Surat Wasiat Politik Soekarno kepada Tan Malaka
Politik pemerintahan pasca proklamasi dititikberatkan pada usaha
memperoleh pengakuan luar negeri atas kemerdekaan Indonesia melalui
cara-cara diplomasi. Sikap demikian terlihat dalam maklumat yang
dikeluarkan pada bulan Nopember 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah RI
bersedia membayar semua hutang-hutang Hindia Belanda sebelum pecah
Perang Dunia II. Pemerintah juga berjanji akan membayar ganti rugi atas
semua milik asing yang sudah dikuasai pemerintah sebagai imbalan
terhadap pengakuan kedaulatan yang akan diberikan.1)
Sikap pemerintah itu selain kurang disetujui Angkatan Perang, juga
mendapat tantangan dari golongan tertentu. Tokoh utama dari golongan ini
adalah Tan Malaka,
seorang tokoh pergerakan nasional yang pada masa pendudukan Jepang
melakukan gerakan bawah tanah, sehingga ia sering muncul dengan nama
samaran. Tan Malaka memakai nama samaran untuk menghilangkan jejak
sebagai buron politik penguasa kolonial. Nama samaran biasanya dipakai
buat keperluan memasuki negara lain untuk bersembunyi atau melakukan
gerakan, seperti:
“Nama Elias Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927),
Ong Soong Lee sewaktu memasuki Hongkong dari Syanghai (1932), Ramli
Husein sewaktu kembali ke Indonesia dari Singapura (1942), dan sewaktu
bekerja di pertambangan Jepang di Banten memakai nama samaran yang lain
adalah Cheng Kun Tat, Eliseo Rivera, Howard Law dan Tan Min Ka.”2)
Pertemuan antara Soekarno dengan Tan Malaka tanggal 25 Agustus 1945
merupakan awal lahirnya “Surat Wasiat Politik”. Tentang surat wasiat
tersebut masih terdapat perbedaan pendapat para ahli sejarah tentang
siapa yang mengusulkan keluarnya surat wasiat itu, siapa yang menulisnya
dan apakah surat tersebut benar ditandatangani oleh Soekarno/Hatta atau
dibuat palsu oleh Tan Malaka.
Menurut Saleh As’ad Djamhari menyatakan bahwa Tan Malaka mencoba meminta
agar Soekarno-Hatta menandatangani sebuah surat wasiat politik yang
berisi penyerahan pimpinan pemerintahan dan revolusi apabila
sewaktu-waktu Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankannya. Usaha tersebut
gagal karena Soekarno-Hatta menolaknya.3)
Menurut Santosa berdasarkan buku “Nationalism and Revolution in
Indonesia” karya George Mc. Turnan Kahin, mengatakan bahwa Tan Malaka
menghendaki surat wasiat itu dan mengajukan dirinya sebagai pimpinan
Republik. Soekarno mengakui perlunya kesinambungan kepemimpinan, tetapi
bukan Tan Malaka sebagai pewaris politik utama. Pada tanggal 1 Oktober
1945 Soekarno-Hatta menyetujui pembuatan surat wasiat tersebut, namun
kepemimpinan republik akan diteruskan oleh kelompok empat (quadrumvirate)
yang mewakili empat golongan besar dalam revolusi, yaitu Tan Malaka,
Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Wongsonegoro. Jadi dalam surat wasiat
itu bukan hanya Tan Malaka sebagai calon pewaris politik utama.4)
Sedangkan Ahmadani G. Marta dengan timnya yang menyusun buku “Pemuda
Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa” mengemukakan bahwa
Ahmad Subardjo berhasil meyakinkan Soekarno tentang perlunya membuat
semacam surat wasiat kepada Tan Malaka sebagai bakal pemimpin yang akan
melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan bila mereka ditahan
oleh Sekutu atau gugur. Akhirnya usul itu dituangkan dalam surat wasiat,
tetapi calon pimpinan perjuangan diserahkan kepada Catur-Tunggal.
Kemudian dengan licik Tan Malaka membuat dokumen baru dimana ia
disebut-sebut sebagai pewaris tunggal.5)
Mengenai pernyataan di atas disanggah oleh Aboe Bakar Loebis yang
mengemukakan bahwa Tan Malaka juga menyaksikan rapat raksasa di lapangan
Ikada pada tanggal 18 September 1945 dan akhirnya ia meninggalkan
Jakarta tanggal 1 Oktober 1945 dengan mengantongi surat wasiat yang
ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.6)
Persatuan perjunagn dan penculikan Sutan Sahrir
Pertempuran di Surabaya yang bermula tangal 10 November dan berakhir dalam tiga minggu kemudian, memberikan reaksi dan penilaian yang bertentangan antara Tan Malaka da Syahrir. Kerusakan hebat, korban jiwa dan anarki yang nampak dalam perlawanan menghadapi Sekutu telah meyakinkan Syahrir untuk melakukan perundingan dengan pihak Inggris dan Belanda. Sedangkan menurut Tan Malaka kemauan melawan Inggris dan Belanda harus dengan jalan meembentuk kekuatan bersenjata dengan organisasi yang baik.
Pertempuran di Surabaya yang bermula tangal 10 November dan berakhir dalam tiga minggu kemudian, memberikan reaksi dan penilaian yang bertentangan antara Tan Malaka da Syahrir. Kerusakan hebat, korban jiwa dan anarki yang nampak dalam perlawanan menghadapi Sekutu telah meyakinkan Syahrir untuk melakukan perundingan dengan pihak Inggris dan Belanda. Sedangkan menurut Tan Malaka kemauan melawan Inggris dan Belanda harus dengan jalan meembentuk kekuatan bersenjata dengan organisasi yang baik.
Pada tanggal 15-16 Februari 1945 diadakan kongres kedua di Solo yang
mengesahkan program kerja Persatuan Perjuangan (PP) yang disebut “
Minimum Program” dan menyusun pengurus organisasi dan tata kerjanya.
Kongres kedua ini dihadiri oleh 141 organisasi dan undangan antara lain
Panglima Besar Sudirman. Adapun minimum program PP yang diambil dari
pidato Tan Malaka terdiri atas tujuh program pokok, yaitu:
- Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%
- Pemerintahan Rakyat
- Tentara Rakyat
- Melucuti Tentara Jepang
- Mengurus para tawanan bangsa Eropa.
- Menyita dan meyelenggarakan pertanian (kebun)
- Mensita (membeslah) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain).7)
KNIP dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1946 mengumumkan kembali
penunjukkan Syahrir sebagai fermatur dan diterangkan bahwa kabinet baru
akan mempunyai program 5 pasal, yaitu:
- Berunding atas dasar pengakuan RI merdeka 100%
- Mempersiapkan rakyat negara di segala lapangan politik, kemiliteran, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan RI
- Menyusun Pemerintahan Pusat dan Daerah yang demokratis
- Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.
- Tentang perusahaan dan perkebunan hendaknynya oleh Pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya sehingga memenuhi pasal 33 UUD.8)
Tan Malaka dan sejumlah tokoh lain melihat program kabinet itu masih
kurang keras dan bunyinya masih mengandung kekaburan. Namun sebagian
kekuatan politik yang ada dalam Persatuan Perjuangan menggugat bahwa
program itu sudah cukup progresif.
Sesudah terbentuknya Kabinet tersebut, kekuatan yang beroposisi kepada
pemerintah menjadi berkurang, tokoh-tokoh PP yang masih memperlihatkan
sikap keras seperti Tan Malaka, Yamin, Ahmad Soebardjo dan Iwa Kusuma
Sumantri dinyatakan tidak mempunyai landasan politik yang berarti dan
tidak berakar dalam masyarakat. Sehingga tanggal 17 Maret 1946
tokoh-tokoh tersebut ditangkap dengan alasan mereka melakukan oposisi
yang menjurus kepada sikap tidak loyal dan melemahkan kekuatan politik
pemerintah.
Penangkapan pemimpin PP bukan dilakukan atas perintah pimpinan militer
dan pengumuman penangkapannya tidak ditandatangani oleh Presiden
Soekarno. Penangkapan itu menimbulkan kecaman pada pemerintah karena
penahanan tokoh tersebut berarti pemberangusan kebebasan dan hak
berbicara.
Seorang pembantu Soedarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf, menyatakan
keinginannya untuk menyingkirkan Syahrir agar Soekarno dan Soedirman
dapat mengambil alih seluruh kekuasaan dan merubah arah politik
menghadapi Belanda. Ahirnya pada tanggal 27 Juni 1946 Mayor AK Yusuf
menculik Syahrir kemudian membawa ke Paras sebelas barat Surakarta.
Penangkapan Syahrir yang dilakukan oleh perwira muda itu mungkin sekali
didorong oleh semangat revolusi visi Tan Malaka. Tapi Tan Malaka tidak
mengetahui apa-apa tentang penculikan itu apalagi merencanakannya,
karena pada waktu itu ia masih meringkuk dalam penjara.9) Jadi sangat sulit untuk menuduh Tan Malaka secara rasional dan obyektif bahwa ia terlibat dalam penculikan Sutan Syahrir.
Posisi Tan Malaka dalam Peristiwa 3 Juli 1946
Pada tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Soedarsono bersama Muh. Yamin menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan surat pernyataan berisi pembubaran Kabiner Syahrir, pembentukan suatu dewan pimpinan politik yang akan mempunyai kewenangan politik tertinggi, pembentukan kabinet baru dan penyerahan semua kekuasaan militer kepada Panglima Besar Soedirman.10)
Pada tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Soedarsono bersama Muh. Yamin menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan surat pernyataan berisi pembubaran Kabiner Syahrir, pembentukan suatu dewan pimpinan politik yang akan mempunyai kewenangan politik tertinggi, pembentukan kabinet baru dan penyerahan semua kekuasaan militer kepada Panglima Besar Soedirman.10)
Peristiwa coup tanggal 3 Juli 1946, Tan Malaka dituduh sebagai
otak atau dalang peristiwa tersebut. Tetapi Tan Malaka yang masih dalam
penjara sulit untuk dikatakan mengetahu apa-apa tentang kudeta tersebut.
Hasil verbal dari mereka yang diadili dalam perkara itu, seperti Muh.
Yamin, memang tidak membuktikan terlibatnya Tan Malaka sebagaimana yang
dituduhkan kepadanya.
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta yang diserahi perkara tersebut dalam
memeriksa berkas tuduhan kepada Tan Malaka pada tanggal 4 Agustus 1946
menyatakan dan menetapkan bahwa tidak ada bukti-bukti yang sah untuk
mempersalahkan tersangka tentang peristiwa tersebut dalam pasal KUHP,
sehingga menolak penuntutan untuk mengajukan perkara ini di muka
persidangan.11)
Tentang keterkaitan Tan Malaka dengan peristiwa 3 Juli 1946, Anderson mengatakan:
“Para pemimpin Republik Indonesia tahu benar bahwa Tan Malaka tidak bersalah… dan karena itu tidak pernah berani menghadapkannya ke muka pengadilan, tetapi oleh karena kepentingan nasional maka diperlukan seorang kambing hitam yang tidak berdaya dan Tan Malaka yang dianggap paling cocok peranan ini.”12)
“Para pemimpin Republik Indonesia tahu benar bahwa Tan Malaka tidak bersalah… dan karena itu tidak pernah berani menghadapkannya ke muka pengadilan, tetapi oleh karena kepentingan nasional maka diperlukan seorang kambing hitam yang tidak berdaya dan Tan Malaka yang dianggap paling cocok peranan ini.”12)
Tan Malaka secara de facto dan de jure tidak terlibat
dalam peristiwa 3 Juli, sehingga bangsa ini perlu menempatkan posisi Tan
Malaka pada proporsi yang selayaknya, yakni sebagai salah seorang
pejuang dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan, seorang
revolusioner yang gigih memperjuangkan pemikiran-pemikiran politiknya
yang luas demi kemajuan bangsa. Meskipun Tan Malaka telah diangkat
sebagai pahlawan nasional sesuai keputusan Presiden RI nomor 53 tanggal
23 April 1963, namun penilaian dan penghargaan terhadap Tan Malaka masih
banyak prasangka, ketidakadilan, dan ketidaktahuan.
Catatan Referensi:
1) Deliar Noer, 1990. Moh. Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, hal. 214
2) Alfian, 1989. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, hal. 45
3) Drs. Saleh As’ad Djamari, 1979. Intisari Sejarah Perjuangan ABRI (1945-Sekarang).
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, hal. 45
4) Ganjar Santosa, Surat Wasiat kepada Tan Malaka. Sinar Harapan, Selasa 23-8-1983, hal. 6
5) Ahmadi G. Martha, et.al, 1984. Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan
Bangsa. Jakarta: Yayasan Sumpah Pemuda
6) Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 145
7) Drs. G. Moedjanto, MA, 1988. Indonesia Abad ke-20 I. Yogyakarta: Kanisius, hal. 149
8) Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka, hal. 129
9) William H. Frederick dan S. Soeeroto, 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta:
LP3ES, hal. 210
10) Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 165
11) Salinan; Surat Ketua Pengadilan Negeri Surakarta kepada J.M. Menteri Depdikbud tentang
Keputusan Mengenai Keterlibatan Tan Malaka dalam Peristiwa 3 Juli 1946, tertanggal 27
April 1949
12) Indra MB. & M. Resky, 1989. Pemikiran Politik Tan Malaka, Suatu Penelusuran Awal.
Jakarta: Ilmu dan Budaya, hal. 749
1) Deliar Noer, 1990. Moh. Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, hal. 214
2) Alfian, 1989. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, hal. 45
3) Drs. Saleh As’ad Djamari, 1979. Intisari Sejarah Perjuangan ABRI (1945-Sekarang).
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, hal. 45
4) Ganjar Santosa, Surat Wasiat kepada Tan Malaka. Sinar Harapan, Selasa 23-8-1983, hal. 6
5) Ahmadi G. Martha, et.al, 1984. Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan
Bangsa. Jakarta: Yayasan Sumpah Pemuda
6) Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 145
7) Drs. G. Moedjanto, MA, 1988. Indonesia Abad ke-20 I. Yogyakarta: Kanisius, hal. 149
8) Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka, hal. 129
9) William H. Frederick dan S. Soeeroto, 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta:
LP3ES, hal. 210
10) Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 165
11) Salinan; Surat Ketua Pengadilan Negeri Surakarta kepada J.M. Menteri Depdikbud tentang
Keputusan Mengenai Keterlibatan Tan Malaka dalam Peristiwa 3 Juli 1946, tertanggal 27
April 1949
12) Indra MB. & M. Resky, 1989. Pemikiran Politik Tan Malaka, Suatu Penelusuran Awal.
Jakarta: Ilmu dan Budaya, hal. 749
0 comments:
Posting Komentar