Kepercayaan
rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil
dimanfaatkan Westerling untuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya.
Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian
rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda
atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat
dalam ramalan Jayabaya.
A.
Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di
Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal di Belanda, 26 November 1987 pada usia
68 tahun. Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia
Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian
Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta
APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena
lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas
militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di
Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat
Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda
sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic
Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak
berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan
untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris
sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai neraka di dunia. Pelatihan dan
pelajaran yang mereka peroleh antara lain perkelahian tangan kosong, penembakan
tersembunyi, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api, membunuh pengawal dan
sebagainya. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55
orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Sersan Westerling
berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima
Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan
ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi
komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya,
penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh
komandan yang lebih tepat dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II
(Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke
Sulawesi Selatan dan setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung
Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
B.
Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA
merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan
suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia
Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI,
karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di
Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit
yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini
menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang
terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh
golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena
merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya
atas Indonesia akan hilang.
Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan
gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan
bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu
Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama
menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan
datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang
akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman
dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya
rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi
mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari
tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang
digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga
orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya
organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada
bulan November 1949,
dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah
mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang.
Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember
1949
menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan
Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan
desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya
orang Tionghoa, Chia Piet Kay,
yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan
Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi
pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal
Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk
negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara
bagian RIS .
C.
Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
dipimpin oleh mantan
Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara
spontan. Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah
diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada
25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van
Vreeden mengenai
rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari
Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara
lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak
terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang
harus bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember
1949 tersebut memperingatkan Westerling agar
tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada
hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah
RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai negara-negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan.
Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi
Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan
berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam
Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada
10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia
telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat
sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten
terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di
Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling
menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid
ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban
yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil
apapun.
Pertengahan
Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada
Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari
1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang
sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu
unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari
1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal
Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok
rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun
upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret
hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut dari beberapa bekas anak buahnya,
sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950
Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu
pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun
laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22
Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan
RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi
militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix
melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat
juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk
ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten
G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar dan segera
menghubungi
Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan
kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak
terlalu curiga karena adalah hal
yang biasa tentara hilir mudik keluar masuk
kota Bandung pada
masa itu, walau Perang kemerdekaan dianggap sudah
berakhir. Tentara APRA pada
saat itu menggunakan truk, jeep, motorfiets,
serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan
jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling
di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke udara. Bahkan
ada di antara mereka yang mengarahkan tembakan kebeberapa
rumah penduduk. Barulah setelah mendengar
suara tembakan tersebut,
warga
seketika menjadi was-was. Sejumlah
polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya Cimindi-Cibereum dilucuti
senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin
menjadi-jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceuy, seorang TNI yang
mengendarai jip dan tidak bersenjata diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk
turun dan mengangkat tangan lalu dengan keji ditembak mati. Pasukan APRA
bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga
diberhentikan. Tiga penumpangnya juga
diperintahkan untuk turun,
di antaranya
seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia
dibunuh. Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian
diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di
depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI
baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak
sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang
dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu
ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang cukup hebat
terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude Hospitaalweg. Satu regu
stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko
dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar
pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan
seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu
diduduki dan tentara APRA merampok brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor
stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu stafdekking TNI terdiri
dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi oleh ratusan
APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran dilakukan
hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya
dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki
stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang
cukup besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun
bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa. Di antara orang-orang
sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka berani menjawab “Jogja”,
ketika ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh pasukan APRA.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah
Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola. Mereka dihujani peluru ketika
hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki oleh gerombolan
APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi korban keganasan gerombolan
ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang lainnya yang tidak
diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda atau surat
dalam pakaiannya.
Sementara
Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden
Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan
KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak
muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga
secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang
diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.
Setelah
puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan
yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat
ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid
II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah
itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima
laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut,
salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi
militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di
seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang
pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar
White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka:
"Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia
Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi
terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang
Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan
serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland"
(tangan hitam dari Belanda).
D.
Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan
APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan
dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan
karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai
latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya
negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan
menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi
Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah
perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa Barat
Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota
Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di
kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan
Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap adanya
keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda
berada di antara pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka
diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk
kembali ke Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari
Divisi Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah
ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota
Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang
sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan
Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar
dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan
Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong
dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk
senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi
tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan
geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang melarikan diri
dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25
januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30
pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan
terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan.
Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung,
Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu
gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang
kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala
Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan
tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan
Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa
portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat
melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat
Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka
gerakannya pun jadi bubar.
E.
Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang
pemberontakan yang dilakukan oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang
diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan untuk mendapat pengakuan
dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan. Selain itu,
pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap mempertahankan pemerintahan
Reupblik Federal dan tidak menginginkan adanya penyerahan kedaulatan serta
adanya tentara tersendiri di negara-negara bagian RIS. Sehingga terjadilah
pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil
menduduki markas dari Kodam Divisi Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23
Januari 1950 dan juga membunuh para tentara Indonesia yang bermaksud untuk
melawan. Salah satu tentara yang terbunuh ialah Letnan Kolonel Lembong tewas
pada peristiwa ini. Bandung pun dapat dikuasai sementara oleh pasukan APRA
untuk beberapa jam. Dalam peristiwa ini juga menyebabkan 79 orang APRIS tewas
dan juga beberapa masyarakat sekitar juga mnejadi korban kekejaman
pemberontakan ini. Dengan terjadinya peristiwa ini di Bandung membuat
pemerintah mengirimkan pasukan APRI ke Bandung untuk menumpas gerakan
pemberontakan APRA. Pada akhirnya gerakan pemberontakan APRA berhasil ditumpas
oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi
diantara Raymond Pierre Westerling dan Sultan Hamid II dari Pontianak. Ketika
pemberontakan yang di Bandung itu berakhir, Jakarta menjadi target berikutnya.
Dalam misi kali ini APRA ingin menyerang Jakarta serta ingin membunuh
menteri-menteri RIS seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiarjo dan
Kolonel TB Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950.
Namun aksi dari APRA untuk menyerang
Jakarta sudah diketahui sebelumnya oleh jajaran petinggi pemerintahan sehingga
aksi tersebut dapat digagalkan dan konspirasi diantara Westerling dan Sultan
Hamid II ini terbongkar dan ketika akan ditangkap, Westerling kabur ke
Singapura dan Sultan Hamid II berhasil ditangkap. Maka berakhir pemberontakan
APRA ini.