Jumat, 30 September 2016
Minggu, 04 September 2016
Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng
adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan
abad ke-17. Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada
daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat
istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling.
Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal,
mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong
emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal
itu menandakan Bali telah berkembang.
Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode
kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan
Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan
Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji
Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih/Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih/Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Wangsa Warmadewa
Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Menurut riwayat
lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya
disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai
raja Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti
ini, Sri Kesari adalah penganut Buddha Mahayana yang ditugaskan dari
Jawa untuk memerintah Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat
dengan penguasa Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10
hingga ke-11.
Berikut adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam wangsa Warmadewa :
- Sri Kesari Warmadewa (882M - 914 M)
- Sang Ratu Sri Ugrasena (915 M - 942 M)
- Sri Tabanendra Warmadewa (943 M - 961 M)
- Candrabhayasingha Warmadewa (962M - 975 M)
- Janasadu Warmadewa ( 975 M -988 M)
- Udayana Warmadewa (989 M - 910 M)
- Dharmawangsa Warmadewa (memerintah Medang)
- Airlangga (991-1049, penguasa Kerajaan Kahuripan)
- Anak Wungsu (1049M - 1077M)
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa. Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak, Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana digantikan putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar kerajaan.
Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.
Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng
sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada
saudagar dari seberang yang datang dengan jukung bahitra berlabuh di
manasa...”
Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah
dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis
alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling. Dengan perkembangan
perdagangan laut antar pulau di zaman kuno secara ekonomis Buleleng
memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di
Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.
Peninggalan Sejarah
a. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M). Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
b. Prasasti Penempahan dan Malatgede
Prasasti Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913.
d. Pura Tirta Empul
Pura tersebut terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura ini, digunakan beliau untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi. Penamaan Pura Tirta Empul diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul. Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan.
e. Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma didirikan dimulai pada 915 M. Keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.
Peninggalan Sejarah
a. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M). Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
b. Prasasti Penempahan dan Malatgede
Prasasti Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913.
d. Pura Tirta Empul
Pura tersebut terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura ini, digunakan beliau untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi. Penamaan Pura Tirta Empul diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul. Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan.
e. Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma didirikan dimulai pada 915 M. Keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.
SEJARAH PAHLAWAN DEPATI AMIR
Amir dan Hamzah membangun markas besarnya di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti Pasukan terus berpindah dan bergerak diseluruh pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam Pertempuran strategi yang digunakan adalah perang gerilya dengan ciri :
- Disamping pasukan utama dibentuk pasukan pasukan kecil dimasing masing distrik yang dipimpin oleh seorang Panglima Perang.
- Tugas pasukan kecil ini adalah menyerang pos pos militer Belanda dan parit-parit sebagai pusat kekayaan dan keuangan Belanda, serta membumihanguskan Batin Batin untuk menaikkan moral perjuangan dan menghancurkan sumber logistik musuh.
- Melemahkan mental dan moral musuh dengan menyerang kemudian menghilang dengan cepat, mengelabui dan menjebak musuh dengan memanfaatkan kondisi geografis alam Pulau Bangka.
- Menghindari pertempuran terbuka dan frontal.
- Memasang rintangan dan ranjau sepanjang jalan Pangkalpinang-Mentok.
- Mengadakan gerakan kontra mata mata.
- Mendatangkan senjata dan amunisi bekerjasama dengan orang orang Cina.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah, Belanda mengalami kebingungan dan kesulitan, sehingga bermacam strategi dilakukan antara lain:
- Parit parit dijaga oleh militer dan di kampung kampung didirikan pos militer.
- Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
- Memberi hadiah bagi yang dapat memberikan informasi keberadaan Amir dan Hamzah atau yang berhasil menangkapnya.
- Melakukan gerakan gerakan militer, benteng stelsel, memperkuat balatentara dan mendatangkan kapal perang untuk mempercepat gerak pasukan guna mendesak dan menumpas perlawanan.
- Menawarkan perundingan dengan memberi Gaji dan Tunjangan Kepada Amir dan Hamzah, kepada para Batin dan Mandor kampung untuk mengikat supaya tidak melakukan perlawanan.
- Menjanjikan melepas keluarga Amir dan Hamzah yang ditahan.
- Melaksanakan perundingan di Kampung Layang dipimpin oleh Kapten Dekker.
Kekurangan akan logistik dan kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba Pulau Bangka yang sangat luas yang menjadi pemikiran Amir dan Hamzah, sehingga ketika pasukannya kembai ke kampung - kampung untuk menggarap ladang pertanian justru menjadi hal yang dianjurkan, karena mengingat kepentingan yang lebih besar yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan. Di samping kekurangan pangan dan logistik perang ditambah iklim yang kurang mendukung, menyebabkan dalam peperangan digunakannya peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan - penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Amir dan Hamzah beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri. Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Mentok. Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor.
Perjuangan tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor Propinsi NTT dalam bentuk memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau Timor dalam melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam (komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka mendirikan masjid di Bonipoi yang bernama masjid Al Ikhlas), serta memberikan pengetahuan tentang sistem pengobatan tradisional bagi masyarakat setempat. Sejarah perjalanan pembuangan yang dramatis ke Pulau Timor selama 6 (enam) bulan di atas Kapal Uap Unrust dengan terus menerus dirantai dan dikerangkeng serta penderitaan di pembuangan (Desa tempat pembuangannya dinamai dengan Desa Airmata) tidak kalah dengan kisah pembuangan Imam Bonjol, Diponegoro, dan Pahlawan Nasional lainnya. Kalau dilihat dari fakta sejarah di atas sangat jelas bahwa Depati Amir dan Hamzah adalah SALAH SEORANG PEJUANG BANGSA DAN SEBAGAI SALAH SATU SIMPUL DARI SEKIAN BANYAK SIMPUL PEREKAT KEINDONESIAAN. Setelah 34 tahun kemudian Amir wafat pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di Pemakaman Batu Kadera Kupang. Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang disebut dengan EXORBITANTE RECHTEN. Cara Kolonial ini ternyata sangat efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan kerajaan tradisional di daerah. Setelah tertangkapnya Amir dan Hamzah perjuangan rakyat Bangka tidak berhenti dan dilanjutkan oleh pejuang pejuang lainnya seperti Batin Tikal, dan bekas panglima panglima perang lainnya.
Tabi’in: Ahnaf bin Qais, Berguru Kepada Umar al-Faru
Suatu hari Utbah bin Ghazwan menerima surat dari amirul Mukminin Umar bin Khaththab meminta agar dikirim sepuluh orang prajurit utama dari pasukannya yang telah berjasa dalam perang. Amirul mukminin ingin mengetahui hal-ihwal pasukan Islam dan ingin meminta pertimbangan mereka.
Setibanya para utusan itu disambut oleh Amirul Mukminin dan dipersilakan duduk di dalam majelisnya. Mereka ditanya tentang kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata, “Tentang kebutuhan rakyat secara umum Anda lebih tahu karena Anda adalah pemimpin. Maka kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri.” Kemudian masing-masing meminta kebutuhannya.
Kebetulan Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir untuk berbicara karena terhitung paling muda di antara mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal di daerah subur menghijau dan tempat yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mareka tinggal di tempat yang nyaman, banyak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana. Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persia, mereka tinggal di sekitar sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah peninggalan para kaisar.
Namun kaum kami yang dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi yang satunya hanyalah hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul Mukminin, perbaikilah kehidupan mereka dan perintahkanlah gubernur Anda di Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat menghidupi ternak dan pepohonan. Perbaikilah kondisi mereka dan keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk berjihad fii sabililah.”
Umar takjub mendengarkan keterangannya,
kemudian bertanya kepada utusan yang lain, “Mengapakah kalian tidak
melakukan seperti yang dia lakukan? Sungguh dia (Ahnaf) –demi Allah-
adalah seorang pemimpin.” Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka
dan menyiapkan perbekalan pula untuk Ahnaf. Namun Ahnaf berkata, “Demi
Allah wahai Amirul Mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan
memukul perut onta selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya
tidak memiliki keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah
saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi
Anda.” Rasa takjub Umar semakin bertambah lalu beliau berkata, “Pemuda
ini adalah pemimpin penduduk Bashrah.”
Usailah majelis itu dan para utusan beranjak ke
tempat menginap yang telah disediakan. Umar bin Khaththab melayangkan
pandangan beliau pada barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan
tersembul sepotong pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya, “Milik
siapa ini?”
Ahnaf menjawab, “Milik saya, wahai Amirul
Mukminin,” dan seketika itu dia merasa bahwa Umar menganggap barang itu
terlalu mewah dan mahal. Umar bertanya, “Berapa harga baju ini tatkala
kamu membelinya?” Ahnaf berkata, “Delapan dirham.” Ahnaf tidak pernah
mendapati dirinya berdusta kecuali kali ini. Pakaian tersebut dibelinya
dengan harga dua belas dirham.
Umar menatapnya dengan pandangan kasih sayang. Dengan halus dia
berkata, “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang
kau miliki hendaknya Anda pakai untuk membantu muslim lainnya.” Umar
berkata kepada semuanya. “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan
gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya agar ringan beban kalian
dan banyak mendapatkan pahala.” Ahnaf tertunduk malu mendengarnya dan
beliau tak sanggup berkata apa-apa.Kemudian Amirul Mukminin memberi izin kepada para utusan untuk kembali ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan kembali bersama mereka, beliau diminta tinggal bersama Umar selama setahun penuh.
Umar radhiyallahu ‘anhu mengamati bahwa pemuda Bani Tamim itu memiliki kecerdasan yang lebih, fasih berbicara, berjiwa besar, bersemangat tinggi, dan kaya akan ilmu. Oleh sebab itu Amirul Mukminin bermaksud membinanya agar menjadi kader muslim yang berguna dengan cara banyak belajar kepada para sahabat dan mengikuti jejak mereka dalam menekuni agama Allah. Beliau juga bermaksud menguji lebih dalam tentang kepribadian Ahnaf sebelum memberinya tugas-tugas kemasyarakatan. Sebab Umar paling khawatir atas orang-orang yang lihai dan tangkas dalam berbicara. Orang-orang semacam itu, jika baik bisa memenuhi dunia, dan jika rusak maka kecerdasannya akan menjadi petaka bagi manusia.
Setahun sudah Ahnaf bersama Umar, lalu Umar berkata, “Wahai Ahnaf, aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanya kebaikan semata. Kulihat lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun demikian.”
Kemudian beliau mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Beliau berpesan kepada panglimanya, yakni Abu Musa al-Asy’ari: “Untuk selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah dalam segala urusan dan perhatikanlah usulan-usulannya.”
Bergabunglah Ahnaf di bawah panji Islam dan menyerbu daerah Timur Persia. Beliau mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin tenar dan prestasinya kian cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim, turut berjasa dalam menaklukkan musuh dengan pengorbanan besar. Banyak kota dan daerah yang dikuasai, termasuk kota Tustur dan menawan pemimpin mereka, yaitu Hurmuzan.
Dia adalah pemimpin Persia yang paling kuat dan keras serta memiliki tipu muslihat yang lihai dalam perang. Kemenangan kaum muslimin kali ini berhasil memaksa dia untuk menyerah. Berkali-kali sudah dia mengkhianati perjanjian damai dengan muslimin dan mengira bisa melakukannya terus-menerus dan merasa dapat memenangkan kaum muslimin.
Tatkala dia terdesak disalah satu bentengnya yang kokoh di Tustur, dia masih berkata sumbar, “Aku punya seratus batang panah. Dan demi Allah, kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah itu. Padahal kalian tahu bahwa bidikanku tak pernah meleset, maka kalian tidak bisa menangkapku sebelum seratus orang dari kalian tewas.”
Pasukan Islam bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Hurmuzan menjawab, “Aku mau diadili di bawah hukum Umar bin Khaththab. Hanya dia yang boleh menghukumku.” Mereka berkata, “Baiklah. Kami setuju.”
Dia pun meletakkan panahnya ke tanah lalu menyerah kepada kaum muslimin. Pasukan muslimin membelenggu dia kemudian mengirimkannya ke Madinah dalam pengawalan yang ketat dan para pahlawan perang di bawah pimpinan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga Ahnaf bin Qais, murid dan kader Umar bin Khaththab.
Rombongan itu mempercepat jalannya menuju Madinah. Semua berharap agar Amirul Mukminin puas dengan kemenangan tersebut. Mereka membawa harta untuk Baitul Maal, yakni seperlima dari hasil ghanimah. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah Hurmuzan yang selalu mengkhianati janji itu bisa dihukum khalifah setimpal dengan kejahatannya.
Setibanya di pinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Hurmuzan mengenakan pakaian kebesarannya yang terbuat dari sutera mahal bertabur emas permata. Di kepalanya bertengger mahkota yang penuh intan berlian yang mahal harganya.
Begitu memasuki kota Yatsrib, rakyat besar dan kecil, tua atau muda, berjubel menonton tawanan berpakaian mewah itu dengan terheran-heran. Dia langsung dibawa ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, tetapi beliau tidak ada di rumah. Seseorang berkata, “Beliau pergi ke masjid untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.”
Rombongan itu berjalan ke arah masjid, namun tak terlihat ada di dalam. Sementara itu orang makin banyak berkerumun. Saat mereka masih sibuk mencari-cari, anak-anak yang sedang bermain di situ bertanya: “Apakah kalian mondar-mandir untuk mencari Amirul Mukminin Umar?” Mereka berkata, “Benar, di mana dia?” Anak itu menjawab, “Beliau tertidur di samping kanan masjid dengan berbantalkan surbannya.”
Memang, tadinya Amirul Mukminin berangkat dari rumahnya untuk menemui utusan dari Kufah. Tapi setelah mereka pulang, beliau merasa mengantuk sehingga tidur di samping masjid.
Hurmuzan digiring ke samping masjid. Mereka mendapatkan Amirul Mukminin sedang tidur nyenyak. Mereka pun duduk menanti hingga beliau bangun dari tidurnya.
Hurmuzan tidak paham bahasa Arab, tidak tahu
apa yang sedang dibicarakan orang-orang sehingga sama sekali tak menduga
bahwa yang tidur di depannya adalah Amirul Mukminin. Memang dia sudah
mendengar kesederhanaan dan kezuhudan Umar bin Khaththab, tapi tak
disangkanya bahwa orangnya adalah yang sedang tidur itu. Orang yang
telah menaklukkan Romawi dan raja-raja lain, tidur tanpa bantal tanpa
pengawal. Melihat orang-orang duduk bersamanya, dia mengira mereka
sedang bersiap untuk shalat dan menunggu khalifah.
Ahnaf mengisyaraktkan kepada orang-orang untuk
tenang agar tidak membangunkan khalifah dari tidurnya, sebab sepanjang
pengetahuannya dalam menyertai Umar radhiyallahu ‘anhu,
khalifah itu tidak pernah tidur di malam hari. Beliau selalu berdiri
shalat di mihrabnya, atau menyamar meronda berkeliling Madinah untuk
menyelidiki hal-ihwal rakyatnya atau menjaga rumah-rumahnya dari
kejahatan pencuri.
Kemudian tatkala Hurmuzan melihat isyarat Ahnaf kepada orang-orang,
dia menoleh kepada Mughirah bin Syu’bah yang bisa berbahasa Persia. Dia
bertanya, “Siapakah orang yang tidur itu?” Mughirah menjawab, “Dialah
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.”Betapa terkejutnya Hurmuzan, lalu dia berkata, “Umar? Lalu mana penjaga dan pengawalnya?” Mughirah menjawab, “Beliau tidak memiliki pengawal ataupun penjaga.” Dia berkata, “Kalau begitu, pasi dia nabi.” Mughirah berkata, “Bukan, tak ada nabi setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya saja tingkah lakunya memang seperti nabi.”
Orang-orang makin padat berdatangan dan suara-suara yang ditimbulkan semakin keras. Umar radhiyallahu ‘anhu terbangun dari tidurnya dan heran melihat orang telah ramai berkerumun. Beliau juga melihat seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran, dengan mahkota di kepala dan tongkat bertabur permata indah di tangan. Umar beralih menatap wajah Ahnaf lalu berkata, “Diakah Hurmuzan.” Ahnaf menjawabnya, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”
Umar kembali mengamati pakaian dan sutera gemerlapan yang dikenakan oleh pemimpin Persia tersebut kemudian memalingkan muka sambil bergumam, “Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dan dari dunia ini. Terpujilah Allah yang telah menundukkan orang ini dan orang-orang semacamnya untuk Islam.”
Kemudian beliau berkata, “Wahai kaum muslimin. Pegang teguhlah agama ini dan ikutilah petunjuk Nabi kalian yang bijaksana. Jangan sekali-kali Anda terpesona oleh dunia, karena dunia itu menggiurkan.”
Selanjutnya, Ahnaf bin Qais mengutarakan kabar gembira tentang kemenangannya. Ahnaf berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Hurmuzan telah menyerahkan diri kepada kita dengan syarat akan menerima ketetapan Anda atas dirisnya. Silakan Anda berbicara sendiri kepadanya jika Anda berkenan.”
Umar berkata, “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian melepas pakaian kemegahan dan kesombongan itu.” Merekapun melucuti semua kemewahan yang dipakai Hurmuzan kemudian memberinya gamis untuk menutupi auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya dan berkata, “Bagaimana akibat penghianatan dan ingkar janjimu?”
Dengan menunduk penuh kehinaan Hurmuzan menjawab, “Wahai Umar, pada masa jahiliyah ketika antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai kalian sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami memang karena hal itu, tapi juga karena kalian bersatu sedangkan kami bercerai berai.”
Umar menatap tajam kepada Hurmuzan dan berkata dengan nada tegas, “Apa yang menyebabkan engkau ingkar janji, Hurmuzan?” Dia berkata, “Aku khawatir Anda membunuhku sebelum aku menjawabnya.” Umar menjawab, “Tidak, sebelum engkau menjawabnya.” Hurmuzan menjadi tenang dengan jawaban tersebut, lalu dia berkata, “Aku haus.”
Umarpun segera memerintahkan untuk mengambil air minum, kemudian seseorang menyodorkan air dalam suatu wadah yang tebal. Melihat itu, Hurmuzan berkata, “Sampai matipun, sungguh aku tidak bisa minum dari wadah seperti ini.’
Umar menyuruh petugasnya untuk mengambilkan air denagn wadah yang disukainya. Hurmuzan menerimanya dengan tangan gemetaran. Umar bertanya, “Ada apa dengan engkau?” Dia menjawab, “Aku takut dibunuh di saat meneguk air ini.” Umar berkata, “Engkau akan aman sampai selesai minum air ini.” Namun Hurmuzan langsung menuang air itu ke tanah.
Umar berkata, “Bawakan air lagi dan jangan kalian bunuh dia dalam kehausan!” Hurmuzan berkata, “Aku tak butuh air, aku hanya butuh keamanan atas diriku.” Umar berkata, “Aku akan membunuhmu!” Hurmuzan menjawab, “Anda sudah berjanji menjamin keamananku (hingga aku meminum air yang aku buang tadi).” Umar berkata, “Engkau bohong.”
Anas bin Malik berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukminin, Anda telah menjamin keamanannya.” Umar berkata, “Janganlah berlaku bodoh, Anas. Aku menjamin keamanan orang yang menewaskan adik Anda, al-Barra bin Malik serta Majza’ah bin Tsur?! Tidak! Tidak mungkin!”
Anas berkata, “Tapi tadi Anda berkata, “Engkau aman sampai minum air ini.” Ahnaf mendukung kata-kata Anas, demikian pula orang-orang yang lain. Umar menatap Hurmuzan dengan geram, “Engkau telah memperdayaiku!”
Akhirnya Hurmuzan memeluk Islam, kemudian Umar memberinya bagian dua ribu dirham setahun.
Hal yang membuat Umar dongkol hatinya adalah seringnya orang-orang Persia ingkar janji terhadap kaum muslimin. Lalu dia mengumpulkan para utusan yang datang bersama Hurmuzan dan bertanya, “Apakah kaum muslimin suka menganggu orang-orang dzimmi dan menekan mereka sehingga mereka melanggar perjanjian?”
Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Amirul
Mukminin, tak satupun pejabat kita berbuat keji terhadap mereka,
menyalahi janji atau menipu.” Umar bertanya, “Lantas mereka selalu
berbalik setiap ada peluang padahal sudah terikat perjanjian?”
Umar radhiyallahu ‘anhu
tidak merasa puas dengan jawaban para utusan tersebut. Pada saat itulah
Ahnaf angkat bicara, “Saya akan coba jelaskan apa yang Amirul Mukminin
kehendaki dari pertanyaan Anda. Umar berkata, “Katakan apa yang Anda
ketahui.” Ahnaf memperjelas jawaban para utusan tersebut, “Mereka hendak
berkata, “Anda melarang kami memperluas kekuasaan di Persia dan
memerintahkan agar selalu puas dengan wilayah-wilayah yang ada di tangan
kita. Padahal Persia masih berdiri sebagai kekaisaran yang berdaulat,
masih mempunyai seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila orang-orang
Persia itu selalu merongrong kita, sebab mereka ingin merebut kembali
rumah-rumah dan harta benda yang berada di tangan kita. Kawan-kawan
mereka yang terikat perjanjian dengan kita berusaha bergabung setiap ada
kesempatan dan peluang untuk menang. Memang, tak mungkin ada dua
kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus keluar.
Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah
akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu.”
Sejenak Umar merenung mendengar uraian itu,
lalu berkata, “Engkau benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang
belum terjangkau oleh akalku tentang kaum itu.”
Nantinya, berkat saran Ahnafiah akhirnya
terjadi peristiwa-peristiwa besar sesudahnya. Saran Ahnaf tersebut
sangat nampak mempengaruhi putaran roda sejarah.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 200
SEJARAH JAKA TINGKIR & ARYA PANANGSANG
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, maka putra sulung Sultan Trenggana, yaitu Pangeran Prawata atau Sunan Prawata, terpilih sebagai penggantinya. Tetapi kemudian Sunan Prawata pun mati dibunuh. Walaupun tidak tampak di permukaan, setelah wafatnya Sultan Trenggana, dalam birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata Demak sudah terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung Sunan Kudus dengan Jipang Panolan-nya. Sedangkan kubu kedua mendukung Jaka Tingkir atau Adipati Adiwijaya dengan Pajang-nya. Pendukung Sunan Kudus adalah mereka yang berhaluan keras, yang memiliki misi untuk membangun suatu kekhalifahan Islam di Jawa yang dipimpin oleh para Wali, yang terkenal sebagai aliran Islam putihan. Sedangkan pendukung Jaka Tingkir adalah mereka yang dulu mendukung Sultan Trenggana dan para pembesar dan bangsawan di bekas wilayah Majapahit di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka tidak mau tunduk kepada Demak dan mereka juga membentengi diri, tidak mau termakan kelicikan para Wali yang ingin memaksakan kekuasaan dengan membawa-bawa nama agama. Walaupun mereka tidak berada di bawah kekuasaan Jaka Tingkir dan Pajang, tetapi mereka siap mengirimkan bantuannya kapan saja jika diminta.
Mereka merapatkan barisan di belakang Jaka Tingkir, putra Ki Ageng Pengging yang sangat mereka hormati, dan berharap kejayaan Majapahit akan kembali berkibar. Di pihak Sunan Kudus, Raden Arya Penangsang, putra Pangeran Suryawiyata, telah dipersiapkan sebagai pemimpin perang kubu Putihan. Arya Penangsang tumbuh menjadi seorang pemuda yang sakti ahli olah kanuragan di bawah bimbingan Sunan Kudus dan orang-orang sakti lainnya. Nama Arya Penangsang sangat ditakuti, karena keras perangainya dan tingginya kesaktiannya. Arya Penangsang adalah putra dari Pangeran Suryawiyata yang merasa berhak mewarisi tahta, yang diangkat anak dan murid oleh Sunan Kudus dan sudah menjadi Adipati di Jipang Panolan. Dengan kepercayaan diri yang tinggi pada kesaktiannya dan keris saktinya Setan Kober, dan dukungan Sunan Kudus di belakangnya, Raden Arya Penangsang diam-diam membunuhi orang-orang yang berhubungan dengan hak tahta kerajaan Demak, sebagiannya juga karena ia ingin membalaskan dendam atas kematian ayahnya, Pangeran Sekar Seda Lepen.
Pembunuhan-pembunuhan oleh Raden Arya Penangsang terutama ditujukan untuk menumpas habis keturunan Sultan Trenggana sampai kepada menantu-menantunya. Bahkan pembunuhan terakhir dilakukan oleh Arya Penangsang terhadap Sunan Prawata sang Raja Demak dan permaisurinya. Bahkan Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawata, sepulang dari Kudus, setelah gagal mendapatkan keadilan dari Sunan Kudus, sehubungan dengan pembunuhan kakaknya itu oleh Arya Penangsang, bersama suaminya pun diserang oleh para prajurit suruhan Arya Penangsang. Suaminya dan para pengawalnya tewas terbunuh. Untungnya, ia sendiri berhasil meloloskan diri. Situasi politik Demak semakin memanas. Bahkan beberapa daerah telah diserang oleh Jipang Panolan dan yang berhasil ditaklukkan, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Jipang Panolan. Jipang Panolan rupanya ingin menduduki tahta Kesultanan Demak atau ingin mendirikan sebuah kesultanan baru yang lepas dari Kesultanan Demak Bintara.
Jaka Tingkir yang telah menjadi menantu Sultan Trenggana dan menjadi Adipati Pajang (Adipati Adiwijaya), juga menjadi sasaran pembunuhan. Raden Arya Penangsang mengutus 4 orang prajurit khusus andalannya, yang sakti dan belum pernah gagal menjalankan tugasnya sebagai pembunuh gelap untuk membunuh Jaka Tingkir. Sesampainya di keraton Pajang, setelah sebelumnya menyirep para penjaga istana, keempat orang itu berhasil masuk ke dalam tempat tidur Jaka Tingkir yang baru saja tidur. Mereka menusuk Jaka Tingkir dengan keris Kyai Setan Kober bekal khusus dari Arya Penangsang. Tetapi ternyata Jaka Tingkir tidak mempan ditusuk, meskipun telah berkali-kali ditusuk dengan keris tersebut. Walaupun dalam kondisi tidur, kesaktian ilmu Lembu Sekilan Jaka Tingkir selalu melindunginya, karena sudah matang dan sempurna menyatu dengan dirinya. Ketika mereka sedang berusaha keras membunuh Jaka Tingkir, muncullah 2 orang pengawal khusus istana kadipaten yang berhasil lolos dari serangan sirep dan membuntuti mereka.
Maka terjadilah pertarungan antara mereka di dalam ruang tidur tersebut. Karena kegaduhan yang terjadi, terbangunlah Jaka Tingkir. Hanya dalam segebrakan saja keempat orang pembunuh gelap itu sudah jatuh terkapar. Jaka Tingkir menyita keris Kyai Setan Kober. Keempat orang pembunuh itu diperintahkannya pulang kembali kepada Raden Arya Penangsang dengan pesan supaya Arya Penangsang mengambil sendiri keris Kyai Setan Kober miliknya di Pajang. Kegagalan para pembunuh gelap tersebut telah membuat marah besar sekaligus malu bagi Arya Penangsang, terutama karena kerisnya ada di tangan Jaka Tingkir, disita, sehingga ia tidak dapat lagi menyembunyikan rahasia usaha pembunuhan tersebut. Bagaimana pun juga semua orang sudah tahu bahwa Jaka Tingkir adalah orang keturunan Majapahit yang tua-tua dan saudara-saudaranya sudah habis dibunuhi. Jaka Tingkir harus dilenyapkan untuk mengamankan jalannya ke tahta Demak.
Tetapi Jaka Tingkir terkenal sebagai menantu Sultan Trenggana yang kesaktiannya sangat tinggi dan dari sekian banyak perkelahian dan pertarungan, belum pernah sekalipun ia terkalahkan. Bagaimana lagi cara yang harus dilakukan untuk membunuh Jaka Tingkir, sedangkan keris Kyai Setan Kober andalannya, pusaka milik Sunan Kudus yang telah diwariskan kepadanya, pusaka yang paling sakti di daerahnya, tidak mampu membunuhnya, melukai saja tidak. Malah sekarang berada di tangan Jaka Tingkir. Keris Kyai Setan Kober adalah sebuah keris ciptaan seorang empu jawa di jawa barat. Keris yang dibuat sangat sakti, walaupun tidak sesakti sepasang keris pusaka kerajaan Demak, keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi kesaktiannya sudah cukup sulit untuk dicari tandingannya. Sebuah keris yang ditujukan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin daerah sebagai sarana tolak bala, dan mengamankan wilayahnya dari adanya gangguan mahluk halus atau pun serangan gaib.
Keris yang berwatak keras, berhawa panas dan angker menakutkan, membuat merinding siapapun yang melihatnya. Kasus kegagalan Arya Penangsang tersebut juga membuat Sunan Kudus menjadi khawatir dan cemas. Bagaimana kalau Jaka Tingkir datang untuk menuntut balas ? Siapa yang mampu menghadapi ? Sunan Kudus tak habis pikir betapa tinggi ilmu kanuragan yang dimiliki Adipati Adiwijaya itu sampai-sampai keris Kyai Setan Kober pun tidak mampu melukai tubuhnya sedikitpun. Arya Penangsang mendesak Sunan Kudus agar diberi ijin untuk mengadakan penyerangan ke Kadipaten Pajang, karena sudah kepalang basah. Daripada diserang duluan oleh Pajang, lebih baik menyerang duluan.
Namun Sunan Kudus menghalanginya. Sunan Kudus masih memiliki satu cara lagi, masih ada satu siasat untuk memancing Adipati Adiwijaya keluar untuk dimusnahkan segala ilmu kanuragan yang dimilikinya, agar semakin mudah membunuhnya. Siasat dilaksanakan. Sunan Kudus dengan didampingi Sunan Bonang, mengundang Jaka Tingkir untuk dipertemukan dengan Arya Penangsang untuk upaya perdamaian. Tempat dan waktunya sudah mereka atur. Sunan Kudus sudah menyiapkan 2 tempat duduk dari batu. Sunan Kudus mewanti-wanti supaya Arya Penangsang tidak duduk di batu di sebelah kanannya, karena batu itu batu keramat, sengaja diambil dari sebuah candi dan akan melunturkan kesaktian siapapun yang duduk di atasnya. Batu itu disediakan untuk Jaka Tingkir supaya semua ilmu kesaktiannya luntur.
Tetapi pada saat datang ke tempat pertemuan tersebut, Jaka Tingkir sudah mengetahui lewat rasa batinnya bahwa batu yang akan didudukinya mengandung suatu energi gaib negatif yang kuat. Sekalipun kegaiban batu itu masih belum cukup kuat untuk berpengaruh kepadanya, tetapi ia tidak mau begitu saja termakan kelicikan mereka. Jaka Tingkir menolak untuk duduk sekalipun berkali-kali dipersilakan duduk, sampai-sampai Arya Penangsang pun mengejeknya karena dianggap takut duduk di batu tersebut. "Silakan saja kamu yang duduk disitu kalau berani ! ", begitu kata Jaka Tingkir kepada Arya Penangsang. Karena malu hati termakan oleh omongannya sendiri, akhirnya dengan menutup-nutupi kekhawatirannya, Arya Penangsang pindah duduk di batu tersebut. Sesaat duduk di batu tersebut terasa oleh Arya Penangsang bahwa ada energi dingin yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya dan terasa kekuatannya melemah, terhisap hilang ke dalam batu itu.
Kegaiban batu itu telah bekerja kepadanya. Para Sunan pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena terlanjur sudah terjadi. Jaka Tingkir datang memenuhi undangan tersebut dengan membawa keris Kyai Setan Kober sitaannya. Di hadapan Arya Penangsang dan Sunan Bonang, Jaka Tingkir menyerahkan keris tersebut kepada Sunan Kudus, sebagai bukti perbuatan jahat Arya Penangsang kepadanya. Kemudian sambil mengucapkan banyak nasehat, Sunan Kudus menyerahkan keris tersebut kembali kepada Arya Penangsang. Tetapi Arya Penangsang adalah seorang yang tinggi hati. Sudah terlanjur malu, ia tidak mau begitu saja menerima dirinya dipersalahkan. Sambil menghunus Setan Kober kerisnya ia menantang perang kepada Jaka Tingkir. "Perselisihan harus diselesaikan secara laki-laki ! ", begitu katanya. "Kalau aku sendiri yang menusukkan keris ini ke tubuhmu, belum tentu kamu masih akan bisa sombong". Secara refleks Jaka Tingkir juga mencabut kerisnya, berdiri siap bertarung dengan kerisnya di tangan kanannya.
Tetapi Sunan Kudus dan Sunan Bonang cepat-cepat melerai mereka dan memerintahkan Arya Penangsang menyarungkan kembali kerisnya. Akhirnya mereka masing-masing pulang dengan tidak ada perdamaian di antara mereka. Untunglah pada saat itu Arya Penangsang mau menyarungkan kerisnya. Kalau tidak, pastilah sudah tamat riwayatnya. Kesaktian Jaka Tingkir masih terlalu tinggi. Kesiuran pancaran hawa energi kesaktiannya terasa sekali ketika ia refleks mencabut kerisnya dan siap bertarung dengan keris di tangan kanannya. Jika sampai terjadi pertarungan, semua yang hadir disitu tidak ada yang mampu menahannya. Apalagi ternyata keris yang ada di tangan Jaka Tingkir adalah Kyai Sengkelat, keris yang jauh lebih sakti dibandingkan Kyai Setan Kober dan semua pusaka yang ada di Demak saat itu. Bersama keris Kyai Sengkelat di tangan Jaka Tingkir, yang entah darimana didapatkannya, telah menjadikan Jaka Tingkir seorang yang pilih tanding.
Perpaduan wahyu keris yang telah menyatu dengan pribadi Jaka Tingkir telah menjadikan efektivitas wahyu keilmuan dan wahyu spiritual yang telah ada pada dirinya berlipat-lipat ganda pengaruhnya. Jaka Tingkir dipenuhi dengan ilham untuk memperdalam, juga untuk menciptakan ilmu-ilmu baru. Ditambah lagi ia juga mewarisi ilmu-ilmu tua jaman Singasari dan Majapahit. Ketika telah matang usianya Jaka Tingkir menjadi salah seorang manusia sakti yang sulit sekali dicari tandingannya. Keris Kyai Sengkelat telah menemukan pasangannya, seorang manusia berpribadi ksatria dan berbudi pekerti tinggi yang sejalan dengan pribadi wahyu keris tersebut, yang juga memiliki wahyu raja di dalam dirinya, sesuai perkenan Dewa. Setelah kejadian itu Sunan Kudus memerintahkan Arya Penangsang untuk bertapa dan berpuasa 40 hari untuk memulihkan kembali kesaktiannya dan juga untuk ditambahkan dengan ilmu-ilmu baru yang lebih tinggi lagi.
PEPERANGAN KERAJAAN PANJANG VS MATARAM
Peperangan antara tentara kerajaan Pajang dan tentara Mataram tak dapat
dihindarkan. Sultan Adiwijaya dan Panembahan Senopati berdiri
berseberangan sebagai lawan, berada di belakang tentaranya masing-masing
dengan membawa tanda-tanda kebesarannya sendiri-sendiri. Sultan
Adiwijaya duduk di atas seekor gajah tanda kebesaran Pajang, mengenakan
keris Kyai Sengkelat di belakang pinggangnya. Panembahan Senopati duduk
di atas pelana kuda putih kesayangannya dan memegang tombak Kyai Plered
di tangan kanannya, mustika wesi kuning di sakunya, berbagai jimat
rajahan di balik bajunya dan pusaka Bende Mataram di tangan pengawalnya
di sebelah kirinya.
Tetapi tentara Pajang masih lebih tangguh dan lebih terlatih daripada tentara Mataram. Sepanjang pertempuran pasukan Mataram selalu terdesak dan korban berjatuhan. Bala bantuan prajurit dan orang-orang sakti dari sekutu Mataram terus berdatangan, tetapi tetap saja mereka selalu terdesak dan korban terus berjatuhan, bahkan sekalipun Bende Mataram sudah sering dibunyikan (Bende Mataram adalah pusaka Mataram yang kegaibannya berguna untuk menaikkan moral dan semangat tempur pasukan dan sekaligus melemahkan semangat dan konsentrasi lawan). Setiap bende tersebut dibunyikan, semangat tempur pasukan Mataram bangkit lagi dan mendesak pasukan Pajang yang menurun konsentrasinya. Tetapi setelah itu pula kekuatan batin Sultan Adiwijaya dikonsentrasikan, menetralisir pengaruh gaib pusaka Bende Mataram.
Dengan demikian pengaruh gaib Bende Mataram hampir tak berarti dan pasukan Pajang yang memang lebih tangguh dapat selalu menekan pasukan Mataram sehingga korban terus berjatuhan di pihak Mataram. Kalau hanya menghadapi Panembahan Senopati dan pasukannya beserta gabungan pasukan dari kadipaten / kabupaten yang bersatu di bawah Mataram dan orang-orang sakti mereka di pihak Panembahan Senopati, sebenarnya bila dikehendakinya, Sultan Adiwijaya tidak memerlukan tentara untuk menghadapinya. Sekalipun dirinya sudah tua, tetapi tenaganya dan kesaktiannya, ditambah dengan kesaktian pusakanya, masih cukup mumpuni untuk sendirian menumpas mereka semua.
Apalagi ilmunya Lembu Sekilan sudah matang sempurna dalam dirinya, menjadikannya tak dapat dikenai pukulan dan serangan berbagai macam pusaka dan senjata tajam. Tetapi Sultan Adiwijaya sengaja datang untuk menunjukkan kebesarannya. Ia datang sebagai seorang raja dengan tentaranya dan menunggangi seekor gajah tanda kebesaran kerajaan Pajang. Ia sengaja tidak turun dari tunggangannya, tidak turun ke gelanggang perang, hanya memperhatikan saja dari jauh. Ia menunggu sampai Panembahan Senopati, anak angkatnya, datang sendiri kepadanya.
Ia ingin mendengar langsung dari mulut Panembahan Senopati, mengapa ia berani kurang ajar kepadanya, ayahnya, dan berani berhadapan perang melawannya, rajanya. Sultan Adiwijaya tetap menganggap Panembahan Senopati adalah anak angkatnya, yang sudah dianggapnya sama dengan anaknya sendiri, yang bahkan anak-anaknya pun memandang saudara kepada Panembahan Senopati. Dan di matanya, tidak sepantasnya seorang anak kurang ajar kepada ayahnya, apalagi melawannya. Ia tidak ingin menurunkan tangan besi kepada anaknya itu bila sang anak mau meminta maaf kepadanya. Sekalipun Panembahan Senopati diberinya kekuasaan di tempat yang sekarang disebut Mataram, sebagai warisan dari ayah tirinya Ki Pamanahan, tetap saja Mataram adalah bawahan Pajang dan harus tunduk kepada Pajang. Dan semua tentara yang dibawanya untuk mengalahkan tentara Mataram, hanyalah sebagai pelajaran saja supaya Mataram tidak menentang kebesaran Pajang. Peperangan terlihat berat sebelah.
Tentara Mataram, walaupun dibantu oleh orang-orang sakti dan tentara kiriman kadipaten dan kabupaten yang bersekutu dengannya, memang belum sekelas dan tidak dapat disejajarkan dengan tentara kerajaan Pajang. Apalagi ketentaraan kerajaan Pajang sekarang sudah jauh lebih kuat daripada kerajaan Demak dulu. Korban terus berjatuhan di pihak Mataram. Tinggal menunggu waktu saja sampai semua tentara Mataram menyerah atau mati. Tetapi tiba-tiba suatu fenomena gaib meliputi Sultan Adiwijaya. Para leluhurnya, mantan raja-raja penguasa Singasari dan Majapahit datang berkumpul di sekitarnya. Sri Rajasa Kertanegara, Raden Wijaya beserta istri-istrinya, Ratu Tribhuana Tunggadewi dan adik-adiknya, pembesar-pembesar dan para bangsawan yang setia kepada Singasari dan Majapahit, bersama-sama datang kepadanya. Ibu Kanjeng Ratu Kidul, istrinya, di sebelah kirinya. Anak mereka Raden Rangga duduk di belakangnya. Berbagai macam sasmita gaib masuk ke kepalanya.
Ibu Ratu Tribhuana Tunggadewi lembut berkata kepadanya : " Tidak usah dilanjutkan ambisimu menjadi penguasa tanah Jawa. Sudah cukup kiranya kamu menjadi penerus kami, menjadi pamungkas raja-raja Singasari dan Majapahit. Mulai hari ini juga wahyu raja yang ada padamu sudah akan pergi, kembali kepada yang memberi wahyu. Biarkan saja Mataram dengan Panembahan Senopatinya. Ia bukanlah penerusmu ataupun penggantimu. Kerajaannya hanyalah transisi sebelum tanah Jawa masuk ke dalam jaman yang baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Tanah Jawa akan masuk ke dalam jaman baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Dan tidak ada satupun raja Jawa sesudah kamu yang akan dapat melindungi tanah Jawa dan rakyatnya pada jaman itu. Penguasa tanah Jawa yang sesungguhnya akan datang dari seberang. Kejayaan tanah Jawa sudah berakhir. Tidak akan ada lagi panji-panji yang akan dikibarkan, karena tanah Jawa akan menjadi jajahan orang-orang seberang. Kebesaran tanah Jawa akan menjadi pampasan perang.
Tak ada lagi yang akan tersisa. Kebesaran tanah Jawa sudah habis. Bahkan kebanggaan sebagai orang tanah Jawa pun tidak akan lagi ada. Tetapi akan ada masanya nanti tanah Jawa akan bangkit kembali. Batas-batas Singasari - Majapahit akan dipulihkan lagi. Dipimpin oleh raja-raja keturunan kami. Tapi mereka bukanlah raja-raja yang utama. Mereka hanyalah pembuka jalan saja bagi raja yang sesungguhnya, raja besar yang akan menerima semua restu dari para leluhur raja-raja pendahulunya, Singasari - Majapahit di timur dan tengah dan Galuh di barat. Ia raja manusia. Ia juga raja kami dan semua mahluk halus. Pusaka-pusaka tanah Jawa dan pusaka-pusaka dewa akan diwariskan kepadanya. Wahyu-wahyu raja akan tumpuk padanya. Dewa-dewa pun menyertainya. Ia akan datang sesudah bumi porak-poranda. Itulah tanda kebesarannya. Ia tidak butuh tentara. Ia sendiri bisa memporak-porandakan dunia. Kami sedih menyampaikan ini kepadamu. Kami tahu kamu sangat menghormati kami leluhurmu dan ingin kejayaan Majapahit kembali berkibar.
Tetapi sudah tiba waktunya bahwa tanah Jawa akan menerima karma, hukuman, karena keburukan perbuatan mereka sendiri. Tetapi pada waktunya nanti kamu juga akan berbangga. Karena dia, raja yang akan datang itu, juga adalah bagian dari kita. Keluarga kita ". Sultan Adiwijaya tidak lagi berkonsentrasi pada perang yang sedang berlangsung. Para prajurit dan senopatinya harus bekerja keras, karena tidak lagi mendapatkan arahan langsung dari rajanya. Bahkan dorongan moril pun tidak ada lagi. Tiba-tiba gajah tunggangan Sultan Adiwijaya berputar berbalik arah. Berjalan kembali pulang ke Pajang. Para pengawal dan senopatinya bingung bukan kepalang. Segera semua prajuritnya diperintahkan mundur, mengikuti dan mengawal raja mereka kembali ke Pajang. Sepanjang jalan ke Pajang Sultan Adiwijaya tidak sadarkan diri. Tatapannya kosong dan tidak tanggap atas sapaan para bawahannya yang terus berusaha menyadarkannya.
Fenomena gaib masih terus menyelimutinya. Sultan Adiwijaya yang memang juga menguasai berbagai ilmu kebatinan dan kegaiban sukmanya semakin jauh dan dalam masuk ke alam gaib. Sesampainya di Pajang, kondisi sang Sultan tidak juga membaik. Hanya beberapa kali sang Sultan sempat sadar, tetapi kemudian kembali lagi tak sadarkan diri. Panembahan Senopati yang dikabari tentang kondisi ayah angkatnya itu juga datang untuk menjenguknya, tetapi tidak masuk menemuinya, dan selama ia berada di Pajang, ayah angkatnya itu tetap tidak sadarkan diri.
Ketika suatu saat Sultan Adiwijaya sadar dan dapat berkomunikasi, beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada anak-anaknya. Diharapkannya supaya anak-anaknya tidak memperebutkan kekuasaan. Juga jangan ada pertentangan antara Pajang dengan Mataram. Biarlah Pajang dan Mataram hidup sendiri-sendiri. Mereka juga harus hidup rukun satu dengan lainnya. Beberapa hari kemudian Sultan Adiwijaya wafat, kembali kepada para leluhurnya. Tetapi sejak itu juga pusaka kesayangannya keris Kyai Sengkelat juga menghilang dari kehidupan manusia. Moksa. Masuk ke alam gaib bersama dengan fisik kerisnya. Yang masih ada hanyalah keris-keris sengkelat tiruan atau turunannya saja.
Tetapi tentara Pajang masih lebih tangguh dan lebih terlatih daripada tentara Mataram. Sepanjang pertempuran pasukan Mataram selalu terdesak dan korban berjatuhan. Bala bantuan prajurit dan orang-orang sakti dari sekutu Mataram terus berdatangan, tetapi tetap saja mereka selalu terdesak dan korban terus berjatuhan, bahkan sekalipun Bende Mataram sudah sering dibunyikan (Bende Mataram adalah pusaka Mataram yang kegaibannya berguna untuk menaikkan moral dan semangat tempur pasukan dan sekaligus melemahkan semangat dan konsentrasi lawan). Setiap bende tersebut dibunyikan, semangat tempur pasukan Mataram bangkit lagi dan mendesak pasukan Pajang yang menurun konsentrasinya. Tetapi setelah itu pula kekuatan batin Sultan Adiwijaya dikonsentrasikan, menetralisir pengaruh gaib pusaka Bende Mataram.
Dengan demikian pengaruh gaib Bende Mataram hampir tak berarti dan pasukan Pajang yang memang lebih tangguh dapat selalu menekan pasukan Mataram sehingga korban terus berjatuhan di pihak Mataram. Kalau hanya menghadapi Panembahan Senopati dan pasukannya beserta gabungan pasukan dari kadipaten / kabupaten yang bersatu di bawah Mataram dan orang-orang sakti mereka di pihak Panembahan Senopati, sebenarnya bila dikehendakinya, Sultan Adiwijaya tidak memerlukan tentara untuk menghadapinya. Sekalipun dirinya sudah tua, tetapi tenaganya dan kesaktiannya, ditambah dengan kesaktian pusakanya, masih cukup mumpuni untuk sendirian menumpas mereka semua.
Apalagi ilmunya Lembu Sekilan sudah matang sempurna dalam dirinya, menjadikannya tak dapat dikenai pukulan dan serangan berbagai macam pusaka dan senjata tajam. Tetapi Sultan Adiwijaya sengaja datang untuk menunjukkan kebesarannya. Ia datang sebagai seorang raja dengan tentaranya dan menunggangi seekor gajah tanda kebesaran kerajaan Pajang. Ia sengaja tidak turun dari tunggangannya, tidak turun ke gelanggang perang, hanya memperhatikan saja dari jauh. Ia menunggu sampai Panembahan Senopati, anak angkatnya, datang sendiri kepadanya.
Ia ingin mendengar langsung dari mulut Panembahan Senopati, mengapa ia berani kurang ajar kepadanya, ayahnya, dan berani berhadapan perang melawannya, rajanya. Sultan Adiwijaya tetap menganggap Panembahan Senopati adalah anak angkatnya, yang sudah dianggapnya sama dengan anaknya sendiri, yang bahkan anak-anaknya pun memandang saudara kepada Panembahan Senopati. Dan di matanya, tidak sepantasnya seorang anak kurang ajar kepada ayahnya, apalagi melawannya. Ia tidak ingin menurunkan tangan besi kepada anaknya itu bila sang anak mau meminta maaf kepadanya. Sekalipun Panembahan Senopati diberinya kekuasaan di tempat yang sekarang disebut Mataram, sebagai warisan dari ayah tirinya Ki Pamanahan, tetap saja Mataram adalah bawahan Pajang dan harus tunduk kepada Pajang. Dan semua tentara yang dibawanya untuk mengalahkan tentara Mataram, hanyalah sebagai pelajaran saja supaya Mataram tidak menentang kebesaran Pajang. Peperangan terlihat berat sebelah.
Tentara Mataram, walaupun dibantu oleh orang-orang sakti dan tentara kiriman kadipaten dan kabupaten yang bersekutu dengannya, memang belum sekelas dan tidak dapat disejajarkan dengan tentara kerajaan Pajang. Apalagi ketentaraan kerajaan Pajang sekarang sudah jauh lebih kuat daripada kerajaan Demak dulu. Korban terus berjatuhan di pihak Mataram. Tinggal menunggu waktu saja sampai semua tentara Mataram menyerah atau mati. Tetapi tiba-tiba suatu fenomena gaib meliputi Sultan Adiwijaya. Para leluhurnya, mantan raja-raja penguasa Singasari dan Majapahit datang berkumpul di sekitarnya. Sri Rajasa Kertanegara, Raden Wijaya beserta istri-istrinya, Ratu Tribhuana Tunggadewi dan adik-adiknya, pembesar-pembesar dan para bangsawan yang setia kepada Singasari dan Majapahit, bersama-sama datang kepadanya. Ibu Kanjeng Ratu Kidul, istrinya, di sebelah kirinya. Anak mereka Raden Rangga duduk di belakangnya. Berbagai macam sasmita gaib masuk ke kepalanya.
Ibu Ratu Tribhuana Tunggadewi lembut berkata kepadanya : " Tidak usah dilanjutkan ambisimu menjadi penguasa tanah Jawa. Sudah cukup kiranya kamu menjadi penerus kami, menjadi pamungkas raja-raja Singasari dan Majapahit. Mulai hari ini juga wahyu raja yang ada padamu sudah akan pergi, kembali kepada yang memberi wahyu. Biarkan saja Mataram dengan Panembahan Senopatinya. Ia bukanlah penerusmu ataupun penggantimu. Kerajaannya hanyalah transisi sebelum tanah Jawa masuk ke dalam jaman yang baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Tanah Jawa akan masuk ke dalam jaman baru. Jaman yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Dan tidak ada satupun raja Jawa sesudah kamu yang akan dapat melindungi tanah Jawa dan rakyatnya pada jaman itu. Penguasa tanah Jawa yang sesungguhnya akan datang dari seberang. Kejayaan tanah Jawa sudah berakhir. Tidak akan ada lagi panji-panji yang akan dikibarkan, karena tanah Jawa akan menjadi jajahan orang-orang seberang. Kebesaran tanah Jawa akan menjadi pampasan perang.
Tak ada lagi yang akan tersisa. Kebesaran tanah Jawa sudah habis. Bahkan kebanggaan sebagai orang tanah Jawa pun tidak akan lagi ada. Tetapi akan ada masanya nanti tanah Jawa akan bangkit kembali. Batas-batas Singasari - Majapahit akan dipulihkan lagi. Dipimpin oleh raja-raja keturunan kami. Tapi mereka bukanlah raja-raja yang utama. Mereka hanyalah pembuka jalan saja bagi raja yang sesungguhnya, raja besar yang akan menerima semua restu dari para leluhur raja-raja pendahulunya, Singasari - Majapahit di timur dan tengah dan Galuh di barat. Ia raja manusia. Ia juga raja kami dan semua mahluk halus. Pusaka-pusaka tanah Jawa dan pusaka-pusaka dewa akan diwariskan kepadanya. Wahyu-wahyu raja akan tumpuk padanya. Dewa-dewa pun menyertainya. Ia akan datang sesudah bumi porak-poranda. Itulah tanda kebesarannya. Ia tidak butuh tentara. Ia sendiri bisa memporak-porandakan dunia. Kami sedih menyampaikan ini kepadamu. Kami tahu kamu sangat menghormati kami leluhurmu dan ingin kejayaan Majapahit kembali berkibar.
Tetapi sudah tiba waktunya bahwa tanah Jawa akan menerima karma, hukuman, karena keburukan perbuatan mereka sendiri. Tetapi pada waktunya nanti kamu juga akan berbangga. Karena dia, raja yang akan datang itu, juga adalah bagian dari kita. Keluarga kita ". Sultan Adiwijaya tidak lagi berkonsentrasi pada perang yang sedang berlangsung. Para prajurit dan senopatinya harus bekerja keras, karena tidak lagi mendapatkan arahan langsung dari rajanya. Bahkan dorongan moril pun tidak ada lagi. Tiba-tiba gajah tunggangan Sultan Adiwijaya berputar berbalik arah. Berjalan kembali pulang ke Pajang. Para pengawal dan senopatinya bingung bukan kepalang. Segera semua prajuritnya diperintahkan mundur, mengikuti dan mengawal raja mereka kembali ke Pajang. Sepanjang jalan ke Pajang Sultan Adiwijaya tidak sadarkan diri. Tatapannya kosong dan tidak tanggap atas sapaan para bawahannya yang terus berusaha menyadarkannya.
Fenomena gaib masih terus menyelimutinya. Sultan Adiwijaya yang memang juga menguasai berbagai ilmu kebatinan dan kegaiban sukmanya semakin jauh dan dalam masuk ke alam gaib. Sesampainya di Pajang, kondisi sang Sultan tidak juga membaik. Hanya beberapa kali sang Sultan sempat sadar, tetapi kemudian kembali lagi tak sadarkan diri. Panembahan Senopati yang dikabari tentang kondisi ayah angkatnya itu juga datang untuk menjenguknya, tetapi tidak masuk menemuinya, dan selama ia berada di Pajang, ayah angkatnya itu tetap tidak sadarkan diri.
Ketika suatu saat Sultan Adiwijaya sadar dan dapat berkomunikasi, beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada anak-anaknya. Diharapkannya supaya anak-anaknya tidak memperebutkan kekuasaan. Juga jangan ada pertentangan antara Pajang dengan Mataram. Biarlah Pajang dan Mataram hidup sendiri-sendiri. Mereka juga harus hidup rukun satu dengan lainnya. Beberapa hari kemudian Sultan Adiwijaya wafat, kembali kepada para leluhurnya. Tetapi sejak itu juga pusaka kesayangannya keris Kyai Sengkelat juga menghilang dari kehidupan manusia. Moksa. Masuk ke alam gaib bersama dengan fisik kerisnya. Yang masih ada hanyalah keris-keris sengkelat tiruan atau turunannya saja.
Perang Jawa: Bantuan Turki menghancurkan Majapahit.
Sunan Ngundung dan Amir Hamzah beserta sisa 35 pasukan tidak kembali ke demak, mereka berkemah di Lawu karena pantang pulang sebelum misi menaklukan Majapahit selesai. Demak kemudian mengirimkan lagi 7.000 pasukan untuk menuntaskan misi.
Di Majapahit, kemenangan terasa menyesakkan dada mereka karena tewasnya Panglima Gajah Sena. Dalam pertempuran kehilangan seorang jenderal lebih menakutkan daripada 1000 pasukan.
Brawijaya kemudian menyiagakan kembali pasukan dengan dipimpin sang putra mahkota Raden Gugur. Ini adalah sebuah blunder besar, menurunkan putra mahkota ke medan laga padahal musuh masih kuat.
Pertempuran kedua berlangsung, Majapahit kembali menang tapi Raden Gugur tewas di medan laga.
Di saat genting bantuan dari Kadipaten Wengker utusan Bathara Katong tiba. Pasukan Demak yang semula mengira mereka kawan menjadi kalang kabut karena wengker memilih membela Majapahit.
7.000 pasukan Demak akhirnya musnah ditumpas, Sunan Ngundung dan Amir Hamzah putera Sunan Wilis ikut tewas. Kabar kematian dua panglima berserta kekalahan kedua ini benar-benar membuat suasana Demak mencekam.
Masyarakat Demak diliputi isu bahwa kekalahan mereka karena melanggar wasiat Sunan Ampel agar jangan menyerang Majapahit. Mereka merasa sebagai umat yang durhaka, semangat tempur prajurit pun turun.
Karena Nusantara adalah pusat perdagangan dunia, berita kekalahan kedua Demak menyebar cepat ke seluruh dunia.
Di saat bersamaan Turki Ottoman (tahun 1500-1525) sedang gencar berekspansi di Timur Tengah dan Asia. Telah memiliki armada laut yang tangguh untuk bersaing dengan Bangsa Eropa memperebutkan sumber rempah-rempah.
Mereka mendapat hak eksklusif di samudra Hindia untuk melindungi rute pelayaranya. Ini adalah hadiah dari kerajaan Aceh karena Turki sponsor Aceh dalam perang melawan Batak.
Diplomasi erat Turki-Aceh inilah yang mampu membuat Aceh bertahan sampai tahun 1910. (Catatan Frederict De Houtman 1603M) Belanda baru berani menyerang Aceh saat Turki Ottoman sudah runtuh.
Melihat situasi Demak dan atas rekomendasi diplomasi Aceh serta semangat Pan Islamisme, Turki membantu Demak dengan mengirimkan pasukan dan ahli senapan dan meriam. Di kemudian hari Demak terkenal sebagai penghasil meriam terbaik di Nusantara.
Bagi Turki, Demak sangat strategis untuk mengamankan pasokan rempah-rempah terkait persainganya dengan Portugis. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M.
Mughal di India yang tak pernah akur dengan Turki Ottoman tak mau kalah dalam mencari posisi keuntungan dalam perang Jawa. Mereka mengirim bantuan 50 ekor gajah perang.
Mughal sendiri tidak intens terlibat dalam perang karena pada saat yang sama mereka juga terlibat perang melawan Portugis dalam rebutan Goa dan Ceylon.
Semangat tempur pasukan Demak yang sempat surut karena takut kualat dengan wasiat Sunan Ampel kini tumbuh kembali melihat semangat jihad dalam diri pasukan bantuan asing.
Portugis mencatat ada sekitar 300 pasukan Turki bersenjata lengkap dalam barisan militer Demak. Melihat kekuatan Demak yang demikian kuat, Majapahit mencoba membuat aliansi dengan Portugis.
Dalam catatan Tome Pires bertahun 1512 M, Patih Udara dari Daha (Ibukota terakhir Majapahit) mengirimkan seperangkat gamelan dan kain batik pada penguasa Portugis di Malaka.
Kabar ini semakin menguatkan tekad Demak untuk menginvasi Majapahit. Semangat jihad dan anti Portugis membuat gelora Demak membara.
Dukungan pasukan multinasional dan artileri berat tercanggih di zamanya. Serbuan pamungkas Demak ke Majapahit ini seperti kisah film “The Last Samurai” dalam bayangan saya.
Sebuah peradaban agung bernama Majapahit yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa kekuatan karena perang saudara, dihancurkan dengan meriam dan mesiu.
Lumrah bila di hari ini sangat susah menemukan warisan bangunan monumental dari peradaban Majapahit.
Daftar bacaan:
1. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Pustaka Obor.
2. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Pustaka Obor.
3. Sjamsudduha, Walisanga Tak Pernah Ada?, JP Books. (bersumber: serat drajat dan serat badu wanar)
4. Prof. Kong Yuanzhi, Cheng Ho: Muslim China, Pustaka Obor
5. Ratna S, H.Schulte, Perpektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Pustaka Obor
6. Agus Sunjoto, Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar, LKiS Jogja. (merujuk pada serat-serat caruban/cirebon)
Khairuddin Barbarossa, Sang Mujahid ‘Bajak Laut’ Momok Bagi Ero
Khairuddin Barbarossa (1478-1546 M)
Saat-saat itu kaum muslimin Andalusia memang sedang mengalami keruntuhan setelah pemerintahan Islam berhasil tegak megah selama tujuh abad di Eropa. Sedang kaum muslimin kala itu tinggal sedikit di bawah penguasa Bani Ahmar di Kota Granada. Dalam kondisi seperti ini, seluruh kerajaan Kristen bersatu menggalang kekuatan untuk mengusir kaum muslimin dari Spanyol selama-lamanya.
Pada akhirnya, Granada
benar-benar runtuh, jatuh ke tangan kaum Salibis. Raja kecil Abu
Abdullah menyerah kepada Raja Kristen Ferdinand dan Ratu Isabella. Kunci
istana al Hambra dan Granada diserahkannya kepada pasukan Kristen pada
bulan Rabiul Awwal, tahun 897 H (1492 M). Kaum muslimin yang tersisa di
Spanyol mendapat perlakuan amat keji dari orang-orang Nashara.
Tak
lama setelah berhasil mengusir kaum muslimin dari pijakan terakhimya di
Granada, Spanyol, pada tahun 1492, orang-orang Portugis dan Spanyol,
para conquistador1 yang
haus kekuasaan ini, segera menyerbu pantai-pantai Afrika Utara.
Raja-Raja Maghrib, Tunisia, dan sekitarnya yang lemah, tak punya cukup
kemampuan dan kemauan untuk mengusir orang-orang Kristen yang penuh
semangat dari tanah-tanah mereka. Orang-orang Spanyol merebut
tempat-tempat strategis, seperti Ceuta di Maroko dan Aljir di Aljazair.
Mereka membangun benteng yang menyulitkan penguasa Muslim setempat
merebut kembali wilayah-wilayahnya.
***
Khairuddin
atau Khizr, demikian orang Barat menyebutnya, saat itu masih menginjak
14 tahun usia. Tiba-tiba saja ia disergap perasaan dendam membara. Ia
terkesima dengan situasi jiwanya. Selama ini dia adalah orang yang tak
peduli dengan pertikaian antara kaum muslimin dengan Salibis di
Andalusia. Barangkali berita-berita besar yang dibawa oleh para pelaut
yang baru datang dari pesisir Afrika Utara itulah penyebabnya. Ia
dengan seksama terus mengikuti berita-berita itu dari para pelaut yang
mampir di kedai ayahnya di tepi pantai Lesbos, sebelah barat Asia kecil.
Sungguh, berita itu langsung menggugah kepahlawanan Khairuddin remaja.
Matanya bagai terbuka lebar-lebar dan telinganya menjadi peka atas
berita pembantaian kaum muslimin secara kejam-keji-biadab di Andalusia.
Di usia 14 tahun, ia dimatangkan oleh berita-berita tragis kaumnya.
Berita runtuhnya kekuasaan Islam di Andalusia.
***
Khairuddin lahir pada tahun 1478 di pulau Lesbos2
di desa Palaiokipos. Ia memiliki dua orang saudara perempuan dan tiga
saudara laki-laki. Ketiga saudara laki-lakinya bernama Ishak, Aruj, dan
Ilyas. Mereka dilahirkan di Pulau Lesbos (Mytilene/Madlali) yang saat
itu menjadi wilayah Turki Utsmani. Ayah mereka, Ya’kub bin Yusuf
merupakan veteran perang pada masa kekuasaan Sultan Muhammad al-Fatih
sedangkan ibu3
mereka merupakan penduduk asli pulau itu. Keluarga itu menetap
di Lesbos tak lama setelah penaklukkan pulau itu oleh pasukan al-Fatih
di tahun 1462. Ayah Khairuddin mengisi masa pensiunnya dengan membuka
sebuah kedai dan membina keluarga. Keluarga itu tumbuh dalam budaya
pesisir dan kelak muncul sebagai pelaut-pelaut yang tangguh, khususnya
Aruj dan Khizr.
Khairuddin
dan saudara-saudaranya tumbuh pada salah satu era paling menentukan
dalam sejarah umat manusia. Mereka hidup di tengah benturan peradaban
yang keras di wilayah Mediterania. Benturan peradaban antara Timur dan
Barat, antara Islam dan Kristen. Hanya sekitar satu atau dua dekade
sebelum kelahiran anak-anak ini, peradaban Islam terpenting saat itu,
Turki Utsmani, di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih pada tahun 1453,
telah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel. Kejatuhan kota yang
merupakan ibukota Romawi Timur, Byzantium, sekaligus pusat Kristen
Ortodoks itu menimbulkan jeritan putus asa dan kemarahan di belahan
Eropa lainnya. Sebaliknya, hal itu meningkatkan semangat jihad dan
kebanggaan di belahan dunia Islam mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri
telah meramalkan kejatuhan kota itu dalam haditsnya.
Keempat
bersaudara itu menjadi pelaut, terlibat dalam urusan kelautan dan
perdagangan laut internasional. Saudara laki-laki pertama yang terlibat
dalam ilmu pelayaran adalah Aruj, yang bergabung dengan saudaranya
Ilyas. Kemudian, setelah mendapatkan kapal sendiri, Khizr juga memulai
karirnya di laut. Mereka pada awalnya bekerja sebagai pelaut, tapi di
kemudian hari mereka menjadi ‘privateers‘
karena alasan tertentu. Kelompok ‘pejuang swasta’ penyerang kapal-kapal
musuh. Orang Eropa kemudian menyebut mereka sebagai ‘Bajak Laut’.
Pada masa runtuhnya kekuasaan Islam di Granada (Andalusia) tahun 14924,
tak ada penguasa Muslim yang berani melawan penguasa Kristen Spanyol
Raja Ferdinand dan Ratu Isabella secara terbuka. Raja Kristen Eropa
semakin percaya diri meluaskan invasi di kawasan Mediterania.
Pasukan-pasukan Kristen kerap menganggu kapal para pedagang-pedagang
muslim. Kenyataan getir itu tak mampu dihadapi oleh penguasa-penguasa
Muslim, bahkan Turki Utsmani yang besar kekuasaannya saat itu setelah
menguasai Konstantinopel pun tak berdaya. Di tengah ketidakberdayaan itu
muncullah Aruj dan Khairuddin yang membentuk kelompok ‘pejuang swasta’
untuk tampil menghadapi ancaman penjajah Kristen Eropa.
Keputusan Aruj (kakak Khairuddin) menjadi privateer, bermula
saat ia merasakan pengalaman buruk dengan pelaut-pelaut Kristen Eropa.
Kapal dagang Aruj pernah dibajak oleh ordo militer Saint John dan ia
sendiri tertawan oleh mereka. Namun, ia berhasil meloloskan diri setelah
dibantu adiknya, Khairudin. Peristiwa itu menguatkan tekadnya untuk
bangkit melawan orang-orang Eropa itu. Ia mengajak adiknya, Khizr (nama
asli Khairuddin), untuk ikut serta dalam perjuangan itu. Aruj dan Khizr
(Khairuddin) memulai ‘karir’ jihad mereka dengan sebuah kapal dan
persenjataan terbatas. Namun, keterampilan keduanya menjadikan kekuatan
mereka tumbuh semakin kuat dan muncul sebagai armada yang ditakuti di
perairan Mediterania. Jenggot mereka yang berwarna merah kemudian
membuat mereka lebih dikenal dengan nama yang menggetarkan: Barbarossa,
Si Janggut Merah.5
Barbarossa
Bersaudara perlahan tapi pasti, lama-kelamaan berkembang menjadi sosok
yang menakutkan orang-orang Eropa. Kendati pada awalnya hanya berjuang
dengan satu kapal dan tak mendapat dukungan dari pemerintahan Muslim
mana pun, mereka mampu mengembangkan armada mereka menjadi sebuah
kekuatan yang harus diperhitungkan di Mediterania, Laut Tengah.
Negeri-negeri
di Selatan Eropa, seperti Spanyol, Italia dan Yunani, membangun
benteng-benteng pertahanan di wilayah pesisir mereka untuk
mengantisipasi serangan Barbarossa. Orang-orang Italia menamai
Barbarossa dengan sebutan Il Diavolo atau
si Setan.
Para ibu di Eropa menakut-nakuti anak mereka yang nakal dan
sulit diatur dengan menyebut nama Barbarossa. Dan seorang penyair
menggelarinya sebagai ‘pemilik segala kejahatan’ dan ‘perompak yang tak
ada bandingannya di dunia’. Kenyataannya, Barbarossa bersaudara
adalah pejuang-pejuang Muslim yang tidak menyerang kecuali kapal-kapal
Eropa yang memerangi negeri-negeri Islam.
Kedua
pejuang ini terus mengkonsolidasikan kekuatan mereka dan mulai menjalin
hubungan dengan beberapa penguasa setempat. Mereka menjadikan beberapa
pulau yang strategis di perairan Mediterania sebagai pangkalan rahasia
mereka, di antaranya Pulau Jarbah di Teluk Gabes yang diberikan oleh
Sultan Tunis dengan imbalan Kerajaan Tunis akan menerima seperlima dari
rampasan perang Barbarossa bersaudara. Pulau Giglio di Barat Laut kota
Roma juga disebut-sebut sebagai salah satu markas angkatan laut
Barbarossa. Dari basis-basis pertahanan rahasia tersebut kedua
bersaudara dan para anak buahnya berhasil mengacaukan pelayaran
kapal-kapal Kristen di Mediterania serta menyerang wilayah-wilayah
Afrika Utara yang mereka duduki. Sepanjang tahun 1510-an, armada di
Janggut Merah berhasil membebaskan beberapa kota penting di pesisir
Aljazair, seperti Aljir, Bajayah, dan Jaijil. Pada masa-masa ini mereka
juga berhasil membantu orang-orang Andalus yang melarikan diri dari
kekejaman orang- orang Spanyol. Tidak sedikit dari kaum pelarian ini
yang kemudian bergabung dengan armada Barbarossa bersaudara.
Hubungan
kedua bersaudara ini dengan para sultan Afrika Utara yang wilayahnya
mereka bantu bebaskan tidak sepenuhnya mulus. Sebagian dari para sultan
ini rupanya merasa terancam dengan kekuatan Barbarossa yang semakin lama
semakin besar. Sultan Salim al-Toumy, penguasa Aljazair, mulai merasa
terganggu dengan aktivitas Aruj dan Khairuddin dalam membebaskan Aljir
dan beberapa kota pantai Aljazair lainnya. Sang Sultan kemudian mengusir
Aruj dan anak buahnya dari Aljazair pada tahun 1516.
Pengusiran
tersebut menyebabkan Aruj mengambil sebuah keputusan penting. Ia
menganggap Aljazair terlalu penting sebagai basis perjuangan melawan
Spanyol dan para sekutunya, sementara sultan negeri itu tidak memiliki
komitmen yang jelas terhadap kaum Muslimin. Maka ia pun menggulingkan
Sultan al-Toumy dan bertindak sebagai penguasa Aljazair. Tahun ini
menandai era baru perjuangan Barbarossa bersaudara, dari perjuangan yang
sepenuhnya bersifat militer, kini mulai merambah wilayah politik dan
kenegaraan.
Pada
tahun yang sama di Eropa, cucu Ferdinand yang bernama Charles, diangkat
menjadi Raja Spanyol. Walaupun pada saat itu usianya baru 16 tahun, ia
segera akan menjadi penguasa terpenting di Eropa, sekaligus menjadi
musuh utama Turki Utsmani dan Barbarossa bersaudara. Keadaan di
Mediterania semakin memanas pada tahun-tahun berikutnya. Pada 1517,
Sultan Salim mengirim pasukan Turki Utsmani memasuki Mesir dan merebut
wilayah itu dari kekuasaan Dinasti Mamluk. Sementara itu, Barbarossa
bersaudara mulai menjalin hubungan dengan pihak Turki dalam jihad mereka
menghadapi orang-orang Eropa Barat.
Pada
tahun 1518, Aruj dan pasukannya bergerak ke Tlemcen (Tilmisan) untuk
menghadapi penguasa setempat yang berhasil dihasut oleh pihak Spanyol.
Khairuddin, sang adik, diperintahkan oleh kakaknya untuk memimpin Aljir
selama kepergiannya. Aruj dan anak buahnya berhasil merebut Tlemcen
selama beberapa waktu, tapi mereka segera dikepung oleh tentara Spanyol
dan penduduk wilayah itu. Aruj dan pasukannya berhasil meloloskan diri.
Namun, pejuang yang biasa dipanggil Baba Aruj oleh anak buahnya ini
akhirnya gugur sebagai syuhada dalam pertempuran menghadapi musuh di
tempat yang tak terlalu jauh dari kota itu. Kini Khairuddin Barbarossa,
sang adik, terpaksa memimpin armada dan pasukan yang telah mereka
bangun selarna beberapa tahun tanpa sang kakak.
Ketiadaan
Aruj ternyata tidak melemahkan Khairuddin. Ia segera memperlihatkan
kepiawaiannya dalam memimpin. Sejak masa mudanya ia telah memperlihatkan
kepribadian yang menonjol. Sebagaimana kakaknya, fisik Khairuddin
sangat kuat.
Ia berani sekaligus penuh perhitungan. Selain itu, ia juga
cerdas dan mampu berbicara dalam berbagai bahasa yang biasa digunakan
di Mediterania, seperti bahasa Turki, Arab, Yunani, Spanyol, Italia, dan
Perancis. Setelah Aruj gugur di medan pertempuran, Khairuddin
mempertimbangkan lebih serius hubungan dengan kesultanan Turki.
Masyarakat Aljazair dan sekitarnya memang mengharapkan kehadiran
Khairuddin dan pasukannya, tapi beberapa penguasa setempat cenderung
memusuhinya.
Maka ia meminta penduduk Aljazair untuk mengalihkan
loyalitas mereka pada Sultan Turki. Masyarakat Aljazair setuju, dan
suatu misi diplomatik pun diutus ke Istanbul. Misi tu berjalan dengan
baik. Pada tahun 1519, Khairuddin Barbarossa secara resmi ditetapkan
menjadi semacam gubernur Turki di Aljazair. Pada tahun berikutnya,
Sultan Salim meninggal dan digantikan oleh Sulaiman The Magnificent yang
kemudian dikenal sebagai salah satu sultan terbesar Turki Utsmani.
Hubungan Barbarossa dengan Turki menjadi semakin erat pada masa Sulaiman
yang memerintah selama empat puluh enam tahun.
Kendati
telah ditetapkan sebagai penguasa Aljazair, Khairuddin Barbarossa lebih
sering berjuang di lautan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ia dan
armadanya sempat menyelamatkan tujuh puluh ribu Muslim Andalusia yang
tertindas di bawah pemerintahan Charles V. Orang-orang Islam ini dipaksa
masuk Kristen dan diancam dengan penyiksaan inkuisisi yang sangat
kejam sehingga terpaksa melarikan diri ke gunung dan melakukan
perlawanan. Kekuatan mereka jelas sangat tidak seimbang dibandingkan
kekuatan pasukan Charles. Maka mereka pun meminta bantuan Barbarossa
yang segera menolong dan memindahkan mereka secara bertahap ke Aljazair.
Pada
tahun 1529, Khairuddin Barbarossa berhasil merebut kembali Pulau Penon
yang terletak di seberang Aljir dan selama bertahun-tahun dikuasai oleh
tentara Spanyol. Ia dan pasukannya membombardir benteng pulau itu selama
dua puluh hari. Dua puluh ribu tentara Spanyol yang berlindung di balik
benteng itu berhasil ditawan dan dipekerjakan untuk membangun benteng
di pesisir Aljir. Tujuh kapal Spanyol yang kemudian datang untuk
memberikan bantuan akhirnya juga jatuh ke tangan Barbarossa. Pada tahun
yang sama, Sultan Sulaiman menyerang dan mengepung kota Wina, Austria,
untuk yang kedua kalinya. Walaupun serangannya yang kedua ini juga gagal
sebagaimana sebelumnya, hegemoni tentaranya di darat, bersama dengan
kekuatan armada Barbarossa di Laut Tengah, telah menimbulkan tekanan dan
kekhawatiran yang besar di Eropa Barat.
Pada
tahun 1533, Khairuddin diundang ke Istanbul oleh Sultan Turki. Ia pun
berangkat dengan 40 kapal, dan sempat berpapasan dan memenangkan
pertempuran melawan armada Habsburg di perjalanan ke Istanbul. Setibanya
di ibu kota Turki Utsmani itu ia disambut dengan meriah dan diangkat
sebagai Kapudan Pasha (Grand Admiral),
posisi tertinggi di angkatan laut Turki. Ia menyandang gelar itu hingga
tahun kematiannya, 1546. Tentu saja ini merupakan sebuah puncak karir
yang luar biasa untuk seorang ‘bajak laut’. Tapi Barbarossa memang
dianggap sangat layak untuk posisi itu oleh para petinggi Turki Utsmani.
Kemampuannya di bidang angkatan laut sangat diperlukan untuk membangun
armada Turki yang tangguh. Bahkan seorang konsul Prancis menyatakan
bahwa puncak kesuksesan Dinasti Umayah di lautan telah dimulai ketika
Khairuddin menghentakkan kakinya di pelabuhan Istanbul.
Ketegangan
dengan pihak Spanyol semakin serius setelah itu. Pasukan gabungan
Spanyol yang sangat besar jumlahnya berhasil merebut Tunisia dari tangan
Barbarossa pada tahun 1535. Barbarossa kemudian membalasnya dengan
menyerang Puerto de Mahon di Kepulauan Baleares, Spanyol, dan merebut
beberapa kapal Spanyol dan Portugis yang baru saja kembali dari benua
baru Amerika dengan membawa emas dan perak yang telah mereka rampas dari
penduduk setempat.
Tiga
tahun setelah itu, terjadi sebuah pertempuran besar antara armada
Kristen dan Muslim di Preveza, Yunani. Armada Kristen yang terdiri dari
600 kapal Spanyol, Holy Roman Empire, Venesia, Portugis, Genoa, Vatikan,
Florence, Malta, dan negara-negara Eropa lainnya yang dipimpin oleh
Andre Doria berusaha melumatkan armada Barbarossa yang jumlahnya hanya
sepertiga dari kekuatan musuh. Setelah saling mengintai di perairan
Ionian, Yunani, armada Barbarossa memasuki Selat Preveza yang sempit dan
menunggu di teluk besar yang terdapat di bagian dalamnya, sementara
musuh menunggu mereka di luar. Ini terjadi pada hari Jum’at, 27
September 1538.
Barbarossa mengumpulkan pasukannya untuk mengatur
strategi dan memutuskan untuk bergerak keluar dan menghadapi musuh
secara langsung. Armadanya melintas keluar Selat Preveza pada hari
Sabtu sebelum fajar. Kedua armada besar itu saling berhadap-hadapan
pada saat matahari baru saja naik. Barbarossa dan armadanya berhasil
menerapkan strategi perang secara jitu. Kendati jumlah kapal mereka
lebih sedikit, tapi kapal-kapal mereka lebih lincah dan meriam-meriam
mereka mampu menjangkau jarak yang lebih jauh. Setelah bertempur selama
beberapa jam, armada Barbarossa mampu melumpuhkan separuh armada
Kristen. Kekalahan telak yang tak disangka-sangka ini membuat armada
pimpinan Andrea Doria itu terpaksa mengundurkan diri. Kaum Muslimin
berhasil memenangkan pertempuran besar itu.
Setelah
1538, beberapa pertempuran masih terjadi antara pihak Kristen dan
Muslim, dan lebih sering dimenangkan oleh pasukan Muslim. Ketika Charles
V berusaha menguasai Aljazair dengan 200 kapal perangnya pada tahun
1541, mereka malah disergap badai di perairan Aljir, dan terpaksa
kembali pulang dengan kerugian besar.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya,
Barbarossa sempat ditugasi membantu pasukan Prancis yang pada masa itu
bermusuhan dengan Spanyol di bawah kepemimpinan Charles dan memilih
untuk bersekutu dengan Turki. Ia membantu Prancis merebut kota Nis pada
tahun 1543, kemudian menetap di kota Toulon selama musim dingin, sebelum
pergi ke Genoa untuk menegosiasikan pembebasan salah satu anak buah
terbaiknya, Turgut Reis.
Khairuddin
Barbarossa meninggal dunia dengan damai di Istanbul pada hari ini,
tanggal 5 Juli tahun 1546 silam. Ia tetap dikenang sebagai seorang
pejuang lautan yang tangguh dan seorang mujahid kendati orang Eropa
menyebutnya sebagai ‘Bajak Laut’. Selama masa hidupnya, sebagian besar
wilayah Afrika Utara berhasil dibebaskan dari penjajahan Eropa dan
perairan Mediterania berhasil diamankan. Setelah wafatnya, kedudukan
Khairuddin Barbarossa sebagai Kapudan Pasha dipegang oleh Turgut Reis
hingga yang terakhir ini syahid pada tahun 1565 dalam pertempuran
menghadapi ordo Saint John di Pulau Malta.
Disusun oleh Tim Redaksi Muslimdaily.net
Sumber:
Alwi Alatas. 2009. Khairuddin Barbarossa: Bajak Laut atau Mujahid? Sabili No. 13 TH. XVI 15 Januari 2009 / 18 Muharram 1430, hal. 124-132 [Edisi Khusus “The Great Muslim Traveler”]Alwi Alatas, Gereja dan Inkuisisi Spanyol pada http://alwialatas.multiply.com/journal/item/83/Gereja-dan-Inkuisisi-SpanyolJohn Foxe, 2001. Foxe’s Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
http://www.andalucia.cc/adn/0697per.htmhttp://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Wikipedia.org
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
http://www.andalucia.cc/adn/0697per.htmhttp://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html
http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html
Wikipedia.org
Footnote:
1 Kelompok
tentara, penjelajah, dan petualang yang melayani Kerajaan Spanyol dan
Kerajaan Portugis dalam usaha penaklukan wilayah Semenanjung Iberia yang
telah dikendalikan oleh berbagai negara Muslim Mereka berlayar di luar
Eropa, untuk menaklukkan wilayah dan membuka rute perdagangan, dan
membuka wilayah penjajahan untuk Spanyol dan Portugal.
2 Pulau Lesbos saat ini merupakan sebuah pulau di Yunani yang terletak di Laut Aegea. Pulau ini terletak 320 km dari pantai barat Yunani. Pada tahun 2001, pulau ini memiliki jumlah penduduk 90.643 jiwa dan memiliki luas wilayah 1.632 km².
Istilah “lesbian” yang mendunia berasal dari pulau Lesbos ini. Itu bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Ia banyak menulis syair-syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi. Kata-katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi. Di zaman Yunani purba sangatlah jarang seorang perempuan menulis puisi. Lebih jarang lagi seorang perempuan menulis puisi, apalagi mengungkapkan perasaan terhadap sesama perempuan. Konon, Shappo, kala itu, dipuji-puji oleh pemikir Yunani seperti Plato yang menyebutnya ‘dewi kesenian kesepuluh’. Dari cerita ini, tiba-tiba Shappo diyakini sebagai cikal-bakal lahirnya kelainan seksual dan penyuka sesama jenis. Munculnya istilah “lesbian” tak lain mengambil nama tempat di mana Shappo lahir dan tinggal, yakni Pulau Lesbos. Sejak itu hingga kini, Pulau Lesbos menjadi semacam menjadi tempat ziarah bagi kaum perempuan menyimpang penganut sesama jenis, lesbian.
3 Menurut sebuah sumber, ibu Khairuddin merupakan wanita muallaf Yunani lokal dari Mytilene, yang sebelumnya memeluk Kristen. Ia janda seorang pendeta Kristen Ortodoks. Kakek Khairuddin dari jalur ibunya bernama Vardari Yakup Aga yang disebut sebagai pemberontak Yunani dari Mytilene.
4 Baca kisahnya memilukan ini pada artikel berikut: Jatuhnya Granada & Awal Mula Penindasan Kristen Terhadap Umat Islam di Andalusia
5 Nama Barbarossa sering diidentikkan dalam stigma negatif oleh Barat dalam cerita-cerita modern. Dalam film Pirates of Caribean, ada sosok fiktif Barbarossa yang menjadi tokoh antagonis. Ia diperlihatkan sebagai bajak laut yang ganas dan kejam. Di Komik Asterix dan Obelix, Barbarossa juga digambarkan sebagai bajak laut perampok. Nama “Barbarossa” lain juga biasa digunakan untuk menyebut julukan bagi kaisar Jerman Friedrich I yang tewas dalam Perang Salib abad ke-12. Nama Barbarossa terakhir kemudian dijadikan sebagai nama operasi militer Hitler dalam salah satu operasi militernya.
Kematian Nabi Sulaiman
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sulaiman hidup di tengah-tengah kejayaan
dan kemuliaan di muka bumi, kemudian Allah SWT menetapkan kematian
baginya. Sebagaimana kehidupan Sulaiman berada di puncak kemuliaan dan
kejayaan yang penuh dengan keajaiban yang luar biasa, maka kematiannya
pun merupakan tanda- tanda kebesaran Allah SWT yang penuh dengan
keajaiban. Demikianlah bahwa kematiannya sesuai dengan kehidupannya,
sesuai dengan kejayaannya. Allah SWT berfirman tentang kematian Sulaiman
:
فَلَمَّا
قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَىٰ مَوْتِهِ إِلَّا
دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُ ۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ
الْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي
الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan
kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya
itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah
tersungkur, tahulah jin bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang
ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. ”
(QS. Saba’: 14)
Ibnu Jarir, Ibnu Hatim dan lainnya
meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda, ” Sulaiman,
nabi Allah, setiap kali shalat, ia melihat sebuah pohon tumbuh di
hadapannya, lalu ia bertanya pada pohon itu, siapa namamu?’ pohon
menjawab, namaku ini dan itu. Sulaiman kemudian berkata, ‘ untuk apa kau
(tumbuh)? jika memang untuk tanaman, tumbuhlah, dan jika untuk
(makanan) hewan, tumbuhlah.
Suatu ketika saat ia tengah shalat, ia
melihat sebuah pohon tumbuh di hadapannya, lalu ia bertanya pada pohon
itu, siapa namamu, pohon itu menjawab, ‘kharub,(si peruntuh). Sulaiman
bertanya, ‘untuk apa kamu (tumbuh)? pohon menjawab, untuk meruntuhkan
rumah itu. Sulaiman kemudian berdoa, Ya Allah! sembunyikanlah kematianku
untuk para jin, agar manusia tahu bahwa jin tidak mengetahui hal
ghaib.’
Sulaiman kemudian membuat tongkat dari
pohon itu, ia bertumpu pada tongkat itu selama setahun lamanya sementara
jin terus bekerja. Tongkat itu kemudian dimakan rayap.”Maka tatkala ia
telah tersungkur, tahulah jin bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui
yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan
selama setahun”. Sa’id bin Jubair berkata! ‘seperti itulah qiraah ibnu
abbas. Jin kemudian berterima kasih kepada rayap dan memberinya air.
Demikian matan riwayat Ibnu Jarir
Pada suatu hari Sulaiman memasuki
mihrabnya untuk i’tikaf, ibadah, dan sholat. Tak seorang pun berani
mengganggu khalwatnya di mihrabnya. Mihrab Sulaiman terletak di puncak
gunung dan dindingnya terbuat dari permata. Pada suatu hari Sulaiman
duduk bersandar pada tongkatnya dan ia tampak tenggelam dalam tafakur.
Beliau berzikir kepada Allah SWT hingga
rasa kantuk menguasainya lalu setelah itu malaikat maut menemuinya di
mihrabnya. Sulaiman pun meninggal. Beliau bersandar kepada tongkatnya.
Jin melihatnya dan mengira bahwa beliau sedang sholat sehingga mereka
pun terus melanjutkan pekerjaannya. Berlalulah hari-hari yang panjang.
Kemudian datanglah rayap, yaitu semut kecil yang memakan kayu. Hewan itu
pun mulai memakan tongkat Sulaiman.
Rayap-rayap itu tampak lapar. Sebagian
dari tongkat Sulaiman dimakan beberapa hari oleh rayap- rayap itu.
Ketika yang dimakannya semakin bertambah, maka tongkat itu pun menjadi
rusak dan jatuh dari tangan Sulaiman. Tubuh mulia itu kehilangan
keseimbangan dan terhempas di bumi. Tatkala tubuh suci itu tersungkur,
maka manusia segera menuju ke sana. Mereka menyadari dan mengetahui
bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal dalam waktu yang lama. Jin menyadari
bahwa mereka tidak mengetahui hal yang ghaib dan manusia pun mengetahui
hakikat ini. Seandainya jin mengetahui hal yang ghaib, niscaya ia tidak
akan meneruskan siksa yang hina, mereka tidak akan bekerja. Ada yang
berpendapat waktu meninggal nabi Sulaiman sampai diketahui adalah selama
1 tahun.
Setelah itu para setan berkata kepada
rayap, “andai saja kau memakan makanan, tentu kami akan memberimu
makanan paling enak. Andai kamu meminum minuman, tentu kami akan
memberimu minuman paling enak. Namun, kami akan selalu memberimu air dan
tanah. Setan- setan selalu membawakan air dan tanah untuk rayap- rayap
dimanapun mereka berada”. Ibnu abbas mengatakan: ‘Tidakkah engkau
melihat tanah yang ada di dalam kayu. Itulah yang diberikan setan untuk
rayap sebagai ucapan terima kasih.
Demikianlah Nabi Sulaiman meninggal dalam
keadaan duduk dan sholat di mihrabnya. Lalu berita itu tersebar
bagaikan api di bumi. Manusia, burung, dan binatang buas menghantarkan
jenazah Nabi Sulaiman . Sekawanan burung tampak sedih dan menangis.
Semua makhluk bersedih. Akhirnya, tak seorang pun mengetahui bahasa
burung di bumi. Meninggallah seseorang yang memahami pembicaraan burung.
Burung- burung itu berkata: “Betapa beratnya kehidupan di tengah-tengah
orang yang tidak mengetahui pembicaraan kita.
Ishaq bin Bisyr meriwayatkan dari
Muhammad bin Ishaq dari Zuhri dan lainnya bahwa Sulaiman hidup selama 52
tahun dan kekuasaannya berlangsung selama 40 tahun. Dari Ibnu Abbas:
Sulaiman berkuasa selama 20 tahun. Wallahu a’lam.
Setelah Sulaiman wafat, kekuasaan
dipegang anaknya, Rahab’am selama 17 tahun menurut riwayat yang
disampaikan Ibnu Jarir, ia menyatakan, ” setelah itu kerajaan bani
israil terpecah belah.
Allahu a’lam
Langganan:
Postingan (Atom)