan
kolonial”
Dalam hubungannya harus
dicatat pula, bahwa aksi-aksi IMB sangat berbeda dengan aksi-aksi
I.Ch.M.B yang memakai Bijbel sebagai dasar perjuangannya. Kalau
aksi-aksi IMB adalah progresif & revolusioner maka aksi-aksi
I.Ch.M.B sangat lunak, bahkan sangat lunak untuk tidak mengatakannya
sangat reaksioner. Seorang pendeta yang bernama Westplat dengan sengaja
diangkat oleh Belanda menjadi Vlootpredikant, yaitu pendeta yang
melayani urusan kerohanian anak buah kapal perang Belanda yang beragama
Protestan tetapi selain itu dia juga mengemban tugas untuk mengawasi
gerak gerik I.Ch.M.B agar jangan sampai para anggotanya mengikuti jejak
IMB untuk melakukan aksi-aksi kiri.
Dengan adanya aksi-aksi
pendeta tadi, maka salah satu rencana yang telah lama dibuat untuk
mengadakan fusi antara I.Ch.M.B dan IMB pada tahun 1931 menjadi gagal,
malah antara “Sinar Lautan” (IMB) dan “Pedoman Kita” (majalah I.Ch.M.B)
timbul suatu polemik yang sengit mengenai metode aksi & tujuan
perjuangan serta sikap terhadap pemerintah yang berkuasa.
Pimpinan IMB yang
terdiri dari tenaga-tenaga yang masih muda dan progresif merupakan
jaminan bagi pelaksanaan azas2 perjuangan yang revolusioner. Juga dalam
pimpinan majalah “Sinar Lautan” duduk tenaga2 yang berjiwa revolusioner
a.l. Paraja, Lampah, Tambahani, Sudiro, dsb. Dalam halaman2 Sinar Lautan
kita sering jumpai karangan-karangan yang mensinyalir adanya
tindakan-tindakan yang tidak adil dari para perwira Belanda. Sering
terjadi bahwa karangan-karangan yang ditulis oleh perwira-perwira
Belanda dalam pers Belanda yang menyinggung perasaan bangsa Indonesia
sering langsung ditangkis oleh Sinar Lautan secara zakelijk &
objectif. Salah satu tulisan yang pernah dilansir oleh salah seorang
perwira Belanda berbunyi k.l. sbb:
“De Inlanders zijn niet
geschikt om aan boord van de Holandsche Marineshepen te werken. Ze
kunnen allen koperpoetsen” – Orang-orang Indonesia tidak cakap untuk
bekerja dikapal-kapal perang Belanda, mereka hanya bisa menggosok
tembaga saja.
Tulisan pena ini berasal
dari salah satu seorang letnan laut Belanda yang bernama Ten Kruis dan
segera saja tulisan yang menghina ini mendapat bantahan dari Sinar
Lautan. Salah satu penyebab juga mengapa terjadi pemberontakan di Kapal
Tujuh itu juga akibat tulisan ini. Karena bagaimanapun juga orang-orang
tidak dapat membantah kenyataan, bahwa Kapal Tujuh pernah dikuasai oleh
orang-orang Indonesia yang memberontak kepada Belanda dan lagi kaum
pemberontak ini telah membuktikan bahwa mereka cakap memimpin navigasi
dan menjalankan Kapal Tujuh itu ditengah-tengah samudra luas tanpa
bantuan atau pertolongan perwira-perwira Belanda. Bukankah kenyataan ini
“memukul hancur” tulisan perwira Belanda Ten Kruis yang bersifat
menghina tadi.
Para perwira2 Belanda
itu juga sering memperlihatkan sikap yang sombong dan tidak begitu erat
bergaul dengan anak buahnya, kebanyakan diantara mereka suka sekali
mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kurang pantas kepada bawahannya,
misalkan mereka suka sekali menggunakan kata-kata God Verdomme (GVD),
Vuile Inlander, dsb juga mereka mengadakan peraturan-peraturan yang
bersifat diskriminasi dan sangat mencolok mata, misalnya perbedaan dalam
soal makanan. Sebagai contoh jika anak buah kapal bangsa Indonesia
diberi ransum ikan asin, sedangkan anak2 buah kapal bangsa Belanda tidak
pernah diberi ransum ikan asin tetapi selalu diberi ransum daging,
contoh yang lain adalah soal lemari pakaian, lemari2 pakaian orang
Indonesia selalu ditempakan dibagian bawah berdekatan dengan ruangan
kamar mesin yang selalu mengeluarkan hawa panas, sedangkan lemari
pakaian anak2 buah kapal bangsa Belanda selalu ditempatkan sebelah atas
yang jauh dari hawa panas ruang mesin.
Dalam hal gajipun juga
terdapat perbedaan2 yang sangat mencolok mata walaupun kedua belah pihak
(marine Indonesia & Belanda) mempunyai tugas dan kewajiban yang
sama – gaji seorang anak buah marine bangsa Indonesia berjumlah kl.
separo dari gaji seorang kelasi Belanda).
Pada akhir tahun 1932
pemerintahan Belanda melakukan pemangkasan gaji semua anak buah marine
baik itu bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda, keadaan ini menimbulkan
kegelisahan kedua belah pihak. Aksi-aksi penurunan gaji mulai
diorganisir bukan saja oleh IMB tetapi juga oleh organisasi serikat
buruh bawahan Belanda yang di pimpin oleh CAMBO. Dalam hubungan ini
sikap I.Ch.M.B sangat menarik perhatian, kalau tadinya dibawah pimpinan
ketua yang lama organisasi ini seakan2 pasif menghadapi persoalan
penurunan gaji, maka secara mendadak bangkit semangat
“anti-kapitalismenya”. Pada bulan januari 1933 I.Ch.M.B mengadakan rapat
protesnya terhadap penurunan gaji di gereja Pasiran (Surabaya) dimana
seorang pembicara dengan semangat yang menyala-nyala sambil
mengacung-ngacungkan tangannya keatas mengeluarkan semangat protesnya
terhadap kepincangan dalam kalangan marine Belanda bahkan si pembicara
secara samar-samar (in bedekte termen), untuk mogok jika perlu ! Pada
saat itu diputuskan oleh IMB untuk mengadakan rapat bergabung
(gecombineerde vergadering) dengan serikat buruh bawahan Belanda (CAMBO)
pada tanggal 1 januari 1933.
Sebelum sampai pada hari-H telah terjadi beberapa kejadian yang perlu di catat:
Pada tanggal 26 december
1932 anak2 buah Marine bangsa Belanda, sesudah makan siang, telah
menyanyikan sebuah lagu yang terlarang (international) yang berbunyi:
“Werkers, waar g’ ook zwoegt en lijdt
Zijn wij niet van enen bloede?
Striemt ons niet dezelfde roede?
Een in’t juk, dat w’ allen dragen
Een de strijd, die heft te wagen
‘t Ganse proletariat”
Buruh, dimana saja kau membanting tulang dan menderita
Tidakkah kita ini berasal dari satu darah?
Tidakkah cambuk yang sama menghantam kita?
Satu dalam beban yang kita sekalian pikul
Satu saja perjuangan yang berani menempuh
Segenap kekuasaan proletariat”.
Nyanyian tersebut dengan
sendirinya mengejutkan para perwira Belanda, yang selama ini tidak atau
kurang mempunyai pengetahuan dalam soal2 politik.
Pada tanggal 27 december
1932 diadakan rapat lagi oleh para bawahan bintara bangsa Belanda kl.
600 orang dengan menumpangi beberapa puluh bis, sesudah rapat ini
selesai oleh para pengunjungnya diadakan suatu demonstrasi yang kemudian
dibubarkan oleh polisi. Para perwira Belanda mulai tidak percaya lagi
kepada bawahannya dan mereka mulai bekerjasama dengan polisi yang
dianggap loyal.
Tanggal 28 december 1932
diadakan lagi demonstrasi2 oleh para kelasi itu tetapi dengan
berkelompok-kelompok yang kecil sekitar 4-5 orang dengan setiap kelompok
berjarak 10 meter berjalan-jalan mengelilingi kota Surabaya sehingga
tampak seperti barisan yang panjangnya 1 km, tetapi aksi ini kembali
dibubarkan oleh polisi. Puncaknya kejadian hari itu adalah ketika pada
malam hari para kelasi Belanda tersebut sedang rapat di dalam kantin
kepunyaan angkatan darat Belanda (KNIL) dibubarkan secara paksa oleh
satu buah truk tentara bersenjata lengkap, sehingga hampir terjadi
pertumpahan darah.
Pada tanggal 29 december
1932 diadakan rapat besar di Surabaya oleh anggota2 marine bangsa
Belanda yang berpangkat dibawah bintara. Sebelum rapat ini dimulai
diadakan baris demonstrasi dalam bentuk pawai yang dilakukan oleh kl.
700 orang anak buah marine bangsa Belanda salah satu tuntutan mereka
adalah untuk mengadakan mogok dan bekerja sama dengan anak buah marine
bangsa Indonesia, tetapi tuntutan mereka ini tidak disetujui oleh para
pemimpin rapat dan para pemimpin hanya memutuskan untuk mengirimkan
kawat protes kepada menteri pertahanan Belanda untuk membatalkan
penurunan gaji.
Salah satu korporal
Belanda yang bernama Maud Boshart yang berjiwa progresif dan
revolusioner tidak menyetujui sikap yang melempem dari para pemimpin
reformis tadi. Boshart ikut berbicara mengatakan bahwa dia sanggup
menjadi anggota pimpinan untuk memikul segala resiko untuk melanjutkan
perjuangan. Dengan tegas Boshart berkata bahwa sekarang bukannya waktu
untuk bertanya atau mengemis tetapi untuk menuntut dan jika tidak
dikabulkan maka pemogokan harus dilakukan !
Ucapan korporal yang
baru berumur 27 tahun itu disambut dengan hangat oleh seluruh rapat.
Boshart juga menuntut kerjasama yang erat dengan anak buah marine bangsa
Indonesia dan meminta kepada peserta rapat agar wakil dari IMB
diperkenankan ikut hadir dan berbicara di rapat itu.
Karena situasi yang
semakin tidak kondusif disebabkan oleh perlawanan anak buah marine
Belanda dan anak buah marine Indonesia maka mulai didatangkan pasukan
angkatan darat dari malang yg berjumlah kl. 600 orang bersenjata lengkap
dan juga terdapat juga mitraliur2 yang berat untuk menjaga kota
Surabaya.
Walaupun aksi2 represif
dilakukan tetapi akhirnya aksi pemogokan terjadi juga dikapal2 perang
“Java”, “Sumba”, “Piet Hein” dan “Everstsen”. Dikapal2 perang tersebut
308 anak buah kapal bangsa Indonesia sudah meletakkan pekerjaannya yang
diikuti juga aksi solidaritas mogok kerja dari 40 orang anak buah marine
Belanda. Pemogokan terbesar terjadi juga pada tanggal 3 febuary 1933
baik di tangsi Marine Ujung, pangkalan kapal selam dan dikapal2 perang
lainnya bahkan juga dipangkalan kapal terbang Moro Kembangan setiap
kelasi bangsa Indonesia menolak perintah untuk bekerja, dengan segera
semua pemogok di tangkap oleh angkatan darat Belanda dan dibawa ke
Sukalila serta semua pemimpin2 IMB ditangkap juga.
Peristiwa penangkapan atas para pemogok itu merupakan pokok pertimbulan (aanleiding) meletusnya pemberontakan di Kapal Tujuh.
Sebab2 yang menimbulkan pemberontakan di Kapal Tujuh:
1. Sebab2 yang terdapat diluar lingkungan Marine Belanda:
• Pengaruh kemenangan
Jepang atas Rusia yang menggelorakan semangat nasional bangsa2 di
seluruh asia yang kemudia diiringi oleh pengaruh revolusi Tiongkok dan
Revolusi Oktober Rusia.
• Timbulnya
partai-partai revolusioner seperti Sarekat Islam, PSII, PKI yang
menggelorakan semangat anti kapitalisme dan imperialism.
• Larangan terhadap PKI yang menimbulkan adanya aksi2 illegal.
• Penangkapan pemimpin2 komunis & nasionalis yang justru memperbesar pengaruh nasionalisme.
2. Sebab2 yang terdapat dalam lingkungan marine Belanda:
• Adanya diskriminasi
perbedaan warna kulit dalam angkatan laut Belanda (antara anak buah
marine bangsa Belanda dan bangsa Indonesia)
• Pandangan sempit para perwira Belanda kepada anak buah marine bangsa Indonesia.
• Dibeda2kan gaji dan
pangkat antara anggota2 marine bangsa Indonesia dan Belanda walaupun
kewajiban dan tugas kedua belah pihak sama.
• Pengaruh aksi2 IMB yang bersifat revolusioner yang disebarkan oleh para kadernya dan majalah Sinar lautan.
• Sikap para perwira
Belanda yang sombong dan menjauh dalam pergaulan dengan bawa bawahannya
yang orang Belanda dan Indonesia itu.
• Perlakuan dan penurunan gaji yang tidak adil itu.
Berikut ini adalah
kesaksian saudara Maud Boshart dalam brosurnya yang berjudul “Muiterij
in de tropen (Pemberontakan didaerah panas):
“Perserikatan buruh
marine bangsa Indonesia”, yang menurut kebiasaan colonial dinamakan
“Inlandsche MarineBond” (IMB), berada dibawah pengaruh pergerakan
nasional yang sedang tumbuh. Didalam tahun 1926-1927 sudah ada golongan
rakyat di Jawa & Sumatera yang melawan kekuasaan colonial.
Dengan cara-cara yang
ganas dan bukan pada tempatnya pemerintahan colonial telah menindas
pemberontakan ini, bahkan telah membunuh dan membuang ratusan perempuan,
anak2 dan laki2. Kamp konsentrasi Boven Digul di Irian (Papua) yang
menimbulkan rasa jijik dan kebencian itu dijadikan alat penindas oleh
kaum kolonial yang berkuasa. Akan tetapi tindakan kaum colonial yang
berkuasa itu tidak mampu mengakhiri proses pergolakan.
Perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan nasional diorganisir juga didalam lingkungan
alat-alat kaum penindas sendiri, dalam lingkungan tentara darat tetapi
pertama-tama dalam lingkungan armada (vloot) yang menjadi anak emas dari
setiap pemerintahan reaksioner. Perjuangan untuk kemerdekaan nasional
ini dipersatukan dengan perjuangan melawan penurunan gaji.
Jadi teranglah bagi
pembaca bahwa dalam uraian tentang sebab2 pemberontakan di Kapal Tujuh
lebih disebabkan karena pengaruh paham politik yang menyebabkan aksi2
revolusioner di Indonesia, Sosialisme Kanan (SosKa) terang sekali tidak
mempunyai pengaruh semacam itu, terbukti sosialisme kanan dalam sejarah
pergerakan rakyat Indonesia tidak pernah menyetujui aksi-aksi
revolusioner. Malah sejarah membuktikan kaum yang beraliran SDAP seperti
JE. Stokvis dkk dalam setiap pergolakan revolusioner selalu bersikap
bimbang dan ragu, pada tahun 1917 mereka memisahkan diri dengan ISDV
yang berpolitik revolusioner itu dan sejarah juga membuktikan ketika
proklamasi 17 agustus 1945 itu SDAP di Belanda melaksanakan politik
reaksioner dengan mendukung pengiriman pasukan untuk kembali menjajah
Indonesia dan orang-orang yang berada pada garis Sosialisme Kanan di
Indonesia juga menolak dalam aksi-aksi para pemuda revolusioner yang
menginginkan kemerdekaan Indonesia itu lewat jalan perjuangan
bersenjata.
Dalam hubungan ini
baiklah untuk diingat bahwa aksi “polisionil” pertama (1947) dan kedua
(1948) yang dilakukan oleh pemerintah colonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia mendapat sokongan dan persetujuan dari kaum SDAP di negeri
Belanda ! bahkan sejarah membuktikan pula pada peristiwa pemogokan dan
pemberontakan di Kapal Tujuh pada tahun 1933, para pemimpin yang berada
dibawah pengaruh SDAP telah berkhianat dan menolak untuk ikut dalam
peristiwa2 revolusioner tersebut (lihat pada “Pemberontakan didaerah
panas” yang dikatakan bahwa seorang korporal yang bernama Haastrecht
yang berada dibawah pengaruh SDAP telah berkhianat kepada semua
kawan2nya yg memberontak di Kapal Tujuh itu.
Bahwa kaum Sosialis
Kanan yang beraliran SDAP itu tidak menyetujui aksi2 revolusioner berupa
pemberontakan di Kapal Tujuh itu dapat dibuktikan dengan surat yang
dibuat oleh Dr. W. Banning , salah seorang anggota pimpinan SDAP
dinegeri Belanda yang ditujukan kepada Maud Boshart pada tanggal 14
febuary 1935 yang berbunyi antara lain:
……………………het
partijbestuur van de SDAP. Stelde zich op standpunt, dat het aan Uw
verzoek niet kan voldoen, omdat de SDAP gen enkele verantwoorddelijkheid
kan dragen voe het gebeurde met de “Zeven Provincien - Pimpinan partai
SDAP berpendirian bahwa ia tidak dapat memenuhi permintaan Tuan, oleh
karena SDAP tidak bertanggung jawab atas kejadian yang telah terjadi di
Kapal Tujuh.
Dengan demikian
teranglah bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum Sosialis Kanan atau
SDAP itu itu sifatnya reaksioner dan kontra revolusi karena menolak
aksi2 yang dilakukan di Kapal Tujuh, padahal apa yang dilakukan oleh
anak buah marine bangsa Indonesia yang bekerjasama dengan anak buah
marine bangsa Belanda merupakan sebuah aksi patriotic untuk melawan
penjajahan Belanda yang selalu bersikap sewenang-wenang.
Menjelang Pemberontakan.
Pada masa itu yang menjadi komandan Kapal Tujuh ialah Eikenboom, Kapal Tujuh merupakan kapal perang Belanda tertua diantara kapal-kapal perang besar di Indonesia pertama kali diluncurkan pada tahun 1909, kapal tersebut tidak memiliki meriam anti serangan udara tetapi pada bagian geladak sebelah muka dan bagian belakangnya terdapat dua buah meriam besar dengan garis tengah berukuran 28 cm, kapal Tujuh berukuran 6500 ton. Jumlah anak buah kapal (ABK) kapal Tujuh kl. 460 orang, diantaranya terdapat 30 orang perwira, 26 bintara, 141 orang bawahan bangsa Belanda sedangkan sisanya adalah 7 orang bintara bangsa Indonesia dan 256 orang bawahan bangsa Indonesia.
Kejadian-kejadian protes
di daratan yang diadakan oleh serikat2 buruh juga meresahkan Eikenboom,
dalam satu briefing apel dipagi hari dalam suasana yang tegang
Eikenboom berpidato yang isinya al. sbb:
“Sebagai seorang bapak
daripada kamu sekalian yang ada didalam kapal ini, saya perlu
memberitahukan kepada kalian bahwa penurunan gaji tidak jadi dilakukan.
Boleh jadi pembatalan ini hanya sifatnya sementara tapi bisa jadi juga
untuk selamanya. Tetapi saya harapkan hal ini tidak akan menimbulkan
kesukaran-kesukaran selama pelayaran yang akan kita adakan untuk menuju
pulau sumatera. Perlu saya beritahukan pula bahwa besok pagi tanggal 2
januari kita akan berlayar selama tiga bulan diperairan Sumatera !
Keesokan harinya tanggal
2 januari 1933, kapal Tujuh mulai berlayar meninggalkan pelabuhan
Surabaya. Walaupun semua ABK bekerja dengan tenang, namun suasana tegang
masih belum reda juga. Sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
Kapal Tujuh pada tanggal 5 januari 1933 mengambil bahan bakar (arang) di
Tanjung Priok dan kemudian mengadakan latihan tembak-menembak sambil
singgah di pulau Siberut dan Pelabuhan Gunung Sitoli, haluannya
ditujukan kearah Padang (Sumatera) dimana kapal tersebut tiba pada
tanggal 13 jamuari 1933. Pada hari itu juga diumumkan akan diadakan
“pesta persaudaraan” akan diadakan di restoran tentara Angkatan Darat,
dimana kedua belah pihak yaitu anggota marine dan anggota KNIL akan
makan dan minum bersama-sama.
Hal itu dilakukan oleh
para perwira Belanda untuk menyenangkan pikiran anak2 buahnya agar tidak
terpengaruh oleh hasutan-hasutan yang membahayakan kepentingan kaum
colonial. Tetapi ketika sedang berlangsungnya acara itu terjadi
keributan antara anggota marine dengan KNIL akibat pengaruh alcohol,
sehingga membuat situasi menjadi kisruh. Pada tanggal 20 januari 1933
kapal Tujuh tiba dipelabuhan Sibolga, pada saat itu ABK mempunyai
perasaan yang tidak puas kepada keadaan makanan yang di sediakan.
Para bawahan bangsa
Indonesia harus makan nasinya dengan ikan asin yang telah menjadi busuk
karena terlalu lama disimpan dalam gudang perbekalan dan juga para
bawahan bangsa Belanda harus makan makanan yang tidak enak rasanya
karena disimpan terlalu lama dalam kaleng. Ketika kapal Tujuh sampai di
Sibolga direncanakan akan dilakukan pertandingan sepak bola, tetapi
kelasi2 itu menolak ikut dalam pertandingan itu. Para perwira lalu
mengatakan bahwa pertandingan itu harus dilaksanakan karena perintah!
Pada tanggal 27 januari
1933 kapal Tujuh tiba di pelabuhan Sabang dan berlabuh disana. Pada saat
yang bersamaan di Surabaya sedang dilakukan pemogokan besar2an untuk
menolak penurunan gaji. Untuk mencegah bocornya peristiwa itu maka para
perwira berusaha untuk mengisolir berita supaya kejadian di Surabaya itu
tidak diketahui oleh ABK. Tetapi sepintar2nya para perwira Belanda itu
menutup2i kejadian yang tengan berlangsung di Surabaya akhirnya berita
itu bocor juga dan diketahui pertama kalinya oleh korporal Maud Boshart
di ruangan radio kapal.
Pada tanggal 28 januari
1933 anak buah marine bangsa Indonesia dan anak buah bawahan bangsa
Belanda meminta izin untuk melakukan pertemuan disebuah bioskop dengan
alasan ingin mengadakan perayaan lebaran yang waktu itu dilaksanakan
oleh umat Islam. Timbul kecurigaan dikalangan perwira Belanda karena ada
30 orang bawahan bangsa Belanda yang dipimpin oleh Maud Boshart dan
Hendrik ikut juga dalam pertemuan itu, karena menurut mereka buat apa
orang2 Belanda yang Kristen itu ikut2an perayaan lebaran.
Pertemuan itu diawasi
oleh polisi tetapi ketika sedang di tengah2 acara terjadi kebakaran
besar di pusat kota sehingga semua aparat kepolisian pergi dari acara
itu. Selama ditinggalkan oleh para polisi Hendrik dkk mengadakan pidato
yang berapi-api yang mengajak untuk bersatu semua kelasi2 bawahan bangsa
Indonesia dan Belanda untuk menolak penurunan gaji. Setelah acara sudah
hampir selesai baru inspektur polisi dan anak buahnya kembali dan
mereka sempat melihat pada waktu pertemuan ditutup para peserta
menyanyikan lagu “Internasionale” yaitu lagu perjuangan kaum buruh.
Lagu Internasionale itu
juga dinyanyikan kembali pada malam harinya oleh anak2 buah kelasi kapal
Tujuh ketika kapal perang Belanda (Gouden Leew) yang baru datang dari
Belanda melanjutkan perjalanan menuju Surabaya, ketika itu juga terjadi
kegemparan di kalangan perwira Belanda karena semua ABK dari kapal
perang Belanda itu juga menyanyikan lagu Internasionale.
Pada tanggal 30 januari
1933 berita2 pemogokan di Surabaya kembali diterima oleh Boshart dengan
perantaraan kawan2nya yang bekerja di kamar radio.
Tanggal 31 januari 1933
kapal perang “java” telah memberitakan melalui pemancar radionya tentang
pemogokan itu dan telah menempelkan phamplet2 dari nama2 orang peserta
pemogokan di Surabaya dan phamplet tersebut juga ditempel di kapal
Tujuh. Untuk merespon kejadian itu maka beberapa orang ABK kapal Tujuh
al. Rumambi, Paraja, Hendrik dan Gosal berbicara dengan ABK2 yang lain
untuk membahas kejadian di Surabaya.
Untuk meredam berita yang meresahkan itu maka komandan kapal Eikenboom kembali mengumpulkan semua ABK dan melakukan briefing:
“Berita yang saya terima
mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pemogokan dikalangan marine
di Surabaya. Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek
untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian
tidak dapat menyetujui penurunan gaji. Saya sangat menyesal bilamana
kalian berbuat sesuatu yang tidak baik, karena dikapal ini sayalah yang
bertanggung jawab. Jadi saya harap semua ABK Tujuh jangan sampai ikut
dalam aksi pemogokan seperti yang terjadi di Surabaya itu !
Tetapi pidato itu tidak
menurunkan keresahan dikalangan ABK. Secara diam-diam Paraja, Rumambi,
Gosal dan beberapa kawan2 lainnya mengadakan rapat untuk menyusun suatu
rencana pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan atas kapal Tujuh itu
dan kemudia berlayar menggunakan kapal itu menuju Surabaya untuk
membebaskan kawan2nya para pemogok dan sejalan dengan itu membentuk pula
pendapat dunia umum untuk kepentingan perjuangan mereka. Diputuskan
bahwa yang duduk dalam pimpinan pemberontakan adalah Paraja, Rumambi,
Gosal, Kawilarang, Tumuhena, Suwarso & Hendrik. Hubungan juga
diadakan dengan corporal masinis Boshart dan kelasi2 bangsa Belanda
lainnya yang berjiwa progresif-revolusioner.
Diadakan kembali suatu
rapat di daratan yang dalam pertemuan itu dihadiri oleh Paraja, Rumambi,
Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa,
Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad,
Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Pada kesempatan itu hadir juga Maud
Boshart dkk yang ikut berbicara:
“Para perwira Belanda
telah memfitnah bahwa kelasi-kelasi Indonesia hanya bisa menggosok
tembaga saja, tetapi tidak berguna untuk bekerja dikapal perang Belanda.
Sekarang kesempatan terbuka bagi kawan-kawan semua untuk membuktikan
bahwa bangsa Indonesia dapat juga memimpin kapal perang dan omongan para
perwira Belanda itu sama sekali tidak benar “!!
Keputusan-keputusan yang telah diambil dalam pertemuan tadi ialah al. sebagai berikut:
* Gosal diberi tugas untuk menjaga keamanan dan memimpin pos-pos penjagaan.
* Kawilarang ditetapkan
sebagai komandan dengan dibantu oleh beberapa kawan yang cakap soal
navigasi yaitu R. Tuhumena & J. Parinussa.
* Paraja diberi tugas untuk mempersiapkan senjata dan peluru.
* Korporal masinis
Boshart ditetapkan sebagai kepala kamar mesin yang bertugas menjaga agar
kapal tidak mogok dalam perjalanan dan untuk tugas itu juga dilakukan
oleh kawan Mintje.
* Tanda untuk mengadakan pemberontakan akan diberikan oleh Kawilarang sendiri dengan cara meniupkan peluit serang.
* Hari yang ditetapkan
untuk mengadakan pemberontakan ialah pada hari sabtu tanggal 4 febuary
1933 pada malam hari (karena pada hari itu komandan kapal Tujuh dan para
perwira stafnya akan menghadiri pesta dansa di Atjeh Club, sehingga
akan memberi kesempatan buat Kawilarang dkk untuk menjalankan aksinya).
Pemberontakan Meletus.
“Pimpinan berada dalam
tangan orang-orang Indonesia dan mereka ini mengorganisir pemberontakan
itu dengan suatu kecakapan yang besar…………
Yang menjalankan tugas
sebagai kapten ialah kelasi kelas satu Kawilarang, seorang penyelenggara
navigasi yang boleh member pelajaran kepada banyak perwira Marine”
(Maud Boshart - Pemberontakan didaerah panas, Penerbit: Brosur CPN,
Amsterdam)
Pada tanggal 4 Febuary,
jam 4 sore dilakukan pertandingan sepak bola antara anak buah kapal
Tujuh dengan pihak tentara Angkatan Darat (KNIL) dengan hasil akhir
score 4-2 dengan kekalahan pada pihak anak buah kapal Tujuh. Setelah
selesai pertandingan pihak KNIL memberikan karangan bunga sebagai tanda
penghormatan atas pertandingan persahabatan itu. Setelah kembali ke
kapal maka oleh Maud Boshart karangan bunga itu digantung di dekat
tangga kapal. Ternyata taktik Boshart itu mencapai suatu hasil yang
memuaskan karena para perwira tidak curiga dengan semua ABK bawahan,
sehingga sebagian besar perwira kapal Tujuh beserta Eikenboom dan Meijer
(perwira satu), telah turun kedaratan sktr jam 8 malam untuk menghadiri
pesta dansa di Aceh Club.
Ketika situasi sudah
mulai aman maka Kawilarang segera membagi-bagi tugas kepada
kelasi-kelasi Indonesia untuk menduduki pos-pos yang telah ditetapkan.
Wahab, Saleh, Katenghado dan Manuputty memegang kemudi kapal, beberapa
orang lainya menurus mesin pengangkat jangkar, peta-peta untuk pelayaran
menyusuri pantai Sumatera walaupun tidak lengkap juga disiapkan, selain
melibatkan ABK bangsa Indonesia persiapan itu juga dibantu oleh
serdadu-serdadu laut bangsa Belanda (Mariniers).
Ketika persiapan sedang
dilakukan ada satu orang kelasi Belanda yang berkhianat yaitu corporal
Haastrecht (belakangan ketahuan bahwa dia adalah anggota SDAP) yang
diam2 turun kedaratan untuk menemui seorang kenalannya yaitu inspektur
Vermeer, lalu dengan segera mereka bersama-sama menuju rumah komandan
militer setempat untuk melaporkan hal tersebut. Sesampainya disana
mereka melihat Eikenboom dan para perwiranya juga ada disitu dan mereka
melaporkan kejadian apa saja yg sedang berlangsung di kapal Tujuh.
Dengan sombong komandan kapal itu tertawa sambil mengejek:
“Babi-babi itu hendak
melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal,
sedangkan sebeah kanan kapal saja mereka tidak dapat membedakan dari
sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar !”
Semua orang yang berada di dalam rumah komandan militer tertawa terbahak-bahak ketika mendengarkan ejekan Eikenboom itu.
Pada kira2 jam 8.30
malam Kawilarang memerintahkan ABK Subari untuk yang bekerja dalam
ruangan makan para perwira untuk memeriksa semua pistol yang ada
diruangan perwira dan memerintahkan ABK Hardjosuria yang bekerja didalam
ruang makan bintara untuk memeriksa tempat penyimpanan bedil (gewerrek)
dan gudang amunisi (peluru) meriam 28 cm.
Untuk kawan2 ABK yang
bertugas dikamar mesin bersama Boshart juga menampakkan ketangkasan yang
luar biasa. Tatipikalawan masuk melalui cerobong asap (schoorsteen)
kapal dengan cara diam-diam turun kebawah menuju kamar mesin dengan
dibantu oleh kawannya yang bernama Ali Partodihardjo. Mereka mulai
memanaskan mesin sedemikian rupa tanpa orang tidak dapat menduga bahwa
mereka sedang mengadakan persiapan dikamar mesin untuk memberangkatkan
kapal.
Dua orang kelasi
Indonesia, Parinussa dan Suwarso, beserta rombongannya ditugaskan untuk
mengamati orang Belanda yang dicurigai dan juga membantu menaikkan
sekoci jika kapal berangkat.
Semua tugas tersebut
dilakukan sebelum pemberontakan dimulai. Salvo tanda dimulainya
pemberontakan dilakukan dengan jalan meniup peluit serang
(bootsmanfluitje) yang dilakukan oleh Kawilarang sendiri sebagai
komandan tertinggi kapal.
Pada jam 10 malam oleh
petugas piket Belanda yang bernama Van Boven (letnan laut kelas dua)
baru diketahui bahwa peluru-peluru dalam lemari diatas geladak hilang
diambil orang.
Para perwira Belanda (18
orang) mencurigai Paraja lalu dengan segera mencari Paraja, tidak lama
kemudian mereka bertemu dengan Paraja di geladak kapal dekat meriam 28
dengan bercelana pendek dan berkaus, setelah bertemu maka Van Boven
memerintahkan Paraja untuk ganti baju berpakaian lengkap dan pergi
menghadap atasannya di daratan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Paraja, sebab ia mengetahui bahwa jumlah pihak lawan tidak banyak hanya
hitungan jari jika dibandingkan dengan kekuatan pemberontak yaitu 50
orang bawahan bangsa Belanda dan 190 orang bawahan bangsa Indonesia.
Sambil berlari meninggalkan para perwira tadi dengan maksud yang
disangka untuk mengganti baju maka Paraja turun menuju ruangan makan
bangsa Indonesia tempat dimana semua orang Indonesia & Belanda sudah
berkumpul bersenjata lengkap.
Sesudah Paraja tiba
diruangan makan ia berteriak dengan suara nyaring “Hai, Saudara-saudara
sekalian, sekarang sudah tiba saatnya untuk berontak, marilah kita
berontak, ayo, serbu sekarang !”
Kawilarang yang
mendengar suara Paraja langsung meniup peluit serangnya sebagai tanda
pemberontakan dimulai pada jam 10 malam itu. Penyerangan hebat secara
mendadak diadakan dibawah pimpinan Para.ja, Gosal, Sudiana, Mitje J,
Parinussa dan Suahardjo serta untuk memimpin ABK bangsa Belanda
penyerangan dilakukan oleh Boshart dan Dooyeweerd. 15 orang lainnya
langsung menguasai dan bekerja di kamar mesin.
Van Boven dkk yang
merupakan perwira jaga sangat terkejut dengan kejadian-kejadian yang
terjadi secepat kilat itu. Ia rupa-rupanya telah menyadari kenyataan
bahwa kalah siasat terhadap seorang kelasi Indonesia yang bernama Paraja
itu. Rekan-rekan Van Boven juga ikut panik, padahal mereka semua ketika
situasi “aman” selalu menonjol-nonjolkan dirinya sebagai golongan
perwira yang “academisch opgevoed” (berpendidikan tinggi) dan langsung
pucat ketakutan setengah mati. Para perwira itu kemudian ditangkap dan
dikumpulkan dalam satu ruangan makan para perwira (longroom).
Semua lampu dikapal
Tujuh dipadamkan hanya pada bagian sebelah muka saja lampu menyala
karena disitu adalah markas utama pemberontak.
Ada satu ruangan lagi yg
belum dikuasai oleh kaum pemberontak yaitu ruangan radio, disana
terdapat seorang perwira Belanda yang bernama baron Devos Van Steenwijk
yang sedang mengancam seorang kelasi Belanda untuk segera menyiarkan
pengumuman radio yang mengatakan bahwa telah terjadi pemberontakan
dikapal. Melihat hal itu dengan segera Boshart menuju kesana dan
sesampainya disana dengan beberapa kawan-kawannya Boshart yang berjiwa
revolusioner itu mencabut pistolnya sambil memerintahkan perwira itu
untuk meletakkan senjata, dia berteriak “Ga Weg, jij, of ik schiet
(pergi dari situ atau kau aku tembak), melihat ramainya kelasi2 Belanda
datang bersenjata lengkap perwira itu ketakutan dan menyerah.
Perwira Belanda yang
pada malam itu ditugaskan untuk mengawasi kapal selama Eikenboom dkk
turun adalah Vels & Bolhouwer, mereka diam-diam meloloskan diri
lewat patrijspoort (jendela kapal) dan berenang menuju daratan. Salah
seorang kelasi Indonesia mengetahui hal ini dan melakukan penembakan
tapi tidak mengenai sasaran sehingga mereka berhasil lolos.
Para perwira Belanda
lainnya juga ada yg lolos melarikan diri dengan cara berenang menuju
daratan tetapi sebelum itu mereka sempat mengunci kemudi kapal, di
tengah kesulitan karena kemudi terkunci Kawilarang dengan tangkas
menggunakan dua buah mesin (Stuurboord dan backboard) sebagai pengganti
kemudi yg sudah lumpuh itu. Dalam hal ini patut dicatat bahwa walaupun
pelabuhan Oleh-Le terdapat banyak pulau-pulau kecil dan ranjau2 karang
Kawilarang telah berhasil membawa kapalnya dengan selamat keluar dari
pelabuhan itu.
“Kapal Tujuh yang usang
itu datang dari Oleh-Le ke selat sunda dipimpin oleh seorang kelasi
bangsa Indonesia yang berkulit hitam itu dan di dorong maju oleh
mesin-mesin yang dilayani oleh seorang corporal masinis bangsa kulit
putih”
Sesudah meninggalkan
pelabuhan Oleh-Le kapal Tujuh memutar haluannya menuju Surabaya. Atas
perintah Kawilarang kemudi yg dikunci dengan slot merek Lips oleh
perwira Belanda tadi dihancurkan dengan palu besi yang beratnya 8 kg.
Dengan demikian kemudi kapal Tujuh itu dapat dipergunakan kembali.
Tanggal 5 Febuary 1933
pimpinan pemberontakan mengeluarkan suatu siaran dalam bahasa Belanda,
Inggris dan Indonesia yang dibacakan oleh Rumambi dan berbunyi sebagai
berikut:
“Kapal perang “Zeven
Provincien” pada waktu ini ada dibawah kekuasaan kami, anak buah kapal
“Zeven Provincien” berbangsa Indonesia, dengan bermaksud menuju
Surabaya, Sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali
kepada komandan semula. Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji
yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada
waktu berselang segera dibebaskan ! Keadaan dalam kapal aman tidak ada
paksaan dan tidak ada orang yang terluka”
Dalam brosur “Pemberontakan didaerah panas” dikatakan:
“Orang-orang Indonesia
ini: Kawilarang, Rumambi, Gosal, Hendrik, Paraja, dll mempunyai
keberanian besar dan pendirian yang tidak goncang. Tidak ada seorangpun
diantara mereka yang kehilangan akal. Pekerjaan dikapal berjalan secara
normal”
Karena panik kehilangan
kapal perangnya maka pasukan Belanda memerintahkan kapal perang
“Aldebaren” untuk mengejar kapal Tujuh, Eikenboom dkk yang merupakan
pemimpin tertinggi kapal Tujuh merasa terkejut & dihina atas
kejadian itu. Mereka turut juga dalam pengejaran itu. Ketika kapal Tujuh
mulai kelihatan mereka berusaha mendekat, tetapi Kawilarang langsung
mengirimkan isyarat jika kapal “Aldebaran” mendekat maka akan ditembak,
setelah melihat isyarat itu kapal Belanda menghentikan pengejarannya.
Setelah mundurnya kapal
perang “Aldebaran” maka pengejaran digantikan menggunakan kapal perang
penyebag ranjau “Goudenleeuw”, tetapi kapal tersebut juga hanya berani
mengikuti dari jauh. Kenapa dua kapal perang tadi tidak berani mendekat
ke kapal Tujuh, karena diantara ketiga kapal itu, kapal Tujuh memiliki
ukuran meriam yang paling besar dan persenjataan yang paling kuat.
Didalam kapal sempat
terjadi usaha2 pemberontakan yg dilakukan oleh para perwira Belanda yang
ditahan tetapi usaha2 mereka itu berhasil dipatahkan dan penjagaan
kepada mereka makin diperketat.
Kawilarang dan Boshart
sebagai lambang persatuan antara pejuang-pejuang keadilan Indonesia dan
Belanda, mereka telah membuktikan bahwa mereka dapat bersatu dan akan
tetap bersatu diatas dasar anti-kolonialisme !
Sementara itu kapal
Tujuh berlayar terus dibawah komando Kawilarang. Tanggal 5 febuary kapal
sudah berada di pulau Berueh, tanggal 6 febuary berada di pulau
Simeuleu, pulau nias, Tapaktuan, pulau Sinabang (7 febuary) dan pulau
Mentawai pada tanggal 8 febuary dan pada tanggal 9 febuary 1933 kapal
Tujuh berada disebelah barat Benkulen.
Pada tanggal 10 Febuary 1933 jam 9 pagi kapal Tujuh berada di Selat Sunda !
“Dikapal ini, kapal
Tujuh, dihari-hari yang bersejarah, sejak 4 febuary sampai dengan 10
febuary 1933, mereka (anak-anak buah kapal Tujuh) telah lebih dahulu
mengalami kemerdekaan kita, kemerdekaan bangsa Indonesia”
We Remember the Battle
And the heroes who fell in the field,
Sacred blood, running crimson,
Our Invinciple friendship has sealed.
All who cherish the vicion
Take the final decision,
Struggle for justice, peace dan goodwill
For Peoples throughout the world !
Terjemahan:
Kita kenangkan pertarungan
Dan semua Pahlawan yang gugur
Dengan darah suci yang kemerah-kemerahan
Persahabatan yang tidak terkalahkan telah termeterai,
Semua yang mencintai cita-cita
Ambil keputusan yang terakhir
Berjuang untuk keadilan, perdamaian dan kemauan baik
Untuk Rakyat seluruh dunia!
“Sikap para perwira
diwaktu pemberontakan dikapal Tujuh adalah merupakan akibat daripada
peraturan yang berlaku diangkatan laut dan juga diangkatan darat. Para
perwira ini, yang kebanyakan diambil dari golongan kelas yang berkuasa,
sejak masa mudanya didik sebagai suatu golongan tersendiri dan istimewa.
Mereka menjadi asing bukan saja terhadap anak buahnya, tetapi juga
terhadap rakyat.
Dengan tidak memiliki
sesuatu pengetahuan dilapangan politik dan terikat menurut tradisi
kepada paham-paham yang sangat reaksioner, mereka pada satu pihak kaget
dan bingung serta pada pihak lain buta oleh sesuatu kebencian yang tidak
mengenal batas dalam menghadapi hasrat kemerdekaan bangsa Indonesia dan
rasa setiakawan kaum pekerja Belanda. Dengan dikebirinya hidup para
perwira ini terciptalah orang-orang yang tidak berprikemanusiaan yang
dalam hubungan-hubungan lain bisa menjadi bisa menjadi orang-orang baik.
Orang harus memperhatikan keadaan ini memahami sikap para perwira yang
dilukiskan disini.” (Pemberontakan di daerah Panas – Brosur CPN)
Sementara itu berita
tentang pemberontakan di kapal Tujuh itu, sudah menjadi rahasia umum dan
tersiar dimana-mana, pers luar negeri al. surat2 kabar di New York,
Amsterdam, London dan paris memuat berita-berita tentang pemberontakan
tersebut dengan “headline” yang sangat menarik. Surat kabar yang
diterbitkan oleh bangsa Indonesia secara hati-hati memberitakan
peristiwa ini karena ada “ranjau pers” dari pemerintahan Belanda. Salah
satu korbannya adalah Sodara Tjindarbumi, hopredaktur “Suara Umum” yang
ditahan akibat pemberitaan pemberontakan di kapal Tujuh.
Pers luar negeri yang
dibawah pengaruh kaum kapitalis mengutuk pemberontakan di kapal Tujuh
itu dan melancarkan kritik yang tajam kepada pemerintah Belanda karena
dianggap terlalu lemah dengan kaum pemberontak. Mereka menuduh kaum
komunis sebagai biang keladi pemberontakan itu dan menamakan kapal Tujuh
sebagai “Potemkin II” (Potemkin terkenal dalam sejarah sebagai salah
satu kapal perang Rusia, dimana pernah timbul pemberontakan melawan
kekuasaan Tsar Nikolas II).
Semua anak buah kapal
(ABK) bangsa Indonesia di kapal perang “Java”, “Sumatera”, “Piet Hein”,
dan “Evertsen” yang dicurigai telah di turunkan di pelabuhan Surabaya
dan senjata mereka telah dilucuti, karena pemerintah Belanda takut jika
melibatkan pelaut Indonesia dalam pengejaran pasti mereka akan menolak
untuk menembak kawan senasibnya sendiri.
Pengejaran mulai
dilakukan oleh kapal perang “Java” dengan diringi oleh dua kapal pemburu
torpedo, masing2 bernama Piet Hien dan Evetsen dan juga melibatkan
kapal perang Belanda yang baru datang dari Eropa yaitu “Gouden Leeuw”
serta didatangkan juga dua gelombang pesawat terbang Dornier yang
memiliki bom seberat 50 kg, penyerangan ini dilakukan karena Kapal Tujuh
tidak memiliki meriam penangkis serangan udara.
Kapal perang “Java” yang
dipimpin oleh Van Dulm setelah mendekat dari jauh memberikan ultimatum
agar kapal Tujuh segera menyerah, tetapi mereka tidak berani mendekat
dalam radius jarak tembak kapal Tujuh karena meriam 28 sudah mengarahkan
moncongnya ke arah kapal perang “Java”. Van Dulm mengancam akan menyapu
bersih kapal Tujuh dari permukaan laut jika tidak mau menyerah. Tetapi
Kawilarang, Rumambi, Paraja, Boshart dkk tidak mau menyerah malahan
merobek-robek kawat yang dikirimkan dan mengirim balik pesan: “Kami
tidak mau di ganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya”
Tidak lama kemudian
terdengar dengungan mesin pesawat terbang type Dornier D 11 terbang
melayang-layang diatas kapal Tujuh. Pesawat itu juga mengirmkan perintah
agar menyerah saja. Tetapi Kawilarang dkk sudah bertekad tidak mau
menyerah kalah dan bertekad bulat untuk berjuanga terus pantang mundur.
Sepuluh menit kemudian
karena tidak menggubris perintah itu beberapa pesawat Dornier mulai
melakukan manuver untuk menyerang kapal Tujuh. Pesawat Dornier pertama
mulai menukik dan membuang bom seberat 50 kg itu, bom pertama tidak
mengenai sasaran tetapi bom yang kedua jatuh tepat diatas geladak
jembatan dekat meriam depan dan beberapa pesawat di belakangnya mulai
melakukan penembakan dengan senapan otomatis. Peristiwa itu terjadi pada
pukul 9.18 pagi. Ledakan bom itu dibarengi dengan jeritan dari
orang-orang yang mendapat luka, akibat ledakan bom itu memang sangat
mengerikan terbukti dari kenyataan yang menghancurkan bagian gelada
depan kapal Tujuh. J Pelupessy mendapat luka, Sagino kehilangan sebelah
matanya sambil merintih kesakitan, secara perlahan-lahan Pelupessy
mendekati korban: “Pessy tolong saya, katanya, inilah nafasku yang
penghabisan, kerajaan Belanda tidak akan lama lagi tamat riwayatnya. Dan
ini Straat Sunda bukan selat sunda melainkan Selat kapal Tujuh!”
Sesudah berkata demikian
maka putuslah nyawanya. Banyak kawan-kawan yang lain juga meninggal
karena luka-luka akibat pemboman itu: Sagino, Amir, Said Bini, Miskam,
Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, Simon
dan Paraja.
Berikut ini adalah kesaksian Maud Boshart:
“Suatu tiang api yang
dahsyat meluncur ke udara dari atas tempat, dimana sejumlah besar
manusia berdiri menonton pesawat2 terbang. Tekanan udara menyebabkan
saya jatuh terpelanting diatas geladak dan saya berdiri lagi untuk
mencari perlindungan. Segera sesudah itu datang lagi tiga pesawat
pembomb untuk membom sasaran tetapi tidak ada satupun yang mengenai
sasaran.
Sesudah pesawat terbang
itu terbang melalui kapal, maka sayapun segera pergi kebagian depan.
Saya tidak dapat menahan airmata saya. Mereka kawan2 saya tergeletak
diatas geladak dengan tubuh yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan2
kecil ada yang terbakar ada yang berguling-guling dalam darahnya dengan
luka-luka yang sangat mengerikan. Seorang kawan pemukul gendang
didadanya luka sebesar menyerupai lubang tinju tangan.
Suatu kehancuran besar
telah terjadi, papan-papan baja menjadi bengkok, balok-balok geladak
hancur binasa, sedangkan disekitar dan diatasnya bermain-main nyala api
yang kecil yang berwarna biru kuning”
Setelah kejatuhan bom
itu awak kapal Tujuh panik, kebakaran terjadi di berbagai sisi kapal
tetapi dengan sigap dan tangkas kebakaran itu dapat dipadamkan oleh awak
kelasi yang masih hidup. Untuk mencegah bencana yang lebih besar
beberapa ABK berinisiatif untuk membuang peluru meriam 28 kelaut karena
takut meledak akibat panasnya api. Setelah melihat kerusakan yang cukup
parah Kawilarang yg juga pada saat itu terluka parah di kepalanya segera
memberi perintah untuk menghentikan semua mesin kapal. Kenapa kapal
Tujuh tidak melakukan perlawanan karena kapal tersebut tidak dilengkapi
dengan meriam anti penangkis serangan udara.
Setelah melihat kapal
Tujuh berhenti maka secara perlahan-lahan dari kapal pemburu “Piet Hein”
mengirimkan beberapa buah sekoci yang diisi marinir2 serta
perwira-perwira bersenjata lengkap. Setelah sampai di kapal Tujuh para
mariner itu langsung membebaskan para perwira Belanda yang ditangkap dan
membebaskan mereka. Para pemberontak bangsa Indonesia dan Belanda tidak
melakukan perlawanan lagi disebabkan karena keadaan yang tidak
mengijinkan.
Akibat pemboman itu
kapal Tujuh kelihatan agak miring. Para pemberontak yang berbangsa
Indonesia diangkut dengan kapal perang “Java” sedangkan yang berbangsa
Belanda diangkut dengan kapal “Orion”. Kapal pemburu “Eversten”
mengangkut orang2 yang sudah gugur akibat luka-lukanya. Mereka yang
gugur itu dimakamkan dalam satu lobang di pulau Kerkhof, sedangkan
rekan-rekannya yang berbangsa Belanda di pulau Purmerend. (Kekuasaan
colonial mempertahankan diskriminasi bangsa-bangsa hingga saat akhir).
Para pemberontak yang
masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan kedalam kamp tawanan
di pulau Onrust, dimana mereka akan meringkuk disana selama kl. 7 bulan
(pulau Onrust ini letaknya tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok
kira-kira 1 jam perjalanan)
Berikut adalah kesaksian Boshart kembali:
“Sebuah barak itu
terdiri dari sebuah tembok setinggi orang dengan atapnya yang terbuat
dari seng. Diantara atap dan tembok terdapat ruang dari setengah meter
yang ditutup dengan kawat berduri.
Peraturan tata tertib
diumumkan sebagai berikut: “Siapa yang melalui ruang terbuka ditembak
tanpa peringatan. Jikalau membuat ribut, maka geranat tangan akan
dilemparkan tanpa peringatan kedalam barak. Tindakan ini diambil juga
terhadap kelasi2 yang berani tertawa atau berbicara dengan suara keras”.
Para tawanan yang tidak
mau menandatangani pernyataan/pengakuan tidak diberi makan selama 3
hari. Para tawanan yang diperiksa tidak boleh berpindah dari pusat atau
meliwati batas lingkungan yang digaris dilantai dengan kapur dan mereka
harus berdiri daripagi sampai sore dengan tangan diborgol sambil diancam
oleh para serdadu bersenjata lengkap.
Sesudah 7 bulan lamanya
mengalami perlakuan yang fasis itu maka pada tanggal 19 september 1933
mereka dipindahkan ke Sukalila menggunakan kapal “Zuiderkruis” tetapi
Kawilarang dan Boshart karena dianggap berbahaya dikirim ke Jakarta.
Kemudian melalui
peradilan kolonial mereka semua anak marine bangsa Indonesia diadili dan
di kenakan hukuman maksimal 18 tahun (untuk Kawilarang) dan 6 tahun
paling rendah bagi yang lainnya. Menyusul juga kemudian anak buah kelasi
bangsa Belanda di kenakan hukuman maksimal 16 tahun (Maud Boshart) dan
minimal 4 tahun paling rendah. Jadi total kira-kira 545 ABK bangsa
Indonesia dan 81 ABK bangsa Belanda yang ditahan akibat pemberontakan di
kapal Tujuh itu.
Dalam Perjuangan cita-cita luhur ini mereka bukan kalah tetapi gagal; Dan kegagalan bukan berarti kekalahan!
Perjuangan rakyat yang
revolusioner (bukan kontra revolusioner!) mungkin mengalami kegagalan,
tetapi tidak mungkin ia mengalami kekalahan!
Dan setiap kegagalan
bagi setiap orang revolusioner adalah sama dengan latihan yang membawa
kita kearah pintu gerbang kemenangan!
Hanya orang yang
progresif yang mengerti akan panggilan zaman dan yang memihak kepada
Rakyat dan Revolusi serta dapat dijadikan karyanya sebagai alat
revolusi.
************************************************
• WI. LENIN, Gerakan Pembebasan Nasional di Timur – Menyambut Ulang Tahun ke 45 PKI, Jajasan Pembaruan, 1965
• Sejarah Pemberontakan di Kapal Tujuh (Zeven Provincen) – M. Sapija, 1960
• Maud Boshart, Pemberontakan di Daerah Panas - Brosur CPN, 1949
• Prof. Iwa Kusuma Sumantri SH, Sejarah Revolusi Indonesia, Masa Perjuangan Sebagai Perintis Revolusi, jilid pertama
0 comments:
Posting Komentar