Pages

Subscribe:

Kamis, 14 Juli 2016

Perang khaibar

Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh kaum Yahudi setelah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah tatkala mereka melanggar perjanian damai. Di sana mereka menyusun makar untuk melampiaskan dendamnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam, dan kaum muslimin.


Advertise with Halal.Ad
Dendam Yahudi memang telah menumpuk; mulai terusirnya Bani Qainuqa, Bani Nadhir, terbunuhnya dua tokoh mereka, hingga pembantaian terhadap Bani Quraizhah dan sejumlah tokoh mereka yang dibunuh oleh kaum muslimin.

Telah lewat pembahasan bahwa kaum Yahudi adalah penggerak pasukan Ahzab pada Perang Khandaq. Ini berarti kali yang keempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi umat Yahudi agar kita mengetahui bagaimana sejarah hitam umat Yahudi dan dendam mereka yang sangat mendalam terhadap Islam.

Pasukan Berangkat

Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 sahabat yang ikut di Hudaibiyah berangkat menuju Khaibar. Telah kita ketahui bahwa sepulang mereka dari Hudaibiyah Allah menurunkan ayat sebagai janji kemenangan dari-Nya dan perintah untuk memerangi Yahudi di Khaibar dalam firman-Nya:

“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)

Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjanjikan harta rampasan (ghanimah) yang banyak kepada kaum muslimin, sebagai pendahuluannya adalah harta rampasan yang mereka peroleh pada Perang Khaibar itu. Adapun orang-orang badui atau munafik tatkala mereka mengetahui para sahabat akan menang dan mendapat rampasan perang, maka mereka untuk ikut dalam peperangan tersebut supaya mendapat bagian dari ghanimah maka Allah berfirman,

“Orang-orang Badui yang tinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, “Biarkan kami, niscaya kami mengikuti kamu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)

Demikian itu karena Allah telah mengkhususkan rampasan Perang Khaibar sebagai balasan jihad, kesabaran, dan keikhlasan para sahabat yang ikut di Hudaibiyah saja.

Para sahabat berangkat dengan penuh keyakinan dan besar hati terhadap janji Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang paling kokoh dan kuat dengan benteng berlapis dan persenjataan serta kesiapan perang yang mapan. Mereka berjalan sambil bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara tinggi hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan memerintahkan agar merendahkan suara sebab Allah Maha Dekat, bersama kalian, tidak tuli, dan tidak jauh. (Bukhari: 4205)

Sebelum subuh mereka tiba di halaman Khaibar, sedang Yahudi tidak mengetahuinya. Tiba-tiba ketika berangkat ke tempat kerja, mereka (orang-orang Yahudi) dikejutkan dengan keberadaan tentara; maka mereka berkata, “Ini Muhammad bersama pasukan perang.” Mereka kembali masuk ke dalam benteng dalam keadaan takut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, binasalah Khaibar. Sesungguhnya jika kami datang di tempat musuh maka hancurlah kaum tersebut.” (Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”

Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)

Perang Tanding

Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhu melawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhu melawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.

Benteng Khaibar terdiri dari tiga lapis, dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Kaum muslimin memerangi dan menguasai benteng demi benteng. Setiap kali Yahudi kalah dari pertahanan pada satu benteng, mereka berlindung dan berperang dalam benteng lainnya hingga kemenagan mutlak berada di tangan kaum muslimin.

Korban Perang

Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.

Di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (Mushonnaf Abdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)

Daging Beracun

Kaum Yahudi tidak pernah dan tidak akan berhenti dari makar buruk terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam karena tabiat mereka, sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Alquran:

“Mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Ali Imron: 112)

Tatkala mereka kalah dari Perang Khaibar dan beberapa kali upaya untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal, maka mereka bermaksud untuk membunuh beliau dengan siasat baru. Seorang wanita Yahudi berperan besar dalam makar buruk ini, yaitu memberi hadiah berupa menyuguhkan hidangan daging kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyisipkan racun yang banyak padanya.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan, daging tersebut mengabari beliau bahwa ia beracun. Maka beliau memuntahkannya. Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih mulia daripada mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memahami bahasa semut sebab ia makhluk hidup yang bernyawa memiiki mulut untuk berbicara, sedangkan sepotong daging tersebut sebagai makhluk yang mati bahkan telah matang dipanggang dengan api.

Adapun Bisri bin Baru radhiallahu ‘anhu, yang ikut makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia karena racun tersebut. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh wanita ini sebagai qishosh.

Perdamaian

Setelah umat Yahudi kalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk mengusir mereka dari Khaibar. Akan tetapi mereka memohon kepada beliau agar membiarkan mereka mengurusi pertanian dengan perjanjian bagi hasil, maka Rasulullah menerima permohonan itu dengan syarat kapan saja beliau menghendaki maka beliau berhak untuk mengusir mereka. Hingga akhirnya mereka diusir oleh Umar bin Khaththab di zaman kekhalifahannya setelah beberapa kali mereka berbuat kejahatan terhadap kaum muslimin.

Pembagian Rampasan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.

Bahaya Ghulul

Ghulul adalah mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Mid’am, seorang pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia akibat terkena panah. Maka sahabat mengatakan, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.” Mendengar ini, ada seseorang yang datang mengaku, “Ini satu atau dua tali sandal aku peroleh sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu termasuk neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Yahudi Fadak

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengauasai dan mengalahkan Khaibar maka Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi di Fadak –sebelah utara Khaibar-, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah untuk perjanjian damai dengan menyerahkan separuh bumi Fadak kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut dan beliau khususkan untuk dirinya sebab ia termasuk rampasan perang (fa’i) yang diperoleh tanpa perang (pertempuran).

Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Yahudi di Wadi Quro hingga mereka menyerah dan kalah. Mengetahui hal ini, Yahudi Taima’ juga segera berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membayar jizyah (upeti, red.)

Pelajaran

Dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan makan daging keledai piaraan.
Tampak mukjizat kenabian seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi mata Ali radhiallahu ‘anhu lalu sembuh, daging yang mengabari beliau bahwa ia mengandung racun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup tiga kali pada bekas pukulan pedang yang mengenai lutut Salah bin Akwa radhiallahu ‘anhu lalu dia tidak kesakitan setelah itu.
Boleh berdamai dengan Yahudi dalam waktu yang ditentukan dan boleh memerangi orang kafir pada bulan haram. Lihat Sirah Nabawiiyyah karya Dr. Mahdi Rizqulloh Ahmad: 479-492.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H

Artikel www.KisahMuslim.com

Rabu, 13 Juli 2016

tafsir Ar-Rahman, ayat 26-30



{كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (27) فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (28) يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ (29) فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (30) }
Semua yang ada di bumi itu akan binasa, Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Allah Swt. menceritakan bahwa semua penduduk bumi ini kelak akan pergi meninggalkannya dan semuanya akan mati, begitu pula semua penduduk langit, terkecuali siapa yang dikehendaki oleh Allah. Dan tiada yang kekal selain dari Zat Allah Yang Mahamulia, karena sesungguhnya Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahasuci tidak mati, bahkan hidup kekal dan selamanya tidak mati. Qatadah mengatakan bahwa dalam hal ini Allah Swt. menceritakan tentang apa yang telah diciptakan-Nya, kemudian Dia memberitahukan bahwa semuanya itu akan binasa dan mati. Di dalam doa yang ma-sur disebutkan seperti berikut:
يَا حَيُّ، يَا قَيُّومُ، يَا بديع السموات وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَلَا إِلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ
Wahai (Tuhan) Yang Hidup Kekal Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, wahai (Tuhan) Pencipta langit dan bumi, wahai (Tuhan) yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, dengan memohon rahmat-Mu kami meminta pertolongan, perbaikilah bagi kami semua urusan kami, dan janganlah Engkau serahkan diri kami kepada hawa nafsu kami barang sekejap mata pun, dan jangan pula kepada seseorang dari makhluk-Mu.
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa apabila Anda membaca firman-Nya:
{كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ}
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. (Ar-Rahman: 26)
Maka janganlah Anda diam sebelum membaca firman-Nya:
{وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ}
Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Ar-Rahman: 27)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ}
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Al-Qashash: 88)
Melalui ayat ini Allah Swt. menerangkan sifat Zat-Nya Yang Mahamulia, bahwa Dia adalah Tuhan Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Dia adalah Tuhan yang harus diagungkan dan tidak boleh durhaka terhadap-Nya, dan Tuhan yang harus ditaati tidak boleh ditentang. Semakna pula dengan ayat lainnya yang menyebutkan:
{وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ}
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridaan-Nya. (Al-Kahfi: 28)
Semakna pula dengan firman-Nya yang menceritakan tentang orang-orang yang selalu berbuat kebajikan:
{إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ}
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah mengharapkan keridaan Allah. (Al-Insan: 9)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna zuljalali wal ikram ialah Tuhan Yang mempunyai kebesaran dan keagungan.
Setelah Allah Swt. menyebutkan bahwa semua penduduk bumi mati, dan bahwa mereka akan dikembalikan ke negeri akhirat, lalu Allah Yang memiliki kebesaran dan keagungan memutuskan mereka dengan hukum­Nya yang adil, maka berfirmanlah Dia dalam ayat berikutnya:
{فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ}
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 28)
Adapun firman Allah Swt.:
{يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ}
Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (Ar-Rahman: 29)
Ayat ini menceritakan tentang ketidakperluan Allah dari selain-Nya dan bahwa semua makhluk berhajat kepada-Nya dalam semua waktu, dan bahwa mereka selalu meminta kepada-Nya dengan ungkapan lisan dan perbuatan mereka. Dan bahwa setiap waktu Dia selalu dalam kesibukan.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ubaid ibnu Umair sehubungan dengan makna firman-Nya: Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (Ar-Rahman: 29) Bahwa di antara kesibukan-Nya ialah memperkenankan orang yang berdoa atau memberi orang yang meminta atau membebaskan kesulitan orang yang dalam kesulitan atau menyembuhkan orang yang sakit.
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Allah Swt. setiap waktu memperkenankan orang yang berdoa, melenyapkan kesulitan, memperkenankan orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat), dan mengampuni dosa.
Qatadah mengatakan bahwa tiada seorang pun dari penduduk langit dan bumi yang tidak berhajat kepada-Nya; Dialah Yang menghidupkan dan Dialah Yang mematikan, Dia menumbuhkan yang kecil dan membebaskan tawanan, Dia adalah tujuan terakhir dari semua keperluan orang-orang yang saleh dan tempat mereka meminta pertolongan dan mengadu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Us'man, dari Suwaid ibnu Jabalah Al-Fazzari yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan kalian setiap waktu berada dalam kesibukan, Dia memerdekakan budak, Dia memberi yang berharap dan menimpakan hukuman.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الغُزّي، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ بَكْرٍ السَّكْسكي، حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ عَبْدَةَ بْنِ رَبَاحٍ الْغَسَّانِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مُنِيبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُنِيبٍ الْأَزْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ} ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا ذَاكَ الشَّأْنُ؟ قَالَ: "أَنْ يَغْفِرَ ذَنْبًا، وَيُفَرِّجَ كَرْبًا، وَيَرْفَعَ قَوْمًا، وَيَضَعَ آخَرِينَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Muhammad ibnu Amr Al-Gazi, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Bakr As-Suksuki, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Abdah ibnu Rabah Al-Gassani, dari ayahnya, dari Munib ibnu Abdullah ibnu Munib Al-Azdi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (Ar-Rahman: 29) Maka kami bertanya, "Wahai Rasulullah, kesibukan apakah itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Mengampuni dosa, melenyapkan musibah, meninggikan derajat suatu kaum, dan merendahkan kaum yang lainnya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، وَسُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَاسِطِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْوَزِيرُ بْنُ صَبِيح الثَّقَفِيُّ أَبُو رَوْحٍ الدِّمَشْقِيُّ -وَالسِّيَاقُ لِهِشَامٍ-قَالَ: سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبَس، يُحَدِّثُ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ} قَالَ: "مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يَغْفِرَ ذَنْبًا، وَيُفَرِّجَ كَرْبًا، وَيَرْفَعَ قَوْمًا، وَيَضَعَ آخَرِينَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammardan Sulaiman ibnu Ahmad Al-Wasiti. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Wazir ibnu Sabih As'-Saqafi alias Abu Rauh Ad-Dimasyqi, sedangkan konteks hadis ini menurut Hisyam, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Yunus ibnu Maisarah ibnu Hulais menceritakan hadis berikut dari Ummu Darda, dari Abu Darda, dari Nabi Saw. yang telah bersabda bahwa Allah Swt. telah berfirman: Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (Ar-Rahman: 29) Lalu beliau Saw. bersabda: Termasuk kesibukan-Nya ialah mengampuni dosa, melenyapkan kesusahan, dan meninggikan derajat suatu kaum serta merendahkan derajat kaum yang lainnya.
Ibnu Asakir telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Hisyam ibnu Ammar dengan sanad yang sama, kemudian ia mengetengahkannya melalui hadis Abul Walid ibnu Syuja', dari Al-Wazir ibnu Sabih. Ia mengatakan, telah disebutkan di dalam hadis mu'allaq oleh Al-Walid ibnu Muslim, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi. dari Ummu Darda, dari Abu Darda, dari Nabi Saw., lalu disebutkan hal yang semisal. Dan ia mengatakan bahwa sanad yang sahih adalah yang pertama.
Menurut hemat kami, hadis ini telah diriwayatkan pula secara mauquf seperti yang dikomentari oleh Imam Bukhari dengan teks yang tegas. Imam Bukhari menjadikannya sebagai ucapan Abu Darda; hanya Allah­lah yang Maha Mengetahui.
قَالَ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْبَيْلَمَانِيِّ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ} ، قَالَ: "يَغْفِرُ ذَنْبًا، وَيَكْشِفُ كَرْبًا"
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Haris telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnul Bailamani, dari ayahnya, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya, "Setiap waktu Dia dalam kesibukan" (Ar-Rahman: 29). Maka beliau Saw. bersabda: Mengampuni dosa dan melenyapkan kesusahan.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Abu Hamzah As-Samali, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah Swt. telah menciptakan Lauh Mahfuz yang tercipta dari permata yang putih, kedua belah sampulnya dari yaqut merah dan qalamnya dari cahaya, dan kitabnya dari cahaya, sedangkan lebarnya sama dengan jarak antara bumi dan langit. Dia melihat kepadanya setiap hari sebanyak tiga ratus enam puluh kali pandangan, dan pada setiap kali pandangan Dia menciptakan makhluk, menghidupkan dan mematikan, dan memenangkan serta menghinakan, dan Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya.

Kronologi Pembunuhan Habil


Setelah pasangan Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawa turun ke bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan anak keturunan kepada mereka. Tidaklah Hawa melahirkan kecuali selalu kembar laki-laki dan perempuan. Diriwayatkan dari Ibnu Ihasq dalam Tafsir Baghowi dan Tafsir Al-Qurthubi bahwa Hawa melahirkan 40 anak dengan 20 kali mengandung. Wallahu a’lam.
Setelah anak keturunannya mencapai dewasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan (membolehkan) kepada Nabi Adam ‘alaihissalam untuk menikahkan salah satu dari pasangan kembar dengan salah satu dari pasangan Qabil bersama Iqlimiya yang berparas cantik, sedangkan pasangan kembar adiknya bernama Habil dan Layudha berparas kurang menarik.
Ketika Nabi Adam ‘alaihissalam hendak menikahkan mereka (Habil dengan Iqlimiya dan Qabil dengan Layudha, red.) proteslah Qabil dan membangkang dikarenakan saudara Habil jelek dan saudaranya sendiri cantik. Sehingga ia menginginkan saudara kembarnya tersebut untuk dirinya sendiri lantaran ia merasa dirinya lebih berhak atas saudara kembarnya. Berdasarkan wahyu dari Allah, Nabi Adam ‘alaihissalam memerintahkan keduanya untuk berkurban, siapa yang diterima kurbanya maka dialah yang berhak atas keutamaan (menikahi saudara kembar Qabil).

Kurban Qabil dan Habil

Qabil adalah seorang petani. Ketika diperintahkan berkurban maka ia berkurban dengan seikat gandum. Dia pilih gandum yang jelek dari tanamannya. Dia tidak peduli apakah kurbannya diterima atau tidak, karena rasa sombong dan dengki sudah menguasainya.
Sedangkan Habil seorang peternak kambing, dia pilih kambing yang muda lagi gemuk untuk berkurban. Dia berkeinginan agar kurbannya diterima di sisi Allah Ta’ala. Setelah kurban keduanya dipersembahkan, Allah Ta’ala menurunkan api berwarna putih dan dengan izin Allah api itu membawa kurban Habil (sebagai tanda bahwa kurbannya diterima) dan meninggalkan kurban Qabil.
Al-Qurthubi menukil dari Sa’id bin Jubair rahimahullah dan lainnya bahwa kambing itu diangkat ke surga dan hidup di sana hingga diturunkan lagi ke bumi untu dijadikan tebusan bagi Nabi Ismail ‘alaihissalam ketika hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Wallahu a’lam
Melihat yang demikian, di mana kurbannya tidak diterima, spontan marahlah Qabil hingga berlanjut mengancam Habil untuk membunuhnya. Walau bagaimanapun, dia tak ingin Habil menikhai saudara perempuannya. Allah Ta’ala berfirman menceritakannya dalam Surat Al-Maidah ayat 27,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceirtakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satunya dan tidak diterima dari yang lainnya. Maka berkata yang tidak diterima kurbannya, Sungguh aku akan membunuhmu. Dan berkata yang diteirma kurbannya, Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang bertakwa.’
Melihat kakaknya berniat membunuhnya, Habil tidak membela diri. Sebaliknya, dia menyerahkan dirinya dan tidak ada keinginan melawan. Dia berkata,
لَئِن بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ {28} إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوأَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَآؤُا الظَّالِمِينَ {29}
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu untuk membunuhku, sekali-kali aku tidak menggerakkan tanganku aku membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Robb sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa (pembunuhan ini) dan dosa kamu sendiri yang lain, maka kamu menjadi penghuni neraka, dan yang demkian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah: 28-29)
Habil melakukan tindakan ini karena Qabil bukanlah orang kafir melainkan pelaku maksiat, dia khawatir jika melawan akan punya keinginan seperti Qabil yakni membunuh lawannya. Ini tentu berakibat fatal, karena nanti kedua-duanya akan masuk neraka.
Tindakan ini juga seperti apa yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan, pada waktu terjadinya fitnah ia tidak melawan ketika diserang karena beliau tahu yang dihadapinya orang-orang muslim. Adapaun kepada orang kafir maka seharusnya mempertahankan diri dan melawan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Bukhari dan Muslim:
Apabila dua orang muslim berhadap-hadapan dengna pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang dibuuh keduanya masuk neraka.” Para sahabt bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau pembunuh wajar ia masuk neraka, tetapi kalau yang dibunuh apa gerangan penyababnya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dibunuh itu juga berkeinginan membunuh temannya.”
Juga dalam hadits yang shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi:
Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapat Anda (wahai Rasulullah) jika ada orang (muslim) yang masuk rumah saya lalu menggerakkan tangannya untuk membunuh saya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jadilah seperti anak Nabi Adam (ketika dibunuh ia tidak melawan).

Cara Qabil Membunuh

Diriwayatkan dalam beberapa kitab tafsir, Qabil berkeinginan kuat untuk membunuh saudaranya, Habil, sekalipun sudah diberikan nasihat dan peringatan oleh Habil sendiri.
Pada suatu hari ketika Habil sedang menggembala kambing lantas tertidur lelap, tiba-tiba datanglah Qabil dengan membawa batu lalu dengan beringas batu itu dilemparkan mengenai kepala Habil hingga memecahkannya. Riwayat lain menyatakan bahwa Habil dicekik dan digigit sebagaimama binatang buas ketika menyantap mangsanya, wallahu a’lam. Dan pada akhirnya matilah Habil karenanya.
Setelah Habil meninggal, tanpa rasa belas kasihan Qabil meninggalkan jenazahnya di tempat terbuka. Dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan kepada jenazah saudaranya karena jenazah Habil adalah yang pertama kali di atas permukaan bumi. Perbuatan Qabil ini membuahkan malapetaka yang besar bagi dirinya sendiri. Dia akan menanggung dosa dari pembunuhannya tersebut—karena ia tidak bertaubat—sekaligus dosa orang yang menirunya yakni melakukan pembunuhan dengna jalan yang tidak benar. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Tidaklah dibunuh suatu jiwa dengan zalim melainkan dosa pembunuhan itu akan ditanggungpula oleh anak Adam yang pertama (Qabil) karena dialah yang pertama memberi contoh pembunuhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Barang siapa yan gmemulai perkara baik (yang disyariatkan) maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya sampai terjadinya hari kiamat. Dan barang siapa yang memulai perkara jelek maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya sampai terjadinya hari kiamat.” (HR. Muslim)
Dalam keadaan yang demikian, Allah Ta’ala mendatangkan dua burung gagak yang sedang bertarung, salah satunya mati. Maka yang hidup mengais-ngais tanah dengan paruhnya membuat lubang untuk menanam burung gagak yang mati. Qabil mengambil pelajaran dari peristiwa itu tentang cara mengubur jenazah saudaranya.

Fawaid Kisah Pembunuhan Habil

Al-Qurtubhi mengatakan, “Hasad (dengki) adalah dosa yang pertama kali dilakukan di langit dan di bumi, di langit adlaah dengkinya iblis kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil.”
Pembunuhan termasuk dosa besar yang mengancam pelakunya masuk neraka.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 8 Tahun ke-1 Robi’ul Awwal 1429/Maret 2008

tafsir surah Al fatihah

سورة الفاتحة
(Pembukaan) Makkiyyah, 7 ayat.
Surat ini dinamakan Al-Fatihah —yakni Fatihatul Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini bacaan dalam salat dimulai. Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur ulama —seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena mereka tidak suka menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.
Al-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan.”Sesungguhnya Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan mengatakan bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya pun tidak suka menyebut surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.
Di dalam sebuah hadis sahih pada Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ "
Alhamdu lillahi rabbil 'alamina adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul 'azim.
Surat Al-Fatihah  dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ) ,  juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:
" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي "
Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdu lilldhi rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." (Hadis)
Surat Al-Fatihah disebut pula Salat, karena ia merupakan syarat di dalam salat.
Surat Al-Fatihah dinamakan pula Syifa (الشِّفَاءُ) , seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa'id secara marfu, yaitu:
" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ"
Fatihatul kitab (surat Al-Fatihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun.
Surat Al-Fatihah dikenal pula dengan nama Ruqyah (الرُّقْيَةُ), seperti yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat (yang tersengat kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Sa'id (Al-Khudri):
" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ "
Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat Al-Fatihah itu adalah ruqyah?
Asy-Sya-bi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul Qur'an (fondasi Al-Qur'an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahir rahmanir rahim.
Sufyan ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah, karena surat Al-Fatihah sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis berpredikat mursal di bawah ini:
" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "
Ummul Qur'an merupakan pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.
Surat ini dinamakan pula surat As-Salah dan Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab Kasysyaf.
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah. dan Abul Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain Madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar, dan Az-Zuhri. Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan sebanyak dua kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat pertama lebih dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:
وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانِي
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)
Abu Lais As-Samarqandi meriwayatkan bahwa separo dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan separo yang lain diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh, dinukil oleh Al-Qurtubi darinya.
Surat Al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya delapan ayat, dan Husain Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini syaz (menyendiri).
Mereka berselisih pendapat mengenai basmalah-nya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan Al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan orang dari kalangan para sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan Al-Fatihah, seperti yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat, seperti yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan hanya kepada-Nya kita percayakan.
Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113.
Imam Bukhari dalam permulaan kitab Tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab karena semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ). Mereka menamakan panji atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya dengan sebutan "umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan seorang penyair bernama Zur Rummah, yaitu:
عَلَى رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا ... جِمَاعُ أمور لا نعاصي لَهَا أَمْرَا
Pada ujung tombak itu terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam mengerjakan segala urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului semua kota lainnya. dan menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun surat ini, dinamakan "Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai dengannya, dan para sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.
Penamaan surat Al-Fatihah dengan sebutan "As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan, dinamakan demikian karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada tiap-tiap rakaat, sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya insya Allah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada mereka Ibnu Abu Zi'b dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an: Surat Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz yang sama.
وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي "
Abu Ja'far Muhammad ibnu Jarir At-Tabari mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi'b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan As-Sab'ul masani.
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ، ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ، ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي أم الكتاب"
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Musa ibnu Murdawaih mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ib-nu Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muham-mad ibnu Galib ibnu Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu Abdul Wahid Al-Mausuli. telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu lillahi rabbil 'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan bismillahir rahmanir rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah As-sab'ul mas'ani, Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.
Ad-Daruqutni meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal dengannya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka menafsirkan firman Allah Swt, "sab'an minal masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah termasuk salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi dalam pembahasan basmalah.
Al-A'masy meriwayatkan dari Ibrahim yang pernah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa engkau tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud menjawab, "Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada permulaan setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang dimaksud ialah mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup tidak diperlukan lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.
Suatu pendapat mengatakan bahwa surat Al-Fatihah merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga pendapat. Menurut pendapat lain, yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah Swt. berikut ini:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Hai orang yang berselimut. (Al-Muddatstsir: 1)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis Jabir yang sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)
Pendapat  terakhir  inilah  yang   paling   sahih,   seperti   yang   akan diterangkan nanti pada pembahasan tersendiri.

Kisah Talut dan Daud Melawan Jalut (Saul dan David Melawan Goliath dalam Bible)

Kisah Talut dan Jalut bermula ketika Bani Israil mengalami masa suram nan gelap. Pasca Nabi Musa wafat, kondisi agama mereka makin lama makin terkikis. Padahal saat Yusya bin Nun (Yosua), pengikut setia Musa, memimpin mereka, tanah Palestina dapat dengan mudah direbut.

Namun Yusya pun menemui ajal mengakhiri tugasnya menjalankan amanah Musa. Sejak itulah Bani Israil dilanda kegalauan dan keterpurukan. Sekian lama tak ada nabi diutus, mereka terlunta-lunta bagai domba tanpa pengembala.

Di tengah kekosongan kepemimpinan, masyarakat Israil mulai melupakan agama. Mereka melakukan banyak dosa bahkan membunuh para nabi yang semestinya diharapkan memimpin mereka. Kondisi mereka berubah menjadi masyarakat kafir, zalim dan durhaka. Allah pun murka sehingga mencabut kekuasaan mereka. Bani Israil diusir, tabut pun dirampas oleh musuh mereka.

Sebuah kaum yang kuat dan kejam bernama Amaliqah atau sebagian menyebut Balthata, terus saja menyerang Bani Israil. Kaum tersebu menahan para pembesar Bani Israel, menculik anak-anak, mengambil alih kawasan taklukan mereka kemudian menarik upeti semena-mena. Saat itu benar-benar menjadi bencana hebat dan sengsara yang amat bagi Bani Israil. Kaum penjajah tersebut dipimpin oleh seorang berperawakan raksasa dari Dinasti Bukhtanashar bernama Jalut (Goliath).

Di tengah penindasan, Bani Israil pun mengharapkan Allah mengutus seorang nabi yang akan menyelamatkan mereka. Padahal sebelumnya mereka selalu membunuh para nabi, hingga tak tersisa keturunan Lawi yang dipercaya Bani Israil sebagai marga yang layak menjadi pemimpin mereka. Satu-satunya keturunan Lawi yang tersisa dan dapat diharapkan hanyalah seorang wanita bernama Hubla.

Bani Israil pun melindunginya agar dapat melahirkan anak calon nabi mereka. Hubla pun terus berdoa disaat kehamilannya agar dapat memiliki seorang putra. Allah pun memenuhi doa sang wanita shalihah tersebut. Lahirlah anak laki-laki yang kemudian oleh ibunya diberi nama Shammil (Samuel) atau Syamwil atau Sham'un, yang artinya Allah telah mendengar permohonan saya.

Singkat cerita, Shammil pun kemudian diutus Allah untuk mengemban risalah para nabi. Kepada Shammil, Bani Israil berharap dapat mengakhiri penindasan kaum Amaliqah. Hingga suatu hari, Bani Israil meminta Shammil mengangkat seorang pemimpin untuk mereka berjihad di jalan Allah melawan penindasan.  Mereka berkata kepada Shamil, "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami dapat berperang di bawah pimpinannya di jalan Allah."

Mendengarnya, Shammil tak lantas percaya. Ia meragukan Bani Israil yang memang gemar membangkang. Ia pun menjawab, "Bisa jadi saat kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak mau berperang," ujar sang nabi. Namun Bani Israil ngotot dan ingin permintaan mereka terpenuhi, "Bagaimana mungkin kami enggan berperang di jalan Allah, padahal kami telah terusir?!" seru mereka.
Shammil pun menengadahkan tangannya, berdoa meminta Allah mengutus seorang raja yang akan memimpin Bani Israil. Allah pun memberinya petunjuk. Di pagi hari, seorang pemuda tampan, gagah perkasa, shalih dan cerdas, bernama Talut (Saul) tengah mencari keledainya di depan rumah Shammil. Tiba-tiba, Shammil mendapati tanda dari tanduk binatang dan tongkatnya.
Allah memberi petunjuk pada Shammil bahwa orang yang akan menjadi raja ialah yang tinggi badannya setinggi tongkat tersebut dan mampu membuat minyak dalam tanduk binatang mendidih. Ketika Talut memasuki rumah Shammil, minyak dalam tanduk tersebut mendidih. Shammil pun mengukur tinggi badannya didapati seukuran tongkat. Nabi Shammil pun yakin, Talut lah yang akan memimpin Bani Israil.

Namun saat Shammil mengumumkan Talut akan menjadi pemimpin Bani Israil, serta merta bangsa Yahudi itu menolak. Pasalnya, Talut hanyalah seorang pengembala miskin. Ia bukan keturunan Lawi bin Yakub bukan pula keturunan Yahuza bin Yakub. Lawi dan Yahuza merupakan saudara Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub bin Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim. Keturunan tersebut diyakini Bani Israil sebagai rumpun para nabi dan raja yang memimpin kaum mereka, keturunan Lawi sebagai nabi dan keturunan Yehuda sebagai raja. Padahal berdasarkan silsilah, Talut masih keturunan Yakub.

Ia merupakan keturunan Bunyamin bin Yaqub, adik laki-laki Yusuf yang shalih. Namun tetap saja, Bani Israil menolak Talut menjadi pemimpin mereka. "Bagaimana mungkin seorang pengembala miskin menjadi raja kami, bagaimana mungkin kami dipimpin bukan dari keturunan Yehuda. Bagaimana mungkin Talut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya," desus mereka kesal.

Nabi Shammil pun menjawab ringan, "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Tentu, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Namun Bani Israil tetap menolak. Hingga akhirnya Shammil pun menjanjikan sebuah bukti bahwa Talut lah yang diperintahkan Allah untuk memimpin Bani Israil. "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun. Sungguh itu menjadi tanda bagimu, jika kamu memang beriman," tutur Shammil.

Tabut merupaka peti kayu berlapis emas tempat menyimpan Taurat. Tabut yang diyakini Bani Israil membawa ketenangan dan kemakmuran tersebut tersebut direbut musuh yang menindas dan menguasai wilayah mereka. Lalu terbuktilah tanda tersebut, malaikat membawa Tabut tersebut dan menjatuhkannya pada Bani Israil. Talut pun kemudian terbukti diutus sebagai raja Bani Israil.

Dengan segera, Talut mengumpulkan keuatan Bani Israil untuk melawan kelompok penindas pimpinan Jalut. Talut pun memilih 80 ribu pemuda sebagai prajuritnya. Mereka berbaris dengan perlatan lengkap dan berangkat untuk memerangi tentara Jalut. Jalanan sahara membuat pasukan begitu lelah dan sangat kehausan. Di tengah perjalanan, Allah menguji pasukan Talut dengan sungai yang mengalir diantara Yordania dan Palestina.
Talut telah mewanti-wanti agar pasukannya tak meminum air sungai tersebut kecuali seciduk tangan saja untuk menghilangkan dahaga. "Sungguh Allah akan menguji kalian dengan sungai. Siapapun yang meminum air dari sungai itu maka ia tidak akan menemaniku," ujar Jalut. 
Namun nafsu menguasai sebagian besar pasukan Talut. Mereka pun melanggar perintah pemimpin mereka dengan meminum air sungai tersebut sepuas-puasnya. Dari 70 ribu pasukan, hanya sekitar 300an orang saja yang mematuhi Talut.
Mereka terdiri dari orang-orang shalih, salah satu diantara mereka ialah Daud (David) yang saat itu belum diangkat sebagai seorang nabiyullah.

Dengan berat, Talut pun melanjutkan perjalanan hanya dengan 300 prajurit. Paukan lain yang tamak meminum air sebanyak-banyaknya tersebut menjadi pucat dan takut berperang. Dengan jumlah yang minim, mereka maju berperang melawan pasukan Jalut yang bertubuh besar dan perkasa.
Dibawah komando Talut, pasukan tersebut pun berdoa agar diberikan kesabaran dan kemenangan, "Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir," panjat merekas ebelum terjun ke kancah pertempuran.

Dengan kehendak Allah, mereka pun mendapatkan kemenangan. Pemimpin Amaliqah, Jalut yang begitu hebat pun terbunuh. Namun bukan Talut yang berhasil membunuhnya melainkan Daud. Dikisahkan, Daud muda membunuh Jalut dengan ketapel yang selalu dia bawa sebagai senjata. Tiga buah batu meluncur ke kepala Jalut hingga menewaskannya.
Menurut cerita, tiga batu tersebut bukanlah batu biasa. Selama perjalanan menuju medan peperangan, Daud mengambil tiga batu satu per satu karena batu-batu itulah yang meminta untuk dipungut. "Daud, bawalah kami ikut serta," ujar batu pertama. Setelah beberapa jarak, batu kedua pun mengucap hal sama, demikian pun batu ketiga. Daud mengambil batu tersebut dan menyimpannya. Hingga di tengah kancah pertempuran, batu itu beraksi membunuh raja Jalut yang kejam yang telah menyiksa Bani Israil.

Sebelumnya, Talut pernah berjanji barangsiapa yang berhasil membunuh Jalut maka akan dinikahkan dengan putrinya serta memberinya separuh kepemimpinan kerajaan Bani Israil. Daud pun mendapat bonus hadiah tersebut. Hingga usia Daud mencapai 40 tahun, Talut meregang nyawa. Daud pun menggantikan posisi Talut menjadi raja Bani Israil. Tak hanya itu, Allah pun mengutusnya sebagai nabi dan Rasul serta diturunkan kepadanya kitab suci Zabur.

Serangkaian kisah Shammil (Samuel), Talut (Saul), Jalut (Goliath) dan Daud (Davidh) tersebut dikabarkan dalam Al-Qur'an surah Al Baqarah ayat 246 hingga 251. Kisah tersebut pun terdapat dalam Al-Kitab dengan pemaparan kisah yang teramat panjang. Bible mengisahkannya secara panjang lebar, namun inti kisah tak jauh berbeda seperti yang termaktub dalam Al-Qur'an meski dalam beberapa hal terjadi perbedaan.
Untuk penjelasan kisah lebih rinci, Muslimin dapat merujuk buku tafsir yang juga menjelaskan kisah tersebut lebih rinci sesuai riwayat Rasulullah dari para shahabat beliau. Tafsir Ath Thabari pun memaparkan kisah tersebut hingga berpuluh halaman. Dalam tafsir Ibnu Katsir pun kisah tersebut tak luput. Beliau juga mengisahkannya dalam Kitab Stories of The Prophet Tafsir Ibn Katsir.

Dengan demikian, dapat dipastikan kebenaran kisah Talut dan Jalut tersebut. Bahkan kisah tersebut juga masuk dalam sejarah masyarakat Arab, terlepas kebenaran rincian kisah yang beragam dikalangan Muslimin dan Ahli Kitab. Meski demikian, Allah telah menyatakan dipenghujung kisah ayat tersebut bahwa kisah tersebut adalah nyata terjadi diantara diantara kehidupan para nabi, dan Rasulullah mengisahkannya tanpa mengada-ada dan tanpa mencontek kitab sebelumnya.
"Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu (Rasulullah) benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus," (Qs. Al Baqarah 252)

Mujahidah: Khaulah binti Azwar Al-Kindi, Wanita Pedang Allah (1)

Khaulah binti Azwar Al-Kindi merupakan wanita pemberani dan mahir mengendarai kuda. Ia tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan dan mujahidah yang terkemuka, dan dijuluki wanita pedang Allah. Keberaniannya disejajarkan dengan "Sang Pedang Allah", Khalid bin Walid.

Khaulah turut serta dalam berbagai pertempuran dengan pasukan Muslimin. Termasuk dalam peperangan melawan Romawi. Dalam peperangan melawan Romawi, Dharar bin Al-Azwar, saudara Khaulah tertangkap pasukan musuh. Maka Khalid bin Walid dan pasukannya bertekad menyelamatkan Dharar.

Di tengah perjalanan, Khalid bertemu dengan seorang anggota pasukan berkuda yang membawa tombak. Tidak ada yang terlihat dari anggota tubuhnya kecuali matanya saja. Dia berkuda dengan cepat seorang diri tanpa memedulikan apa yang terjadi di belakangnya.

Ketika Khalid melihat anggota pasukan tersebut, dia berkata,”Sungguh hebat, siapa anggota pasukan berkuda itu? Demi Allah, sungguh dia adalah seorang anggota pasukan berkuda.”

Khalid dan anggota pasukannya terus membuntuti orang tersebut hingga sampai batas pertahanan pasukan Romawi. Sesampainya di sana, sosok berkuda nan misterius langsung menyerang dan berusaha menerobos barisan mereka. Dia berteriak hingga teriakannya itu memporak-porandakan pasukan Romawi. Hanya dalam satu kali putaran, dia sudah keluar dalam keadaan tombaknya sudah berlumuran darah. Dia telah berhasil membunuh dan merobohkan sejumlah pasukan.

Kaum Muslimin ragu siapakah gerangan ksatria ini. Rafi’ bin Amirah berkata," Tentunya ksatria ini sebanding dengan keberanian Khalid bin Walid."

Kemudian Khalid mengawasi pasukannya satu persatu. Lalu Rafi’ berkata lagi, "Siapakah ksatria yang maju mendahuluimu. Sungguh dia telah mempertaruhkan jiwanya dan darahnya?"

"Demi Allah, aku juga tidak mengenalnya. Sungguh apa yang diperbuatnya telah membuat diriku takjub," kata Khalid.

"Wahai panglima," kata Rafi', "Sesungguhnya dia menceburkan dirinya ke tengah-tengah pasukan Romawi menikam ke kanan dan ke kiri."

Khalid kemudin berkata, "Wahai seluruh kaum Muslimin, bawalah seluruh kekuatanmu dan bantulah orang yang bertempur itu membela agama Allah. Lepaskanlah segala kelemahan dan bangunlah kekuatan!"

Ketika pasukan Muslimin sedang berbincang-bincang, tiba-tiba anggota pasukan
berkuda itu datang. Dia bak sang bintang yang bersinar. Kudanya berjalan mengikuti jejaknya. Ketika ada yang berusaha mendekatinya, dia berusaha menghindar dan menempelkan tombaknya ke dada orang yang ingin mendekatinya. Hal itu terus dilakukan hingga dia sampai di barisan kaum Muslimin.

Kaum Muslimin pun langsung mengelilinginya. Mereka meminta kepadanya untuk memberitahukan namanya dan membuka penutup kepalanya, tetapi orang itu tak mau menjawabnya.

Setelah Khalid mengulangi permintaannya berkali-kali, akhirnya orang itu mau menjawab perkataan Khalid, dalam keadaan masih memakai penutup kepala. "Wahai pimpinan kami, sesungguhnya alasan mengapa aku tidak mau memperlihatkan diriku kepadamu adalah karena aku malu kepadamu. Engkau adalah seorang pimpinan yang agung, sementara aku hanyalah seorang wanita lemah yang harus tertutup. Sesungguhnya aku melakukan hal ini karena hatiku terbakar dan merasa sakit hati.”

"Lalu siapa engkau sebenarnya?” tanya Khalid.

Orang itu menjawab, "Aku adalah Khaulah binti al-Azwar. Tadinya aku sedang bersama wanita-wanita dari kaumku, tetapi tiba-tiba seorang datang memberitahuku bahwa saudara lelakiku telah ditahan oleh pasukan musuh. Maka aku pun segera menaiki kuda, lalu melakukan apa yang telah engkau lihat.”

Mendengar itu, Khalid dan para tentaranya berteriak, lalu melakukan penyerangan. Khaulah juga ikut melakukan penyerangan bersama mereka. Ia pun terus ikut berjihad hingga saudara laki-lakinya dapat diselamatkan.

KHAULAH BINTI TSA’LABAH RADHIYALLAHU ANHUMA (WANITA YANG DI DENGAR KELUHANNYA DARI LANGIT KETUJUH)


          Wanita mulia ini bernama Khaulah bintu Malik bin Tsa’labah bin Ashram bin Fahr bin Tsa’labah bin Ghannam bin ‘Auf bin ‘Amr al Anshariyah al Khazrajiyah. Ia adalah isteri dari Aus bin ash Shamit, seorang wanita yang mengajukan gugatan (kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum) zhihar yang dilakukan oleh suaminya terhadapnya. Maka Allah menurunkan ayat-ayat pertama dalam surat al Mujadilah berkaitan dengan permasalahan wanita ini.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata : Segala puji bagi Allah Yang pendengaranNya meliputi segenap suara. Sungguh telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan aku berada di tepi rumah. Wanita itu mengeluhkan (sikap) suaminya, dan (sebagian) ucapannya yang bisa aku dengar. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat
قَدْ سَمِعَ الهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى الهِl وَالهُs يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ الهَl سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [ Al Mujadalah / 58:1] [1].
Khaulah mengisahkan,”Demi Allah, dalam (permasalahan)ku dan Aus bin ash Shamit, Allah Azza wa Jalla telah menurunkan awal ayat surat al Mujadilah. Kala itu, statusku adalah isterinya. Ia seorang laki-laki yang telah renta, perangainya telah berubah menjadi kasar dan suka membentak. Suatu hari, ia menemuiku. Kala itu aku membantahnya dengan sesuatu. Ia pun marah, lantas berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku,”[2] lalu ia keluar dan duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya.
Beberapa saat kemudian ia masuk menemuiku, dan saat itu ia menginginkan diriku. Kukatakan kepadanya,”Sekali-kali tidak. Demi Dzat Yang jiwa Khaulah berada dalam genggamanNya. Janganlah engkau mendekatiku. Engkau telah mengucapkan apa yang telah kau ucapkan, sampai Allah memutuskan hukumNya dalam permasalahan kita,” lantas ia melompat hendak menangkapku. Aku pun menghindar darinya dan berusaha melawan dengan kekuatan seorang wanita menghadapi lelaki tua lagi lemah. Aku berhasil mendorong tubuhnya dariku. Kemudian aku keluar menemui tetangga wanitaku dan meminjam bajunya. Aku pergi menemui Rasulullah, lalu duduk di hadapannya. Aku ceritakan apa yang aku hadapai dengan suamiku, mengeluh kepada beliau tentang perilaku kasar suamiku.[3]
Rasulullah berkata,”Wahai Khuwailah, anak pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua, maka bertaqwalah engkau kepada Allah terhadap suamimu.”
Aku berkata,”Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al Qur`an. Ketika itu Rasulullah diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau. Lalu beliau berkata kepadaku,”Wahai, Khuwailah. Allah telah menurunkan firmanNya tentang permasalahanmu dan suamimu.” Beliau membaca ayat … -yaitu surat al Mujadalah / 58 ayat 1-4,.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,”Perintahkan kepadanya, agar ia membebaskan seorang budak”.
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memilki seorang budak”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkata,”Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memiliki kurma sebanyak itu.”
Akhirnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.”
Aku berkata,”Aku juga, wahai Rasulullah. Aku akan membantunya dengan sekeranjang lagi.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu. Dan berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik,” maka aku pun melakukan perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Para sahabat juga mengakui keutamaan dan keberanian wanita mulia ini dalam kebenaran, sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat diam mendengarkan perkataannya, sebagai penghormatan terhadap wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah.
Sebagai contoh, suatu hari Umar bin al Khaththab keluar bersama orang-orang. Lalu ia melewati seorang wanita tua. Wanita itu meminta ‘Umar untuk berhenti. ‘Umar pun berhenti, dan mereka berdua bercakap-cakap.
Seseorang berkata kepada Umar,”Wahai, Amirul Mu’minin, engkau menahan (perjalanan) orang-orang karena wanita tua ini.”
Mendengar seruan itu, ‘Umar menjawabnya : “Celakalah engkau! Tidakkah engkau tahu, siapa wanita ini? Dialah wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah dari langit ke tujuh. Wanita ini adalah Khaulah bintu Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentang permasalahannya : ( قَدْ سَمِعَ اللَّه… ). Demi Allah, seandainya ia menahanku sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat, kemudian aku menemuinya lagi”.
Juga diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata : ‘Umar bin al Khaththab keluar dari masjid dan al Jarud al ‘Abdi sedang bersamanya. Tiba-tiba ada seorang wanita di tepi jalan. ‘Umar mengucapkan salam kepadanya, dan wanita itu menjawabnya.
Wanita itu berkata,”Wahai ‘Umar, dulu aku menemuimu saat engkau masih bernama Umair di pasar ‘Ukazh. Engkau menakut-nakuti anak-anak dengan tongkatmu. Hingga hari berlalu dan namamu berganti ‘Umar. Dan masa terus berlalu hingga engkau menjadi seorang Amirul Mu’minin. Maka bertaqwalah kepada Allah terhadap rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa yang takut ancaman Allah, dia akan merasakan bahwa siksa Allah itu amat dekat. Dan barangsiapa yang takut terhadap kematian, maka kematian itu pasti tidak akan luput darinya”.
Mendengar pembicaraan wanitu itu, al Jarud kemudian menimpalinya : “Sungguh engkau telah memperbanyak ucapan terhadap Amirul Mu’minin, wahai wanita”.
Tetapi ‘Umar justru berkata,”Biarkanlah ia! Tidakkah engkau mengenalinya? Wanita ini adalah Khaulah bintu Hakim, isteri Aus bin ash Shamit yang telah Allah dengar ucapannya dari atas langit yang ke tujuh. Maka ‘Umar sangat lebih layak untuk mendengar perkataannya.”[5]
Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaanNya kepada Khaulah bintu Tsa’labah. (Hanin Ummu Abdillah)
(Sumber : ar Rijal wan-Nisaa` Haula ar Rasul, halaman 352-356, karya ‘Athif Shabir Syahin, Darul-Ghadul-Jadid, Mesir, Cet. I, Tahun 1424 H/2003 M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab at Tauhid, bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah dalam muqaddimahnya, no. 188.
[2]. Pada masa jahiliyah, azh zhihar merupakan salah satu bentuk thalaq.
[3]. Dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa ia (Khaulah) berkata,”Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku, aku pun telah memberinya anak. Lalu ketika usiaku telah tua dan aku sudah tidak bisa lagi memberikan anak untuknya, ia menzhiharku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepadaMu. Aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai Jibril datang membawa wahyu :( قَدْ سَمِعَ اللَّه…)”.
Dan dalam sebuah riwayat: … Maka ia (Aus bin ash Ashamit) berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku”. Dan ilaa’ serta zhihar termasuk thalaq pada masa jahiliyah. Khaulah bertanya kepada Nabi n , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,”Engkau telah haram bagi suamimu”. Khaulah berkata,”Demi Allah, ia tidak menyebutkan kata thalaq,” kemudian Khaulah berkata,”Aku mengadu kepada Allah tentang kesendirianku dan perpisahan yang dilakukan suamiku, padahal aku telah memberinya anak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Engkau telah haram bagi suamimu.” Mereka berdua terus berdiskusi sampai akhirnya turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[4]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kita at Tauhid bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah, no. 188. Ketiga-tiganya dari ‘Aisyah secara ringkas. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah dalam kitab ath Thalaq, no. 2063 dengan menyebutkan diskusi Khaulah dengan Nabi. Dan dishahihkan oleh al Hafizh al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1678, dan dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, 6/410, 411 dengan lafazh seperti ini.
[5]. Kisah ini disebutkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, 17/269, dan disebutkan juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar di dalam al Ishabah, 8/115, ia menyebutkan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khulaid bin Da’laj, sedangkan ia buruk hafalannya. Oleh karena itu, aku bawakan (kisah ini) dengan lafazh at tamridh [yakni lafazh periwayatan hadits yang lebih lemah derajatnya, seperti ruwiya (diriwayatkan) atau qiila (dikatakan), Pent.].

KISAH PERANG BADAR


Ketika Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya sampai di dekat Safra` (suatu daerah di dekat Badar); beliau mengutus Basbas dan Ady bin Abi Zaghba` ke Badar. Keduanya disuruh mencari informasi tentang Abu Sufyan dan rombongan dagangnya.[1] Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga keluar untuk tujuan ini. Keduanya bertemu dengan seseorang yang sudah tua. Rasulullah bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy. Orang tua itu mau menjawab asalkan mereka berdua memberitahu dari mana asal mereka ? Keduanya setuju. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya agar bercerita lebih dahulu. Orang itu menjelaskan bahwa ia mendengar berita tentang Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya telah berangkat pada hari ini dan ini. Jika si pembawa berita itu benar, berarti mereka sekarang sudah sampai di tempat ini dan ini. Dan jika si pembawa berita tentang pasukan Quraisy juga jujur, berarti mereka sekarang berada di tempat ini dan ini.
Setelah menyelesaikan ceritanya, orang itu bertanya: “Dari mana kalian berdua ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami berasal dari air”. Kemudian keduanya meninggalkan orang tua itu yang masih bertanya : “Dari air ? Apakah dari air Irak ?”[2]
Sore harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali, Zubair, dan Sa`d Bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhum beserta sekelompok Sahabat lainnya untuk mengumpulkan data-data tentang musuh. Di sekitar sumur Badar, rombongan ini menemukan dua orang yang bertugas mengambil air untuk pasukan Mekah. Mereka membawa dua orang ini ke Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang shalat. Lantas mereka mulai mengorek keterangan dari keduanya. Dua orang ini mengakui bahwa mereka pemberi minum pada pasukan Mekah. Namun, para Sahabat tidak mempercayai mereka. Para Sahabat mengira keduanya adalah anak buah Abu Sufyan. Lalu mereka memukuli keduanya hingga mau mengaku bahwa mereka anak buah Abu Sufyan.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan para Sahabatnya, karena mereka telah memukul keduanya saat jujur dan membiarkan mereka saat berdusta. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya tentang posisi pasukan Mekah. Mereka menjawab: “Mereka di belakang bukit di Udwatul Qushwa.”
Kemudian beliau bertanya tentang jumlah pasukan Mekah. Akan tetapi, dua orang ini tidak bisa menyebutkan jumlah pastinya, namun keduanya menyebutkan jumlah unta yang mereka sembelih setiap harinya, yaitu antara 9 sampai 10. Dari sini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpulkan bahwa jumlah mereka antara 900 – 1000 pasukan. Dua orang ini juga menyebutkan bahwa di antara pasukan itu ada beberapa tokoh Mekah. Dalam kitab Rahîqul Makhtûm disebutkan, Beliau bertanya dua orang ini, “Siapa sajakah pemuka Quraisy yang ikut?” Mereka menjawab, “Utbah dan Syaibah, keduanya anak Rabî`ah, Abul Bakhtari bin Hisyâm, Hakim bin Hizâm, Naufal bin Khuwailid, al-Hârits bin Amir, Thaîmah bin Adi, an-Nadhr bin Harits, Zam`ah bin al-Aswad, Abu Jahl bin Hisyam, Umayah bin Khalaf dan lainnya.” Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada para Sahabatnya: “Mekah telah mencampakkan para tokohnya ke hadapan kalian.”[4] Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan beberapa tempat yang akan menjadi tempat tewasnya beberapa tokoh Quraisy.
Malam itu Allah Azza wa Jalla menurunkan hujan untuk mensucikan kaum Muslimin dan meneguhkan telapak kaki mereka di atas bumi. Allah Azza wa Jalla jadikan hujan tersebut sebagai bencana yang besar bagi kaum Musyrikin.[5] Tentang ini Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ
Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu) [al-Anfâl/8:11]
Di antara nikmat Allah Azza wa Jalla kepada kaum Muslimin saat itu adalah Allah Azza wa Jalla menjadikan para Sahabat mengantuk sebagai penenteram jiwa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa pasukannya mendekati mata air Badar mendahului orang-orang Musyrik agar musuh tidak bisa menguasai mata air. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menentukan satu posisi, al-Habâb bin Mundzir Radhiyallahu anhu mengeluarkan pendapatnya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bagaimanakah pendapat anda tentang posisi ini ? Apakah posisi ini diwahyukan oleh Allah Azza wa Jalla sehingga kita tidak boleh maju atau mundur ? Ataukah ini hanya pendapat, siasat dan takti perang saja”? Beliau menjawab: “Ini hanya pendapat, siasat dan taktik perang saja.” al-Habâb Radhiyallahu anhu mengatakan : “Wahai Rasulullah, posisi ini kurang tepat, bawalah orang-orang ini ke sumur yang paling dekat dengan posisi musuh. kita kuasai sumur itu lalu yang lainnya kita rusak. Kita membuat telaga besar lalu kita penuhi air. Kemudian baru kita perangi mereka, kita bisa minum sementara mereka tidak bisa.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada al-Habâb Radhiyallahu anhu , “Engkau telah menyampaikan pendapat yang jitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya dan melakukannya.[6]
Ketika sudah menguasai tempat yang ditunjukkan oleh al-Habbab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuatkan `arisy (tenda) [7] oleh para Sahabat sebagai tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dan memantau jalannya peperangan.
Dari beberapa nash tentang perang Badar dapat dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dalam perang. Beliau tidak terus-menerus di dalam tendanya atau tidak terus-menerus berdoa. Di antara kisah yang membuktikannya adalah ucapan Ali Radhiyallahu anhu, “Aku memperhatikan diri kami pada saat Badar. Saat itu, kami berlindung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh dan orang yang paling susah.”[8] Dalam riwayat lain diceritakan, “Ketika peperangan sudah berkecamuk, kami berlindung dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang paling menderita. Tidak ada seorang pun yang lebih dekat posisinya dengan orang Musyrik dibandingkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”
Di antara buktinya juga, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya saat perang Badar, “Janganlah sekali-kali ada salah seorang di antara kalian yang maju kepada sesuatu, sampai aku berada di dekat sesuatu itu.”[9] Ibnu Katsîr [10] mengatakan, “Sungguh beliau telah berperang dengan sungguh-sungguh. Demikian pula Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Sebagaimana keduanya berjihad di tenda dengan berdo’a, mereka juga keluar, memberikan motivasi untuk berperang dan mereka juga ikut berperang dengan fisik.”
Setelah melakukan semua persiapan fisik yang memungkinan untuk mewujudkan kemenangan di lapangan, malam itu beliau bertadarru` (memohon) kepada Allah Azza wa Jalla agar menolongnya. Di antara doa yang beliau ucapkan adalah:
اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِيْ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِيْ اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الإِِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ
Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla , jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini. [HR. Muslim 3/1384 hadits no 1763]
Dalam riwayat ini juga disebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus bermunajat kepada Rabbnya hingga selendang beliau jatuh dari pundak. Abu Bakar Radhiyallahu anhu datang dan mengambil selendang tersebut kemudian meletakkan kembali di pundak beliau. Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Nabi Allah Azza wa Jalla , sudah cukup engkau bermunajat kepada Rabbmu dan Allah Azza wa Jalla pasti akan memenuhi janji-Nya.” Kemudian turunlah firman Allah Azza wa Jalla :
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu : “Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut”.[al-Anfâl/8:9]
Setelah itu Abu Bakar Radhiyallahu anhu memegang tangan beliau dan berkata, “Cukup wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , engkau telah berkali-kali memohon kepada Rabbmu”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengambil baju besi dan terjun ke medan tempur seraya membaca firman Allah Azza wa Jalla :
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang”. [al-Qamar 54 : 45]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Golongan manakah yang akan dikalahkan? Dan golongan apa yang akan dimenangkan?” Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Tatkala perang Badar aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerjang musuh dengan baju besinya, seraya mengucapkan ayat ini. Ketika itu tahulah aku maksud ayat ini.”
(Disadur dari as-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyah, hal. 342-347)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Hisyam-tanpa sanad- mungkin bagian dari hadits tentang perang badar yang shahîh- Ibnu Hisyâm 3/304
[2]. Diriwayatkan Ibnu Hisyâm dengan sanad yang terputus –Ibnu Hisyâm 2/306-307
[3]. Lihat kisahnya dalam Muslim 3/1404 hadits 1779.
[4]. Lihat ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 164
[5]. Lihatlah kabar tentang hujan ini dalam Ahmad 2/193 dan Ibnu Hisyâm 2/312
[6]. Disebutkan oleh Ibnu Hisyâm dengan sanad yang terputus-Ibnu Hisyâm 2/312-313 dan dengan sanad yang mursal mauquf pada Urwah sebagaimana dalam Ishâbah 1/302
[7]. Semacam kemah sebagai tempat untuk mengomando pasukan dan berteduh bagi panglima
[8]. Ahmad dalam Al-Musnad 2/63
[9]. HR. Muslim 3/1510 hadits no 1901. Pentahqiq kitab Jâmi’ul Ushûl (8/182) menyebutkan bahwa yang terdapatkan naskah aslinya : … sampai aku mengidzinkannya.” Sedangkan dalam naskah kitab Shahih Muslim yang dicetak : … sampai aku berada didekat sesuatu itu.”
[10]. Bidâyah Wan Nihâyah 3/306

Sejarah Perang Tabuk – Perang Terakhir Rasulullah SAW


Sejarah Perang Tabuk menjadi sejarah peperangan terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Rasulullah memimpin langsung perang yang terjadi pada 630 M atau 9 H antara tentara Muslim dan pasukan Bizantium (Romawi Timur). Memang, tidak ada pertempuran yang terjadi kerena diadakan perundingan diantara keduanya. Namun pada perang ini lah umat Islam diuji, apakah mereka mau bersatu untuk berperang membela agama Allah, atau malah menikmati kekayaan yang saat itu sedang mereka rasakan.

Pasukan Binzantium awalnya percaya diri dengan 100 ribu pasukan lebih. Hal ini membuat Rasulullah SAW menurunkan 30 ribu pasukan. Jumlah ini menjadi jumlah pasukan terbanyak yang dilalui Nabi sepanjang perang.

Para sahabat lalu menyumbangkan hartanya untuk perang kali ini. Utsman Bin Affan menyedekahkan 900 Unta, 100 kuda dan 1000 Dinar. Abdurahman bin Auf yang menyumbang 200 uqiyah perak, yang satu uqiyah sama dengan 40 dirham, tak lupa Umar Bin Khattab yang menyumbang setengah hartanya, juga Abu Bakar yang seluruh hartanya untuk peperangan ini.

Ternyata ada saja kaum munafik yang saat itu memilih untuk tetep tinggal di Madinah yang saat itu sedang menikamati panen raya. Akhirnya yang tinggal adalah kaum munafik, orang-orang udzur, wanita, anak-anak dan sebagian kecil sahabat yang tak mendapatkan tunggangan padahal mereka sangat ingin berperang. Tiga sahabat Rasulullah juga memilih untuk tinggal menikmati kenikmatan dunia ketimbang ikut berperang. Salah satunya adalah Ka’ab Bin Malik.

Perjalanan untuk menempuh perang pun dimulai. Rasulullah SAW dan pasukan kemudian meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka lakoni juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir yang diatas rata-rata. Perang  ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW tidak menemukan satu pun kaum musrikin. Romawi dan sekutunya merasa takut dan kuatir setelah mendengar Rasulullah SAW menggalang pasukan. Mereka berpencar ke batas-batas wilayahnya.

Rasulullah SAW menghabiskan 10  hari Tabuk. Namun Ia tidak tinggal diam begitu saja, ekspedisi ini dimanfaatkan Nabi Muhammad SAW untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk dan menyebarkan ajaran Islam.

Rasulullah SAW didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka yang kemudian mereka pegang. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi. Setelah 30  hari meninggalkan Madinah, akhirnya umat Islam kembali tanpa terjadi peperangan.

Kisah Hanzhalah bin Abu Amir Pejuang Islam yang Dimandikan Malaikat

       Kenikmatan dunia tidak sebanding nikmatnya menghadap sang Khalik dalam keaaan syahid. Begitulah prinsip yang dipegang oleh salah seorang sahabat Rosulullah saw, Hanzhalah Bin Abu Amir
Ia pemuda sedehana. Namun berkat ajaran suci Rosulullah saw, juga latar belakangnya yang bersahaja, ia pun tumbuh menjadi sosok yang tidak pernah minder, dn gampang putus asa. Ia tek pernah merasa gentar kala harus membela kebenaran risalah suci yang dibawa Nabi saw.
Pribadinya juga istimewa, karena Hanzhalah adalah Abu Amir Bin Syafy, yang biasa dipanggil Abu Amir. Abu Amir merupakan salah satu tokoh pemuka suku Aus pasa masa jahiliyah. Ketika ajaran islam mulai menerangi Madinah, t4empat ia tinggal, ia berada di garis terdepan barisan kaum penentang. Tak heran, Rosulullah saw menyebut Abu Amir dengan panggilan “Si Fasik”.
Abu Amir kemudian memilih meninggalkan Madinah agar bias menghindari seruan islam yang dibawa Rosulullah saw, sekaligus mencari teman yang bias diajak menumpahkan dendam. Ia pun bergabung dengan kaum kafir Quraisy pimpinan Abu Shufyan. Di tengah-tengah kaum Quraisy Makkah ini Abu Amir gencar melancarkan propaganda tentang perlunya membendung tumbuh-kembangnya islam, serta memusuhi Rosulullah saw
Sementara itu de Madinah dalam keadan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mengetahui rencana penyerangan pasukan Abu Shufyan. Madinah genting.
Dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati melangsungkan pernikahan. Sungguh tindakannya utu merupakan gambaransosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.
Sebagaimana layaknya pengantin baru, malam pertama Hanzhalah pun dilewati dengan penuh kebahagiaan. Penuh cinta, kasih sayang juga kemesraan. Semua itu seakan menjadi bumbu penyedap di setiap degup jantung di malam indah yang tidak mengharapkan pagi segera datang. Memng, saat seperti itu, hal-hal yang sebelumnya diharamkan bagi seorang laki-laki dan perempuan, berubah menjadi halal. Bahkan berpahala besar. Sebanding sengan membunuh 70 Yahudi!
Ketika kedua insane itu tengah asyik bercengkrama memadu kasih, tiba-tiba dari kejahuan terdengar seruan. Suara itu lama-lama terdengar makin keras. “Hayya’alal jihad, hayya’alal jihad…,” kian semangat.
Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinga Hanzhalah dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang ia nanti-nanti. Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri, kemudian bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Sejurus kemudian ia lari menuju medan perang.
Di daerah Uhud kaum muslimin mempertaruhkan nyaqwa menghadapi pasukan Abu Shufyan. Di gurun pasir yang kering dan tandus itu Hanzalah mencabut pedangnya lalu berkelebat mencari mangsa. Dengan gagah berani ia terobos pasukan musuh, yang jumlah mereka lebih banyak dari pasukan kaum muslimin. Satu persatu tubuh orang Quraisy terluka bersimbah darah dan juga tewas berkalang tanah terkena sabetan pedang Hanzhalah.
Kemahirannya bertempur benar-benar terbukti di perang Uhud ini. Hanzhalah bahkan berhasil menerobos brikade pasukan pengawal Abu Shufyan. Ia pun berhadap-hadapan langsung dengan tokoh Quraisy yang satu itu.
Menurut kesaksian bebrapa orang, Hanzhalah bertarung sengit melawa Abu Shufyan. Bahkan ia tampak lebih unggul dan hamper meraih kemenangan. Sejengkal lagi pedangnya yang tajam hendak menebas tubuh Abu Shufyan, pada saat itu juga, Syadad bin al-Aswad, seorang tokoh Quraisy lainnya, tiba-tiba menikam Hanzhalah dari belakang. Sengguh tindakan seorang pengecut. Cara bertarung yang tidak jantan. Namun semua sudah ditakdirkan Allah SWT, sang pengantin baru itu pun gugur sebagai syuhada.Hanzhalah meninggal dengan senyum penuh kemenangan.
Perang Uhud memang mengakibatkan kerugian besar bagi umat islam. Salah satunya adalah gugurnya Hamzah bin Abu Mutholib, pelindung Nabi saw dan pembela islam yang gigih. Termasuk Hanzhalah dan para sahabat yang lainnya.
Saat Rosulullah saw dan para sahabat lainnya melakukan pengecekan jenazah, beliau menemukan jasad Hanzhalah. Betapa beliau terkejut, atas ijin Allah SWT, beliau melihat jasad Hanzhalah tengah dimandikan para malaikat. Sebuah peristiwa yang belum pernah beliau saksikan sebelumnya.
Peristiwa luar biasa itu pun beliau kabarakan kepeda para sahabat. Membuat Abu Sa’ad as-Saidi penasaran dan mendekati jasad Hanzhalah, hendak mencari tahu banyak. Kedua matanya pun terbelalak. Ia melihat ada bekas tetesan air di kepala jenazah Hanzhalah yang menyunggingkan senyum itu.
Apa yang terjadi pada jenazah Hanzhalah itu memebuat para sahabat bertanya-tanya. Di rumah Hanzhalah, seorang sahabat menceritakan peristiwa tersebut kepada istri Hanzhalah. Perempuan shalihah yang cantik dan anggun itu pun menjawab, “Dia pergi ke medan perang ketika mendengar seruan jihad. Padahal pada waktu itu dia masih dalam keadaan junub.”
Rosulullah pun menjelaskan, “Sebab itulah ia dimandikan para malaikat.”
Hanzhalah bin Abu Amir kemudian dikenal dengan sebutan “Ghoisulmalaikat”    (orang yang dimandikan para malaikat)

Rabu, 25 Mei 2016

TES BL;OG

SERATUS MUJAIR

bukti cinta nabi Muhammad SAW kepada umatnya



    Hadis riwayat Aisyah ra., istri Nabi saw. ia berkata: Bila hari berangin dan mendung wajah Rasulullah saw. tampak Gelisah, mondar-mandir. Dan bila hujan turun, beliau berseri-seri dan hilanglah kegelisahan itu. Aisyah berkata: Aku menanyakan hal itu kepada beliau. Beliau menjawab: Aku sangat khawatir hujan itu akan menjadi azab yang menimpa umatku. Jika melihat hujan turun beliau berkata: (Hujan adalah) rahmat. (Shahih Muslim No.1495) li>

hadis " haram puasa wishal(tanpa buka dan sahur)



    Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Nabi saw. melarang puasa sambung (terus-menerus tanpa berbuka). Para sahabat bertanya: Bukankah baginda sendiri melakukan puasa wishal? Nabi saw. menjawab: Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum. (Shahih Muslim No.1844) li>

hadis "waktu berbuka puasa"



    Hadis riwayat Abdullah bin Abu Aufa ra., ia berkata: Kami pernah bepergian bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadan. Ketika matahari terbenam, beliau bersabda: Wahai fulan, singgahlah dan siapkanlah hidangan buat kami! Orang yang disuruh berkata: Wahai Rasulullah, bukankah sebaiknya baginda tangguhkan sebentar? Rasulullah saw. bersabda: Singgahlah dan siapkan hidangan buat kami! Kemudian ia singgah dan menyiapkan hidangan, lalu ia memberikannya kepada beliau. Nabi saw. meminumnya, kemudian bersabda sambil memberikan isyarat kedua tangannya: Jika matahari sudah terbenam di arah sana dan malam sudah datang dari arah sana, maka orang yang berpuasa boleh berbuka. (Shahih Muslim No.1842) li>