|
Berkas:Majapahit-map.jpgPeta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1] |
Ibu kota |
Majapahit, Wilwatikta (Trowulan) |
Bahasa |
Jawa Kuno, Sansekerta |
Agama |
Hindu, Buddha |
Pemerintahan |
Monarki |
Raja |
- 1295-1309 |
Kertarajasa Jayawardhana |
- 1478-1498 |
Girindrawardhana |
Sejarah |
|
- Penobatan Raden Wijaya |
10 November 1293 |
- Invasi Demak |
1527 |
Mata uang |
Koin emas dan perak, kepeng (koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok) |
Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya dapat
ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga Surya Majapahit mungkin
merupakan simbol kerajaan Majapahit |
|
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia
yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang
berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai
kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali,
dan Filipina.
Kejayaan Majapahit
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak
kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah
Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada
tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut ke Palembang,
[2] menyebabkan
runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit
lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di
Minangkabau.
Menurut
Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo,
Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan
Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah
kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh
perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang
Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan
Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang
dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang
dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi
sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang
sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre
Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama
sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad
ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada
saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama
Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia
(Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa
dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat
periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8)
dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
Raja-raja Majapahit
- Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
- Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
- Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
- Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
- Wikramawardhana (1389 – 1429)
- Suhita (1429 – 1447)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
- Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
A.
Raden Wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309)
adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah
pada tahun 1293-1309, bergelar
Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana.
Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk
menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam
Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang
Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu
Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar
raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama
Dyah Wijaya. Gelar
dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar
Raden. Istilah
Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata
Ra Dyah atau
Ra Dyan atau
Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah
Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar
Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar
Dyah lebih sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari.
Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang
yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul
mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari
arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke
Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar
musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu,
ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja
penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut
kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia
berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi
dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan.
Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya
menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali
negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati.
Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri
untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin
bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya
tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu
Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut
Kidung Panji Wijayakrama,
salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh
karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi
nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol
sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum
Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan
yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk
menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu
bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya
meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan
Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada
bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera
mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu
justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan
pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu
kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam
kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke
Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya
tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit
Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah
Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan
mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa
menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut
Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang
dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit,
Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai
pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada
pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau
Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut
Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan
Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda
Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang
pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu,
wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur
dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama
Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman
Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit.
Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora
merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini
diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada
puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung
tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut
Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai
Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara
sebagai raja selanjutnya.
B. Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar
Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.
Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah
awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib
istananya.
Asal-Usul
Menurut
Pararaton, nama asli Jayanagara adalah
Raden Kalagemet
putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan
Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa
sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit.
Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri
Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai
Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang dituakan di istana”.
Menurut
Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya
Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik
Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu
meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah
Nagarakretagama
juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas
dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat
diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara
terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam
Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut
Nagarakretagama,
Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri
Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan
Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama
Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain
Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai
yuwaraja
atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara
juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra
mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293,
maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat
sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora
yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau
garbhopati, bukan nama gelar atau
abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan
Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut
Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut
kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja
dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan.
Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu
hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu
sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan
tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah
tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati
sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh
Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya
pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses
pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut
Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut
Nagarakretagama
ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara
juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila
sebagai Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu
takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang
bergelar Tribhuwana Tunggadewi
C. Tribhuwana Wijayatunggadewi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga
Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari
(1351) diketahui gelar abhisekanya ialah
Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut
Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas
perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang
meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350,
pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta
mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara,
tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri
Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal
tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha,
sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana
Tunggadewi.
Menurut
Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah
Sadeng dan
Keta. Menurut
Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan
Ra Kembar
dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana
pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi
sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah
Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai
rakryan patih Majapahit
tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak
(rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara
di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah
Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343
Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan
kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan
Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi
uparaja (raja bawahan)
Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai
Lamuri di ujung barat sampai
Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana
adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini
kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351
Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351
(sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi
Bhre Kahuripan yang tergabung dalam
Saptaprabhu, yaitu semacam
dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang
menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana.
Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan
Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut
Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam
Candi Pantarapura yang terletak di
desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di
Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di
desa Japan.
D.
Hayam Wuruk
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar
Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama
Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah
putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias
Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit,
sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre
Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali
dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada
tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre
Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri
Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri
Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang
menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga
memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang
menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai
dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga
menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat),
Diah Pitaloka Citrasemi.
Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran.
Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak
Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada
Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat.
Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan
dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh
masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah
Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani
(yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak
dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah
menantunya, Wikramawardhana.
E.
Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu
Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam
Pararaton bergelar
Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah
Raden Gagak Sali. Ibunya bernama
Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama
Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar
Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari
Padukasori. Dalam
Nagarakretagama
(ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah
menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka,
dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak
kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama
Rajasakusuma bergelar
Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga
orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre
Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan
Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum
sempat menjadi raja.Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat
oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat
Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani
masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan
Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut
Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389,
Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah
berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir
Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu
Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama
Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi
keponakannya sendiri sebagai selir.
Raja sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre
Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam
Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai
patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak
daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat
dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming
penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang
anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho
sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa.
Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho),
Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000
tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya,
kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre
Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di
Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra
Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di
Wisesapura yang terletak di
Bayalangu.Rajasakusuma
meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di
Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra
Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai
pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa
prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.
F.
Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama
Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara
Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi
dengan cara menghukum mati
Raden Gajah alias
Bhra Narapati.
Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan
Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam
Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai
Su-king-ta,
yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin
masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini
identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan
suami istri itu dicandikan bersama di
Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
G. Kertawijaya
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar
Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut
Pararaton,
Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra
Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan
Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel,
yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa
pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga
terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya,
yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam
Pararaton,
sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik
takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan
Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam
prasasti Waringin Pitu sebagai
Dyah Wijayakumara.
H. B
rawijaya
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut
Brawijaya V
adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan
serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai
tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan
Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah
Pararaton.
Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan
Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai
penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah
Raden Alit.
Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan
kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra
sulungnya
[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum
lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang
lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.
[rujukan?]
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim
dari Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali.
Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah
bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan
leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu
Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah
Angkawijaya,
putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama
gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak
Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat
bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang
sebenarnya terjadi. Menurut
Serat Pranitiradya, yang bernama
Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja
sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
- Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
- Prabu Brakumara
- Prabu Brawijaya I
- Ratu Ayu Kencanawungu
- Prabu Brawijaya II
- Prabu Brawijaya III
- Prabu Brawijaya IV
- dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama
dikisahkan berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden
Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama
Kesultanan Demak, bergelar Panembahan Jimbun
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah
Pararaton
ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena
itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat
memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata
Bhra Wijaya. Gelar
bhra adalah singkatan dari
bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar
bhre yang banyak dijumpai dalam
Pararaton berasal dari gabungan kata
bhra i, yang bermakna “baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut
Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul
Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama
Batara Vigiaya.
Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat
simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate
Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk
Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini
kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti
Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit,
Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di
Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha
runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak
diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh
Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti
Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan
masyarakat Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya
kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit
identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun
“ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan
masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun
dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya
diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para
pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah
tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang
berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian
penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada
tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari
istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre
Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang
meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan
Pararaton tersebut terkesan ambigu.
[rujukan?]
Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah
Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa
yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre
Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer
[rujukan?] menyebut Bhre
Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi).
Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari
kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama
Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam
Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun
Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik
[rujukan?]
dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah,
Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan
Bhre Kertabhumi relatif singkat.
[sunting] Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang
antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya
Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu
putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra
Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang
Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun
dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak
Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa
bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang
Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut
Babad Tanah Jawi dan
Serat Kanda, tokoh
Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama
Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah
angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre
Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang
selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian
versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi,
Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian
diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada
tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka,
Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu
Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias
Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina
tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar
sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya
adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan,
Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan
dalam berbagai versi, antara lain:
- Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari
Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau
Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat
ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer
dalam masyarakat Jawa.
- Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden
Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini
muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong
Semarang.
- Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul
berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi
peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
- Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton
tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja
terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga
terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka
(1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara.
Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan
kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang
Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh
Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal
dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di
daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan
Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi
nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas
Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota
yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam
V/Brawijaya.
Kepustakaan
- Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
- Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKISBabad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Wikipedia