Pages

Subscribe:

Senin, 11 Agustus 2014

Aktivitas Politik Tan Malaka Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Surat Wasiat Politik Soekarno kepada Tan Malaka
Politik pemerintahan pasca proklamasi dititikberatkan pada usaha memperoleh pengakuan luar negeri atas kemerdekaan Indonesia melalui cara-cara diplomasi. Sikap demikian terlihat dalam maklumat yang dikeluarkan pada bulan Nopember 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah RI bersedia membayar semua hutang-hutang Hindia Belanda sebelum pecah Perang Dunia II. Pemerintah juga berjanji akan membayar ganti rugi atas semua milik asing yang sudah dikuasai pemerintah sebagai imbalan terhadap pengakuan kedaulatan yang akan diberikan.1)
Sikap pemerintah itu selain kurang disetujui Angkatan Perang, juga mendapat tantangan dari golongan tertentu. Tokoh utama dari golongan ini adalah Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan nasional yang pada masa pendudukan Jepang melakukan gerakan bawah tanah, sehingga ia sering muncul dengan nama samaran. Tan Malaka memakai nama samaran untuk menghilangkan jejak sebagai buron politik penguasa kolonial. Nama samaran biasanya dipakai buat keperluan memasuki negara lain untuk bersembunyi atau melakukan gerakan, seperti:
“Nama Elias Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927), Ong Soong Lee sewaktu memasuki Hongkong dari Syanghai (1932), Ramli Husein sewaktu kembali ke Indonesia dari Singapura (1942), dan sewaktu bekerja di pertambangan Jepang di Banten memakai nama samaran yang lain adalah Cheng Kun Tat, Eliseo Rivera, Howard Law dan Tan Min Ka.”2)
Pertemuan antara Soekarno dengan Tan Malaka tanggal 25 Agustus 1945 merupakan awal lahirnya “Surat Wasiat  Politik”. Tentang surat wasiat tersebut masih terdapat perbedaan pendapat para ahli sejarah tentang siapa yang mengusulkan keluarnya surat wasiat itu, siapa yang menulisnya dan apakah surat tersebut benar ditandatangani oleh Soekarno/Hatta atau dibuat palsu oleh Tan Malaka.
Menurut Saleh As’ad Djamhari menyatakan bahwa Tan Malaka mencoba meminta agar Soekarno-Hatta menandatangani sebuah surat wasiat politik yang berisi penyerahan pimpinan pemerintahan dan revolusi apabila sewaktu-waktu Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankannya. Usaha tersebut gagal karena Soekarno-Hatta menolaknya.3)
Menurut Santosa berdasarkan buku “Nationalism and Revolution in Indonesia” karya George Mc. Turnan Kahin, mengatakan bahwa Tan Malaka menghendaki surat wasiat itu dan mengajukan dirinya sebagai pimpinan Republik. Soekarno mengakui perlunya kesinambungan kepemimpinan, tetapi bukan Tan Malaka sebagai pewaris politik utama. Pada tanggal 1 Oktober 1945 Soekarno-Hatta menyetujui pembuatan surat wasiat tersebut, namun kepemimpinan republik akan diteruskan oleh kelompok empat (quadrumvirate) yang mewakili empat golongan besar dalam revolusi, yaitu Tan Malaka, Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Wongsonegoro. Jadi dalam surat wasiat itu bukan hanya Tan Malaka sebagai calon pewaris politik utama.4)
Sedangkan Ahmadani G. Marta dengan timnya yang menyusun buku “Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa” mengemukakan bahwa Ahmad Subardjo berhasil meyakinkan Soekarno tentang perlunya membuat semacam surat wasiat kepada Tan Malaka sebagai bakal pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan bila mereka ditahan oleh Sekutu atau gugur. Akhirnya usul itu dituangkan dalam surat wasiat, tetapi calon pimpinan perjuangan diserahkan kepada Catur-Tunggal. Kemudian dengan licik Tan Malaka membuat dokumen baru dimana ia disebut-sebut sebagai pewaris tunggal.5)
Mengenai pernyataan di atas disanggah oleh Aboe Bakar Loebis yang mengemukakan bahwa Tan Malaka juga menyaksikan rapat raksasa di lapangan Ikada pada tanggal 18 September 1945 dan akhirnya ia meninggalkan Jakarta tanggal 1 Oktober 1945 dengan mengantongi surat wasiat yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.6)
Persatuan perjunagn dan penculikan Sutan Sahrir
Pertempuran di Surabaya yang bermula tangal 10 November dan berakhir dalam tiga minggu kemudian, memberikan reaksi dan penilaian yang bertentangan antara Tan Malaka da  Syahrir. Kerusakan hebat, korban jiwa dan anarki yang nampak dalam perlawanan menghadapi Sekutu telah meyakinkan Syahrir untuk melakukan perundingan dengan pihak Inggris dan Belanda. Sedangkan menurut Tan Malaka kemauan melawan Inggris dan Belanda harus dengan jalan meembentuk kekuatan bersenjata dengan organisasi yang baik.
Pada tanggal 15-16 Februari 1945 diadakan kongres kedua di Solo yang mengesahkan program kerja Persatuan Perjuangan (PP) yang disebut “ Minimum Program” dan menyusun pengurus organisasi dan tata kerjanya. Kongres kedua ini dihadiri oleh 141 organisasi dan undangan antara lain Panglima Besar Sudirman. Adapun minimum program PP yang diambil dari pidato Tan Malaka terdiri atas tujuh program pokok, yaitu:
  1. Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%
  2. Pemerintahan Rakyat
  3. Tentara Rakyat
  4. Melucuti Tentara Jepang
  5. Mengurus para tawanan bangsa Eropa.
  6. Menyita dan meyelenggarakan pertanian (kebun)
  7. Mensita (membeslah) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain).7)
KNIP dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1946 mengumumkan kembali penunjukkan Syahrir sebagai fermatur dan diterangkan bahwa kabinet baru akan mempunyai program 5 pasal, yaitu:
  1. Berunding atas dasar pengakuan RI merdeka 100%
  2. Mempersiapkan rakyat negara di segala lapangan politik, kemiliteran, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan RI
  3. Menyusun Pemerintahan Pusat dan Daerah yang demokratis
  4. Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.
  5. Tentang perusahaan dan perkebunan hendaknynya oleh Pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya sehingga memenuhi pasal 33 UUD.8)
Tan Malaka dan sejumlah tokoh lain melihat program kabinet itu masih kurang keras dan bunyinya masih mengandung kekaburan. Namun sebagian kekuatan politik yang ada dalam Persatuan Perjuangan menggugat bahwa program itu sudah cukup progresif.
Sesudah terbentuknya Kabinet tersebut, kekuatan yang beroposisi kepada pemerintah menjadi berkurang, tokoh-tokoh PP yang masih memperlihatkan sikap keras seperti Tan Malaka, Yamin, Ahmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri dinyatakan tidak mempunyai landasan politik yang berarti dan tidak berakar dalam masyarakat. Sehingga tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh tersebut ditangkap dengan alasan mereka melakukan oposisi yang menjurus kepada sikap tidak loyal dan melemahkan kekuatan politik pemerintah.
Penangkapan pemimpin PP bukan dilakukan atas perintah pimpinan militer dan pengumuman penangkapannya tidak ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Penangkapan itu menimbulkan kecaman pada pemerintah karena penahanan tokoh tersebut berarti pemberangusan kebebasan dan hak berbicara.
Seorang pembantu Soedarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf, menyatakan keinginannya untuk menyingkirkan Syahrir agar Soekarno dan Soedirman dapat mengambil alih seluruh kekuasaan dan merubah arah politik menghadapi Belanda. Ahirnya pada tanggal 27 Juni 1946 Mayor AK Yusuf menculik Syahrir kemudian membawa ke Paras sebelas barat Surakarta.
Penangkapan Syahrir yang dilakukan oleh perwira muda itu mungkin sekali didorong oleh semangat revolusi visi Tan Malaka. Tapi Tan Malaka tidak mengetahui apa-apa tentang penculikan itu apalagi merencanakannya, karena pada waktu itu ia masih meringkuk dalam penjara.9) Jadi sangat sulit untuk menuduh Tan Malaka secara rasional dan obyektif bahwa ia terlibat dalam penculikan Sutan Syahrir.
Posisi Tan Malaka dalam Peristiwa 3 Juli 1946
Pada tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Soedarsono bersama Muh. Yamin menghadap Presiden Soekarno dan menyodorkan surat pernyataan berisi pembubaran Kabiner Syahrir, pembentukan suatu dewan pimpinan politik yang akan mempunyai kewenangan politik tertinggi, pembentukan kabinet baru dan penyerahan semua kekuasaan militer kepada Panglima Besar Soedirman.10)
Peristiwa coup tanggal 3 Juli 1946, Tan Malaka dituduh sebagai otak atau dalang peristiwa tersebut. Tetapi Tan Malaka yang masih dalam penjara sulit untuk dikatakan mengetahu apa-apa tentang kudeta tersebut. Hasil verbal dari mereka yang diadili dalam perkara itu, seperti Muh. Yamin, memang tidak membuktikan terlibatnya Tan Malaka sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta yang diserahi perkara tersebut dalam memeriksa berkas tuduhan kepada Tan Malaka pada tanggal 4 Agustus 1946 menyatakan dan menetapkan bahwa tidak ada bukti-bukti yang sah untuk mempersalahkan tersangka tentang peristiwa tersebut dalam pasal KUHP, sehingga menolak penuntutan untuk mengajukan perkara ini di muka persidangan.11)
Tentang keterkaitan Tan Malaka dengan peristiwa 3 Juli 1946, Anderson mengatakan:
“Para pemimpin Republik Indonesia tahu benar bahwa Tan Malaka tidak bersalah… dan karena itu tidak pernah berani menghadapkannya ke muka pengadilan, tetapi oleh karena kepentingan nasional maka diperlukan seorang kambing hitam yang tidak berdaya dan Tan Malaka yang dianggap paling cocok peranan ini.”12)
Tan Malaka secara de facto dan de jure tidak terlibat dalam peristiwa 3 Juli, sehingga bangsa ini perlu menempatkan posisi Tan Malaka pada proporsi yang selayaknya, yakni sebagai salah seorang pejuang dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan, seorang revolusioner yang gigih memperjuangkan pemikiran-pemikiran politiknya yang luas demi kemajuan bangsa. Meskipun Tan Malaka telah diangkat sebagai pahlawan nasional sesuai keputusan Presiden RI nomor 53 tanggal 23 April 1963, namun penilaian dan penghargaan terhadap Tan Malaka masih banyak prasangka, ketidakadilan, dan ketidaktahuan.
Catatan Referensi:
1)   Deliar Noer, 1990. Moh. Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, hal. 214
2)   Alfian, 1989. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, hal. 45
3)   Drs. Saleh As’ad Djamari, 1979. Intisari Sejarah Perjuangan ABRI (1945-Sekarang).
      Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, hal. 45
4)   Ganjar Santosa, Surat Wasiat kepada Tan Malaka. Sinar Harapan, Selasa 23-8-1983, hal. 6
5)   Ahmadi G. Martha, et.al, 1984. Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan 
      Bangsa. Jakarta: Yayasan Sumpah Pemuda
6)   Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 145
7)   Drs. G. Moedjanto, MA, 1988. Indonesia Abad ke-20 I. Yogyakarta: Kanisius, hal. 149
8)   Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
      Balai Pustaka, hal. 129
9)   William H. Frederick dan S. Soeeroto, 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta:
      LP3ES, hal. 210
10) Aboe Bakar Loebis, Op.cit., hal. 165
11) Salinan; Surat Ketua Pengadilan Negeri Surakarta kepada J.M. Menteri Depdikbud tentang
      Keputusan Mengenai Keterlibatan Tan Malaka dalam Peristiwa 3 Juli 1946, tertanggal 27
      April 1949
12) Indra MB. & M. Resky, 1989. Pemikiran Politik Tan Malaka, Suatu Penelusuran Awal.
      Jakarta: Ilmu dan Budaya, hal. 749

0 comments: