Pages

Subscribe:

Selasa, 10 Februari 2015

SEJARAH PEMBERONTAKAN DI KAPAL TUJUH (ZEVEN PROVINCEN)


…………….” Pemberontakan “Kapal Tujuh” adalah pemberontakan anti kolonial pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia…………

Jiwa “Kapal Tujuh” adalah jiwa yang tidak akan ada mati-matinya, Dia adalah api abadi”.

“Harian Rakyat”, 5 Febuary 1958

Pemberontakan di Kapal Tujuh yang dilakukan pada tanggal 4 febuary 1933 tak dapat tidak merupakan suatu pendahuluan daripada kejadian-kejadian yang hebat di Indonesia yang dialami oleh kita pada masa sekarang. Pemberontakan ini merupakan suatu pengalaman hebat yang dialami dalam perjuangan melawan modal. Pengalaman itu membuktikan kekuatan persekutuan antara rakyat pekerja di negeri belanda dan rakyat tertindas di Indonesia. Pemberontakan itu tak dapat dihapuskan dan tinggal tercatat dalam buku sejarah pembebasan bangsa-bangsa yang terjajah.

Paraja, Rumambi, Gosal, Kawilarang, Maud Boshart dan semua kawan-kawan lainnya………… Beberapa diantaranya telah gugur, yang lain telah dipenjarakan bertahun-tahun lamanya. Tetapi tak ada suatupun yang dapat menolong memadamkan api yang pernah dinyalakan.

Umat manusia tidak lupa wajah kelasi Indonesia Kawilarang yang dengan mempergunakan mesin-mesinnya sebagai pengganti kemudi dapat menghindari karang Oleh-le dan juga tidak lupa persahabatannya denagn masinis Boshart dari negeri Holland yang dalam kamar mesin membaca dan mengerjakan semua perintah yang dikirimkan oleh Kawilarang melalui pesawat telegraf.



Dengan memperhatikan uraian yang saya sitir diatas maka kita bangsa Indonesia sebenarnya harus merasa bangga bahwa 76 tahun yang lalu para pemuda Indonesia telah menampakkan sikap-sikap kepahlawanan dalam peristiwa pemberontakan di Kapal Tujuh itu sehingga dengan demikian jalan yang menuju kearah proklamasi 17 Agusutus 1945 menjadi lebih lurus dan lebih pendek dengan bertambahnya kesadaran berjuang yang ditimbulkan oleh salah satu peristiwa besar yaitu peristiwa pemberontakan di Kapal Tujuh, dari pengalaman itu ada hal-hal yang dapat kita ambil pelajaran yaitu “Bahwa peristiwa-peristiwa pada masa sekarang adalah hasil atau katakanlah lanjutan daripada peristiwa-peristiwa revolusioner yang telah terjadi di masa lalu”

Setiap kejadian revolusioner dalam perjuangan menentang Imperialisme & Kapitalisme pada hakekatnya mengandung bibit-bibit untuk melahirkan kejadian-kejadian revolusioner berikutnya.

Peristiwa pemberontakan di Kapal Tujuh merupakan pemberontakan yang mana terang sekali berada dibawah pengaruh nasionalisme yang revolusioner (kiri). Pemberontakan tersebut pada hakikatnya merupakan salah satu mata rantai dalam rangkaian aksi-aksi revolusioner yang pernah terjadi di Indonesia.

Memang harus diakui bahwa pemberontakan di Kapal Tujuh itu bukan merupakan suatu aksi komunis, akan tetapi tidak dapat dibantah lagi bahwa pemberontakan itu merupakan suatu aksi revolusioner!!

Barang siapa memandang pemberontakan di Kapal Tujuh itu sebagai salah satu kejadian yang berdiri sendiri terlepas dari kejadian-kejadian yang lampau, sesungguhnya membuat suatu kekeliruan besar yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah!

Faktor-faktor pendorong utama di Indonesia yang nantinya akan menjadi pemicu pemberontakan di Kapal Tujuh:

1. Sebagian besar rakyat Indonesia, sejak Belanda mendirikan pemerintahan kolonial di Tanah Air Kita, menderita nasib yang sangat buruk terutama di lapangan ekonomi, dimana rakyat harus menerima peraturan-peraturan kapitalis dan perlakukan-perlakuan yang sangat menurunkan martabatnya sebagai manusia, bahkan sampai-sampai ada diantara kaum penjajah yang berani mengatakan bahwa rakyat Indonesia cukup hidup dengan sebenggol sehari, di daerah-daerah khususnya pulau jawa & sumatera, kapitalisme dalam bentuk modal monopoli asing mengakibatkan penderitaan-penderitaan di lapangan ekonomi berupa kemiskinan dan kemelaratan diantara rakyat – Dalam setiap agresi kaum Imperialis tujuan yang pokok bagi mereka bukan hanya menduduki daerah lawan tetapi yang terutama adalah untuk merebut alat-alat produksi seperti pabrik2, perkebunan2 dan sebagainya.

Penderitaan rakyat Indonesia dengan adanya peraturan-peraturan colonial tersebut telah menderita dibawah dua macam penghisapan dan penindasan, yaitu pertama: penghisapan dan penindasan dibawah kaum penindas colonial Belanda dan kedua: dibawah penindas feudal Indonesia yang dalam hal ini bersekongkol dan bersatu dengan pihak penjajah!

2. Dilapangan politik, rakyat terutama para pemimpinnya mengalami larangan yang macam-macam yang mempersempitkan kemerdekaan berfikirnya, “tidak boleh ini & tidak boleh itu”.

Pada tahun 1914 pada bulan mei didirikanlah ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) yang beraliran sosialisme kiri oleh seorang Belanda totok yang bernama Hendricus Sneevliet. Dia merupakan orang pertama yang membawa aliran sosialisme kiri yang kemudian terkenal dengan nama komunisme itu ke Indonesia. Berjalannya waktu H. Sneevliet ternyata dapat mempengaruhi Sarekat Islam yaitu suatu perkumpulan para pedagang islam yang didirikan pada tahun 1911, pada saat itu SI merupakan organisasi terbesar di Indonesia. Para pemimpin-pemimpin Sarekat Islam mengijinkan dan member kesempatan H. Sneevliet untuk berbicara dan hadir dengan leluasa dalam kongres-kongres atau pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Sarekat Islam. Dengan adanya pengaruh H. Sneevliet tadi, maka semangat anti kapitalisme dan imperialism semakin meluap-luap didalam SI.

Kemenangan revolusi oktober di Rusia dibawah kepemimpinan Partai Bolseviks (Lenin) yang menghantarkan kaum buruh menuju kekemenangannya dalam menggulingkan kekuasaan kelas feudal & kaum borjuis memberikan dukungan moreel yang amat besar kepada H. Snevliet dkk untuk melebarkan pengaruh ISDV dengan aliran sosialisme kirinya.

Kejadian-kejadian dalam revolusi oktober yang didukung oleh kaum komunis di Rusia itu dibentangkan secara jelas oleh ISDV yang bernama “Het Vrije Woord” (Pikiran Bebas). Dengan demikian kaum terpelajar bangsa Indonesia, yang berada dibawah pengaruh ISDV, semakin condong untuk mengajak massa rakyat menempuh jalan revolusioner.

Mengenai kebangkitan gerakan perlawanan di Jawa ini Lenin pernah berujar:
………………….. ”Suatu perkembangan yang penting adalah meluasnya gerakan demokratis revolusioner ke Hindia Belanda, ke Jawa dan jajahan-jajahan Belanda lainnya yang berpenduduk kurang lebih 40 juta.

Ia dilakukan oleh, pertama, massa Rakyat Jawa, dikalangan mana telah timbul gerakan nasionalis Islam, kedua, oleh intelegensia yang dilahirkan oleh perkembangan kapitalisme. Mereka terdiri dari orang-orang Eropa yang telah menyesuaikan diri dengan keadaan ditanah jajahan yang menuntut kemerdekaan untuk Hindia Belanda, ketiga, penduduk Tionghoa yang cukup banyak jumlahnya di Jawa dan pulau2 lainnya, yang membawa gerakan revolusioner dari Tiongkok.

Dalam melukiskan kebangkitan ini, van Ravesteyn, seorang Marxis Belanda, menunjukkan bahwa despotism dan tirani pemerintah Belanda yang sudah berabad-abad itu kini menjumpai perlawanan dan protes yang kuat dari massa pribumi”…………………….

…………………………….”Di Jawa telah terbentuk perkumpulan Pribumi Nasional yang mempunyai anggota 80.000 dan mengadakan rapat2 masal. Tidak ada berhentinya pertumbuhan gerakan demokratis itu.

Akhirnya Kapitalisme dunia dan gerakan 1905 di Rusia telah membangkitkan Asia. Beratus-ratus juta kaum yang terhina dan yang berada dalam kegelapan telah tergugah dari kemacetan jaman tengah kekehidupan yang baru dan bangun berjuang untuk hak2 manusia dan demokrasi yang elementer.

Kaum buruh negeri-negeri yang maju dengan perhatian dan inspirasi mengikuti pertumbuhan yang perkasa dari gerakan kemerdekaan ini, dalam segala bentuknya, disetiap penjuru dunia. Borjuasi Eropa, takut akan kekuatan gerakan buruh, mencari bantuan kepada kekuatan-kekuatan reaksi, militerisme, klerikalisme dan obskurantisme. Tetapi proletariat negeri-negeri Eropa dan demokrasi yang muda di Asia, yakin sepenuhnya akan kekuatannya dan dengan kepercayaan yang abadi kepada massa, sedang maju merebut tempat dari borjuasi yang dekaden dan sekarat ini.

Kebangkitan Asia dan awal perjuangan proletariat Eropa yang maju untuk kekuasaan adalah lambang taraf baru dalam sejarah dunia yang dimulai pada awal abad ini”……………………………………..

Dari uraian Lenin diatas kita melihat bagaimana kebangkitan Rakyat Jawa untuk menentang kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial semakin menjadi-jadi tahun demi tahun berikutnya dan tidak heran jika pada akhirnya pemimpin-pemimpin ISDV itu, bertindak semakin tegas dengan mendirikan secara terang-terangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 mei 1920. Bahwa suatu kenyataan PKI adalah Partai yang pertama-tama memakai nama Indonesia, dan itu yang merupakan salah satu factor yang menyebabkan PKI popular namanya diantara rakyat.

Diantara para pemimpin-pemimpin PKI itu telah diadakan pembagian tugas antara lain sebagai berikut:

• Semaun, Darsono, Tan Malaka & Alimin, ditugaskan untuk mendekati rakyat yang merupakan massa dari Sarekat Islam.

• Sneevliet ditugaskan untuk mendekati serdadu-serdadu Bangsa Belanda dalam Angkatan Darat.

• Brandsteder untuk mendekati serdadu-serdadu bangsa Belanda dalam Angkatan Laut.

• Ir. Baars dan Van Burink untuk mendekati pegawai-pegawai negeri bangsa Belanda bagian sipil.

Pembagian tugas diatas memberikan kesan bahwa sangat boleh jadi pemberontakan di kapal Tujuh itu salah satu akibat atau hasil juga dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Brandsteder sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pimpinan PKI itu.

Dan lagi kalau diingat bahwa sebagian besar kaum pemberontak di kapal Tujuh itu dilakukan oleh anggota-anggota serikat buruh dalam Angkatan Laut Belanda yang bernama “Inlandsche Marine Bond”, maka timbullah suatu kesan bahwa pengaruh PKI juga merupakan salah satu factor yang merupakan timbulnya aksi revolusioner yang berupa pemberontakan di kapal Tujuh itu.

Pada bulan November 1926 dan bulan febuary tahun 1927 timbullah pemberontakan PKI melawan kaum penjajah Belanda, pemberontakan itu dilakukan di jawa dan juga menjalar ke sumatera. Pemberontakan ini gagal dan mengakibatkan PKI oleh pemerintah colonial Belanda dinyatakan sebagai salah satu partai terlarang. Walaupun pada saat itu partai hancur berantakan, ribuan kader-kader & anggotanya banyak yang di tahan serta diasingkan ke Digul masih ada juga beberapa orang yang luput atau lolos tidak ditahan atau di tangkap, melalui perantaraan kader2nya itu maka perjuangan partai beralih dari perjuangan secara legal menjadi perjuangan secara illegal.

Faktor Pendorong kedua

Sesudah berakhirnya perang dunia pertama (1918), pemerintahan colonial Belanda memandang perlu untuk melengkapi armadanya dengan dua kapal penjelajah (cruiser) baru yang masing-masing diberi nama “Java” & “Sumatera”. Untuk melengkapi armada lautnya maka Belanda sangat membutuhkan tenaga-tenaga, terutama tenaga yang masih muda, untuk dipekerjakan dalam ikatan dinas Angkatan Laut Belanda yang pada masa itu bernama “Koninklijke Marine”. Banyak pemuda-pemuda, oleh karena tertarik dengan propaganda Belanda tadi, mendaftarkan dirinya untuk masuk bekerja dalam “Koninklijke Marine”.

Pada umumnya para pemuda yang diterima untuk bekerja dalam dinas AL Belanda tersebut terdiri dari pemuda2 yang terpelajar dan mampu berbahasa Belanda. Pemerintah colonial Belanda saat itu juga mengijinkan para pemuda-pemuda tersebut untuk mendirikan organisasi-organisasi serikat buruh yang tujuannya adalah memperjuangkan perbaikan nasib anak marine bangsa Indonesia yang bekerja dalam ikatan dinas Angkatan Laut Belanda. Maka sejak itu berdirilah dua buah organisasi serikat buruh yaitu:

I. Inlandsche Marine Bond dengan singkatan IMB dengan jumlah anggota kl. 1100 orang

II. Inlandsche Christelijke Marine Bond dengan singkatan I.Ch.MB dengan jumlah anggota kl. 500 orang.

Pemerintahan Belanda rupa-rupanya lupa bahwa organisasi-organisasi serikat buruh merupakan suatu saluran yang bagus untuk menyalurkan kesadaran kebangsaan Indonesia kedalam tubuh Angkatan Laut Belanda.

Mengenai IMB perlu dicatat disini adalah organisasi ini lebih progresiff dalam tindakan-tindakannya dari pada pada organisasi serikat buruh yang kedua yaitu I.Ch.MB yang memakai kitab Injil (Bijbel) sebagai dasar perjuangannya.

Bahkan pada perkembangannya pada masa itu pada IMB ditetapkan juga Marx-isme sebagai dasar ideology organisasi pada saat itu. Salah satu tujuan dari perjuangan IMB adalah untuk mencapai perbaikan nasib dari anggota-anggotanya dan berusaha memperkuat untuk menciptakan persatuan antara anak-anak marine bangsa Indonesia dengan anak-anak marine bangsa Belanda, jadi hal ini sudah sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Karl Marx dalam sebuah bukunya: “Kaum Buruh Seluruh Dunia Bersatulah”.

Disamping organisasi IMB & I.Ch.MB tadi juga terdapat pula organisasi serikat buruh Belanda, dimana kl. 900 orang anak marine bangsa kulit putih yang berpangkat dibawah bintara tercatat sebagai anggota.

Para bintara Belanda tersebut membentuk organisasi serikat buruhnya yang bekerjasama dengan organisasi serikat buruh bawahan Belanda dalam satu comite yang dinamakan: CAMBO (Comite to Behartiging van de Algemeene Belangen Van Het Marine Personeel Beneden de Rang Van Officier).

Dapat diterangkan disini bahwa pada umumnya para pemimpin CAMBO berada dibawah pengaruh SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij). Jadi kesimpulannya pengaruh-pengaruh didalam lingkungan Marine Belanda di Indonesia dapat ditetapkan sebagai berikut: pengaruh nasionalisme Indonesia, pengaruh paham buruh (Marxis-me atau Sosialisme Kiri) dan ketiga adalah pengaruh SDAP (Sosialis Kanan).

Di Indonesia juga ada pengaruh SDAP yang dibawa oleh JE. Stokvis dkk tetapi pengaruhnya tidak besar karena tidak mengakar pada massa rakyat, sangat berbeda dengan ISDV-nya H. Sneevliet yang menghubungkan massa rakyat dengan aliran sosialisme kirinya didalam perjuangannya.

Menurut keterangan anggota Tweede Kamer Belanda yang bernama Vliegen pada tanggal 8 maret 1933, maka organisasi serikat buruh Belanda yang terdapat dalam lingkungan Koninklijke Marine terdapat pengaruh SDAP. Pada saat itu perlu diketahui bahwa anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di Surabaya (1932-1933) berjumlah kl. 4200 orang, diantaranya terdapat 2200 orang Indonesia, sedangkan sisanya adalah 2000 orang Belanda. Diantara 2000 orang Belanda ini terdapat kl. 700 orang dibawah pengaruh SDAP, maka dapatlah dibayangkan bahwa pengaruh SDAP dalam Angkatan Laut Belanda di Indonesia dapat ditempatkan pada urutan no. 2, sedangkan pengaruh nasionalisme Indonesia dan nasionalisme kiri bergabung menjadi satu pada urutan no. 1. Perhitungan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa anggota IMB yang berada dibawah pengaruh nasionalisme Indonesia dan sosialisme kiri berjumlah kl. 1100 orang. IMB pada saat itu memang terkenal sebagai salah satu vakbond yang berhaluan kiri.

Hal ini dapat dilihat antara lain pada artikel2 yang dimuat dalam majalah IMB yang bernama “Sinar Lautan”. Dalam majalah itu dimuat karangan-karangan yang bertendes kiri yang terang sekali dipengaruhi oleh aliran nasionalisme kiri yang bersifat revolusioner ! Salah satu hal yang menyebabkan kaum nasionalis & rakyat Indonesia lebih mudah terpengaruh oleh Sosialisme Kiri daripada Sosialisme Kanan (SDAP), bahwa dalam kenyataannya dalam membela cita-cita Indonesia Merdeka kaum Sosialis Kiri (Sneevliet dkk) adalah lebih tegas dan revolusioner daripada kaum Sosialis Kanan (Stokvis, Ir Cramer, Prof. Van Gelderen dkk) yang dalam banyak hal bersifat lunak (reformis) dan reaksioner kepada cita-cita Indonesia Merdeka ! Pada masa itu massa rakyat di Indonesia lebih suka kepada sifat-sifat tegas, radikal & revolusioner dengan sendirinya mereka lebih condong untuk bekerjasama dengan kaum Sosialis Kiri.

Selain berpropaganda lewat majalah para anggota IMB juga mulai mengadakan aksi untuk menuntut kesejahteraan bagi anggota2nya. Tidak mengherankan aksi2 bahwa aksi-aksi IMB mulai mendapat perhatian dari pihak atasan (dalam hal ini perwira2 Angkatan Laut Belanda). Lebih-lebih lagi ketika IMB mendapat kunjungan dari wakil-wakil buruh yang datang dari negeri Belanda yaitu tuan Danz & Kupers (yang merupakan perwakilan dari SDAP), maka boleh dikatakan perhatian tadi semakin menjadi besar dan menjadi “kewaspadaan kolonial”

Dalam hubungannya harus dicatat pula, bahwa aksi-aksi IMB sangat berbeda dengan aksi-aksi I.Ch.M.B yang memakai Bijbel sebagai dasar perjuangannya. Kalau aksi-aksi IMB adalah progresif & revolusioner maka aksi-aksi I.Ch.M.B sangat lunak, bahkan sangat lunak untuk tidak mengatakannya sangat reaksioner. Seorang pendeta yang bernama Westplat dengan sengaja diangkat oleh Belanda menjadi Vlootpredikant, yaitu pendeta yang melayani urusan kerohanian anak buah kapal perang Belanda yang beragama Protestan tetapi selain itu dia juga mengemban tugas untuk mengawasi gerak gerik I.Ch.M.B agar jangan sampai para anggotanya mengikuti jejak IMB untuk melakukan aksi-aksi kiri.

Dengan adanya aksi-aksi pendeta tadi, maka salah satu rencana yang telah lama dibuat untuk mengadakan fusi antara I.Ch.M.B dan IMB pada tahun 1931 menjadi gagal, malah antara “Sinar Lautan” (IMB) dan “Pedoman Kita” (majalah I.Ch.M.B) timbul suatu polemik yang sengit mengenai metode aksi & tujuan perjuangan serta sikap terhadap pemerintah yang berkuasa.
Pimpinan IMB yang terdiri dari tenaga-tenaga yang masih muda dan progresif merupakan jaminan bagi pelaksanaan azas2 perjuangan yang revolusioner. Juga dalam pimpinan majalah “Sinar Lautan” duduk tenaga2 yang berjiwa revolusioner a.l. Paraja, Lampah, Tambahani, Sudiro, dsb. Dalam halaman2 Sinar Lautan kita sering jumpai karangan-karangan yang mensinyalir adanya tindakan-tindakan yang tidak adil dari para perwira Belanda. Sering terjadi bahwa karangan-karangan yang ditulis oleh perwira-perwira Belanda dalam pers Belanda yang menyinggung perasaan bangsa Indonesia sering langsung ditangkis oleh Sinar Lautan secara zakelijk & objectif. Salah satu tulisan yang pernah dilansir oleh salah seorang perwira Belanda berbunyi k.l. sbb:

“De Inlanders zijn niet geschikt om aan boord van de Holandsche Marineshepen te werken. Ze kunnen allen koperpoetsen” – Orang-orang Indonesia tidak cakap untuk bekerja dikapal-kapal perang Belanda, mereka hanya bisa menggosok tembaga saja.

Tulisan pena ini berasal dari salah satu seorang letnan laut Belanda yang bernama Ten Kruis dan segera saja tulisan yang menghina ini mendapat bantahan dari Sinar Lautan. Salah satu penyebab juga mengapa terjadi pemberontakan di Kapal Tujuh itu juga akibat tulisan ini. Karena bagaimanapun juga orang-orang tidak dapat membantah kenyataan, bahwa Kapal Tujuh pernah dikuasai oleh orang-orang Indonesia yang memberontak kepada Belanda dan lagi kaum pemberontak ini telah membuktikan bahwa mereka cakap memimpin navigasi dan menjalankan Kapal Tujuh itu ditengah-tengah samudra luas tanpa bantuan atau pertolongan perwira-perwira Belanda. Bukankah kenyataan ini “memukul hancur” tulisan perwira Belanda Ten Kruis yang bersifat menghina tadi.

Para perwira2 Belanda itu juga sering memperlihatkan sikap yang sombong dan tidak begitu erat bergaul dengan anak buahnya, kebanyakan diantara mereka suka sekali mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kurang pantas kepada bawahannya, misalkan mereka suka sekali menggunakan kata-kata God Verdomme (GVD), Vuile Inlander, dsb juga mereka mengadakan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminasi dan sangat mencolok mata, misalnya perbedaan dalam soal makanan. Sebagai contoh jika anak buah kapal bangsa Indonesia diberi ransum ikan asin, sedangkan anak2 buah kapal bangsa Belanda tidak pernah diberi ransum ikan asin tetapi selalu diberi ransum daging, contoh yang lain adalah soal lemari pakaian, lemari2 pakaian orang Indonesia selalu ditempakan dibagian bawah berdekatan dengan ruangan kamar mesin yang selalu mengeluarkan hawa panas, sedangkan lemari pakaian anak2 buah kapal bangsa Belanda selalu ditempatkan sebelah atas yang jauh dari hawa panas ruang mesin.

Dalam hal gajipun juga terdapat perbedaan2 yang sangat mencolok mata walaupun kedua belah pihak (marine Indonesia & Belanda) mempunyai tugas dan kewajiban yang sama – gaji seorang anak buah marine bangsa Indonesia berjumlah kl. separo dari gaji seorang kelasi Belanda).

Pada akhir tahun 1932 pemerintahan Belanda melakukan pemangkasan gaji semua anak buah marine baik itu bangsa Indonesia maupun bangsa Belanda, keadaan ini menimbulkan kegelisahan kedua belah pihak. Aksi-aksi penurunan gaji mulai diorganisir bukan saja oleh IMB tetapi juga oleh organisasi serikat buruh bawahan Belanda yang di pimpin oleh CAMBO. Dalam hubungan ini sikap I.Ch.M.B sangat menarik perhatian, kalau tadinya dibawah pimpinan ketua yang lama organisasi ini seakan2 pasif menghadapi persoalan penurunan gaji, maka secara mendadak bangkit semangat “anti-kapitalismenya”. Pada bulan januari 1933 I.Ch.M.B mengadakan rapat protesnya terhadap penurunan gaji di gereja Pasiran (Surabaya) dimana seorang pembicara dengan semangat yang menyala-nyala sambil mengacung-ngacungkan tangannya keatas mengeluarkan semangat protesnya terhadap kepincangan dalam kalangan marine Belanda bahkan si pembicara secara samar-samar (in bedekte termen), untuk mogok jika perlu ! Pada saat itu diputuskan oleh IMB untuk mengadakan rapat bergabung (gecombineerde vergadering) dengan serikat buruh bawahan Belanda (CAMBO) pada tanggal 1 januari 1933.

Sebelum sampai pada hari-H telah terjadi beberapa kejadian yang perlu di catat:

Pada tanggal 26 december 1932 anak2 buah Marine bangsa Belanda, sesudah makan siang, telah menyanyikan sebuah lagu yang terlarang (international) yang berbunyi:

“Werkers, waar g’ ook zwoegt en lijdt

Zijn wij niet van enen bloede?

Striemt ons niet dezelfde roede?

Een in’t juk, dat w’ allen dragen

Een de strijd, die heft te wagen

‘t Ganse proletariat”

Buruh, dimana saja kau membanting tulang dan menderita

Tidakkah kita ini berasal dari satu darah?

Tidakkah cambuk yang sama menghantam kita?

Satu dalam beban yang kita sekalian pikul

Satu saja perjuangan yang berani menempuh

Segenap kekuasaan proletariat”.

Nyanyian tersebut dengan sendirinya mengejutkan para perwira Belanda, yang selama ini tidak atau kurang mempunyai pengetahuan dalam soal2 politik.

Pada tanggal 27 december 1932 diadakan rapat lagi oleh para bawahan bintara bangsa Belanda kl. 600 orang dengan menumpangi beberapa puluh bis, sesudah rapat ini selesai oleh para pengunjungnya diadakan suatu demonstrasi yang kemudian dibubarkan oleh polisi. Para perwira Belanda mulai tidak percaya lagi kepada bawahannya dan mereka mulai bekerjasama dengan polisi yang dianggap loyal.

Tanggal 28 december 1932 diadakan lagi demonstrasi2 oleh para kelasi itu tetapi dengan berkelompok-kelompok yang kecil sekitar 4-5 orang dengan setiap kelompok berjarak 10 meter berjalan-jalan mengelilingi kota Surabaya sehingga tampak seperti barisan yang panjangnya 1 km, tetapi aksi ini kembali dibubarkan oleh polisi. Puncaknya kejadian hari itu adalah ketika pada malam hari para kelasi Belanda tersebut sedang rapat di dalam kantin kepunyaan angkatan darat Belanda (KNIL) dibubarkan secara paksa oleh satu buah truk tentara bersenjata lengkap, sehingga hampir terjadi pertumpahan darah.

Pada tanggal 29 december 1932 diadakan rapat besar di Surabaya oleh anggota2 marine bangsa Belanda yang berpangkat dibawah bintara. Sebelum rapat ini dimulai diadakan baris demonstrasi dalam bentuk pawai yang dilakukan oleh kl. 700 orang anak buah marine bangsa Belanda salah satu tuntutan mereka adalah untuk mengadakan mogok dan bekerja sama dengan anak buah marine bangsa Indonesia, tetapi tuntutan mereka ini tidak disetujui oleh para pemimpin rapat dan para pemimpin hanya memutuskan untuk mengirimkan kawat protes kepada menteri pertahanan Belanda untuk membatalkan penurunan gaji.

Salah satu korporal Belanda yang bernama Maud Boshart yang berjiwa progresif dan revolusioner tidak menyetujui sikap yang melempem dari para pemimpin reformis tadi. Boshart ikut berbicara mengatakan bahwa dia sanggup menjadi anggota pimpinan untuk memikul segala resiko untuk melanjutkan perjuangan. Dengan tegas Boshart berkata bahwa sekarang bukannya waktu untuk bertanya atau mengemis tetapi untuk menuntut dan jika tidak dikabulkan maka pemogokan harus dilakukan !

Ucapan korporal yang baru berumur 27 tahun itu disambut dengan hangat oleh seluruh rapat. Boshart juga menuntut kerjasama yang erat dengan anak buah marine bangsa Indonesia dan meminta kepada peserta rapat agar wakil dari IMB diperkenankan ikut hadir dan berbicara di rapat itu.

Karena situasi yang semakin tidak kondusif disebabkan oleh perlawanan anak buah marine Belanda dan anak buah marine Indonesia maka mulai didatangkan pasukan angkatan darat dari malang yg berjumlah kl. 600 orang bersenjata lengkap dan juga terdapat juga mitraliur2 yang berat untuk menjaga kota Surabaya.

Walaupun aksi2 represif dilakukan tetapi akhirnya aksi pemogokan terjadi juga dikapal2 perang “Java”, “Sumba”, “Piet Hein” dan “Everstsen”. Dikapal2 perang tersebut 308 anak buah kapal bangsa Indonesia sudah meletakkan pekerjaannya yang diikuti juga aksi solidaritas mogok kerja dari 40 orang anak buah marine Belanda. Pemogokan terbesar terjadi juga pada tanggal 3 febuary 1933 baik di tangsi Marine Ujung, pangkalan kapal selam dan dikapal2 perang lainnya bahkan juga dipangkalan kapal terbang Moro Kembangan setiap kelasi bangsa Indonesia menolak perintah untuk bekerja, dengan segera semua pemogok di tangkap oleh angkatan darat Belanda dan dibawa ke Sukalila serta semua pemimpin2 IMB ditangkap juga.
Peristiwa penangkapan atas para pemogok itu merupakan pokok pertimbulan (aanleiding) meletusnya pemberontakan di Kapal Tujuh.

Sebab2 yang menimbulkan pemberontakan di Kapal Tujuh:

1. Sebab2 yang terdapat diluar lingkungan Marine Belanda:

• Pengaruh kemenangan Jepang atas Rusia yang menggelorakan semangat nasional bangsa2 di seluruh asia yang kemudia diiringi oleh pengaruh revolusi Tiongkok dan Revolusi Oktober Rusia.

• Timbulnya partai-partai revolusioner seperti Sarekat Islam, PSII, PKI yang menggelorakan semangat anti kapitalisme dan imperialism.

• Larangan terhadap PKI yang menimbulkan adanya aksi2 illegal.

• Penangkapan pemimpin2 komunis & nasionalis yang justru memperbesar pengaruh nasionalisme.

2. Sebab2 yang terdapat dalam lingkungan marine Belanda:

• Adanya diskriminasi perbedaan warna kulit dalam angkatan laut Belanda (antara anak buah marine bangsa Belanda dan bangsa Indonesia)

• Pandangan sempit para perwira Belanda kepada anak buah marine bangsa Indonesia.

• Dibeda2kan gaji dan pangkat antara anggota2 marine bangsa Indonesia dan Belanda walaupun kewajiban dan tugas kedua belah pihak sama.

• Pengaruh aksi2 IMB yang bersifat revolusioner yang disebarkan oleh para kadernya dan majalah Sinar lautan.

• Sikap para perwira Belanda yang sombong dan menjauh dalam pergaulan dengan bawa bawahannya yang orang Belanda dan Indonesia itu.

• Perlakuan dan penurunan gaji yang tidak adil itu.

Berikut ini adalah kesaksian saudara Maud Boshart dalam brosurnya yang berjudul “Muiterij in de tropen (Pemberontakan didaerah panas):

“Perserikatan buruh marine bangsa Indonesia”, yang menurut kebiasaan colonial dinamakan “Inlandsche MarineBond” (IMB), berada dibawah pengaruh pergerakan nasional yang sedang tumbuh. Didalam tahun 1926-1927 sudah ada golongan rakyat di Jawa & Sumatera yang melawan kekuasaan colonial.

Dengan cara-cara yang ganas dan bukan pada tempatnya pemerintahan colonial telah menindas pemberontakan ini, bahkan telah membunuh dan membuang ratusan perempuan, anak2 dan laki2. Kamp konsentrasi Boven Digul di Irian (Papua) yang menimbulkan rasa jijik dan kebencian itu dijadikan alat penindas oleh kaum kolonial yang berkuasa. Akan tetapi tindakan kaum colonial yang berkuasa itu tidak mampu mengakhiri proses pergolakan.

Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan nasional diorganisir juga didalam lingkungan alat-alat kaum penindas sendiri, dalam lingkungan tentara darat tetapi pertama-tama dalam lingkungan armada (vloot) yang menjadi anak emas dari setiap pemerintahan reaksioner. Perjuangan untuk kemerdekaan nasional ini dipersatukan dengan perjuangan melawan penurunan gaji.

Jadi teranglah bagi pembaca bahwa dalam uraian tentang sebab2 pemberontakan di Kapal Tujuh lebih disebabkan karena pengaruh paham politik yang menyebabkan aksi2 revolusioner di Indonesia, Sosialisme Kanan (SosKa) terang sekali tidak mempunyai pengaruh semacam itu, terbukti sosialisme kanan dalam sejarah pergerakan rakyat Indonesia tidak pernah menyetujui aksi-aksi revolusioner. Malah sejarah membuktikan kaum yang beraliran SDAP seperti JE. Stokvis dkk dalam setiap pergolakan revolusioner selalu bersikap bimbang dan ragu, pada tahun 1917 mereka memisahkan diri dengan ISDV yang berpolitik revolusioner itu dan sejarah juga membuktikan ketika proklamasi 17 agustus 1945 itu SDAP di Belanda melaksanakan politik reaksioner dengan mendukung pengiriman pasukan untuk kembali menjajah Indonesia dan orang-orang yang berada pada garis Sosialisme Kanan di Indonesia juga menolak dalam aksi-aksi para pemuda revolusioner yang menginginkan kemerdekaan Indonesia itu lewat jalan perjuangan bersenjata.

Dalam hubungan ini baiklah untuk diingat bahwa aksi “polisionil” pertama (1947) dan kedua (1948) yang dilakukan oleh pemerintah colonial Belanda terhadap rakyat Indonesia mendapat sokongan dan persetujuan dari kaum SDAP di negeri Belanda ! bahkan sejarah membuktikan pula pada peristiwa pemogokan dan pemberontakan di Kapal Tujuh pada tahun 1933, para pemimpin yang berada dibawah pengaruh SDAP telah berkhianat dan menolak untuk ikut dalam peristiwa2 revolusioner tersebut (lihat pada “Pemberontakan didaerah panas” yang dikatakan bahwa seorang korporal yang bernama Haastrecht yang berada dibawah pengaruh SDAP telah berkhianat kepada semua kawan2nya yg memberontak di Kapal Tujuh itu.

Bahwa kaum Sosialis Kanan yang beraliran SDAP itu tidak menyetujui aksi2 revolusioner berupa pemberontakan di Kapal Tujuh itu dapat dibuktikan dengan surat yang dibuat oleh Dr. W. Banning , salah seorang anggota pimpinan SDAP dinegeri Belanda yang ditujukan kepada Maud Boshart pada tanggal 14 febuary 1935 yang berbunyi antara lain:

……………………het partijbestuur van de SDAP. Stelde zich op standpunt, dat het aan Uw verzoek niet kan voldoen, omdat de SDAP gen enkele verantwoorddelijkheid kan dragen voe het gebeurde met de “Zeven Provincien - Pimpinan partai SDAP berpendirian bahwa ia tidak dapat memenuhi permintaan Tuan, oleh karena SDAP tidak bertanggung jawab atas kejadian yang telah terjadi di Kapal Tujuh.

Dengan demikian teranglah bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum Sosialis Kanan atau SDAP itu itu sifatnya reaksioner dan kontra revolusi karena menolak aksi2 yang dilakukan di Kapal Tujuh, padahal apa yang dilakukan oleh anak buah marine bangsa Indonesia yang bekerjasama dengan anak buah marine bangsa Belanda merupakan sebuah aksi patriotic untuk melawan penjajahan Belanda yang selalu bersikap sewenang-wenang.

Menjelang Pemberontakan.

Pada masa itu yang menjadi komandan Kapal Tujuh ialah Eikenboom, Kapal Tujuh merupakan kapal perang Belanda tertua diantara kapal-kapal perang besar di Indonesia pertama kali diluncurkan pada tahun 1909, kapal tersebut tidak memiliki meriam anti serangan udara tetapi pada bagian geladak sebelah muka dan bagian belakangnya terdapat dua buah meriam besar dengan garis tengah berukuran 28 cm, kapal Tujuh berukuran 6500 ton. Jumlah anak buah kapal (ABK) kapal Tujuh kl. 460 orang, diantaranya terdapat 30 orang perwira, 26 bintara, 141 orang bawahan bangsa Belanda sedangkan sisanya adalah 7 orang bintara bangsa Indonesia dan 256 orang bawahan bangsa Indonesia.

Kejadian-kejadian protes di daratan yang diadakan oleh serikat2 buruh juga meresahkan Eikenboom, dalam satu briefing apel dipagi hari dalam suasana yang tegang Eikenboom berpidato yang isinya al. sbb:

“Sebagai seorang bapak daripada kamu sekalian yang ada didalam kapal ini, saya perlu memberitahukan kepada kalian bahwa penurunan gaji tidak jadi dilakukan. Boleh jadi pembatalan ini hanya sifatnya sementara tapi bisa jadi juga untuk selamanya. Tetapi saya harapkan hal ini tidak akan menimbulkan kesukaran-kesukaran selama pelayaran yang akan kita adakan untuk menuju pulau sumatera. Perlu saya beritahukan pula bahwa besok pagi tanggal 2 januari kita akan berlayar selama tiga bulan diperairan Sumatera !

Keesokan harinya tanggal 2 januari 1933, kapal Tujuh mulai berlayar meninggalkan pelabuhan Surabaya. Walaupun semua ABK bekerja dengan tenang, namun suasana tegang masih belum reda juga. Sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan Kapal Tujuh pada tanggal 5 januari 1933 mengambil bahan bakar (arang) di Tanjung Priok dan kemudian mengadakan latihan tembak-menembak sambil singgah di pulau Siberut dan Pelabuhan Gunung Sitoli, haluannya ditujukan kearah Padang (Sumatera) dimana kapal tersebut tiba pada tanggal 13 jamuari 1933. Pada hari itu juga diumumkan akan diadakan “pesta persaudaraan” akan diadakan di restoran tentara Angkatan Darat, dimana kedua belah pihak yaitu anggota marine dan anggota KNIL akan makan dan minum bersama-sama.

Hal itu dilakukan oleh para perwira Belanda untuk menyenangkan pikiran anak2 buahnya agar tidak terpengaruh oleh hasutan-hasutan yang membahayakan kepentingan kaum colonial. Tetapi ketika sedang berlangsungnya acara itu terjadi keributan antara anggota marine dengan KNIL akibat pengaruh alcohol, sehingga membuat situasi menjadi kisruh. Pada tanggal 20 januari 1933 kapal Tujuh tiba dipelabuhan Sibolga, pada saat itu ABK mempunyai perasaan yang tidak puas kepada keadaan makanan yang di sediakan.

Para bawahan bangsa Indonesia harus makan nasinya dengan ikan asin yang telah menjadi busuk karena terlalu lama disimpan dalam gudang perbekalan dan juga para bawahan bangsa Belanda harus makan makanan yang tidak enak rasanya karena disimpan terlalu lama dalam kaleng. Ketika kapal Tujuh sampai di Sibolga direncanakan akan dilakukan pertandingan sepak bola, tetapi kelasi2 itu menolak ikut dalam pertandingan itu. Para perwira lalu mengatakan bahwa pertandingan itu harus dilaksanakan karena perintah!

Pada tanggal 27 januari 1933 kapal Tujuh tiba di pelabuhan Sabang dan berlabuh disana. Pada saat yang bersamaan di Surabaya sedang dilakukan pemogokan besar2an untuk menolak penurunan gaji. Untuk mencegah bocornya peristiwa itu maka para perwira berusaha untuk mengisolir berita supaya kejadian di Surabaya itu tidak diketahui oleh ABK. Tetapi sepintar2nya para perwira Belanda itu menutup2i kejadian yang tengan berlangsung di Surabaya akhirnya berita itu bocor juga dan diketahui pertama kalinya oleh korporal Maud Boshart di ruangan radio kapal.

Pada tanggal 28 januari 1933 anak buah marine bangsa Indonesia dan anak buah bawahan bangsa Belanda meminta izin untuk melakukan pertemuan disebuah bioskop dengan alasan ingin mengadakan perayaan lebaran yang waktu itu dilaksanakan oleh umat Islam. Timbul kecurigaan dikalangan perwira Belanda karena ada 30 orang bawahan bangsa Belanda yang dipimpin oleh Maud Boshart dan Hendrik ikut juga dalam pertemuan itu, karena menurut mereka buat apa orang2 Belanda yang Kristen itu ikut2an perayaan lebaran.

Pertemuan itu diawasi oleh polisi tetapi ketika sedang di tengah2 acara terjadi kebakaran besar di pusat kota sehingga semua aparat kepolisian pergi dari acara itu. Selama ditinggalkan oleh para polisi Hendrik dkk mengadakan pidato yang berapi-api yang mengajak untuk bersatu semua kelasi2 bawahan bangsa Indonesia dan Belanda untuk menolak penurunan gaji. Setelah acara sudah hampir selesai baru inspektur polisi dan anak buahnya kembali dan mereka sempat melihat pada waktu pertemuan ditutup para peserta menyanyikan lagu “Internasionale” yaitu lagu perjuangan kaum buruh.

Lagu Internasionale itu juga dinyanyikan kembali pada malam harinya oleh anak2 buah kelasi kapal Tujuh ketika kapal perang Belanda (Gouden Leew) yang baru datang dari Belanda melanjutkan perjalanan menuju Surabaya, ketika itu juga terjadi kegemparan di kalangan perwira Belanda karena semua ABK dari kapal perang Belanda itu juga menyanyikan lagu Internasionale.

Pada tanggal 30 januari 1933 berita2 pemogokan di Surabaya kembali diterima oleh Boshart dengan perantaraan kawan2nya yang bekerja di kamar radio.

Tanggal 31 januari 1933 kapal perang “java” telah memberitakan melalui pemancar radionya tentang pemogokan itu dan telah menempelkan phamplet2 dari nama2 orang peserta pemogokan di Surabaya dan phamplet tersebut juga ditempel di kapal Tujuh. Untuk merespon kejadian itu maka beberapa orang ABK kapal Tujuh al. Rumambi, Paraja, Hendrik dan Gosal berbicara dengan ABK2 yang lain untuk membahas kejadian di Surabaya.

Untuk meredam berita yang meresahkan itu maka komandan kapal Eikenboom kembali mengumpulkan semua ABK dan melakukan briefing:

“Berita yang saya terima mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pemogokan dikalangan marine di Surabaya. Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji. Saya sangat menyesal bilamana kalian berbuat sesuatu yang tidak baik, karena dikapal ini sayalah yang bertanggung jawab. Jadi saya harap semua ABK Tujuh jangan sampai ikut dalam aksi pemogokan seperti yang terjadi di Surabaya itu !

Tetapi pidato itu tidak menurunkan keresahan dikalangan ABK. Secara diam-diam Paraja, Rumambi, Gosal dan beberapa kawan2 lainnya mengadakan rapat untuk menyusun suatu rencana pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan atas kapal Tujuh itu dan kemudia berlayar menggunakan kapal itu menuju Surabaya untuk membebaskan kawan2nya para pemogok dan sejalan dengan itu membentuk pula pendapat dunia umum untuk kepentingan perjuangan mereka. Diputuskan bahwa yang duduk dalam pimpinan pemberontakan adalah Paraja, Rumambi, Gosal, Kawilarang, Tumuhena, Suwarso & Hendrik. Hubungan juga diadakan dengan corporal masinis Boshart dan kelasi2 bangsa Belanda lainnya yang berjiwa progresif-revolusioner.

Diadakan kembali suatu rapat di daratan yang dalam pertemuan itu dihadiri oleh Paraja, Rumambi, Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Pada kesempatan itu hadir juga Maud Boshart dkk yang ikut berbicara:

“Para perwira Belanda telah memfitnah bahwa kelasi-kelasi Indonesia hanya bisa menggosok tembaga saja, tetapi tidak berguna untuk bekerja dikapal perang Belanda. Sekarang kesempatan terbuka bagi kawan-kawan semua untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia dapat juga memimpin kapal perang dan omongan para perwira Belanda itu sama sekali tidak benar “!!

Keputusan-keputusan yang telah diambil dalam pertemuan tadi ialah al. sebagai berikut:

* Gosal diberi tugas untuk menjaga keamanan dan memimpin pos-pos penjagaan.

* Kawilarang ditetapkan sebagai komandan dengan dibantu oleh beberapa kawan yang cakap soal navigasi yaitu R. Tuhumena & J. Parinussa.
* Paraja diberi tugas untuk mempersiapkan senjata dan peluru.

* Korporal masinis Boshart ditetapkan sebagai kepala kamar mesin yang bertugas menjaga agar kapal tidak mogok dalam perjalanan dan untuk tugas itu juga dilakukan oleh kawan Mintje.

* Tanda untuk mengadakan pemberontakan akan diberikan oleh Kawilarang sendiri dengan cara meniupkan peluit serang.

* Hari yang ditetapkan untuk mengadakan pemberontakan ialah pada hari sabtu tanggal 4 febuary 1933 pada malam hari (karena pada hari itu komandan kapal Tujuh dan para perwira stafnya akan menghadiri pesta dansa di Atjeh Club, sehingga akan memberi kesempatan buat Kawilarang dkk untuk menjalankan aksinya).

Pemberontakan Meletus.

“Pimpinan berada dalam tangan orang-orang Indonesia dan mereka ini mengorganisir pemberontakan itu dengan suatu kecakapan yang besar…………

Yang menjalankan tugas sebagai kapten ialah kelasi kelas satu Kawilarang, seorang penyelenggara navigasi yang boleh member pelajaran kepada banyak perwira Marine” (Maud Boshart - Pemberontakan didaerah panas, Penerbit: Brosur CPN, Amsterdam)

Pada tanggal 4 Febuary, jam 4 sore dilakukan pertandingan sepak bola antara anak buah kapal Tujuh dengan pihak tentara Angkatan Darat (KNIL) dengan hasil akhir score 4-2 dengan kekalahan pada pihak anak buah kapal Tujuh. Setelah selesai pertandingan pihak KNIL memberikan karangan bunga sebagai tanda penghormatan atas pertandingan persahabatan itu. Setelah kembali ke kapal maka oleh Maud Boshart karangan bunga itu digantung di dekat tangga kapal. Ternyata taktik Boshart itu mencapai suatu hasil yang memuaskan karena para perwira tidak curiga dengan semua ABK bawahan, sehingga sebagian besar perwira kapal Tujuh beserta Eikenboom dan Meijer (perwira satu), telah turun kedaratan sktr jam 8 malam untuk menghadiri pesta dansa di Aceh Club.

Ketika situasi sudah mulai aman maka Kawilarang segera membagi-bagi tugas kepada kelasi-kelasi Indonesia untuk menduduki pos-pos yang telah ditetapkan. Wahab, Saleh, Katenghado dan Manuputty memegang kemudi kapal, beberapa orang lainya menurus mesin pengangkat jangkar, peta-peta untuk pelayaran menyusuri pantai Sumatera walaupun tidak lengkap juga disiapkan, selain melibatkan ABK bangsa Indonesia persiapan itu juga dibantu oleh serdadu-serdadu laut bangsa Belanda (Mariniers).

Ketika persiapan sedang dilakukan ada satu orang kelasi Belanda yang berkhianat yaitu corporal Haastrecht (belakangan ketahuan bahwa dia adalah anggota SDAP) yang diam2 turun kedaratan untuk menemui seorang kenalannya yaitu inspektur Vermeer, lalu dengan segera mereka bersama-sama menuju rumah komandan militer setempat untuk melaporkan hal tersebut. Sesampainya disana mereka melihat Eikenboom dan para perwiranya juga ada disitu dan mereka melaporkan kejadian apa saja yg sedang berlangsung di kapal Tujuh. Dengan sombong komandan kapal itu tertawa sambil mengejek:

“Babi-babi itu hendak melarikan sebuah kapal yang begitu besar? Itu tidak masuk akal, sedangkan sebeah kanan kapal saja mereka tidak dapat membedakan dari sebelah kirinya, apalagi melarikan sebuah kapal yang begitu besar !”

Semua orang yang berada di dalam rumah komandan militer tertawa terbahak-bahak ketika mendengarkan ejekan Eikenboom itu.

Pada kira2 jam 8.30 malam Kawilarang memerintahkan ABK Subari untuk yang bekerja dalam ruangan makan para perwira untuk memeriksa semua pistol yang ada diruangan perwira dan memerintahkan ABK Hardjosuria yang bekerja didalam ruang makan bintara untuk memeriksa tempat penyimpanan bedil (gewerrek) dan gudang amunisi (peluru) meriam 28 cm.

Untuk kawan2 ABK yang bertugas dikamar mesin bersama Boshart juga menampakkan ketangkasan yang luar biasa. Tatipikalawan masuk melalui cerobong asap (schoorsteen) kapal dengan cara diam-diam turun kebawah menuju kamar mesin dengan dibantu oleh kawannya yang bernama Ali Partodihardjo. Mereka mulai memanaskan mesin sedemikian rupa tanpa orang tidak dapat menduga bahwa mereka sedang mengadakan persiapan dikamar mesin untuk memberangkatkan kapal.

Dua orang kelasi Indonesia, Parinussa dan Suwarso, beserta rombongannya ditugaskan untuk mengamati orang Belanda yang dicurigai dan juga membantu menaikkan sekoci jika kapal berangkat.
Semua tugas tersebut dilakukan sebelum pemberontakan dimulai. Salvo tanda dimulainya pemberontakan dilakukan dengan jalan meniup peluit serang (bootsmanfluitje) yang dilakukan oleh Kawilarang sendiri sebagai komandan tertinggi kapal.

Pada jam 10 malam oleh petugas piket Belanda yang bernama Van Boven (letnan laut kelas dua) baru diketahui bahwa peluru-peluru dalam lemari diatas geladak hilang diambil orang.

Para perwira Belanda (18 orang) mencurigai Paraja lalu dengan segera mencari Paraja, tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Paraja di geladak kapal dekat meriam 28 dengan bercelana pendek dan berkaus, setelah bertemu maka Van Boven memerintahkan Paraja untuk ganti baju berpakaian lengkap dan pergi menghadap atasannya di daratan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paraja, sebab ia mengetahui bahwa jumlah pihak lawan tidak banyak hanya hitungan jari jika dibandingkan dengan kekuatan pemberontak yaitu 50 orang bawahan bangsa Belanda dan 190 orang bawahan bangsa Indonesia. Sambil berlari meninggalkan para perwira tadi dengan maksud yang disangka untuk mengganti baju maka Paraja turun menuju ruangan makan bangsa Indonesia tempat dimana semua orang Indonesia & Belanda sudah berkumpul bersenjata lengkap.

Sesudah Paraja tiba diruangan makan ia berteriak dengan suara nyaring “Hai, Saudara-saudara sekalian, sekarang sudah tiba saatnya untuk berontak, marilah kita berontak, ayo, serbu sekarang !”

Kawilarang yang mendengar suara Paraja langsung meniup peluit serangnya sebagai tanda pemberontakan dimulai pada jam 10 malam itu. Penyerangan hebat secara mendadak diadakan dibawah pimpinan Para.ja, Gosal, Sudiana, Mitje J, Parinussa dan Suahardjo serta untuk memimpin ABK bangsa Belanda penyerangan dilakukan oleh Boshart dan Dooyeweerd. 15 orang lainnya langsung menguasai dan bekerja di kamar mesin.

Van Boven dkk yang merupakan perwira jaga sangat terkejut dengan kejadian-kejadian yang terjadi secepat kilat itu. Ia rupa-rupanya telah menyadari kenyataan bahwa kalah siasat terhadap seorang kelasi Indonesia yang bernama Paraja itu. Rekan-rekan Van Boven juga ikut panik, padahal mereka semua ketika situasi “aman” selalu menonjol-nonjolkan dirinya sebagai golongan perwira yang “academisch opgevoed” (berpendidikan tinggi) dan langsung pucat ketakutan setengah mati. Para perwira itu kemudian ditangkap dan dikumpulkan dalam satu ruangan makan para perwira (longroom).

Semua lampu dikapal Tujuh dipadamkan hanya pada bagian sebelah muka saja lampu menyala karena disitu adalah markas utama pemberontak.

Ada satu ruangan lagi yg belum dikuasai oleh kaum pemberontak yaitu ruangan radio, disana terdapat seorang perwira Belanda yang bernama baron Devos Van Steenwijk yang sedang mengancam seorang kelasi Belanda untuk segera menyiarkan pengumuman radio yang mengatakan bahwa telah terjadi pemberontakan dikapal. Melihat hal itu dengan segera Boshart menuju kesana dan sesampainya disana dengan beberapa kawan-kawannya Boshart yang berjiwa revolusioner itu mencabut pistolnya sambil memerintahkan perwira itu untuk meletakkan senjata, dia berteriak “Ga Weg, jij, of ik schiet (pergi dari situ atau kau aku tembak), melihat ramainya kelasi2 Belanda datang bersenjata lengkap perwira itu ketakutan dan menyerah.

Perwira Belanda yang pada malam itu ditugaskan untuk mengawasi kapal selama Eikenboom dkk turun adalah Vels & Bolhouwer, mereka diam-diam meloloskan diri lewat patrijspoort (jendela kapal) dan berenang menuju daratan. Salah seorang kelasi Indonesia mengetahui hal ini dan melakukan penembakan tapi tidak mengenai sasaran sehingga mereka berhasil lolos.

Para perwira Belanda lainnya juga ada yg lolos melarikan diri dengan cara berenang menuju daratan tetapi sebelum itu mereka sempat mengunci kemudi kapal, di tengah kesulitan karena kemudi terkunci Kawilarang dengan tangkas menggunakan dua buah mesin (Stuurboord dan backboard) sebagai pengganti kemudi yg sudah lumpuh itu. Dalam hal ini patut dicatat bahwa walaupun pelabuhan Oleh-Le terdapat banyak pulau-pulau kecil dan ranjau2 karang Kawilarang telah berhasil membawa kapalnya dengan selamat keluar dari pelabuhan itu.

“Kapal Tujuh yang usang itu datang dari Oleh-Le ke selat sunda dipimpin oleh seorang kelasi bangsa Indonesia yang berkulit hitam itu dan di dorong maju oleh mesin-mesin yang dilayani oleh seorang corporal masinis bangsa kulit putih”

Sesudah meninggalkan pelabuhan Oleh-Le kapal Tujuh memutar haluannya menuju Surabaya. Atas perintah Kawilarang kemudi yg dikunci dengan slot merek Lips oleh perwira Belanda tadi dihancurkan dengan palu besi yang beratnya 8 kg. Dengan demikian kemudi kapal Tujuh itu dapat dipergunakan kembali.

Tanggal 5 Febuary 1933 pimpinan pemberontakan mengeluarkan suatu siaran dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia yang dibacakan oleh Rumambi dan berbunyi sebagai berikut:

“Kapal perang “Zeven Provincien” pada waktu ini ada dibawah kekuasaan kami, anak buah kapal “Zeven Provincien” berbangsa Indonesia, dengan bermaksud menuju Surabaya, Sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan ! Keadaan dalam kapal aman tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang terluka”

Dalam brosur “Pemberontakan didaerah panas” dikatakan:

“Orang-orang Indonesia ini: Kawilarang, Rumambi, Gosal, Hendrik, Paraja, dll mempunyai keberanian besar dan pendirian yang tidak goncang. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang kehilangan akal. Pekerjaan dikapal berjalan secara normal”

Karena panik kehilangan kapal perangnya maka pasukan Belanda memerintahkan kapal perang “Aldebaren” untuk mengejar kapal Tujuh, Eikenboom dkk yang merupakan pemimpin tertinggi kapal Tujuh merasa terkejut & dihina atas kejadian itu. Mereka turut juga dalam pengejaran itu. Ketika kapal Tujuh mulai kelihatan mereka berusaha mendekat, tetapi Kawilarang langsung mengirimkan isyarat jika kapal “Aldebaran” mendekat maka akan ditembak, setelah melihat isyarat itu kapal Belanda menghentikan pengejarannya.

Setelah mundurnya kapal perang “Aldebaran” maka pengejaran digantikan menggunakan kapal perang penyebag ranjau “Goudenleeuw”, tetapi kapal tersebut juga hanya berani mengikuti dari jauh. Kenapa dua kapal perang tadi tidak berani mendekat ke kapal Tujuh, karena diantara ketiga kapal itu, kapal Tujuh memiliki ukuran meriam yang paling besar dan persenjataan yang paling kuat.

Didalam kapal sempat terjadi usaha2 pemberontakan yg dilakukan oleh para perwira Belanda yang ditahan tetapi usaha2 mereka itu berhasil dipatahkan dan penjagaan kepada mereka makin diperketat.

Kawilarang dan Boshart sebagai lambang persatuan antara pejuang-pejuang keadilan Indonesia dan Belanda, mereka telah membuktikan bahwa mereka dapat bersatu dan akan tetap bersatu diatas dasar anti-kolonialisme !

Sementara itu kapal Tujuh berlayar terus dibawah komando Kawilarang. Tanggal 5 febuary kapal sudah berada di pulau Berueh, tanggal 6 febuary berada di pulau Simeuleu, pulau nias, Tapaktuan, pulau Sinabang (7 febuary) dan pulau Mentawai pada tanggal 8 febuary dan pada tanggal 9 febuary 1933 kapal Tujuh berada disebelah barat Benkulen.

Pada tanggal 10 Febuary 1933 jam 9 pagi kapal Tujuh berada di Selat Sunda !

“Dikapal ini, kapal Tujuh, dihari-hari yang bersejarah, sejak 4 febuary sampai dengan 10 febuary 1933, mereka (anak-anak buah kapal Tujuh) telah lebih dahulu mengalami kemerdekaan kita, kemerdekaan bangsa Indonesia”

We Remember the Battle

And the heroes who fell in the field,

Sacred blood, running crimson,

Our Invinciple friendship has sealed.

All who cherish the vicion

Take the final decision,

Struggle for justice, peace dan goodwill

For Peoples throughout the world !

Terjemahan:

Kita kenangkan pertarungan

Dan semua Pahlawan yang gugur

Dengan darah suci yang kemerah-kemerahan

Persahabatan yang tidak terkalahkan telah termeterai,

Semua yang mencintai cita-cita

Ambil keputusan yang terakhir

Berjuang untuk keadilan, perdamaian dan kemauan baik

Untuk Rakyat seluruh dunia!

“Sikap para perwira diwaktu pemberontakan dikapal Tujuh adalah merupakan akibat daripada peraturan yang berlaku diangkatan laut dan juga diangkatan darat. Para perwira ini, yang kebanyakan diambil dari golongan kelas yang berkuasa, sejak masa mudanya didik sebagai suatu golongan tersendiri dan istimewa. Mereka menjadi asing bukan saja terhadap anak buahnya, tetapi juga terhadap rakyat.

Dengan tidak memiliki sesuatu pengetahuan dilapangan politik dan terikat menurut tradisi kepada paham-paham yang sangat reaksioner, mereka pada satu pihak kaget dan bingung serta pada pihak lain buta oleh sesuatu kebencian yang tidak mengenal batas dalam menghadapi hasrat kemerdekaan bangsa Indonesia dan rasa setiakawan kaum pekerja Belanda. Dengan dikebirinya hidup para perwira ini terciptalah orang-orang yang tidak berprikemanusiaan yang dalam hubungan-hubungan lain bisa menjadi bisa menjadi orang-orang baik. Orang harus memperhatikan keadaan ini memahami sikap para perwira yang dilukiskan disini.” (Pemberontakan di daerah Panas – Brosur CPN)

Sementara itu berita tentang pemberontakan di kapal Tujuh itu, sudah menjadi rahasia umum dan tersiar dimana-mana, pers luar negeri al. surat2 kabar di New York, Amsterdam, London dan paris memuat berita-berita tentang pemberontakan tersebut dengan “headline” yang sangat menarik. Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia secara hati-hati memberitakan peristiwa ini karena ada “ranjau pers” dari pemerintahan Belanda. Salah satu korbannya adalah Sodara Tjindarbumi, hopredaktur “Suara Umum” yang ditahan akibat pemberitaan pemberontakan di kapal Tujuh.

Pers luar negeri yang dibawah pengaruh kaum kapitalis mengutuk pemberontakan di kapal Tujuh itu dan melancarkan kritik yang tajam kepada pemerintah Belanda karena dianggap terlalu lemah dengan kaum pemberontak. Mereka menuduh kaum komunis sebagai biang keladi pemberontakan itu dan menamakan kapal Tujuh sebagai “Potemkin II” (Potemkin terkenal dalam sejarah sebagai salah satu kapal perang Rusia, dimana pernah timbul pemberontakan melawan kekuasaan Tsar Nikolas II).

Semua anak buah kapal (ABK) bangsa Indonesia di kapal perang “Java”, “Sumatera”, “Piet Hein”, dan “Evertsen” yang dicurigai telah di turunkan di pelabuhan Surabaya dan senjata mereka telah dilucuti, karena pemerintah Belanda takut jika melibatkan pelaut Indonesia dalam pengejaran pasti mereka akan menolak untuk menembak kawan senasibnya sendiri.

Pengejaran mulai dilakukan oleh kapal perang “Java” dengan diringi oleh dua kapal pemburu torpedo, masing2 bernama Piet Hien dan Evetsen dan juga melibatkan kapal perang Belanda yang baru datang dari Eropa yaitu “Gouden Leeuw” serta didatangkan juga dua gelombang pesawat terbang Dornier yang memiliki bom seberat 50 kg, penyerangan ini dilakukan karena Kapal Tujuh tidak memiliki meriam penangkis serangan udara.

Kapal perang “Java” yang dipimpin oleh Van Dulm setelah mendekat dari jauh memberikan ultimatum agar kapal Tujuh segera menyerah, tetapi mereka tidak berani mendekat dalam radius jarak tembak kapal Tujuh karena meriam 28 sudah mengarahkan moncongnya ke arah kapal perang “Java”. Van Dulm mengancam akan menyapu bersih kapal Tujuh dari permukaan laut jika tidak mau menyerah. Tetapi Kawilarang, Rumambi, Paraja, Boshart dkk tidak mau menyerah malahan merobek-robek kawat yang dikirimkan dan mengirim balik pesan: “Kami tidak mau di ganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya”

Tidak lama kemudian terdengar dengungan mesin pesawat terbang type Dornier D 11 terbang melayang-layang diatas kapal Tujuh. Pesawat itu juga mengirmkan perintah agar menyerah saja. Tetapi Kawilarang dkk sudah bertekad tidak mau menyerah kalah dan bertekad bulat untuk berjuanga terus pantang mundur.

Sepuluh menit kemudian karena tidak menggubris perintah itu beberapa pesawat Dornier mulai melakukan manuver untuk menyerang kapal Tujuh. Pesawat Dornier pertama mulai menukik dan membuang bom seberat 50 kg itu, bom pertama tidak mengenai sasaran tetapi bom yang kedua jatuh tepat diatas geladak jembatan dekat meriam depan dan beberapa pesawat di belakangnya mulai melakukan penembakan dengan senapan otomatis. Peristiwa itu terjadi pada pukul 9.18 pagi. Ledakan bom itu dibarengi dengan jeritan dari orang-orang yang mendapat luka, akibat ledakan bom itu memang sangat mengerikan terbukti dari kenyataan yang menghancurkan bagian gelada depan kapal Tujuh. J Pelupessy mendapat luka, Sagino kehilangan sebelah matanya sambil merintih kesakitan, secara perlahan-lahan Pelupessy mendekati korban: “Pessy tolong saya, katanya, inilah nafasku yang penghabisan, kerajaan Belanda tidak akan lama lagi tamat riwayatnya. Dan ini Straat Sunda bukan selat sunda melainkan Selat kapal Tujuh!”

Sesudah berkata demikian maka putuslah nyawanya. Banyak kawan-kawan yang lain juga meninggal karena luka-luka akibat pemboman itu: Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, Simon dan Paraja.

Berikut ini adalah kesaksian Maud Boshart:

“Suatu tiang api yang dahsyat meluncur ke udara dari atas tempat, dimana sejumlah besar manusia berdiri menonton pesawat2 terbang. Tekanan udara menyebabkan saya jatuh terpelanting diatas geladak dan saya berdiri lagi untuk mencari perlindungan. Segera sesudah itu datang lagi tiga pesawat pembomb untuk membom sasaran tetapi tidak ada satupun yang mengenai sasaran.

Sesudah pesawat terbang itu terbang melalui kapal, maka sayapun segera pergi kebagian depan. Saya tidak dapat menahan airmata saya. Mereka kawan2 saya tergeletak diatas geladak dengan tubuh yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan2 kecil ada yang terbakar ada yang berguling-guling dalam darahnya dengan luka-luka yang sangat mengerikan. Seorang kawan pemukul gendang didadanya luka sebesar menyerupai lubang tinju tangan.

Suatu kehancuran besar telah terjadi, papan-papan baja menjadi bengkok, balok-balok geladak hancur binasa, sedangkan disekitar dan diatasnya bermain-main nyala api yang kecil yang berwarna biru kuning”

Setelah kejatuhan bom itu awak kapal Tujuh panik, kebakaran terjadi di berbagai sisi kapal tetapi dengan sigap dan tangkas kebakaran itu dapat dipadamkan oleh awak kelasi yang masih hidup. Untuk mencegah bencana yang lebih besar beberapa ABK berinisiatif untuk membuang peluru meriam 28 kelaut karena takut meledak akibat panasnya api. Setelah melihat kerusakan yang cukup parah Kawilarang yg juga pada saat itu terluka parah di kepalanya segera memberi perintah untuk menghentikan semua mesin kapal. Kenapa kapal Tujuh tidak melakukan perlawanan karena kapal tersebut tidak dilengkapi dengan meriam anti penangkis serangan udara.

Setelah melihat kapal Tujuh berhenti maka secara perlahan-lahan dari kapal pemburu “Piet Hein” mengirimkan beberapa buah sekoci yang diisi marinir2 serta perwira-perwira bersenjata lengkap. Setelah sampai di kapal Tujuh para mariner itu langsung membebaskan para perwira Belanda yang ditangkap dan membebaskan mereka. Para pemberontak bangsa Indonesia dan Belanda tidak melakukan perlawanan lagi disebabkan karena keadaan yang tidak mengijinkan.

Akibat pemboman itu kapal Tujuh kelihatan agak miring. Para pemberontak yang berbangsa Indonesia diangkut dengan kapal perang “Java” sedangkan yang berbangsa Belanda diangkut dengan kapal “Orion”. Kapal pemburu “Eversten” mengangkut orang2 yang sudah gugur akibat luka-lukanya. Mereka yang gugur itu dimakamkan dalam satu lobang di pulau Kerkhof, sedangkan rekan-rekannya yang berbangsa Belanda di pulau Purmerend. (Kekuasaan colonial mempertahankan diskriminasi bangsa-bangsa hingga saat akhir).

Para pemberontak yang masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan kedalam kamp tawanan di pulau Onrust, dimana mereka akan meringkuk disana selama kl. 7 bulan (pulau Onrust ini letaknya tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok kira-kira 1 jam perjalanan)

Berikut adalah kesaksian Boshart kembali:

“Sebuah barak itu terdiri dari sebuah tembok setinggi orang dengan atapnya yang terbuat dari seng. Diantara atap dan tembok terdapat ruang dari setengah meter yang ditutup dengan kawat berduri.

Peraturan tata tertib diumumkan sebagai berikut: “Siapa yang melalui ruang terbuka ditembak tanpa peringatan. Jikalau membuat ribut, maka geranat tangan akan dilemparkan tanpa peringatan kedalam barak. Tindakan ini diambil juga terhadap kelasi2 yang berani tertawa atau berbicara dengan suara keras”.

Para tawanan yang tidak mau menandatangani pernyataan/pengakuan tidak diberi makan selama 3 hari. Para tawanan yang diperiksa tidak boleh berpindah dari pusat atau meliwati batas lingkungan yang digaris dilantai dengan kapur dan mereka harus berdiri daripagi sampai sore dengan tangan diborgol sambil diancam oleh para serdadu bersenjata lengkap.

Sesudah 7 bulan lamanya mengalami perlakuan yang fasis itu maka pada tanggal 19 september 1933 mereka dipindahkan ke Sukalila menggunakan kapal “Zuiderkruis” tetapi Kawilarang dan Boshart karena dianggap berbahaya dikirim ke Jakarta.

Kemudian melalui peradilan kolonial mereka semua anak marine bangsa Indonesia diadili dan di kenakan hukuman maksimal 18 tahun (untuk Kawilarang) dan 6 tahun paling rendah bagi yang lainnya. Menyusul juga kemudian anak buah kelasi bangsa Belanda di kenakan hukuman maksimal 16 tahun (Maud Boshart) dan minimal 4 tahun paling rendah. Jadi total kira-kira 545 ABK bangsa Indonesia dan 81 ABK bangsa Belanda yang ditahan akibat pemberontakan di kapal Tujuh itu.

Dalam Perjuangan cita-cita luhur ini mereka bukan kalah tetapi gagal; Dan kegagalan bukan berarti kekalahan!

Perjuangan rakyat yang revolusioner (bukan kontra revolusioner!) mungkin mengalami kegagalan, tetapi tidak mungkin ia mengalami kekalahan!

Dan setiap kegagalan bagi setiap orang revolusioner adalah sama dengan latihan yang membawa kita kearah pintu gerbang kemenangan!

Hanya orang yang progresif yang mengerti akan panggilan zaman dan yang memihak kepada Rakyat dan Revolusi serta dapat dijadikan karyanya sebagai alat revolusi.

************************************************

DAFTAR PUSTAKA.

• WI. LENIN, Gerakan Pembebasan Nasional di Timur – Menyambut Ulang Tahun ke 45 PKI, Jajasan Pembaruan, 1965

• Sejarah Pemberontakan di Kapal Tujuh (Zeven Provincen) – M. Sapija, 1960

• Maud Boshart, Pemberontakan di Daerah Panas - Brosur CPN, 1949

• Prof. Iwa Kusuma Sumantri SH, Sejarah Revolusi Indonesia, Masa Perjuangan Sebagai Perintis Revolusi, jilid pertama

0 comments: