Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Juni 2015

Pengertian Dan Rukun Daman


Pengertian Daman
Daman berarti menjamin atau menanggung seseorang untuk membayar hutangnya dengan cara mengadakan barang, atau menghadirkan orang tersebut pada tempat yang telah ditentukan.
Daman mengandung tiga permasalahan, yaitu:
1. Jaminan atas utang seseorang. Misalnya A menjamin utang B kepada C, maka C boleh menagih piutangnya kepada A atau kepada B.
2. Jaminan dalam pengadaan barang. Misalnya A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B dari C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C, maka A wajib mengembalikannya kepada  C.
3. Jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu, misalnya A menjamin menghadirkan B yang sedang dalam perkara ke muka pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Daman dapat diterapkan dalam masalah jual beli (bai’), pinjam-meminjam (ariah), titipan (al-wadiah), jaminan (ra’in), kerja patungan atau qirad (mudarabah), barang temuan (luqatah), peradilan (qada), qisash (pembunuhan), gasab, pencurian (sariqah), dan lain-Iain.
Dasar kebolehan daman :
Fairman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 72 :
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ‌ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢
Artinya : Para pembantu raja menjawab, “Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta.” Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, “Aku menjamin janji ini.” (72)
Hadits Rasulullah SAW :
العارية مؤداة والزعيم غارم
Pinjaman hendaklah dikembalikan dan orang yang menjamin hendaklah membayar.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi).
Rukun Daman
a.    Yang menanggung diisyaratkan sudah balig
b.    Yang berpiutang diketahui oleh yang menanggung
c.    Yang berutang
d.   Utang barang diketahui
e.    Lafal diisyaratkan berupa jaminan
Syarat Daman
a.    Penanggung harus mengenal orang yang ditanggung.
b.    Jumlah utang yang ditanggung harus sudah resmi dan tetap.
c.    Jumlah yang ditanggung sudah diketahui.
d.   Penanggung harus orang yang ahli dalam penggunaan uang atau harta.
Demikian pengertian dan rukun daman, semoga bermanfaat.

Sabtu, 31 Januari 2015

pengertian Khiyar (Memilih)

Definisi Khiyar
Khiyar yaitu mencari dua pilihan yang terbaik antara imdha (melanjutkan transaksi) atau ilgha (membatalkan transaksi).

Macam-Macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Khiyar ini terjadi bagi penjual dan pembeli sejak dilakukannya akad hingga keduanya berpisah, selama mereka tidak berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar atau mereka menggugurkan khiyar tersebut setelah akad atau salah satu dari mereka (baik pen-jual atau pembeli) ada yang menggugurkan hak khiyarnya, maka gugurlah haknya namun bagi pihak lain (yang tidak menggugur-kannya) maka hak khiyarnya masih tetap ada.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ.

“Jika dua orang saling berjual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain, maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut sungguh telah (terjadi) jual beli, dan bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak mening-galkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” [1]

Haram Berpisah Dari Majelis Karena Takut Membatalkan Transaksi
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ.

“Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama keduanya belum berpisah kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang khiyar hingga setelah berpisah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” [2]

2. Khiyar Syart
Yaitu penjual dan pembeli atau salah satu dari mereka memberikan syarat khiyar sampai batas waktu yang jelas. Khiyar seperti ini sah walaupun waktunya lama.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْمُتَبَايِعَيْنِ بِالْخِيَارِ فِي بَيْعِهِمَا مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَكُونُ الْبَيْعُ خِيَارًا.

“Sesungguhnya penjual dan pembeli memiliki khiyar dalam jual beli keduanya selama belum berpisah atau (bila) jual beli tersebut ada khiyar padanya.” [3]

3. Khiyar ‘Aib
Larangan menyembunyikan aib telah lewat (pembahasannya), maka apabila seseorang membeli barang yang cacat sementara ia tidak mengetahui cacatnya hingga keduanya berpisah, ia boleh mengembalikan barang tersebut kepada penjualnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اشْتَرَى غَنَمًا مُصَرَّاةً فَاحْتَلَبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا فَفِي حَلْبَتِهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ.

“Barangsiapa yang membeli kambing musharrah [4], kemudian ia memerahnya, maka jika ridha ia menahannya (tidak mengembalikannya), namun jika ia membencinya maka pada susu yang sudah diperah ia ganti dengan satu sha’ kurma.” [5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ تُصَرُّوا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ اشْتَرَى مُصَرَّاةً فَهُوَ بِأَحَدِ النَّظَرَيْنِ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ.

“Janganlah kalian membiarkan susu unta dan kambing (dengan tidak memerahnya ketika akan menjual), maka barangsiapa yang membelinya setelah itu, ia memiliki dua pilihan setelah memerahnya, jika mau maka ia memilikinya dan jika mau ia juga boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/332, no. 2112), Shahiih Muslim (III/ 1163, no. 1531 (44)), Sunan an-Nasa-i (VII/249).
[2]. Shahih: Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2895), Sunan Abi Dawud (IX/324, no. 3439), Sunan at-Tirmidzi (II/360, no. 1265), Sunan an-Nasa-i (VII/251).
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/326, no. 2107), Shahiih Muslim (III/ 1163, no. 1531), Sunan an-Nasa-i (VII/248)
[4]. Kambing musharrah adalah kambing yang susunya tidak diperah agar kan-tung susunya terlihat besar dan penuh untuk menarik pembeli, demikian pula halnya dengan unta dan sapi.-penj.
[5]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/368, no. 2151) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (III/1158, no. 1524), Sunan Abi Dawud (IX/312, no. 2428), Sunan an-Nasa-i (VII/253).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7347)], Shahiih al-Bukhari (IV/361, no. 2148), Sunan Abi Dawud (IX/310, no. 3426) dengan tambahan di awal-nya, demikian pula an-Nasa-i (VII/253). Dan sabda beliau: “Janganlah kamu mengikat susu unta dan kambing,” artinya janganlah kamu membiarkan susu dalam kantungnya ketika akan menjualnya hingga kantungnya membesar, sehingga pembeli mengira bahwa banyaknya susu tersebut adalah kebiasaan-nya yang terus menerus.

HUDUD

PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).

HUDUD SEBAGAI KAFARAH
Dari Ubadah bin Shamit r.a, ia bertutur: Kami pernah berada di dekat Nabi saw dalam salah satu majelis, Beliau bersabda, “Berjanji setialah kamu kepadaku, bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri dan tidak (pula) akan berzina.” Kemudian Beliau membaca seluruh ayat ini. Lanjut Beliau, “Maka barangsiapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 64 no: 18, Muslim III: 1333 no: 1709 dan Nasa’i VII: 148).
PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa nabi saw, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah saw pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya saw:
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (Hadis ini akan dimuat kembali dalam kisah yang akan segera dikemukakan)
Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman atas hamba sahayanya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi saw:
“Apabila seorang budak perempuan berzina, lalu terbukti ia berzina, maka hendaklah dia (tuannya) mencambuknya dengan sunguh-sungguh dan janganlah mencelanya. Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka juallah ia meki sekedar dengan harga sehelai rambut.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 165 No. 6839 dan Muslim III: 1328 No. 1703).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 815 - 820.

HUKUM ISLAM TENTANG MUAMALAH


A. Pengertian Muamalah

Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha perbankan dan asuransi yang islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.

B. Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam

Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
3. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
5. Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan terwujud.

C. Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam
1. Jual Beli

a. Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli
Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.
b. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
• Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya
• Sigat atau ucapan ijab dan kabul
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
• Barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas
• Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.
c. Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
d. Macam-macam jual beli
1) Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam).
Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).
Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.
2. Simpan Pinjam

Rukun dan syarat utang piutang atau pinjam meminjam, menurut hukum Islam adalah:
a. Yang berpiutang (yang meminjami) dan yang berutang (peminjam), syaratnya sudah balig dan berakal sehat.
b. Barang (uang) yang diutangkan atau dipinajmakan adalah milik sah dari yang meminjamkan.
3. IJARAH

a. Pengertian
Berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
b. Dasar Hukum Ijarah
Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
c. Macam-macam ijarah
1. Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa.
2. Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ex: tukang jahit,dsb.
d. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan berakal sehat.
2. Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan (Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3. Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4. Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6. Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7. Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8. Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
e. Sifat Akad/Transaksi Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.
f. Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji
Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi.
Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut ganti rugi.
g. Berakhirnya Akad Ijarah
Akan berakhir apabila:
(1) Objek ijarah hilang/musnah.
(2) Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad/transaksi ijarah.

Rukun ijarah ada 4, yaitu:
a. Orang yang berakad
b. Sewa/imbalan
c. Manfaat
d. Sigat/ijab kabul

D. Kerja Sama Ekonomi dalam Islam
1. Syirkah

Syirkah berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)
Syirkah dapat dibagi menjadi 2:
a. Syarikat harta (syarikat ’inan)
yaitu akad dari 2 orang/lebih untuk bersyarikat/berkongsi pada harta yang ditentukan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Ketentuan yang harus dipenuhi adalah:
• Sigat/lafal akad (ucapan perjanjian)
Dalam sistem perekonomian modern lafal itu digantikan dalam akte notaris.
• Anggota-anggota syariat
o Balig, berakal sehat, merdeka, dan dengan kehendaknya sendiri.
• Pokok atau modal dan pekerjaan
Dalam kehidupan modern bentuk syarikat harta dapat dikemukakan sbb:
+ Firma : persekutuan antara 2 orang/ lebih untuk mendirikan dan menjalankan suatu perusahaan yang didirikan dan dimodali oleh 2 orang/lebih, yang bertanggung jawab bersama terhadap perusahaan.
+ CV (Commanditaire Venootschaf) : merupakan perluasan dari firma.
+ PT (Perseroan Terbatas) : suatu bentuk perusahaan yang modalnya terdiri dari saham-saham.
b. Syarikat kerja
adalah gabungan 2 orang atau lebih untuk bekerjasama dalam suatu jenis pekerjaan dengan ketentuan hasil kerja dibagi ke seluruh anggota sesuai perjanjian.
Manfaat:
a. Menjalin hubungan persaudaraan.
b. Memenuhi kebutuhandan meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota syarikat.
c. Menyelesaikan dengan baik pekerjaan besar yang tidak dapat dikerjakan sendiri.
d. Melahirkan kemajuan iptek, eko dan kebudayaan serta hankam.
2. Mudarabah

Atau qirad : pemberian modal dari pemilik modal kepada seseorang yang akan memperdagangkan modal dengan ketentuan bahwa untung-rugi ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian antara keduanya pada waktu akad.
Ketentuan:
a. Muqrid (pemilik modal) dan muqtarid (yang menjalankan modal), sudah balig, akal sehat, dan jujur.
b. Uang/ barang yang dijadikan modal hendaknya diketahuijumlahnya.
c. Jenis usaha dan tempat sebaiknya disepakati bersama.
d. Besarnya keuntungan bagi muqrid dan muqtarid, hendaknya sesuai dengan kesepakatan pada akad.
e. Muqtarid hendaknya bersikap jujur dan tidak menggunakan modal tanpa izin muqrid.
Hikmah:
a. Mewujudkan persaudaraan dan persatuan.
b. Mengurangi/menghilangkan pengangguran.
c. Memberikan pertolongan pada fakir miskin untuk dapat hidup mandiri.
3. Muzara’ah, Mukharabah, dan Musaqah

Para pemilik tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
a. Ditanami untuk kepentingan keluarga dan disedekahkan
b. Meminjamkan kepada fakir miskin.
c. Digarap melalui muzara’ah, mukharabah, dan musaqah.
1) Muzara’ah dan Mukharabah
Muzara’ah: paruhan hasil sawah antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
Mukharabah: benig dari penggarap.
Ketentuan:
+ Pemilik dan penggarap balig, akal sehat, dan jujur.
+ Digarap betul-betul.
+ Ditentukan lamanya masa penggarapan.
+ Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
+ Pemilik dan penggarap menaati ketentuan-ketentuan.
2) Musaqah
Ialah paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap.
Ketentuan:
+ Mewujudkan persaudaraan dan tolong menolong.
+ Mengurangi dan menghilangkan pengangguran.
+ Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian.
+ Usaha pencegahan terhadap lahan kritis.
+ Melestarikan keindahan alam.
4. Sistem Perbankan yang Islami

Bank Islam : lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
5. Sistem Asuransi yang Islami

Asuransi : akad antara penanggung dan yang mempertanggungkan sesuatu. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)