Pages

Subscribe:

Selasa, 27 Mei 2014

Jati Diri Kepemimpinan Kresna (12) Mendapat Menantu

Rukmini merasa tentram di dalam pelukan
Narayana atau Kresna, seorang Raja titisan Wisnu
(karya Herjaka HS 2008)
Raja Bismaka duduk di atas singgasana, dihadap oleh Yudhistira, Bima, Nakula, Sadewa serta para menteri Negara Kumbina. Tidak beberapa lama, datanglah raja Duryodana mengawal Pendeta Drona, untuk melamar Dewi Rukmini. Raja menerima kedatangan mereka dengan hormat. Setelah mengutarakan maksudnya, Raja Bismaka memohon agar wakil dari pelamar yang dipimpin oleh Duryodana menebak makna teka-teki sayembara. Pendeta Drona menjelaskan makna teka-teki. Jawaban Pendeta Drona dianggap benar oleh raja Bismaka. Pendeta Drona disambut oleh raja, supaya masuk ke Taman Keputren, dikawal oleh Rukmana.
Rukmini menjadi kebingungan dan bersedih hati. Ia menganggap jawaban Pendeta Drona tidak benar, maka ia menangis di hadapan ibunya. Ia tidak bersedia dikawinkan dengan pendeta tua itu. Rukmana datang menghantar Pendeta Drona, Rukmini lari ketakutan. Rukmana kembali menghadap raja. Pendeta Drona hendak memeluk permasuri raja yang dikiranya Rukmini. Permaisuri pun lari menyembunyikan diri.
Rukmini meninggalkan istana Keputren, masuk ke Taman. Di Taman ia melihat Narayana, lalu didekatinya untuk minta perlindungan. Rukmini bercerita bahwa dirinya tidak bersedia diperisteri Pendeta Drona, karena ia telah jatuh cinta kepada Narayana. Narayana menyambut dengan senang hati dan sanggup melindunginya.
Pendeta Drona tiba di Taman. Narayana menyongsongnya dalam wujud raksasa besar. Narayana tiwikrama, melangkah menyergap sang pendeta. Pendeta Drona lari ketakutan, menghadap raja Bismaka dan berkata bahwa raksasa besar masuk di Taman dan membawa lari Rukmini.
Raja Bismaka mendengar laporan peristiwa dalam istana, lalu meminta bantuan Yudhistira dan Duryodana. Warga Korawa dan Pandhawa berusaha melawan raksasa besar itu. Raksasa mengamuk, Patih Sengkuni lari bersama warga Korawa. Yudhistira didorong-dorong maju menyerang, tetapi hanya diam, berdiri memandang lawannya. Bima cepat-cepat menyambut raksasa, sehingga sang raksasa mundur sembunyi di Taman. Bima pun menyerang tapi raksasa menghilang. Bima merusak Taman, mencari raksasa. Pandhawa dan Korawa yang hadir di Kumbina tidak mampu melawan raksasa besar itu.
Raja Bismaka berunding dengan Yudhistira, mereka menyayangkan ketidak hadiran Harjuna. Nakula disuruh mencarinya lalu kembali ke Ngamarta. Arjuna sedang menghadap Kunthi, lalu diberitahu oleh Nakula hal-ikhwal yang terjadi di Kumbina. Arjuna diminta menolong keselamatan negara Kumbina. Arjuna dan Nakula pin berangkat bersama menuju Kumbina.
Raja Bismaka menyambut kedatangan Arjuna. Setelah diberitahu maksud panggilannya, Arjuna pergi ke taman, tempat raksasa bersembunyi. Terjadilah perkelahian antara Arjuna dan Raksasa. Raksasa menghilang, dan dikabarkan mati oleh Arjuna..
Raja Duryodana tahu bahwa raksasa itu sebenarnya Kresna, lalu menyuruh agar Korawa menggempur Randhukumbala di Dwarawati. Sumbadra dan Udawa sedang asyik membicarakan kepergian Narayana. Warga Korawa datang menyerang, tetapi diusir oleh Udawa. Kemudian Arjuna datang menemui mereka berdua. Arjuna minta agar Udawa mencari Narayana, sebab akan dikawinkan dengan Rukmini di Kumbina. Sepeninggal Udawa ke Kumbina, Arjuna bercerita kepada Sumbadra bahwa Narayana mati dibunuhnya, karena melakukan pencurian di Kumbina. Sumbadra marah, lalu Arjuna diserangnya. Arjuna menyerah lalu diikat dan dibawa ke Kumbina. Sumbadra hendak menuntut kematian Narayana. Arjuna dan Rukmini harus dihukum mati karena mereka penyebab kematian kakaknya
Udawa menemui Kakrasana, lalu diajak pergi ke Kumbina, menunggui perkawinan Narayana dan Rukmini. Mereka menuju ke Kumbina.
Sumbadra menghadap raja Bismaka, menyerahkan Arjuna. Ia menuntut hukuman mati bagi Arjuna dan Rukmini. Raja menerima tuntutan Sumbadra, lalu disuruh menghadap permaisuri raja, minta agar Rukmini diserahkan kepadanya. Permaisuri raja menjawab bahwa Rukmini bersembunyi di Taman. Sumbadra datang ke Taman membawa keris terhunus. Dilihatnya Rukmini sedang duduk bersedih hati di Taman. Sumbadra mendekatinya, minta agar Rukmini menyerahkan diri. Setelah mengerti kedatangan dan maksud Sumbadra, Rukmini menyerah dan minta segera dibunuh. Ketika keris hendak ditikamkan ke dada Rukmini, Narayana datang menahannya. Sumbadra tercengang, Narayana ternyata tidak mati. Narayana minta agar Sumbadra dan Rukmini meninggalkan Taman.
Raja Duryodana datang menemui raja Bismaka, minta agar Pendeta Drona segera dikawinkan dengan Rukmini. Permaisuri berkata bahwa Rukmini tinggal di Taman. Warga Korawa pergi ke Taman tetapi tidak menemukan Rukmini, karena Rukmini dibawa lari Narayana. Warga Korawa mengamuk, Bima diminta memadamkan amukan itu. Warga Korawa berhasil diusir pergi dari Kumbina. Arjuna disuruh mencari Rukmini. Setelah bertemu, maka Arjuna, Rukmini dan Sumbadra menghadap raja Bismaka. Raja telah dihadap oleh Kakrasana, Yudhistira, Bima, Nakula, Sadewa dan warga Kumbina. Rukmini ditanya oleh raja, sungguhkah ia jatuh cinta kepada Narayana. Permasuri bercerita, bahwa telah lama anak perempuannya menerima balasan cinta dari Narayana. Permaisuri menginginkan menantu jelmaan Wisnu.
Kakrasana atas nama orang tua dan saudara minta maaf atas kesalahan adiknya. Kemudian, minta kerelaan raja untuk memperisterikan Rukmini dangan Narayana.
Raja Bismaka berkenan, Rukmini dan Narayana disambut dengan pesta perkawinan di Kumbina. (Sumber: Serat Padhalangan Ringgit Purwa. Jilid 23:3-8)
(RS. Subalidinata)
sumber:wayang.wordpres.com

Jati Diri Kepemimpinan Kresna (10) Mendung Kelabu di Langit Mandura


Dewi Mahera dibuang di hutan (karya ke-1.840, Herjaka HS, 2008)

Di antara tiga isteri Basudewa yang cantik-cantik, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki dan Dewi Mahera, Dewi Maheralah yang paling mempunyai daya tarik. Oleh karenanya banyak raja yang mengincar Dewi Mahera. Dewi Mahera meyadari akan hal itu, namun ia tidak tahu pasti kejadian yang akan menimpa dirinya. Di suatu sore ketika sedang berbincang-bincang dengan para abdi, Dewi Mahera mengatakan sedih, selalu berdebar-debar, cemas dan khawatir akan keselamatan suaminya, raja Basudewa, yang sedang berada dalam perburuan. Dalam suasana yang demikian itu tiba-tiba datang Basudewa palsu. Mahera terkejut, sebab kedatangan raja tidak seperti biasanya yang memakai upacara penyambutan. Rasa heran Dewi Mahera belum terjawab, ketika Basudewa palsu berkata, bahwa ia tiba-tiba ingat isterinya dan merindukannya, ia ingin segera pulang dan mencumbu sepuasnya. Dewi Mahera tidak dapat berbuat banyak, walaupun perasaannya mengatakan lain, namun yang dihadapi adalah Basudewa, suaminya. Maka akhirnya mereka berdua melepas rasa rindu sebagai suami isteri.
Harya Prabu Rukma, yang diperintah raja untuk pulang dan mengawasi istana, datang mengelilingi istana. Ketika sampai di Keputren ia menjadi heran sebab raja Basudewa berada di istana Keputren. Lama ia berpikir, kemudian tumbuh rasa curiga. Harya Prabu Rukma berseru, memanggil-manggil isteri raja dari luar. Maka terjadilah pertengkaran mulut antara Basudewa palsu dengan Harya Prabu Rukma. Setelah yakin bahwa Basudewa yang masuk di Keputren tersebut adalah Basudewa palsu atau penjahat, menyeranglah Harya Prabu Rukma. Terjadilah perkelahian hebat. Harya Prabu Rukma melepaskan anak panah. Terkena anak panah tersebut, seketika hilanglah wujud Basudewa dan menjadi Gorawangsa. Maka Gorawangsa mengamuk di kerajaan Mandura. Namun pada akhirnya raja rasaksa itu mati terbunuh oleh panah Harya Prabu Rukma. Ditya Suksara turun dari angkasa, menyerang Harya Prabu Rukma. Tapi raksasa itu terkena panah rantai, tidak dapat bergerak, lalu menyerah kepada Harya Prabu Rukma. Harya Prabu Rukma memanggil patih Yudawangsa, lalu melaporkan peristiwa yang telah terjadi di istana tersebut. Patih Yudawangsa heran dan merasa bersalah karena sampai tidak tahu bahwa negara telah kedatangan musuh yang menyamar. Selanjutnya Harya Prabu Rukma mengikat dan membawa Ditya Suksara ke hutan perburuan untuk menghadap raja Basudewa.
Raja Basudewa sedang berbicara dengan Ugrasena tentang ilham dari dewa. Tidak lama kemudian datanglah Harya Prabu Rukma dengan membawa tawanan Ditya Suksara. Segala yang terjadi di kerajaan diceritakan kepada raja. Raja mengusut kehadiran Ditya Suksara di kerajaan Mandura. Ditya Suksara menceritakan kedatangan raja Gorawangsa yang ingin memperisteri raja Basudewa yang bernama Dewi Mahera. Ia minta ampun dan minta hidup. Bila ia tidak dibunuh, ia berjanji akan menyerahkan pusaka gada besi kuning kepada raja Basudewa. Raja Basudewa berkenan di hati. Ditya Suksara diberi ampun dan disuruh kembali ke negaranya. Kemudian raja segera pulang ke negara Mandura. Harya Prabu Rukma dan prajurit berbondong-bondong meninggalkan hutan untuk kembali ke kerajaan.
Raja Basudewa dihadap oleh para abdi istana. Para abdi dimintai keterangan tentang kejadian di dalam istana Keputren. Akhirnya diketahui hanya Mahera yang terkena kejahatan Gorawangsa. Raja menugaskan Harya Prabu Rukma untuk membunuh Mahera. Mahera dibawa ke hutan, diikuti dua abdi. Setelah sampai di hutan, Harya Prabu Rukma tidak sampai hati untuk membunuhnya. Mahera tidak bersalah, maka hanya ditinggalkannya di dalam hutan.
Harya Prabu Rukma kembali ke istana menghadap raja Basudewa. Dilaporkannya bahwa Mahera telah dibununhnya. Tiba-tiba datang Ditya Suksara menyerahkan gada pusaka. Raja berkenan. Ditya Suksara kembali ke negaranya.
Prajurit Gorawangsa kemudian datang menyerang kerajaan Mandura. Ugrasena ditugaskan memusnahkan para prajurit raksasa itu. Maka musuh pun tidak ada lagi.
Raja Basudewa hidup tenteram bersama dua isteri serta sanak saudaranya di Mandura.
RS Subalidinata. (Sumber : Lampahan Ringgit Purwa. Naskah Perpustakaan Reksapustaka Surakarta nomor D.79)
sumber:wayang.wordpres.com

Jati Diri Kepemimpinan Kresna (11) Cerita Perkawinan Kresna

Drona jatuh cinta kepada Rukmini, putri Prabu Bismaka,
raja Kumbina, hingga terbawa dalam mimpinya.
(karya herjaka HS 1842/2008)
Kresna dikenal mempunyai tiga isteri, yaitu Rukmini, Setyaboma dan Jembawati. Namun ada sebuah cerita yang menyebutkan bahwa Kresna juga beristeri Pertiwi. Rupanya pendapat itu berbaur dengan cerita perkawinan Wisnu dengan Pertiwi.
Dalam bab ini akan dibeberkan tiga cerita perkawinan Kresna, yaitu perkawinan Kresna dengan Rukmini, yang dikenal dengan judul Narayana Maling atau Kresna Kembang. Perkawinan Kresna dengan Setyaboma yang dikenal dengan judul Kresna Pujangga atau Alap-alapan Setyaboma. Perkawinan Kresna dengan Jembawati, yang sering diberi judul Narayana Krama.
Berikut ini ringkasan isi cerita tentang perkawinan Kresna.
1. Perkawinan Kresna dengan Rukmini.
Bismaka, raja Kumbina, mempunyai anak perempuan bernama Rukmini. Rukmini gadis cantik rupawan, sehingga banyak raja dan ksatria yang datang melamarnya. Namun lamaran itu belum diterima olehnya, sebab Rukmini jatuh cinta kapada Narayana yang sampai saat itu belum melamarnya. Rukmini dilamar juga oleh Pendeta Drona melalui Drona jatuh cinta kepada Rukmini, putri Prabu Bismaka, raja Kumbina, hingga terbawa dalam mimpinya. (karya herjaka HS 1842/2008) raja Duryudana, tetapi Rukmini berkeberatan. Untuk menolak lamaran Duryudana, Rukmini mengajukan sayembara. Bila Pendeta Drona dapat menjelaskan makna ungkapan “Sejatining Lanang” dan “Sejatining Wadon,” Rukmini sanggup diperisterinya. Rukmini berpendirian siapa yang mengerti makna ungkapan itu, itulah suaminya. Raja Bismaka mengumumkan pendirian Rukmini itu sebagai sayembara kepada semua pelamar, termasuk raja Duryodana.
Rukmana, anak raja Bismaka, disuruh memberi tahu kepada raja Duryudana di Ngastina. Setelah mendengar sayembara yang diminta oleh Rukmini, Pendeta Drona ingin menjelaskan ungkapan sayembara itu. Pendeta Drona berkata, bila ia berhasil mempersunting Rukmini, kerajaan Kumbina akan bersatu dengan Ngastina. Keluarga Pandhawa tidak akan minta bagian kerajaan Ngastina, karena hubungan persaudaraan mereka semakin erat. Raja Duryudana amat senang, maka keinginan Pendeta Drona didukung sepenuhnya. Pendeta Drona diijinkan pergi ke Kumbina, sejumlah warga Korawa disuruh membantunya. Pendeta Drona dan warga Korawa datang di Kumbina. Mereka dipimpin oleh raja Duryudana.
Raja Bismaka duduk di atas singgasana, dihadap oleh Patih Bisawarna, para menteri, hulubalang dan pembesar negara. Tengah mereka berbicara datanglah putra raja yang bernama Rukmana, kembali dari Ngastina dan Ngamarta. Rukmana melapor bahwa telah menjalankan tugas perintah raja, memberi tahu tentang sayembara kepada raja Duryudana dan mengundang kehadiran keluarga Pandhawa. Tidak lama kemudian Yudhistira, Bima, Nakula dan Sadewa datang menghadap raja. Arjuna tidak ikut hadir, karena bertugas menjaga negara.
Raja Bismaka memberitahu rencana perkawinan Rukmini dengan Pendeta Drona. Raja berkata, Rukmini sanggup diperisteri Pendeta Drona, bila teka–tekinya tepat ditebak maknanya. Sebelumnya warga Pandhawa telah tahu rencana perkawinan Rukmini dengan Pendeta Drona itu, maka kedatangan mereka telah membawa harta pesumbang berupa emas, ratna manikam dan pakaian kebesaran putri saja buatan Arjuna. Setelah selesai penyambutan, raja Bismaka dan Yudhisthira masuk ke istana. Bima, Nakula dan Sadewa diantar Rukmana ke balai peristirahatan. Mereka berjauhan dengan tempat tinggal warga Korawa. Kemudian Rukmana naik kuda memeriksa persiapan perhelatan, penghiasan istana dan kota sekitarnya.
Narayana berbincang-bincang dengan adiknya, Sumbadra. Sumbadra menyatakan kesedihan hatinya karena telah beberapa malam kakaknya selalu pergi sampai jauh malam. Narayana menjawab bahwa kepergiannya untuk berkunjung ke rumah para pegawai dan terhibur oleh macam-macam pertunjukan. Setiap Narayana hendak pergi, menangislah Sumbadra. Narayana menghiburnya, berlagu tembang kawi, bercerita kecantikan bidadari dan cerita yang lain. Setelah Sumbadra lengah tertidur, pergilah Narayana ke Kumbina, sedng Udawa disuruh menjaga adiknya.
Bagawan Abyasa di Wukir Retawu, duduk di wisma Wiyatasasana, dihadap para siswa. Sang Bagawan sedang menguraikan Aji Jaya Kawijayan. Tiba-tiba Arjuna datang bersama panakawan. Arjuna menghormat, lalu menyampaikan berita tentang sanak saudara dan rencana perkawinan putri Kumbina. Diceritakan bahwa sanak saudara telah hadir di Kumbina, dan Arjuna ingin menyepi di Wukir Retawu. Bagawan Abyasa tidak menyetujui sikap Arjuna itu. Disuruhnya Arjuna supaya menyusul ke Kumbina. Sang Bagawan yang bijaksana itu berkata, bahwa tidak lama lagi akan terjadi perang saudara. Arjuna terkejut mendengar kata sang bagawan, dikiranya akan terjadi perang Baratayuda. Ia mohon diri, Bagawa Abyasa merestuinya.
Arjuna dan panakawan meninggalkan pertapaan Wukir Retawu, menuju ke Kumbina. Di tengah hutan, mereka berjumpa dengan dua raksasa besar lagi dahsyat. Raksasa itu disuruh raja Wanasasomah untuk mencari dging manusia atas keinginan isteri raja yang hamil muda. Arjuna hendak ditangkap, sehingga terjadilah perkelahian hebat. Arjuna melepaskan panah, dua raksasa musnah, menjadi dewa Kamajaya dan bidadari Ratih. Arjuna datang menyembahnya. Kamajaya memberi tahu tentang perang yang akan terjadi. Yang terjadi bukan perang Baratayuda, tetapi Pandhawa dan Korawa akan terlibat di dalamnya. Setelah berpesan, Kamajaya dan Ratih naik ke Kahyangan.
(R.S. Subalidinata)
sumber:wayang.wordpres.com

Jati Diri Kepemimpinan Kresna (9) Penjelmaan Wisnu



macan putih jelmaan Hyang Wisnu menyerang Basudewa
(karya Herjaka.HS 2008)

Di dalam pembicaraan dengan Harya Prabu Rukma dan Ugrasena, Raja Basudewa menyatakan kesedihannya karena memikirkan dambaan ketiga isterinya yang sangat ingin segera melahirkan anak. Karena rasa prihatin tersebut, sang raja semakin tekun bersemadi. Pada suatu saat Dewa memberi petunjuk agar raja berburu ke hutan Kumbina. Di hutan itulah raja akan memperoleh sarana bagi isteri-isterinya agar segera mengandung dan berputra. Patih Yudawangsa mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan perburuan. Sementara Harya Rukma dan Ugrasena diperintahkan mempersiapkan prajurit pengawal raja.
Setelah semuanya siap, patih dan prajurit diperintah supaya mendahului berangkat ke hutan. Raja meninggalkan singgasana, masuk istana menemui keiga isterinya yaitu, Rohini, Dewaki atau Mahendra dan Mahera. Setelah memberi tahu mengenai rencana perburuan ke hutan Kumbina, kepada semua isteri-isterinya, raja segera berpamitan berangkat berburu diiringi para senapati dan prajurit.
Sementara Raja Basudewa berangkat berburu, dikisahkan di negeri Gowagra daerah pulau Nusabarong, seorang raja raksasa bernama Gorawangsa, bercerita perihal mimpinya kepada Suratrimantra, Ditya Suksara dan manggala negara. Raja bermimpi tidur bersama dengan isteri Basudewa, raja Mandura, yang bernama Mahera. Ditya Suksara diminta ke negara Mandura, menyelidiki kebenaran mimpinya, apakah di negara Mandura ada putri bernama Mahera, isteri raja yang sangat cantik dan memikat. Ditya Suksara menjunjung perintah raja, lalu berangkat ke Mandura diiringi barisan prajurit raksasa menuju ke negara Mandura.
Di tengah perjalanan prajurit Gowagra bertemu dengan prajurit Mandura yang menuju ke hutan. Maka terjadila perang. Prajurit raksasa tidak mampu melawan, lalu mereka menyimpang jalan. Selanjutnya prajurit Mandura berkumpul di pesanggrahan.
Di tempat lain, Pandhu bersama punakawan menghadap Bagawan Abyasa di pertapaan Saptaharga. Pandhu bertanya kepada sang bagawan tentang ilham dari dewa yang diterimanya. Diceritakan bahwa Pandhu akan memperoleh anak jelmaan Wisnu. Dijelaskan oleh Bagawan Abiyasa bahwa penjelmaan Hyang Wisnu ke dunia tersebut dapat dibaratkan bunga jatuh ke bumi. Mahkota bunganya jatuh pada putra Basudewa, sedangkan sari bunganya jatuh pada putra Pandhu.
Selain menjelaskan mengenai hal penjelmaan, Bagawan Abyasa memberikan banyak nasihat dan ajaran kepada Pandhu, yang intinya agar Pandhu meninggalkan pertapaan dan kembali ke negara karena sesungguhnya pertapaan bukan tempat raja. Bagi seorang raja yang senang tinggal di hutan, ibarat burung gagak menjenguk tempat pengasingan, tidak baik akibatnya. Pandhu dan punakawan minta pamit, meninggalkan pertapaan, dan kembali ke negara.
Ditya Suksara datang ke tengah hutan Gowagra. Ia membeberkan rencana kerja kepada prajurit yang mengiringnya. Para raksasa disuruh mengganggu prajurit Basudewa yang berburu di hutan Kumbina. Setelah membagi tugas, Ditya Suksara masuk ke istana Mandura untuk menyelidiki keberadaan Mahera, isteri Basudewa. Setelah penyelidikannya dianggap cukup, Ditya Suksara kembali ke negara Gowagra, melapor kepada raja tentang isteri Basudewa.
Sepeninggal Ditya Suksara datanglah Pandhu bersama punakawan. Raksasa-raksasa mencegat mereka, tetapi dapat dihalau Pandhu.
Di Kahyangan Hyang Narada dihadap oleh Hyang Endra, Hyang Brahma, Hyang Bayu, Hyang Sambo, Hyang Wisnu dan Hyang Basuki. Hyang Narada menyampaikan perintah Hyang Gurunata, agar supaya Hyang Wisnu menjelma ke dunia bersama Bathara Laksmanasadu. Karena dahulu kala sewaktu Rama memerintah Ngayodya telah dijanjikan kelak akan menjelma ke dunia bersama Laksmana maka sekarang janji itu digenapi. Hyang Wisnu menjelma bersama Hyang Laksmanasadu.
Namun penjelmaan mereka tidak bisa langsung, harus dengan perantara. Untuk itu Hyang Wisnu menjelma dalam wujud harimau putih, sedangkan Hyang Laksmanasadu dalam wujud ular naga. Hyang Basuki ingin ikut menjelma bersama Hyang Laksmanasadu. Hyang Brahma dan para dewa menyetujuinya. Lalu mereka bertiga turun ke dunia menuju hutan Kumbina.
Raja Basudewa bersama Harya Prabu Rukma dan Ugrasena yang sudah berada di tengah daerah perburuan sedang membicarakan keberadaan dan perilaku binatang di tempat tersebut.. Tiba-tiba datang prajurit memberi tahu, bahwa di daerah perburuan datang harimau putih bersama ular naga. Raja Basudewa turun mendekat ke tempat harimau dan ular naga. Tanpa diduga, cepat bagai kilat, harimau dan ular naga tersebut menyerangnya dengan berani. Raja menghindar, lalu melepaskan panah. Panah tepat mengenai sasaran, dan tubuh harimau tersebut tergolek. Keajaiban terjadi, tubuh harimau segera menghilang. Jasmaninya merasuk ke tubuh Mahendra, isteri Basudewa, dan ruhnya masuk ke tubuh Kunthi, isteri raja Pandhu. Kemudian ular naga menyerang tapi mati terkena panah. Tubuh ular juga menghilang berubah wujud menjadi Hyang Basuki dan Hyang Laksmanasadu, dan merasuk kepada Rohini, isteri Basudewa.
Raja Basudewa heran karena peristiwa itu. Ia berdiri dan bermenung, ada sesuatu yang mengusik hatinya bahwa di istana terjadi sesuatu. Tanpa membuang waktu, Raja Basudewa menugaskan Harya Prabu Rukma supaya kembali ke istana dan memeriksa dengan teliti apa yang terjadi di istana.
Ketika pada suatu sore, Raja Gorawangsa sedang berbincang-bincang dengan Suratimantra tentang Ditya Suksara yang diutus ke Mandura, tiba-tiba Ditya Suksara datang, memberi hormat, lalu bercerita tentang kecantikan Mahera, isteri Basudewa. Diceritakan bahwa sekarang saat yang tepat untuk melakukan siasat, karena raja Basudewa dan prajurit tidak sedang di istana, namun tengah berburu di hutan.
Raja Gorawangsa amat gembira lalu ingin segera pergi ke kerajaan Mandura. Namun sebelum berangkat, tiba-tiba Togog dan Sarawita datang dan melaporkan bahwa banyak prajurit raksasa mati di tangan Pandhu. Raja Gorawangsa tidak menghiraukan kematian para prajurit raksasa. Yang ada dalam pikirannya hanyalah isteri raja Mandura, yaitu Mahera. Maka Gorawangsa segera menyamar dalam rupa dan wujud Basudewa, dan pergi ke istana Mandura. Ditya Suksara mengikutinya dan mengawasi dari kejauhan.
sumber:wayang.wordpres.com

Jumat, 23 Mei 2014

GAMBAR BROTOSENO

https://tokohwayangpurwa.files.wordpress.com/2012/07/bratasena-bima-karangjati-sw-satina-manteb.jpg

Kisah Arjunasasrabahu

Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.

Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya. Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.
Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.
Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.
Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.
Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.
 Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.
“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”
Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.
Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.
Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.

Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra. Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.
Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah
tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.
Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.
Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.

Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya. Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.
Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).
Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.
Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.

Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.
Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.
“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.

Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.
Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.

Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.
“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.”
“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya.
“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.
Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.
Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi Wisrawa.

Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya. Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.

Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru. “Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !” kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.

“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.
‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara Narada.
“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk membatalkan perang.
Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.

Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.
Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit Maespati.
Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis gumpalan-gumpalan api Rahwana.
Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, Prabu
Arjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.

Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.
Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewu- Raksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak minta tolong.

Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.

Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.
Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat, menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.
“Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada. Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi triwikramanya, kembali kewujud aslinya. “Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.
“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.
Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati.

Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.
Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.
Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda.
Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati.
Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh
mayat-mayat wanita cantik.
Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.
Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.


Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.
Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.
Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya
terhadap Marica.
Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.
“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.
“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?”
kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.
Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.
Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.

 Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.
“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.
Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.
Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.
Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati.
Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).

Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.
Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.
Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.
Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.
“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.
“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.
“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”
“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”
“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.
“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.
“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh keyakinan.
Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.

Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.
Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”
Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.
“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.
Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”
Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.
Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang
itu, nangis bersama-sama.
Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).
Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri.
Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang!.
sumber:ceritawayang.blogspot.com

Semar Mbangun Kayangan

Pagi itu, di Desa Karangkabuyutan, Semar terlihat murung dan bingung, terlihat dari raut wajahnya bahwa ia sedang memikirkan sesuatu dan ada yang ia cemaskan. Melihat hal itu, Petruk bertanya kepada ramandanya itu, gerangan apa yang sedang terjadi dan yang membuat ayahnya sering melamun.

Semar menjelaskan bahwa sebenarnya ia tidak apa-apa, ia hanya mencemaskan nasib kerajaan Amarta, ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Semar lalu meminta Petruk untuk pergi ke Amarta untuk menemui para punggawa Amarta dan menyampaikan bahwa Ia ingin meminjam tiga pusaka Keraton Amarta yaitu Jamus Kalimasada, Payung Kencana dan Tombak untuk membangun kayangan. Selain itu,Ia juga mengundang Para pandawa untuk segera datang ke Karangkabuyutan. Petruk menerima tugas yang diberikan ayahandanya, dan langsung berangkat menuju negara Amarta.

Sementara di Amarta, Prabu Yudhistira, dihadapan para saudara-saudaranya sedang membahas sebab kegagalan mereka dan membangun negaranya , datanglah raja Dwarati, Kresna yang kemudian menanyakan ketidakhadiran Semar dalam keraton Amarta dan menyatakan bahwa itulah yang menjadi kegagalan tersebut. Oleh karena itu, Kresna memerintahkan Arjuna untuk memanggil Semar dari Karangkabuyutan untuk menghadap ke Amarta.

Namun, belum Arjuna beranjak dari tempat duduknya, datanglah Petruk menghadap dan memberitahukan bahwa ia diperintahkan Semar untuk mengundang kelima Pandawa untuk menuju Karangkabuyutan dengan membawa tiga pusaka kerajaan untuk membantu Semar mbangun (membangun) kahyangan.
Mendengar hal itu, Kresna langsung melarang Para Pandawa untuk berangkat ke Karangbuyutan, karena ia menganggap bahwa rencana Semar  itu bertentangan dengan kodrat Semar yang diturunkan ke dunia. Terjadilah perdebatan antara Kresna dengan Petruk. Petruk menolak untuk kembali ke karangkabuyutan , dia hanya akan kembali apabila mendapat titah dai Pandawa. Yudhistira pun  akhirnya menyuruh Petruk untuk menunggu di luar paseban untuk menanti keputusan rapat para Pandawa.

Petruk akhirnya menuruti perintah Yudistira, di luar paseban, Petruk bertemu dengan Antasena, putra Bima. Petruk menceritakan semua kejadian yang ada di dalam paseban tadi, Antasena yang memiliki watak bijaksana dan tahu bahwa yang akan dilakukan Semar itu adalah benar, maka ia berjanji akan membantu Petruk menghadapi tindakan Kresna.

Kresna kemudian mengajak Arjuna pergi ke kahyangan Suralaya untuk melapor kepada Batara Guru, dan memerintahkan Gatotkaca, Antareja dan Setyaki mengusir Petruk kembali agar  ke Karangkabuyutan.

Sementara Prabu Yudhistira bersama Bima, Nakula dan Sadewa, merasa bimbang. Sadewa, kemudian memberi usul agar mereka bersemedi di depan tempat penyimpanan pusaka kerajaan untuk meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Jika pusaka itu tetap berada di tempatnya setelah mereka bersemedi berarti Kresna lah yang benar, namun apabila pusaka itu jengkar dari tempatnya setelah mereka bersemedi maka Semar lah yang benar.

Mereka kemudian menuju ke tempat pusaka Kraton untuk bersemedi mencari petunjuk. Dan ternyata ketiga pusaka kraton Amarta melesat hilang menuju Karangkabuyutan. Melihat kejadian itu, akhirnya keempat bersaudara ini segera menyadari dan diam-diam berangkat ke Karangbuyutan melalui pintu belakang tanpa sepengatuhuan Kresna.

Gatotkaca, Antareja dan Setyaki yang diperintahkan Kresna mengusir Petruk ternyata tidak mampu menghadapi Petruk yang telah bersatu dengan Antasena di dalam tubuhnya. Petruk baru mau kembali ke Karangkabuyutan, setelah Arjuna memerintahkannya. Ia terbang ke Karangkabuyutan dibantu Antasena bersama, Gatotkaca, Antareja dan Abimanyu.

Kresna tiba di Suralaya dan menghadap Bathara Guru, ia melaporkan rencana Semar yang ingin membangun kahyangan menyaingi Suralaya. Mendengar laporan itu, Bathara Guru langsung memerintahlan Betari Durga dan Kresna untuk menghalangi rencana Semar tersebut.

Sementara di Karangkabuyutan, Semar menerima kedatangan Prabu Yudhistira, Bima, Nakula dan Sadewa bersama ketiga pusaka Kraton Amarta yang telah tiba lebih dulu bersama Petruk dan putera-putera Pandawa. Sebenarnya Semar sedikit kecewa karena kedatangan Pandawa hanya empat orang . Namun, semar segera melakukan upacara ritual dengan memasukkan keempat bersaudara tersebut menjadi satu ke dalam tubuh Semar.

Ternyata di dalam tubuh Semar bersemayam Sanghyang Wenang yang memberikan petunjuk wejangan hidup dan ilmu yang sangat berarti bagi para Pandawa, dan memerintahkan mereka untuk bertapa selama sepuluh hari .

Sementara para putera Pandawa bersama Petruk, Bagong dan Gareng  yang bertugas menjaga diganggu oleh makhluk halus Maling Sukma, namun Semar segera memberikan mantra untuk menghadapi segala kejahatan yang datang.

Kresna yang ditugaskan Bathara Guru untuk menghalangi rencana Semar Membangung Kahyangan menyamar menjadi Raksasa sebesar bukit. Namun ia tidak mampu menghadapi mantra yang diberikan Semar, begitu pula dengan Arjuna yang menyamar menjadi harimau yang sangat besar. Ia menjadi lemas dan tertangkap oleh para putera Pandawa dan meminta ampun kepada Semar.

Kresna pun  tidak luput dari kemarahan Semar, karena sebagai raja ia tidak waspada dan melakukan tindakan tanpa memeriksa terlebih dahulu apa duduk perkaranya.

Bahkan Semar pun marah kepada Bathara Guru dan berangkat ke Suralaya. Semar mengobrak-abrik kahyangan Suralaya, tidak ada satupun senjata yang memapu melumpuhkan Semar, sehingga Bathara Guru melarikan diri ke Karangkabuyutan, namun kemarahan Semar tidak bisa dihindari, dimanapun Bathara Guru bersembunyi pasti berhasil ia temukan. Hingga akhirnya Bathara Guru meminta perlindungan para Pandawa dan meminta ampun kepada Semar.
Setelah kemarahan Semar sudah mereda, akhirnya Bathara Guru diampuni, dan kembalilah beliau ke kahyangan Suralaya.

Kamis, 22 Mei 2014

Dewi Srenggana-Srenggini nyimpen ilmu sejatining lanang-wadon


CERITA WAYANG BAHASA JAWA



Dewi Srenggana dan Dewi Srenggini iku anake kembar Resi Badawanganala ing pertapan Sumur Upas lan sisihane sing jenenge Dewi Srunggagini. Ing jagad pedhalangan putri loro kembar iki sinebut Dewi Srengganawati lan Dewi Srengginiwati. Dewi Srengganawati dhaup lan Naluka, nurunake Dewi Sritanjung. Dewi Srengginiwati dhaup lan Sahadewa, nurunake Bambang Widapaksa utawa Sidapaksa. Ing lakon Dhaupe Nakula Sahadewa dicritakake saka kawitan malih rumape Bathari Durga dadi Dewi Kunti.
Bathari Durga sing njilma wujud Dewi Kunti iku banjur andon wasis lan andon ilmu bab sejatining lanang, sejatining wadon kalawan Sahadewa. Sawise dibabar kabeh, Dewi Kunti daden-daden iku banjur njaluk saresmi kalawan Sahadewa. Ananging Sahadewa nampik pepenginane Dewi Kunti daden-daden iku amarga kelingan yen Dewi Kunti iku ibune. Dewi Kunti daden-daden tetep meksa pengin saresmi kalawan Sahadewa, ananging Sahadewa milih mlayu ninggalake. Dewi Kunti daden-daden banjur nyuwek sandhangane lan wadul marang Werkudara.
Bima dadi lan nesune nalika weruh kaanane Dewi Kunti (daden-daden iku). Luwih-luwih sawise ngerti yen suweke sandhangane iku amarga pokale Sahadewa. Tanpa suka kalodhangan tumrap Sahadewa kanggo njlentrehake apa sing kedaden satemene, Bima banjur ngajar Sahadewa sakkatoge. Sahadewa uga banjur diguwang ing Sumur Upas engga nemahi pati. Sawijining dina, Dewi Srenggana dan Dewi Srenggini ngimpi dadi sisihane ragile Pandhawa, yaiku si kembar Nakula dan Sahadewa. Sahadewa sing ditemokake mati banjur diuripake maneh dening Resi Badawanganala.
Sawise takon tinakokan kalawan Sahadewa, Resi Badawanganala banjur nemokake Sahadewa kalawan anake wadon. Sahadewa arep dijodhokake kalawan salah sijine anake kembar iku. Putri kembar anake Badawanganala ora kabotan waton Sahadewa bisa napsirake ilmu sejatining lanang, sejatining wadon. Wusana Sahadewa kasil ndhudhah lan napsirake ilmu kasebut. Putri loro kembar iku dening Resi Badawanganala banjur dipasrahake marang Sahadewa, sabanjure diboyong tumuju Amarta utawa Amerta.
Satekane ing Endraprasta, Sahadewa lan Nakula bisa males tumindake Dewi Kunti daden-daden lumantar pitulungane Semar. Dewi Kunti banjur badar maneh ing wujud sakawit, yaiku Bathari Durga. Bathari Durga banjur sumingkir tumuju Krendayana ing pasetran Ganda Umayi utawa Gandamayit. Wusana, Dewi Srenggana utawa Srengganawati dhaup lan Nakula, dene Dewi Srenggini utawa Srengginiwati tetep dadi sisihane Sahadewa.

Dewi Srenggana-Srenggini nyimpen ilmu sejatining lanang-wadon
Dewi Srenggana dan Dewi Srenggini iku anake kembar Resi Badawanganala ing pertapan Sumur Upas lan sisihane sing jenenge Dewi Srunggagini. Ing jagad pedhalangan putri loro kembar iki sinebut Dewi Srengganawati lan Dewi Srengginiwati. Dewi Srengganawati dhaup lan Naluka, nurunake Dewi Sritanjung. Dewi Srengginiwati dhaup lan Sahadewa, nurunake Bambang Widapaksa utawa Sidapaksa. Ing lakon Dhaupe Nakula Sahadewa dicritakake saka kawitan malih rumape Bathari Durga dadi Dewi Kunti.
Bathari Durga sing njilma wujud Dewi Kunti iku banjur andon wasis lan andon ilmu bab sejatining lanang, sejatining wadon kalawan Sahadewa. Sawise dibabar kabeh, Dewi Kunti daden-daden iku banjur njaluk saresmi kalawan Sahadewa. Ananging Sahadewa nampik pepenginane Dewi Kunti daden-daden iku amarga kelingan yen Dewi Kunti iku ibune. Dewi Kunti daden-daden tetep meksa pengin saresmi kalawan Sahadewa, ananging Sahadewa milih mlayu ninggalake. Dewi Kunti daden-daden banjur nyuwek sandhangane lan wadul marang Werkudara.
Bima dadi lan nesune nalika weruh kaanane Dewi Kunti (daden-daden iku). Luwih-luwih sawise ngerti yen suweke sandhangane iku amarga pokale Sahadewa. Tanpa suka kalodhangan tumrap Sahadewa kanggo njlentrehake apa sing kedaden satemene, Bima banjur ngajar Sahadewa sakkatoge. Sahadewa uga banjur diguwang ing Sumur Upas engga nemahi pati. Sawijining dina, Dewi Srenggana dan Dewi Srenggini ngimpi dadi sisihane ragile Pandhawa, yaiku si kembar Nakula dan Sahadewa. Sahadewa sing ditemokake mati banjur diuripake maneh dening Resi Badawanganala.
Sawise takon tinakokan kalawan Sahadewa, Resi Badawanganala banjur nemokake Sahadewa kalawan anake wadon. Sahadewa arep dijodhokake kalawan salah sijine anake kembar iku. Putri kembar anake Badawanganala ora kabotan waton Sahadewa bisa napsirake ilmu sejatining lanang, sejatining wadon. Wusana Sahadewa kasil ndhudhah lan napsirake ilmu kasebut. Putri loro kembar iku dening Resi Badawanganala banjur dipasrahake marang Sahadewa, sabanjure diboyong tumuju Amarta utawa Amerta.
Satekane ing Endraprasta, Sahadewa lan Nakula bisa males tumindake Dewi Kunti daden-daden lumantar pitulungane Semar. Dewi Kunti banjur badar maneh ing wujud sakawit, yaiku Bathari Durga. Bathari Durga banjur sumingkir tumuju Krendayana ing pasetran Ganda Umayi utawa Gandamayit. Wusana, Dewi Srenggana utawa Srengganawati dhaup lan Nakula, dene Dewi Srenggini utawa Srengginiwati tetep dadi sisihane Sahadewa.

Bahasa Jawa: Cerita wayang Ramayana : Sintha Kandhusta


Pegat, apisah, Rama lan Shinta, kidang kencana tanggap ing sasmita, hangendering cancut mlajeng lumebeng wana, saya hanengah, saya tebih, denira apepisahan kalawan garwa mayangsari.
Ngancik telenging wana, peteng ndhedhet lelimengan, ical lacaking kidang, sapandurat kumlebet katingal kidang kencana haleledhang, Rama sigra hangembat gendhewa, menthang langkap, wastra lumepas, hangener dening kidang, tumancep warayang mring hangganing kidang sangsam kencana, gumlundhung pejah kasulayah, eloking kahanan, sareng gumalundhunging kidang kapiyarsa swara dumeling, Marica hangemba-emba suwaranipun Rama, jelih-jelih asesambat mring arinta Laksmana.
Sinta lan Laksmana ingkang hanganti dhatenging ingkang raka Rama dinandak hamiyarsa suwara nyaring asesambat tiwasing dhiri. Kusumaning ayu Sinta sajroning wardaya, hanyipta lamun swara ingkang kapiyarsa punika, tuhu swaranipun raka Rama, mila tarataban manahira, sigra dhawuh mring ari Laksmana, supaya enggal lumawat mring Rama, aweh pitulungan, Laksmana ingkang wicaksana tansah sung pemut, bilih swara punika sanes suwarnipun Rama.

Saiki, Rama sadar menawa dheweke wis ketipu. Dheweke gage-gage bali ing panggon Sinta ngenteni. Ing dalan dheweke papasan karo Laksmana, banjur dheweke bali bebarengan.   Endah kagete Rama lan Laksmana menawa Sinta wis kasil dicolong Prabu Dasamuka.
Manuk Jatayu mbudidaya ngalang-ngalangi malah tekaning pati kaperjaya dening gegamane Rahwana, lan Sinta bisa digawa menyang Ngalengka. Sadurunge mati Jatayu isih bisa ngabari Rama lan Laksmana tumrap kaanane Sinta. Amarga gugur njalanake darmane, Rama lan Laksmana nyuwun marang Sang Kuasa supaya gugure Jatayu  bisa sempurna.  Awit saka panyuwune Rama lan Laksmana, Jatayu bisa gugur secara moksa. Awake melu ilang lunga ing Suarga.

Ing perjalanan menyang Ngalengka, Rama lan Laksmana ketemu karo Anoman kethek putih putrane Bathara Guru. Anoman didhawuhi ngabdi karo Rama.
Nalika, ing tengahing alas, padha mireng suara tangis. Sawise diceraki, swara iku saka kethek ingkang kejepit ing silangan wit gedhe Rama banjur nulungi kethek iku saka jepitan. Kethek iku ngaku menawa dheweke iku Raja ing Guwakiskendha, sing jenenge Sugriwa. Kakange sing jenenge Subali mbrontak karo Guwakiskendha, banjur dheweke di siksa lan dijepit ing silangan wit. Lajeng kanggo ngrebutke Guwakiskendha,  Sugriwa padu karo Subali, Rama nglepaske wastra pusaka Gumawijaya. Dening Resi Subali nduweni Aji Pancasona, dheweke tetep kalah. Kanthi dibantu Rama, Sugriwa bisa dadi  Raja maneh ing Guwakiskendha.

Kanggo bales budi, Sugriwa ngerahke wadyabalane kanggo mbantu Rama ngrebut Sinta saka Prabu Dasamuka. Anoman didhawuhi Rama supaya nggoleki Sinta menehake ali-aline Rama lan mangerteni kekuatanne Kerajaan Ngalengka. Nalika arep bali Anoman dicekel wadya bala Ngalengka. Anoman arep diobong nanging banjur mabur nggawa geni kanggo  ngobong kraton Ngalengka, kajaba taman Argasoka, panggon Sinta didhelikake.

Akhire, kedadean perang gedhe  Pancawati mungsuh karo Nglengka.
Wadya balane Ngalengka  wujud buta-buta lan wadya balane Rama dibiyantu kethek-kethek balane Sugriwa, Senapati  Nglengka akeh sing tiwas. Pancawati menang. Sawise perang Rama lan   Shinta bali menyang Ayodya, Nanging Sinta susah ora enggal ketampa dening Rama, amarga dianggep wis ora perawan maneh. Sinta reresik awak saka geni lan banjur ditampa. Pratelane Rama, sesucen iku kudu ditindakake kanggo ngilangi pandakwa ala tumrap garwane.