Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku merupakan sayap bersenjata di bawah naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia. NKCP dibentuk tanggal 19 September 1971 dibawah pimpinan Wen Min Chyuan dari sebuah organisasi bernama Organisasi Komunis Sarawak. Ia pernah menjadi anggota partai Sarawak United People's Party pada tahun 1960-1964. Keanggotaan NKCP didominasi oleh etnis China.
Sejarah
Latar belakang pembentukan
Terbentuknya Paraku-PGRS terkait dengan peristiwa konfrontasi antara
Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966. Pemerintah
Indonesia menolak pembentukan Federasi
Malaysia
yang didukung penuh oleh Inggris. Wilayah Kalimantan Utara yang juga
merupakan koloni Inggris, seperti halnya Semenanjung Malaya, dimasukkan
ke dalam teritori Federasi Malaysia oleh para penggagasnya tanpa
terlebih dahulu meminta persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara.
Penolakan penduduk, khususnya warga Tionghoa, didasari oleh kecemasan
akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap rakyat
Kalimantan Utara.
[1]
Ide penggabungan wilayah-wilayah koloni Inggris di Asia Tenggara dan
Persekutuan Tanah Melayu (PTM) dimulai semenjak tahun 1960. Tanggal 27
Mei 1961, Perdana Menteri PTM
Tunku Abdul Rahman mengungkapkan gagasan mengenai Negara
Malaysia meliputi PTM,
Singapura,
Serawak,
Brunei, dan
Sabah di hadapan
Foreign Correspondent Association di Singapura. Berdasarkan pertemuan tanggal 13 Oktober 1961 di
London, sebuah panitia penyelidikan
Fact-Finding Comission yang diketuai
Lord Cobbald
dibentuk untuk mengumpulkan jajak pendapat masyarakat mengenai rencana
pembentukan tersebut. Hasil jajak pendapat dari tanggal 19 Februari
sampai 17 April 1962 mengungkapkan bahwa dua pertiga masyarakat yang
diwawancarai menyetujui penggabungan. Pertemuan di
London pada tanggal 18-31 Juli 1962 merencanakan pembentukan
Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963.
[2]
Kelompok
sayap kiri dan
komunis berkembang dengan pesat semenjak tahun 1950an di antara penduduk perkotaan Sarawak dari
suku Iban dan China. Mereka akhirnya menjadi inti pasukan Paraku dalam rangka gerakan
Ganyang Malaysia (Dwikora) oleh presiden Indonesia saat itu, yaitu
Soekarno. Partai NKCP mempropagandakan penyatuan seluruh wilayah
Kalimantan yang berada di bawah kekuasaan
Inggris untuk membentuk negara merdeka
Kalimantan Utara. Ide tersebut awalnya diajukan oleh
Azahari, ketua
Partai Rakyat Brunei, yang memiliki hubungan dengan gerakan nasionalisme yang dicetuskan oleh
Soekarno, bersama dengan Ahmad Zaidi di Jawa pada tahun 1940an.
[3][1]
Syekh A.M.
Azahari,
pemimpin Partai Rakyat Brunei, partai terbesar di Brunei,
memproklamirkan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara (NNKU) yang
meliputi
Serawak,
Brunei, dan
Sabah pada tanggal 8 Desember 1962. Di daerah lain, seperti di PTM,
Singapura, dan
Serawak,
ada beberapa partai politik yang juga tidak menyetujui pembentukan.
Pemerintah Indonesia yang awalnya mendukung pembentukan Federasi
Malaysia, menjadi berbalik arah setelah Azahari memproklamirkan
pembentukan NNKU. Presiden Soekarno mengakui bahwa ia menerima
pembentukan Malaysia ketika gagasan tersebut diperkenalkan pada 1961,
tetapi revolusi anti-Malaysia di
Brunei tahun 1962 tidak memberinya pilihan lain selain membantu Brunei, sebab
Soekarno percaya bahwa setiap rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri.
[2]
Ide tersebut muncul sebagai sebuah alternatif bagi penduduk setempat
untuk melawan rencana Malaysia. Perlawanan penduduk lokal berdasarkan
perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antara penduduk
Kalimantan dengan
Federasi Malaya, disamping juga mereka menolak didominasi secara politik oleh federasi tersebut. Sebagai hasil
Pemberontakan Brunei, diperkirakan sebanyak ribuan masyarakat China penganut paham komunis lari meninggalkan
Sarawak. Pasukan yang masih bertahan di sana dikenal sebagai
Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).
Dukungan Bung Karno
Bung Karno, Presiden Indonesia saat itu, terkenal sangat anti
imperialisme dan menganggap Federasi
Malaysia tidak lebih dari sekedar produk imperialis
Inggris untuk mempertahankan eksistensinya di
Asia Tenggara serta mengganggu jalannya revolusi Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan
Bung Karno untuk menyerukan penghancuran ‘negara boneka’ Malaysia tersebut, dikenal dengan istilah
Ganyang Malaysia. Pemerintahan Bung Karno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak pembentukan Federasi itu.
[1]
Menurut buku sejarah Kodam XII/Tanjungpura,
Tandjungpura Berdjuang,
sikap Indonesia yang menentang pembentukan Malaysia berhubungan dengan
politik luar negerinya yang anti kolonialisme dan imperialisme dalam
segala bentuknya. Indonesia menganggap pembentukan Malaysia hanya kedok
dari Inggris dan sekutunya untuk tetap berkuasa di Asia Tenggara dalam
bentuk neo-kolonialisme, dan kemudian mengepung Indonesia. Menurut M.C.
Ricklefs, banyak pemimpin Indonesia menganggap Malaya (PTM) tidak
benar-benar merdeka karena tidak terjadi suatu revolusi. Mereka merasa
tidak senang dengan keberhasilan Malaya di bidang ekonomi, merasa curiga
dengan tetap hadirnya Inggris di sana dengan pangkalan-pangkalan
militernya, dan merasa tersinggung karena Malaya dan
Singapura
membantu PRRI. Selain itu dapat pula ditambah alasan adanya keinginan
agar Indonesia memainkan peran yang lebih besar di dalam masalah-masalah
Asia Tenggara. Hal serupa dikemukakan Hilsman dalam bukunya
To Move a Nation seperti yang dikutip dari
Cold War Shadow:
[2]
- “Oposisi Indonesia terhadap Malaysia merupakan bagian dari
ekspresi 'nasionalisme baru' mereka yaitu Jakarta ingin berdiri tinggi
dalam permasalahan internasional, terutama yang berkaitan dengan
kekuatan kolonial sebelumnya... Sukarno, terlebih lagi, menekankan bahwa
Inggris tidak pernah benar-benar berbicara dengan Indonesia mengenai
rencana pembentukan federasi.”
Bung Karno menugaskan salah satu menterinya,
Oei Tjoe Tat,
untuk menggalang kekuatan warga Tionghoa Kalimantan Utara yang
anti-Malaysia untuk mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris.
Pasukan tersebut membentuk Paraku-PGRS dan berada dibawah komando
seorang perwira
Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal
Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai
Panglima Komando Tempur IV Mandau.
[1] Soebandrio
bertemu dengan sekelompok pemimpin , hampir 900 orang Tionghoa
Kalimantan Utara berkenan pindah ke daerah Kalimantan Barat untuk diberi
pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai olehmereka di
Bogor, dan
Nasution mengirim tiga pelatih dari
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Batalion 2 ke
Nangabadan
yang dekat dengan perbatasan Serawak. Di sana terdapat sekitar 300
orang prajurit yang akan dilatih. Sekitar 3 bulan kemudian, dua letnan
dikirim ke sana.
[4] Buku Sejarah
Tentara Nasional Indonesia
(TNI) Jilid IV (1966-1983) mengakui bahwa Paraku-PGRS adalah pasukan
yang dilatih dan dipersenjatai oleh TNI. Buku itu juga menyebutkan, para
anggota kedua pasukan itu adalah orang-orang Tionghoa pro-komunis yang
diandalkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi Malaysia-Inggris.
Namun, Paraku-PGRS juga mengorganisir orang-orang dari suku Dayak dan
Melayu untuk melakukan serangkaian penyusupan ke wilayah Kalimantan
Utara seperti
Sarawak dan
Brunei.
[1]
Pengaruh komunis
Reaksi Indonesia menentang pembentukan Malaysia mendapat dukungan
besar dari rakyat Indonesia. PKI mengecam rencana “Malaysia” sebagai ”
usaha
neo-kolonialis untuk mencegah masyarakat dari koloni-koloni Inggris
untuk memperoleh kemerdekaan nasional yang sebenarnya dan kebebasan dari
imperialisme”.
Angkatan Darat mendukung sikap Presiden
Soekarno,
tapi dalam kasus akan munculnya bahaya komunisme yang lebih kuat.
”Pasukan khawatir berdasarkan populasi China pada federasi tersebut,
Malaysia akan menjadi batu loncatan bagi Komunis China untuk masuk ke
Indonesia melalui perbatasan Indonesia-Malaysia”.
[2]
Indonesia juga mendapat dukungan dari Filipina. Presiden Filipina,
Diosdado Macapagal mengklaim
Sabah
sebagai bagian dari wilayah negaranya atas dasar hubungan antara
Filipina dan Sultan Sabah pada masa pra-kolonial. Filipina juga takut
bahwa federasi baru itu akan menjadi basis bagi tekanan komunis dari
populasi Cina-Malaysia dan elemen komunis Indonesia.
[2]
Pergerakan
Pada tanggal 8 Desember 1962, bersama dengan berdirinya Negara
Nasional Kalimantan Utara, Tentara Nasional Kalimantan Utara dibentuk
sebagai kekuatan pertahanan. Inggris mengerahkan tentara untuk melawan
NNKU sehingga membuat
Azahari
tidak mampu mempertahankan pemerintahan pusat di Kalimantan Utara
kemudian memindahkannya ke Manila. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia
saat itu adalah memberikan
asylum politik kepada Perdana Menteri Azahari dan Panglima Abang Kifli di
Jakarta.
[2]
Berdirinya Negara Kalimantan Utara mengakibatkan Partai Komunis
Sarawak mendapat tekanan dari penguasa. Sejalan dengan kebijaksanaan
politik Indonesia masa itu, pemimpin-pemimpin komunis dari Sarawak
berpindah ke
Kalimantan Barat. Sedangkan RRT (
Republik Rakyat Tiongkok), dalam rangka menyelamatkan Partai Komunis Sarawak, mengirim
Wen Min Tjuen dan
Wong Kee Chok ke Kalimantan Barat pada awal tahun 1963. Kedua pemimpin Partai Komunis Tiongkok tersebut menemui
Yap Chung Ho,
Wong Ho,
Liem Yen Hwa, dan
Yacob dari
Sarawak Advance Youth Association
(SAYA) untuk membahas garis perjuangan dari Partai Komunis Sarawak.
Azahari dan Abang Kifli dengan Tentara Nasional Kalimantan Utara
(TNKU)-nya kemudian berhubungan dan bekerja sama dengan mereka. Tanggal 2
Desember 1963,
Soebandrio,
Wakil Menteri Pertama atau Menteri Luar Negeri Indonesia, dan atas nama
KOPERDASAN (Komando Pertahanan Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan
Barat dalam rangka kampanye konfrontasi anti Malaysia dan
memperkenalkan Azahari kepada khalayak ramai.
[2]
Azahari (Brunei), Kelompok Yap Chung Ho (Sarawak), dan Soebandrio
(Indonesia) mengadakan pertemuan di Sintang dan muncul gagasan untuk
membentuk suatu pasukan bersenjata. Pertemuan kedua di Bogor dihadiri
Soebandrio, Njoto, Soeroto, Perdana Menteri NNKU Azahari, dan kelompok
Yap Chung Ho dari SUPP. Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk
pasukan bersenjata yang akan berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat
(Asuangsang di sebelah Utara Sambas). Soebandrio dengan BPI (Badan
Pusat Intelijen) Indonesia membantu melatih sepuluh orang anak buah Yap
Chung Ho selama sebulan di Bogor, kemudian dibawa ke Asuangsang untuk
melatih 60 orang pasukan lagi. Dengan basis pasukan ini, dibentuk
Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (PARAKU) sebagai bagian dari Tentara Nasional Kalimantan Utara
(TNKU).
Menurut
Lie Sau Fat atau X. F. Asali, budayawan Tionghoa
Kalimantan Barat dan saksi sejarah, ketika peristiwa Dwikora, banyak
sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri dari para
pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan partisipan
komunis, juga sukarelawan dari Singkawang, Bengkayang, dan berbagai
wilayah di Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti Melayu,
Dayak, dan Tionghoa. Kodam Tanjungpura pada Mei dan Juni 1964 memberikan
latihan militer pada 28 orang sukarelawan dari SUPP (
Sarawak United People Party)
yang lari ke Kalimantan Barat dan juga para sukarelawan yang dikirim
dari Jakarta. Latihan militer tersebut di lakukan di Dodiktif 18 –
Tandjungpura, Bengkayang. Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro
Intel POM Kodam XII Tanjungpura, mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih
PGRS/PARAKU untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka
dilatih oleh RPKAD di Bengkayang.”
[2]
Jumlah pasukan PGRS adalah sekitar 800 orang yang berbasis di
Batu Hitam,
Kalimantan Barat, bersama dengan 120 pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih di
RRT.
Partai Komunis Indonesia
(PKI) terbukti memiliki keterlibatan dan dipimpin oleh Syarif Ahmad
Sofyan Al Barakbah, seorang etnis Arab yang revolusioner. PGRS beberapa
kali melakukan perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi berusaha
meningkatkan pendukung mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia
tidak menyukai kecondongan PGRS ke
sayap kiri sehingga secara umum menghindari mereka.
[5]
Paraku-PGRS bahu-membahu bersama
TNI dan sukarelawan Indonesia menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu balatentara
Gurkha,
Inggris, dan
Australia
sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat
dengan Kalimantan Utara menjadi garis depan pertempuran. Seorang
peneliti Tionghoa, Benny Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan
Paraku-PGRS ketika melawan pasukan
Gurkha
Inggris. Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2
British Gurkha Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi
pada tanggal 28 September 1963. Buku
A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971
karya JP Cross mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta
Paraku-PGRS yang menewaskan beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border
Scout. Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku-PGRS tampak menjadi
pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.
[1]
Kebijakan Pemerintah Indonesia, melalui BPI (Badan Pusat Intelijen),
membuat “kisah” PGRS/PARAKU tidak menjadi konsumsi publik pada tahun
1963-1965 (sebelum G 30 S). Seperti yang diuraikan L.H. Kadir, saksi
sejarah, mantan Wakil Gubernur Kalbar 2003-2008, pada masa konfrontasi
bekerja sebagai pegawai negeri di Putusibau (1963-1965) dan Mahasiswa
APDN (1965-1968):
[2]
- “Sekitar tahun 1963-1964 tidak ada pernyataan dukungan Indonesia
terhadap PGRS/PARAKU. Masyarakat hanya tahu bahwa ada pergolakan rakyat
di perbatasan. Setahu saya setelah peristiwa G 30 S baru ada di koran
berita tentang PGRS/PARAKU. Sebelum itu yang dikenal sukwan... Sewaktu
masih di Putusibau, saya pernah mengantar sukwan dari Putusibau untuk
berlatih di perbatasan. Saya dengan speed ke Semitau diperintah
Dandim Hartono supaya mengantar. Orang-orang yang saya antar Cina semua
waktu itu. Mereka bawa senjata, ada pula amoi-amoi, banyak perempuan.
Ada juga dokter dua orang, mereka latihan di Badau.”
Dampak bangkitnya Orde Baru
Pasca
G 30 S, situasi belum mempengaruhi PGRS/PARAKU karena pemerintah belum membubarkan
PKI.
Situasi komando di Kalimantan Barat masih belum jelas. Satu-satunya
komando yang diberikan oleh Pangdam XII/Tanjungpura adalah tetap di pos
masing-masing dan mempertinggi kewaspadaan. Situasi itu dimanfaatkan
PGRS/PARAKU untuk mengonsolidasi kekuatan; banyak simpatisan
PKI
yang bergabung karena situasi politik yang semakin menekan PKI. Mereka
sama-sama memperoleh pelatihan militer dari Tentara RI dan sama-sama
diterjunkan di perbatasan. PKI memanfaatkan pengerahan sukarelawan untuk
melatih para kadernya, yang kebanyakan dari etnis Tionghoa, sehingga
akan sulit dibedakan yang mana PGRS/PARAKU, kader PKI, dan kelompok yang
tidak mengetahui tentang semua itu.
[2]
Pemerintah
Orde Baru dibawah pimpinan Presiden
Soeharto tidak berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap
Malaysia dan
Inggris.
[1] Pada 29 Mei – 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara Menteri Luar Negeri RI
Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun
Abdul Razak di
Bangkok
atas bantuan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman. Puncak dari
semua perundingan adalah ditandatanganinya persetujuan Indonesia dan
Malaysia untuk normalisasi hubungan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus
1966. Persetujuan itu dikenal dengan
Jakarta Accord yang mengakui kedaulatan
Malaysia.
KOLAGA (Komando Mandala Siaga) mengeluarkan instruksi dengan radiogram
tanggal 10 Agustus 1966 No. TSR-26/1966 kepada semua Komando Bawahan
untuk menghentikan kegiatan-kegiatan operasi. Langkah selanjutnya yang
diambil oleh Komando Tempur (Kopur) IV/Mandau adalah menyerukan agar
PGRS/PARAKU mengadakan konsolidasi di tempat-tempat yang sudah
ditentukan. Ternyata yang mengikuti seruan tersebut hanya 99 orang,
sedangkan sejumlah 739 orang membangkang.
[2]
AM Hendropriyono, prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang
Sandi Yudha pada 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak,
mengungkapkan:
- "Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan
PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian
pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan
gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak
menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan
bertempur di hutan rimba Kalimantan."[6]
Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk berdamai dengan
Malaysia-Inggris menempatkan Paraku-PGRS sebagai musuh pemerintah
Indonesia dan TNI.
[1]
Gerakan PGRS / PARAKU yang memiliki dasar ideologi komunis merupakan
sumber potensial terhadap munculnya kerawanan sosial politik yang
mengancam terhadap eksistensi suatu negara.
[7] TNI bersekutu dengan militer
Malaysia dan
Inggris dalam menumpas Paraku-PGRS, dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu
Gerombolan Tjina Komunis (GTK)
[1], sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan Indonesia memberi cap ”
CT” (
Communist Terrorist).
[6] Perang antara TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS meletus, salah satunya yang terjadi di Pangkalan Udara
Sanggau Ledo, Bengkayang,
Kalimantan Barat. Memasuki tahun 1967, operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah
Orde Baru melalui
Operasi Sapu Bersih (Saber) I, II, dan III yang digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 dibawah komando Brigadir Jenderal AJ Witono.
[1]
Peristiwa Mangkok Merah
Pelaksanaan Operasi Saber I tidak memuaskan. Faktor-faktor kegagalan
disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak PGRS/PARAKU lebih mengenal
keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi yaitu suku
Dayak
setempat. PGRS/PARAKU juga mudah memencar dan menyusup ke dalam
masyarakat untuk menghilangkan diri dari pengejaran. Hal itu disebabkan
masyarakat dan kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai daerah
pedalaman seluruh Kalimantan Barat.
[2] Dalam
Operasi Saber, terjadi peristiwa
Mangkok Merah pada bulan Oktober-November 1967. Peristiwa
Mangkok Merah dipicu oleh terjadinya penculikan dan kekerasan yang dialami Temenggung Dayak di Sanggau Ledo.
[1]
Bulan Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di
Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Tanggal 3 September
1967 ada sembilan orang Dayak diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan
tidak bernyawa oleh masyarakat dan TNI pada tanggal 5 September 1967.
[8] TNI
mempropagandakan kekerasan itu dilakukan oleh GTK alias Paraku-PGRS.
Propaganda diperkuat penemuan sembilan mayat oleh Resimen Para Komando
Angkatan Darat (
RPKAD) yang diklaim sebagai mayat tokoh-tokoh Dayak.
[1]
Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU pada tanggal 14 Oktober 1967 dikenal
dengan sebutan “Demonstrasi Suku Dayak”. Gerakan ini kemudian menyebar
luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga upacara
mangkok merah
diadakan. Gerakan ini menjadi sentimen rasial dengan mengidentikkan
etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan menjadi korban gerakan
demonstrasi. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis
Tionghoa menuju ke
Kota Pontianak,
menimbulkan masalah beban pengungsi di kota-kota penampungan, derita
psikis yang dialami keluarga korban pembantaian, dan lumpuhnya sirkulasi
perdagangan di daerah pedalaman
Kalimantan Barat.
Setelah gerakan Suku Dayak, kegiatan-kegiatan PGRS/PARAKU mulai
menurun. Tekanan-tekanan Pasukan Indonesia menyebabkan PGRS/PARAKU
semakin terjepit. Putusnya jalur logistik dengan mengungsinya ribuan
orang Tionghoa menyebabkan banyak anggota PGRS/PARAKU yang menyerahkan
diri.
[2] Presiden
Soeharto,
dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1968 malam, secara khusus
mengucapkan terima kasih kepada Suku Dayak di Kalbar yang telah membantu
pemerintah menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan PGRS/PARAKU di Kalbar.
[8]
Status selanjutnya
Pada tahun 1974, pecahan fraksi yang dipimpin oleh
Bong Kee Chok menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah. Fraksi Bong Kee Chok lebih besar daripada sisanya yang dipimpin oleh
Wen Ming Chyuan.
NKCP menurun secara bertahap. Tahun 1989,
CIA
memperkirakan fraksi tersebut memiliki sekitar 100 pasukan. Akhirnya,
tanggal 17 Oktober 1990, NKCP menandatangani perjanjian damai dengan
pemerintah. Beberapa prajurit gerilya selanjutnya hidup sebagai
masyarakat biasa.
Paraku dan pelanggaran HAM
Kasus Paraku/PGRS didokumentasikan sebagai salah satu pelanggaran HAM
di Indonesia. Beberapa pihak menengarai dalam peristiwa ini juga
terjadi
pembersihan etnis terhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan.
[9]
Dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada
27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan
43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.
[8]
Lihat pula
Referensi