Pages

Subscribe:

Senin, 28 April 2014

Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma

Kisah ini berawal dari seorang resi muda yang telah berhasil membantu para dewa dalam menumpas kerusuhan bangsa Jin Banujan di kahyangan Suralaya. Tersebutlah Bambang Anggana Putra dari pertapaan Argabelah, putra kedua Resi Jaladara dari pertapaan Dewasana dengan dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magadha. Atas jasa-jasanya itulah Anggana Putra mendapat anugerah dari Batara Guru, yaitu diperkenankan menikahi salah seorang bidadari kahyangan Maniloka
Di istana Jonggring Salaka, kahyangan Suralaya Maniloka, para dewa sesangga jawata duduk di paseban agung menunggu sabda Raja Triloka. Sementara di dampar kencana Mercupunda, Sanghyang Tengguru atau juga yang dikenal dengan nama Sanghyang Manikmaya, Jagatnata, Batara Guru, bersabda.
"Anggana Putra, sesuai janjiku padamu, atas jasa-jasamu dalam menumpas kerusuhan di kahyangan Suralaya, maka aku akan menganugerahkanmu seorang bidadari untuk kau persunting. Pilihlah olehmu salah seorang diantara para bidadari Maniloka ini".
Mendapatkan anugerah dan penghormatan dari raja Tribuana, Bambang Anggana Putra sangat suka cita hatinya, ia merasa tersanjung atas penghormatan yang telah diberikan kadewatan kepadanya, penghormatan dimana ia diperkenankan bebas memilih sendiri bidadari yang akan dijadikan istrinya. Bambang Anggana Putra adalah seorang yang berbudi luhur, jujur, dan polos wataknya, ia salah seorang yang memiliki darah putih, hanya saja dibalik kepribadian-kepribadiannya yang baik, sebagai manusia tetap ada satu kelemahan yang dimilikinya, yaitu sifat jenakanya yang terkadang tidak dapat menempatkan diri, ia sangat suka bersenda gurau yang pada akhirnya menyeret dia pada satu masalah yang merenggut hari-hari depannya.
"Ampun pukulun... Sungguh hamba sangat bahagia mendapat anugerah pukulun, seperti yang pukulun tawarkan kepada hamba memilih salah seorang bidadari Maniloka untuk dipersunting, namun melihat para bidadari penghuni Maniloka ini yang semuanya berparas jelita membuat hamba tidak mampu menentukan pilihan, akan tetapi walaupun begitu, sesungguhnya hamba pernah mengagumi salah seorang diantara mereka".
"Siapakah gerangan Anggana Putra? Aku telah memberimu kesempatan untukmu”.
"Jika pukulun tidak keberatan, pilihan hamba jatuh pada dewi Uma, bidadari yang selama ini hamba kagumi".
Seperti ada halilintar menghantam dampar kencana Mercupunda, tubuh Batara Guru bergetar, mukanya merah padam, hatinya menjadi panas sepanas kawah Candradimuka. Semua para dewa terkesiap mendengar ucapan Bambang Anggana Putra.
"Samudra madu kupersembahkan untukmu, namun sebaliknya kau memberi cawan yang berisi racun kepadaku. Lancang ucapmu, Anggana Putra". Batara Guru tidak dapat menahan amarahnya, ia sangat tersinggung dengan ucapan Anggana Putra yang telah dianggap menodai kewibawaannya sebagai Raja Tribuana. Betapa tidak, dewi Uma adalah kameswari Suralaya, ia adalah kekasih hati dan permaisuri Sanghyang Guru sendiri.
Melihat gelagat yang kurang mengenakan, Anggana Putra segera menjura hormat.
“Ampun pukulun… Maafkan ucapan hamba tadi, sebenarnya hamba tidak bermaksud menghina kewibawaan paduka, hamba hanya bermaksud bersenda gurau karena pukulun menyuruh hamba memilih salah seorang bidadari penghuni Maniloka tanpa pengecualian, maka hamba mengguraui pukulun, sebab dewi Uma sendiri adalah bidadari penghuni Maniloka. Mohon pukulun memafkan sifat jenaka hamba”.
Mungkin mudah memadamkan api yang sedang membakar, tetapi sangat sulit meredakan api kemarahan dalam hati. Kemarahan tidak pernah timbul tanpa alasan, walau alasan itu tidak selamanya benar. Dan alasan apapun yang dikatakan Anggana Putra tidak mampu meredam kemarahan Sanghyang Guru.
"Sifatmu sangat tidak terpuji, kau tidak memiliki tatakrama. Hai putra Jaladara! Kau telah menodai kewibawaanku, sungguh tidak pantas seorang resi sepertimu memiliki sifat demikian, kau tidak ubahnya seperti Duruwiksa (raksasa yang bertabiat biadab)”.
Sekecap sabda Raja Triloka, sabda yang dilambari sir aji kemayan seketika merubah wujud Bambang Anggana Putra. Sirna kerupawanannya berubah bentuk menjadi raksasa. Para dewa sesangga jawata geger melihat perubahan wujud Bambang Anggana Putra.
"Ampun pukulun... Mohon pukulun mempertimbangkan kesalahan hamba dengan hukuman yang pukulun jatuhkan kepada hamba. Mohon kembalikan wujud hamba". Anggana Putra merasa sedih melihat perubahan dirinya.
"Ludah telah dibuang pantang kujilat kembali. Sabdaku adalah hukum. Pulanglah kau ke pertapaanmu. Sesuai janjiku, aku akan memberikan seorang bidadari untukmu, tetapi aku akan menunjuk dewi Darmastuti sebagai istrimu, ia akan menemani hari-harimu di Argabelah, namun kelak jika dewi Darmastuti melahirkan seorang anak, maka ia akan kembali pulang ke kahyangan”.
Batara Narada tertegun mendengar sabda Raja Tribuana, ia sangat prihatin dengan keadaan Bambang Anggana Putra. "Oladalaa... Adi Guru, tidak cukupkah hukuman yang kau berikan? Setelah wujudnya kau rubah menjadi raksasa, kebahagiaannya pun kau renggut. Pertimbangkan kebijaksanaanmu. Jagalah hati dan pikiranmu dari nafsu amarahmu agar sabdamu tidak selalu bertindak lebih cepat dari pikiranmu”.
Batara Guru menganggap semuanya sudah terlanjur, tidak dapat dirubah lagi. Anggana Putra sangat sedih, ia tidak menyangka akan mendapat hukuman sedemikian rupa. Setelah melakukan penghormatan yang terakhir kalinya, Anggana Putra lalu pergi meninggalkan kadewatan Suralaya menuju Argabelah.
Sepeninggalnya Bambang Anggana Putra, ternyata Batara Guru masih menyimpan dendam. Diam-diam ia masuk ke dalam perut bumi, menembus Sapta Pertala (lapisan bumi ketujuh). Disana ia mengambil selongsong kulit Raja Naga Hyang Antaboga yang mengalami pergantian kulit setiap 1000 tahun sekali. Dengan kesaktiannya selongsongan kulit Raja Naga itu dicipta menjadi Taksaka (naga) yang sangat sakti mandraguna. Saktinya Taksaka karena Batara Guru telah memasukan sukma Candrabhirawa yang telah ditangkapnya saat melayang-layang mencari penitisan. Taksaka lalu dititahnya untuk menghadang perjalanan Bambang Anggana Putra dengan maksud membinasakannya. Taksaka segera melesat secepat kilat tatit menyusuri lapisan-lapisan bumi, mengejar Bambang Anggana Putra.
Tidak berapa lama ketika Anggana Putra masih melayang di udara hendak dalam perjalanan pulang, Taksaka yang memiliki kecepatan luar biasa telah sampai mengejarnya, ia melesat cepat keluar dari dasar bumi dan segera menyergap tubuh Bambang Anggana Putra. Tubuh Anggana Putra diterkam dan dibanting dari atas udara. Anggana Putra luruh jatuh menghantam bumi, menghancurkan bebatuan cadas gunung. Tidak sampai disitu, Takasaka kembali memburu Anggana Putra yang saat itu segera bangkit. Secepat tatit Taksaka kembali menyerangnya dengan menyemburkan wisa upas/racun dan api yang keluar dari mulutnya. Api berkobar diseantero pertarungan mereka, wisa racun melepuh meleburkan batu-batu dan tanah yang terkena semburannya. Akan tetapi, racun-racun itu tidak mampu mematikan tubuh Anggana Putra, api pun tidak mampu membakarnya. Bambang Anggana Putra digjaya, tubuhnya tidak cidera sama sekali.
Perang tanding Anggana Putra melawan Taksaka berlangsung hebat. Beberapa kali Taksaka melilit tubuh Anggana Putra dan hendak menghancur luluhkan tulang-tulangnya, tapi tubuh raksasa itu seperti memiliki kekuatan yang melebihi pasukan gajah Erawati. Hingga pada akhirnya, sang Taksaka tidak mampu menandingi kesaktian Anggana Putra. Taksaka ditangkap, mulutnya dirobek hingga kepalanya terbelah menjadi dua. Lenyap wujud Taksaka tanpa bekas, berubah menjadi sosok raksasa.
Raksasa jelmaan Taksaka itu merangsak maju menyerang Anggana Putra. Dua raksasa mengadu kesaktian, mengadu kedigjayaan, saling pukul, saling dorong, dan saling banting. Untuk beberapa saat pertempuran diantara keduanya seperti seimbang, sama-sama tangkas dan cekatan, namun namun pada satu kesempatan putra Resi Jaladara itu berhasil melukai dan membunuh musuhnya. Ajaib! Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa jelmaan Taksaka, dari setiap darahnya yang membasahi rerumputan, bebatuan, dan benda apapun akan berubah wujud menjadi raksasa yang besar dan bentuknya sangat sama satu antara lainnya. Belum habis rasa heran Anggana Putra, raksasa-raksasa itu menyerangnya. Anggana Putra dikepung, dikeroyok, dan diserang dari segala penjuru. Anggana Putra berusaha melawan, akan tetapi setiap ia mampu melukai dan membunuh raksasa-raksasa itu, maka tetesan darah mereka berubah menjadi raksasa. Semakin banyak raksasa itu terlukai, maka tetesan darahnya menjadi raksasa yang jumlahnya kian bertambah banyak dari sebelumnya, mati satu tumbuh seribu. Karena merasa terdesak, Anggana Putra segera melompat jauh menghindari kepungan bala raksasa. Dari tempat yang jauh Anggan Putra segera melakukan meditasi, mengheningkan cipta, merapatkan kedua tangannya menguncupkan seluruh panca indranya, sidakep sinuku tunggal. Melalui wisik ghaib yang diterimanya, Anggana Putra diharuskan tidak melawan, meredam segala nafsunya, menyatukan cipta dan rasa, menunjukan jati dirinya sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhnya darah putih. Semilir angin berhembus halus keluar dari setiap lubang tubuhnya, memancar cahaya putih dari tubuhnya, tubuh Anggana Putra murub ngebyar memancarkan cahaya. Saat raksasa-raksasa mengejar, dan mulai berdatangan mendekat, seketika raksasa-raksasa itu sirna melebur menjadi satu, sirna wujud berubah menjadi cahaya."Bopo resi, ampun bopo resi… Aku, Candrabhirawa tidak sanggup melawanmu karena engkau adalah seorang yang dialiri darah putih, untuk itu perkenankan aku mengabdi kepadamu bopo resi... Jika kau membutuhkan aku panggilah aku, Candrabhirawa." Sekelebat cahaya Candrabhirawa merasuk menyusup ke gua garba, meraga sukma menjadi satu dengan Bambang Anggana Putra. Demikian Candrabhirawa akan mengabdi kepada manusia berdarah putih, seperti sebelumnya di jaman Arjuna Sasrabahu, ia mengabdi kepada Sukasrana, dan kini ia kembali mengabdi kepada seorang berdarah putih, Anggana Putra titisan Sukasrana.
Hari-hari selanjutnya, sesuai janji Sanghyang Otipati, dewi Darmastuti turun dari kahyangan. Sang dewi kemudian diperistri oleh Bambang Anggana Putra, mereka hidup rukun saling mengasihi dan menyayangi. Walau bentuk dan rupa Bambang Anggana Putra kini adalah sosok seorang raksasa, tetapi dewi Darmastuti sangat menyintainya, sangat patuh dan berbakti kepada suaminya. Mahligai cinta diantara mereka kian tumbuh merekah seperti mekarnya bunga hingga benih-benih cinta itu kemudian berbuah melahirkan seorang anak.
Anggana Putra dan dewi Darmastuti merasa bahagia karena cinta mereka telah melahirkan seorang putri jelita yang kecantikannya telah mewarisi kecantikan ibunya. Namun kebahagiaan mereka berangsur surut ketika teringat sabda Batara Guru, bahwa kelak sang dewi akan kembali pulang ke kahyangan setelah ia melahirkan seorang anak. Anggana Putra sangat sedih karena ia akan kehilangan istri yang sangat dicintai, begitu pun dengan dewi Darmastuti yang harus meninggalkan bayi kecilnya. Kebahagiaan mereka seperti direnggut paksa, direnggut oleh sebuah dendam, dendam yang tak kunjung padam.
Hari-hari dilalui Anggana Putra bersama putri kecilnya, Pujawati. Ia membesarkan Pujawati dengan cinta dan kasih. Keteguhan hatinya membuat para dewa dewi penghuni kahyangan merasa terharu, kecuali Sanghyang Guru yang masih menaruh dendam kepadanya. Oleh sebab itu Batara Narada menamakannya Bagaspati yang berarti matahari. Matahari yang bersinar terhadap bumi. Begitulah Bagaspati kepada putrinya, ia menyinari, menumbuh kembangkan semangat, memberikan penghidupan serta melindungi dengan penuh kasih sayang.
Mandaraka
Tersebutlah sebuah kerajaan Mandaraka, negeri nan gemah ripah loh jinawi, subur makmur tata tentrem kerta raharja. Negeri Mandaraka dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Mandrapati dengan permaisurinya dewi Tejawati. Prabu Mandrapati memiliki dua orang anak yang pertama seorang putra bernama Bambang Narasoma, dan yang kedua adalah seorang putri bernama dewi Madrim.
Alkisah Prabu Mandrapati mengundang putranya, Bambang Narasoma untuk membicarakan masalah pernikahan putranya. Sudah sangat lama sang prabu memendam rasa mengidam-idamkan seorang cucu dari putra mahkotanya, namun hingga sampai saat itu Narasoma masih juga belum berkeinginan untuk membina rumah tangga. Walau sang prabu sudah sering membujuknya, bahkan menawarkan perjodohan dengan putri-putri anak raja dan bangsawan yang menjadi sahabatnya, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus.
"Ayahanda prabu, bukannya ananda menolak maksud baik ayahanda, bukan pula ananda tidak berkeinginan untuk menikah, tetapi sampai saat ini ananda masih belum menemukan seorang wanita yang sangat ananda idam-idamkan, yaitu seorang wanita yang mirip seperti ibunda ratu”.
Ungkapan Narasoma membuat Prabu Mandrapati tersentak kaget, ia menganggap putranya telah durhaka karena menyukai ibunya sendiri, padahal sebenarnya maksud Narasoma adalah kemiripan kepribadiannya, sifat-sifatnya, lemah lembut, kasih sayang terhadap anak dan setia kepada suami, hanya saja tatkala ungkapan hati Narasoma belum tuntas diutarakan Prabu Mandrapati sudah menuduhnya yang bukan-bukan dengan disertai amarah terlebih dahulu. Karena murkanya, Prabu Mandrapati mengusir Narasoma dari istana. Ia tidak memperkenankan putranya pulang sebelum mendapatkan seorang wanita untuk dijadikan permaisuri.
Sebenarnya Narasoma adalah anak yang baik, berbakti kepada orangtua. Dalam kesehariannya, ia sangat dekat dengan ibu dan adiknya, bercengkerama dengan mereka, dan lebih banyak mencurahkan perasaan hatinya kepada mereka, maka dari itu Narasoma sangat menyayangi ibu dan adiknya. Kepada mereka Narasoma berjanji akan pulang kembali ke Mandaraka setelah nanti mendapatkan wanita yang menjadi dambaan hatinya. Sebelum pergi meninggalkan istana, Narasoma sempat menjenguk ibu dan adiknya di wisma Mandaraka, ia menceritakan semua kesalah pahaman ayahandanya. Dewi Tejawati dan dewi Madrim sangat prihatin, sebab mereka sangat memahami apa yang dimaksudkan oleh Narasoma.
Dalam pengembaraannya ada banyak hal yang ditemui di luar istana. Ia begitu merasa bebas seperti burung yang terbang sesuka hati, tanpa ada aturan-aturan istana yang dirasakannya sangat membelenggu dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dari sini ia dapat melatih diri dan mencari pengalaman baru, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dari alam lingkungan sekitar yang dipijaknya sebagai gudang dari segala ilmu, agar kelak dirinya menjadi lebih matang sebelum dinobatkan menjadi seorang raja.
Kita tinggalkan sejenak perjalanan pengembaraan Narasoma, beralih kepada Resi Bagaspati bersama putri tercintanya, dewi Pujawati.
Sementara waktu berputar digaris edarnya, di pertapaan Argabelah, Pujawati telah tumbuh menjadi gadis dewasa, wajahnya cantik jelita tidak berbeda dengan para bidadari hapsari penghuni kahyangan Maniloka. Tidak sia-sia Bagaspati mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap Pujawati, sebab ia tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti dan sangat patuh kepada ayahnya. Suatu hari Pujawati bermimpi dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang kesatria tampan yang mampu merebut simpatiknya. Mimpi itu kerap terjadi berulang-ulang membuat Pujawati jatuh rindu. Ada harapan tumbuh di dalam hati, dara jelita penghuni hutan Argabelah ini mendamba cinta, hingga hari-harinya larut dalam lamunan. Melihat putri tercinta sering melamun seorang diri, Bagaspati menjadi sangat prihatin. Apakah Pujawati merindukan ibunya? Sungguh malang nasib si buah hati jika benar-benar sangat merindukan pertemuan dengan ibunya, dari kecil ia tidak pernah melihat paras ayu ibunya, ia hanya mendengar dongeng dan dongeng kisah ibunya sebelum tertidur, sambil mendekap erat golek-golek kayu akar pohon, memejamkan kedua mata indahnya, dan lalu menggapai mimpi-mimpi indahnya bersama putri raja dan pangeran. Begitu yang tersirat dalam pikiran Resi Bagaspati.
"Putriku Pujawati, ada apakah gerangan yang mengganggu hati dan pikiranmu sehingga beberapa hari ini bopo sering melihamu melamun? Katakanlah putriku. Bopo sangat sedih jika melihatmu seperti itu. Apakah kau merindukan ibumu?"
Pujawati menggeleng pelan. "Ananda tidak sedang merindukan ibu, bopo resi. Ananda tahu, mungkin ananda tidak akan pernah dapat bertemu dengannya, seperti yang pernah bopo ceritakan. Ananda pun telah merelakannya. Bagi ananda, bopo resi sudah lebih dari cukup mewakili kasih sayangnya."
"Lalu apa yang menjadi rasa gundahmu, putriku?"
Pujawati yang lugu, akhirnya berterus terang. Ia menceritakan segala ihwal mimpinya, mimpi bertemu dengan seorang lesatria yang mengaku bernama Narasoma dari negeri Mandaraka, kini kesatria itu telah mengganggu relung-relung hatinya. Bagaspati terharu tapi juga bahagia mendengar ungkapan sang putri, tidak disangka walau ia hanya seorang gadis gunung, hidupnya di tengah hutan belantara, namun di hatinya telah tumbuh cinta, lumrahnya seorang manusia normal. Walau Pujawati merindukan pangeran yang hadir lewat bunga-bunga tidurnya, Bagaspati yakin itu adalah takdir perjodohan yang telah digariskan. Bagaspati berjanji kepada putrinya untuk mencari kesatria itu, di ujung dunia pun akan ia cari dan akan dibawanya pulang untuk dipersembahkan kepada sang putri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah sekian beberapa hari Bagaspati melayang-layang di udara mencari sosok kesatria yang digambarkan oleh putrinya, kini pencarian itu membuahkan hasil. Bagaspati bertemu dengan Narasoma dalam sebuah perjalanan pengembaraannya. Bagaspati menceritakan ihwal mimpi putrinya kepada Narasoma, dan menyimpulkan bahwa mimpi itu mungkin saja telah menjadi takdir perjodohan diantara mereka. Sang resi mengajak Narasoma untuk ikut ke pertapaan Argabelah. Di atas punggung kudanya dengan jumawa putra Mandaraka menolak.
“Cuih! Siapa sudi menikah dengan raksasa!”
Bagaspati meyakinkan bahwa putrinya sangat cantik jelita, sebab ia adalah keturunan seorang bidadari hapsari, ibunya adalah seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi semua ucapan Bagaspati sedikit pun tidak membuat Narasoma percaya, siapapun tidak akan percaya seorang raksasa mempunyai anak seorang putri cantik jelita, begitu pikirnya. Tetapi karena Bagaspati terus menerus mendesak agar dirinya ikut serta ke Argabelah, dan hal tersebut dianggap sebagai paksaan, maka Narasoma menjadi marah. Siang itu cuaca sangat cerah. Matahari memancarkan sinarnya tatkala putra Mandaraka melepaskan panah-panah saktinya. Panah-panah itu berdesingan menghujani tubuh Bagaspati. Sang resi tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia membiarkan anak-anak panah itu mengenai sasarannya dengan tepat.
Trak! Trak!
Tidak satupun panah Narasoma mampu menembus kulit tubuh Bagaspati. Narasoma semakin marah, menganggap raksasa dihadapannya sedang memamerkan ilmu kekebalan, maka dengan sigap ia melayang dari atas kudanya, menerjang Resi Bagaspati. Pertempuran terjadi cukup hebat, Narasoma cukup mumpuni dalam hal kanuragan, ia seorang kesatria pilih tanding yang cukup disegani diantara kesatria-kesatria negara sahabatnya. Akan tetapi Bagaspati tidak melayaninya dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak ingin Narasoma yang menjadi pujaan hati putrinya terluka. Setelah cukup bagi Bagaspati untuk menguji calon menantunya ini, ia pun segera mengakhiri pertarungan, dengan pukulan sakti ajian ginengnya, ia melumpuhkan Narasoma. Putra Mandaraka terkulai lemah tidak berdaya hingga Bagaspati memanggulnya dan membawanya ke pertapaan Argabelah.
Sesampainya di Argabelah, setelah Narasoma tersadar dari pinsannya terkesima melihat kecantikan dewi Pujawati, tidak dapat ditolak suara hatinya, bahwa ia pun jatuh cinta kepada putri Bagaspati. Mereka berdua lalu dinikahkan oleh Bagaspati. Berhari-hari Narasoma sementara itu tinggal di pertapaan Argabelah mengarungi lautan madu bersama Pujawati, istrinya yang sangat dicintai. Entah kenapa, walau hati Narasoma terasa berbunga-bunga mendapatkan seorang istri yang selama ini menjadi idamannya, tetapi hati kecilnya yang lain merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Kenapa setiap kali berdekatan dengan ayah mertuanya, ia merasa risih dan tidak betah. Dan jika ayah mertuanya menanyakan kapan Narasoma akan memboyong pulang Pujawati ke Mandaraka, Narasoma selalu mengelak, ia selalu beralasan masih ingin menikmati hidupnya di pegunungan Argabelah. Begitulah, setiap hari Narasoma pergi berburu menghindari Bagaspati, paling tidak agar dalam sehari-harinya ia tidak selalu berlama-lama bersanding dengan ayah mertuanya. Siang hari ia berburu, malamnya baru pulang. Sebenarnya Pujawati merasa sangat kesepian, karena ia masih ingin bercengkrama, bersenda gurau dan berkasih mesra menikmati siang hari yang indah di bukit nan penuh bunga, di pegunungan Argabelah. Begitupun yang dirasakan Bagaspati. Sang resi sangat prihatin dengan sikap menantunya yang sering meninggalkan putrinya seorang diri, karena hari-hari itu seharusnya milik mereka, hari-hari bahagia dimana seorang pasutri berkasih mesra. Dan ketika Bagaspati mencoba menawarkan diri melakukan perburuan, Narasoma selalu menolak. Padahal Bagaspati merasa senang jika ia dapat memberikan sesuatu untuk kebahagiaan mereka.
Pada suatu hari seperti biasanya Narasoma melakukan perburuan di hutan sekitar pegunungan Argabelah. Di tengah hutan belantara itu Narasoma sering merenung sendiri, ada perasaan gundah, bingung, kepada siapa harus ia curahkan isi hatinya itu, pada Pujawati? Tidak mungkin. Ia tidak bisa mengatakannya kepada Pujawati. Ia sangat menyayangi istrinya, ia tidak mau melukai hatinya. Menjelang sore hari Narasoma tidak mendapatkan hewan buruan sebab hari itu ia habiskan dalam lamunan kegelisahan hatinya. Ia memutuskan untuk bermalam di tengah hutan sampai esok hari kembali melakukan perburuan, walau perburuan hewan hutan itu hanya sebagai alasan saja tetapi Narasoma tidak ingin melihat istrinya menjadi kecewa setelah beberapa lama pergi namun tidak mendapat hasil tangkapan.
Malam yang dingin dan pekatnya hutan tidak mampu tertembus cahaya bulan. Malam itu Narasoma melihat bayangan seekor babi hutan yang sedang mengendap di rerimbunan tanaman liar. Ia mencoba membidikan anak panahnya, membangkitkan kepekaan naluri berburunya, dan anak panah pun melesat. Bidikan Narasoma meleset dari sasaran, babi hutan melarikan diri. Entah karena gelapnya malam yang mengganggu pandangannya, atau karena kegelisahan hati yang telah membuyarkan konsentrasinya? Narasoma mencoba mengejar babi hutan tadi, ia masuk lebih dalam ke dalam hutan. Nun tidak seberapa jauh dari tempat Narasoma melepaskan anak panahnya tadi, ada sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat pemujaan & bertapanya seorang resi. Tanpa sepengetahuan Narasoma, anak panah yang dilepasnya tadi telah melukai ibu salah satu jari tangan sang resi hingga putus. Resi pertapa sangat marah dengan perbuatan yang dilakukan seorang pemburu yang telah melukainya, ia segera mencari orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. Sang Resi menyusuri hutan namun yang dicarinya tidak ditemukan, tetapi ia terus mencari, menjelajahi hutan pegunungan Argabelah.
Pujawati duduk diserambi pondok menanti sang kekasih yang tidak kunjung pulang, sementara Bagaspati mencoba mencari menantunya, ia khawatir Narasoma tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba Pujawati dikejutkan dengan kedatangan seorang pertapa yang menunjukan anak panah, menanyakan apakah ia mengenali anak panah tersebut. Pujawati mengaku menganali anak panah tersebut adalah milik suaminya. Ada rasa was-was pada diri Pujawati, ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya. Sang pertapa sangat marah setelah mendengar pengakuan Pujawati.
“Aku ingin suamimu memotong jari tangannya untuk menggantikan jari tanganku. Jika suamimu tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mengadukannya kepada dewa Brahma agar menghukumnya!”
Dewi Pujawati sangat mencintai Narasoma, ia sangat sayang kepada suaminya, ia tidak mau suaminya terluka apalagi mendapat hukuman dari dewa Brahma. Maka, Pujawati mengajukan permohonan kepada sang pertapa. Pujawati memotong jari tangannya sendiri sebagai pertanggungjawaban perbuatan suaminya yang telah dianggap salah. Begitulah kesetiaan dewi Pujawati. Ia berani mengorbankan diri untuk keselamatan Narasoma.
Malam itu perasaan Bagaspati sangat tidak enak hingga ia memutuskan kembali pulang ke pertapaannya. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai putrinya, perasaan Bagaspati sangat peka. Ia sangat terkejut setelah melihat salah satu jari putrinya tidak lengkap, dan setelah mendengar cerita Pujawati, betapa murkanya Bagaspati kepada si pertapa, namun Bagaspati sangat terharu atas pembelaan Pujawati kepada suami. Kesetiaan Pujawati sebagai seorang istri begitu sangat terpuji hingga Bagaspati menambahkan namanya menjadi Setyawati, dewi Setyawati.
Disebuah gua di dalam hutan belantara, sang pertapa tengah bermujasmedi di depan kobaran api pemujaan, ia sangat senang karena jari tangannya kini telah terlengkapi oleh jari Pujawati, namun tiba-tiba api pemujaan sang pertapa menjadi besar membuat sang pertapa menjadi terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dalam kobaran api yang membesar itu terlihat wajah raksasa Resi Bagaspati dengan tawanya yang membahana.
“Hwahahaha… Ggrrrr… Hai pertapa! Kau boleh mengadu kepada Brahma, bahkan kepada Yamadipati sekalipun, niscaya mereka tidak akan sanggup mencabut nyawaku! Kembalikan jari tangan putriku, atau aku akan menghancurkan tempat pemujaanmu dan membunuhmu!”
Sang pertapa mengigil ketakutan, ia sangat mengenal nama Bagaspati, ia tidak mengira bahwa Pujawati adalah putri dari Bagaspati, maka tanpa syarat apapun sang pertapa segera memotong kembali jari tangan dewi Pujawati yang telah ia satukan diantara jari-jarinya. Begitulah kisah kesetiaan dewi Pujawati terhadap Narasoma hingga saat itu Narasoma sendiri memanggilnya dengan nama Setyawati, sesuai yang diberikan Bagaspati.
Setelah kejadian itu, Narasoma yang telah kembali pulang ke pertapaan, tidak lagi meninggalkan istrinya. Bagaspati senang karena akhirnya Narasoma menjalani hari-harinya kembali bersama Setyawati (Pujawati). Bagaspati kini menggantikan Narasoma mencari hewan buruan, ia mencarikan ayam hutan dan daging menjangan (rusa) untuk dihadiahkan kepada mereka. Untuk beberapa hari Narasoma memendam perasaan yang telah mengganggu pikirannya, walau pada akhirnya ganjalan hati itu tetap saja meracuninya. Pada suatu hari, dalam cengkeramanya Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada istrinya. Walau teka-teki itu ia sampaikan dengan sifat canda dan senda gurau tetapi sempat membuat Setyawati menjadi penasaran. Beberapa kali ia meminta jawaban dari teka-teki tersebut, tapi Narasoma tidak mau menjawabnya, ia hanya menyuruh Setyawati mencoba meminta jawaban kepada ayahnya.
“Bopo resi… Kanda Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada ananda, walau itu hanyalah sebuah teka-teki, namun entah mengapa hati ananda merasa gundah dan dilipur rasa penasaran. Kanda Narasoma selalu menolak tatkala ananda meminta arti dari teka-teki itu, kakanda hanya mengatakan bahwa ananda coba meminta arti tersebut kepada bopo resi”.
"Katakanlah, apa teka-teki itu putriku"
“Seperti hidangan seperiuk nasi putih hangat yang harum bagai pandan wangi, sangat nikmat untuk dirasakan, namun sayang ada satu gabah yang terselip diantara butiran nasi yang ranum itu”.
Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari sebaris kata yang disampaikan Narasoma kepada putrinya. Ia tidak menduga bahwa selama ini Narasoma menganggap dirinya hanya merusak keindahan mahligai cintanya kepada Pujawati. Pantas saja jika selama ini Narasoma selalu menghindar dan selalu beralasan untuk tidak buru-buru pulang kembali kepada orang tuanya di Mandaraka, mungkin karena dia merasa malu mempunyai mertua seorang raksasa, kasta yang selama ini dianggap paling rendah martabatnya. Sedih kembali dirasakan oleh Bagaspati, dilain pihak ia sangat mencintai putrinya, apapun akan ia berikan asal putrinya bahagia, walau nyawa yang harus jadi pertaruhannya. Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik dan merupakan akhir dari dendam Bathara Guru kepadanya.
Bagaspati berbisik kepada putri tercintanya agar segera memanggil Narasoma, dan meminta sang putri menyiapkan seperangkat peralatan upacara dan sesaji dengan alasan bahwa Ia akan menganugerahkan Narasoma aji kesaktian Candrabhirawa yang selama ini dimilikinya. Setyawati segera menuruti titah ayahandanya.
Saat Setyawati sibuk menyiapkan perlengkapan upacara, Narasoma telah menghadap Bagaspati, duduk tertunduk. Hatinya yang gelisah menyimpan tanda tanya, apa gerangan yang akan disampaikan ayah mertuanya, jantungnya terasa berdebar.
“Narasoma, bopo akan mencoba memberi jawaban atas teka-teki yang telah disampaikan Setyawati. Bopo akan menjawabnya dihadapan kalian, agar semuanya menjadi jembar, tidak ada lagi yang harus dipendam, tidak ada yang harus dipersalahkan. Selain itu bopo juga akan menganugerahkan aji kesaktian Candrabhirawa kepadamu, namun sebelum itu semua bopo minta kau berjanji. Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Jika nanti kau kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti Pegang teguhlah janjimu”.
Narasoma tidak mampu menatap Bagaspati, dengan bibir bergetar ia mencoba memaksa mulutnya untuk mengucapkan sumpah dihadapan sang resi bahari.
“Bopo resi… Demi langit dan bumi ananda bersumpah tidak akan menyia-nyiakan Setyawati. Setulus cinta ananda kepadanya, ananda akan selalu menjaganya, sehidup semati”.
Hanya itu yang mampu diucapkan Narasoma, begitu sulit bibirnya untuk berkata-kata, seperti ada beban batin yang menghimpitnya. Bagi Bagaspati, sedikit ucapan Narasoma itu telah menyejukan hatinya, menenteramkan pikirannya. Bagaspati lalu menjelaskan aji kesaktian Candrabhirawa yang akan diturunkan kepadanya. Candra yang berarti bulan dan bhirawa yang mengandung arti kegelapan bermakna ‘bulan yang menerangi kegelapan’. Bulan yang diumpamakan sebagai tempat cahayanya hati orang-orang yang arif, cahaya yang keluar dari hati memantulkan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda lainnya. Cahaya itu dapat melembutkan kerasnya hati dan pikiran manusia, sehingga dapat membentuk peradaban yang berguna bagi alam semesta, maka jadilah seseorang yang mampu menentramkan dan menyenangkan bagi sesamanya. Bagaspati mengingatkan bahwa aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Malam kian larut, bulan yang bersinar dengan bintang gumintangnya menghias malam, sementara awan hitam mulai merayap, sedikit demi sedikit gumpalannya yang hitam mulai menyaput, memupuskan cahaya rembulan. Setyawati telah datang membawa perlengkapan upacara dan sesaji, yang menurut mereka adalah upacara untuk menurunkan aji Candrabhirawa. Kain kafan dibentang, wangi dupa dan kembang menebar di ruang pesangrahan, api pancaka mulai bergemeletakan ketika Resi Bagaspati mulai melakukan mujasmedi melantunkan doa. Selanjutnya suasana hening, Bagaspati mengatupkan mulutnya, mengheningkan cipta. Di hadapannya, Narasoma mengikuti segala apa yang diperintahkan sang resi, sedangkan Setyawati hanya duduk menunggu dua orang manusia yang sangat disayanginya, tanpa mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Setyawati yang polos, Setyawati yang lugu.
Sekelebat cahaya keluar dari tubuh Bagaspati, namun cahaya itu seperti ragu untuk meninggalkan jasad sang resi. Di alam sunyaruri awang uwung suwung, alam diantara ada dan tiada, alam hening yang jauh dari segala jasad kasar, dimana saat itu hanya Bagaspati yang merasakannya;
“Candrabhirawa, keluarlah! Dihadapanku adalah ahli warisku, menyatulah kau dengannya, aku ingin pergi ke alam keabadian yang sejati. Telah tiba waktunya bagiku untuk pulang ke alam kelanggengan. Keluarlah… Candrabhirawa, ikutlah kau bersamanya, bersama menantuku, Narasoma sebagai pewaris kejayaan Candrabhirawa.”
"Bopo resi… kenapa bopo mengeluarkanku dari gua garba, bopo… Aku hanya ingin ikut dengan bopo resi, aku meragukan gua garba ahli warismu. Dia tidak memiliki darah putih sepertimu bopo…”
“Percayalah padaku, Candrabhirawa. Menantuku seorang yang baik, patuh dan berbudi luhur, cobalah menyesuaikan diri bersemayam dengannya.”
Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa. Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati. Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah

Candrabhirawa (Kisah Narasoma) Bag.2

 Dikisahkan pula Dewi Kunti yang melahirkan Karna dan Pertemuan Pandu dengan Kunti, Madrim dan Gandhari

 Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.
Narasoma dan Pujawati telah menetap di Mandaraka, kehadiran mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati. Pujawati sangat bersuka cita, kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan istana yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi Tejawati ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya, mereka selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.
Pada suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu Mandrapati memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua, seakan ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.
"Narasoma, saat ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin menikahkan putrinya, namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap dan tangguh untuk dijadikan menantu, maka dari itu ia berencana akan menggelar sayembara. Kepada siapa saja yang dapat memenangkan sayembara, Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunti Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam darah kita mengalir juga darah mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu ayahanda ingin ananda mengikuti sayembara agar jalinan kekerabatan kita menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya, ananda akan dapat memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai putra mahkota Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."
Narasoma tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan bingung, sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka Dewi Kunti akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi ia sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati, tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba menjelaskan kepada ayahandanya.
"Ampun ayahanda prabu, sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati. Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah tidak akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai seorang kesatria, ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu, bukannya ananda menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya tidak ingin menduakan Pujawati dengan siapapun."
Prabu Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau mengikuti sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih, membuat Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti kepada orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar dan punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat prihatin dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba melihat suaminya terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang selalu menangis di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun mengurusi ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi pengobatan.
Narasoma hanya bisa tertunduk di samping pembaringan ayahandanya. Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda, ibunda, adik dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung sembuh, maka Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia berbisik kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti sayembara. Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.  
Mandura (Mathura)
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari  Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Alkisah, sebenarnya sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti menerima japa mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah memberi amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang, rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.
Ketika itu Dewi Kunti sedang menyendiri di taman Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.
"Apa yang kau inginkan dariku, dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Batara Surya.
"Hamba hanya mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah membacakannya ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."
Sejak saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.
Untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunti akan melahirkan putra pertamanya dari Batara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunti melalui telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunti tetap terjaga.
Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga). Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan Hastinapura.
Salimbara (Sayembara)
Negeri Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh  mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi Kunti Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu para kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara mencoba memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada celah-celahnya.
Kegagalan para peserta sayembara sempat membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara digelar, namun belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan. Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?
Narasoma melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar, yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh, menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.
Narasoma dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang telah memenangkan pertempuran di medan perang. Setelah semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara datang tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.
"Siapa gerangan kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan, nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura. Kedatangan kami tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. ternyata kalian dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra mahkota Mandaraka."
Para putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat, namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma menahannya.
"Jika paduka berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji ketangguhan putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah tersohor keberbagai negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah disegani kawan dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang sama dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah peraturan!"
"Kalau begitu, biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunti Nalibrata telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunti."
Prabu Basukunti sangat tersinggung dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah menjadi haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir baik.
"Aku memberi kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya, maka negeri Hastina menjadi negeri taklukan Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut mendengar perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi  para kesatria Kuru masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.
"Kedatang kami ke Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang tersohor itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Baharata. Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak membekalimu?
Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya, agar sang kakak bisa menahan emosi.
"Apakah kau membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan Narasoma.
"Aku tidak pernah menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak menolak!"
Masih disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri di tengah gelanggang, gondewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman. Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.
Narasoma tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.
Saat menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma. Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura, ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan terus terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."
"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."
Keduanya lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.
Perang semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.
"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang resi membisikan langsung kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring yang terlihat menyeramkan.
"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"
Raksasa Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! setiap percik darah yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya, tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit, menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian Chandrabirawa karena akan semakin bertambah banyak.
"Duuh... ayahanda Resi Abyasa... ayahanda Bhisma... putramu keteteran menghadapi musuh-musuh ini..."
Pandu membatin. Ia merasa putus asa menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tunggal.

Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa melesat kembali masuk ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke Hastinapura.
Pandu beserta rombongan kembali melakukan perjalanan pulang ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.




Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding, tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji akan memboyong kakaknya,  Dewi Gandhari ke Hastinapura.
"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"
Hastinapura mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa dalam memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata sebagai putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.
Dewi Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri, menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.
Pandu Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Krisna Dwipayana) yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.
Sementara, Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi raja Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi lima orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa. Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.

Trigangga Takon Bapa

prabu dasamuka gusar, belum hilang kesedihan atas gugurnya adik perempuannya, Sarpakenaka, baru saja seorang teliksandinya mengabarkan bahwa Patih Alengka yang juga pamannya sendiri yaitu Prahasta telah tewas mengenaskan dengan kepala hancur setelah dipukul dengan tugu oleh Anila. Dasamuka berpikir keras bagaimana cara mengalahkan Pramu Rama Wijaya dengan wadya bala wanaranya. Belum juga mendapat ide, tiba-tiba datang seorang prajurit.

Ampun Sinuwun, di luar ada 2 orang ksatria yang ingin menghadap paduka Prabu.

“Lancang… siapa mereka yang berani-beraninya mengganggu Dasamuka?”

“Beribu ampun sinuwun, mereka terus memaksa ingin bertemu dengan paduka.  Kedua satria tersebut yang satu berwujud mengerikan mengaku bernama Bukbis alias Pertalamariam. Satunya berwujud kera putih yang masih ingusan, bernama Trigangga. Trigangga mengaku adik dari Bukbis, tapi hanya adik ketemu gede. Ketika Bukbis baru saja keluar dari laut, kediaman Dewi Urangayu, ibunya, ia melihat ada sesosok kera putih. Ketika ditanya kera putih tadi tidak tau siapa dirinya, dan tidak tau siapa orangtuanya. Oleh Bukbis kemudian diberi nama Trigangga dan diajak bersama mencari ayahnya. Menurut ibunya, Dewi Urangayu, Bukbis masih trah Alengka.”
Terdiam sejenak Rahwana.
“Suruh mereka masuk..”

Kemudian Bukbis dan Trigangga dipersilakan masuk oleh si prajurit.

“Siapa kalian berdua, dan mau apa?” Tanya Rahwana singkat.

“Begini yang mulai Prabu Dasamuka, Menurut keterangan dari Ibu saya, Dewi Urangayu, bahwa paduka adalah Bapak saya. Adik saya saya Trigangga sekarang ini juga meninggalkan ibunya untuk mencari siapa ayahnya. Menurut keyakinan saya, paduka Prabu juga adalah ayah adikku Trigangga”. Jawab Bukbis.

“Bedebah bangsat, jangan asal bicara kau.. bicara seenak udelmu. Selama ini Dasamuka gak pernah punya keturunan seperti rupamu, apalagi kethek putih adikmu itu..”

“Ampun paduka, tapi memang begitulah menurut ibu hamba, paduka lah Bapak hamba”

Dalam batin Dasamuka telah mengakui bahwa Bukbis adalah anaknya. Akal bulusnya pun bekerja. Ia ingin memperalat Bukbis dan Trigangga untuk membantunya melawan Rama. Apalagi semenjak kematian Prahasata belum lagi ada yang diangkat menjadi senapati Alengka.

“Ketahuilah , tidak bakal ada trah keturunan Dasamuka yang tidak punya kesaktian dan kelebiha, meski belum bisa menandingi orang tuanya. Maka Bukbis, agar bisa diaku anak oleh Dasamuka, apa kesaktianmu, apa kelebihanmu, buktikan kalau gak mau disebut bangsat…”

Bukbis menghaturkan sembah sungkem lalu memakai topeng baja, stelah memakai topeng mata Bukbis berubah menjadi merah seperti darah. Dari mata Bukbis bisa keluar sinar seperti api. Apa saja yang terkena sorot dari mata Bukbis akan terbakar. Bukbis mengarahkan sinar apinya ke arah Dasamuka, spontan Dasamuka kesakitan sampai-sampai terpaksa lari dari dampar kencananya.

“Cukup Bukbis, jangan teruskan. Lepas topengmu”

Bukbis melepas topengnya, dan kembali seperti semula. Dalam hati Dasamuka merasa senang karena bakal mendapat tambahan kekuatan dari Bukbis dalam perang nanti.

“Haa..haa..haaa…. Kamu memang darah dagingku ngger, kesaktian sedrajat dengan anak-anakku yang lain, Indrajit dan adik-adiknya.”

Bukbis yang sebelumnya diumpat oleh Rahwana sekarang dipeluk dengan penuh kasih.

Setelah itu pandangan Dasamuka terjutu pada Triganga. Wajah Dasamuka yang tadi tampak sumringah kini kembali memerah dengan sorot mata merah darah kepada Trigangga.

“He munyuk ingusan, ketahuilah meski sedulurmu Bukbis, sudah ku akui segabai anak, jangan kau kira, kamu juga sudah ikut diaku sebagai putra Rahwana Raja. Ooow tidak bisa, kok enak temen,  selama ini aku gak pernah merasa punya anak munyuk, apalagi jelek sepertimu..”

“Tapi Prabu, hamba ini adik dari kakangku Bukbis. Maka, bukan semestinya hamba juga termasuk putra paduka sang Yaksendra.  Sudah lama kami berdua berkelana mencari Bapa..”

“Sebenarnya Dasamuka gak bakal sudi mengakui monyet elek sepertimu menjadi anakku. Tapi ya sudah, terdiam sejenak Sang Yaksendra.. Aku baru akan mengakuimu sebagai anak setelah kamu bisa membuktikan kesaktian dan kelebihanmu. Dapat apa aku memelihara monyet yang bisanya Cuma bisa minta makan”

Dasamuka kembali terdiam, seperti memikirkan sesuatu, kemudian melanjutkan bicaranya.

“Sekali lagi, aku gak bakal mengakuimu Trigangga sebagai anak, tapi….” Dasamuka mulai memikirkan untung ruginya demi kepentingan pribadinya. “….kalo kamu bisa menyeret Ramawijaya dan Laksmana kehadapaku hidup-hidup, baru kamu boleh mengaku sebagai putra Dasamuka.”

Trigangga panas hatinya menerima tantangan dari Rahwana. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Trigangga kemudian keluar dan melesat ke Gunung Suwela. Ia ingin membuktikan kalau dia bukan sembarang kera dan bisa meringkus Rama Wijaya hidup-hidup.

Malam telah larut, ketika Trigangga menginjakkan kakinya di Suwelagiri. Pesanggrahan Suwelagiri. Banyak pasukan kera yang berjaga. Melihat keadaan seperti ini, Trigangga merasa tidak akan bisa menembus penjagaan. Trigangga kemudian merapal aji panyirep. Aji panyirep Trigangga memang oye, para pasukan kera tertidur pulas.

Sementar itu di dalam pesanggrahan, Ramawijaya sedang bersama Laksmana dan Anoman.

“Anoman, kenapa malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Aku merasa sangat ngantuk, lihatlah semua penjag sudah tertidur pulas” kata Ramawijaya pada Anoman.

“Oo Prabu, jangan-jangan nanti akan terjadi apa-apa, yang berupa bencana. Malam ini terasa indah, seperti tidak pernah terjadi sebelumnya.” Ucap Anoman dengan setengah ngantuk.

“Anoman, rasanya aku sudah tak kuat lagi menahan ngantuk. Mataku sudah tidak kuat lagi melihat keindahan malam ini dan ingin terpejam saja.”

“Tapi sebentar, untuk jaga-jaga dari hal yang tidak diinginkan, paduka berdua saya minta untuk bersedia masuk ke dalam cupu milik saya ini.”

Rama dan Laksaman hanya mengangguk meng iya kan. Rama dan Laksamana tidur pulas dalam cupu Anoman.

Sementara itu Anoman yang masih terjaga menunjukkan kekuatannya, ia merapal aji untuk melawan sirep Trigangga. Anoman lalu mengheningkan cipta memohon kepada Sang Yang Kuasa untuk diberi sebuah kurungan kaca yang kuat. Kemudia Anoman tidur dalam kurungan kaca tersebut, sementara cupu yang berisi Rama dan laksama ada di sebelahnya.

Merasa keadaan sudah aman, Trigangga mulai masuk ke pesanggrahan Suwelagiri. Ia mencari keberadaan Prabu Rama dan Laksmana tapi tidak ketemu juga. Setelah lama mencari ia hanya menemukan sebuah kurungan kaca.

Karena ingi mengetahui isi dalam kurungan tersebut, ia berniat untuk memecahkan kaca tersebut. Berkali-kali ia mencoba untuk memecahkannya dengan segenap kekuatannya tapi tak berguna, kurungan tersebut tetap utuh. Trigangga tak habis akal, ia berubah wujud dan mencari jalan masuk ke dalam kurungan tersebut dan berhasil.

Kaget bukan kepalang, si munyuk putih Trigangga, setelah mengetahui sesosok serupa dengan dirinya tidur di dalamnya. Hatinya menjerit, teringat siapa sebenarnya ayahnya yang selama ini ia cari. Apa benar Rahwana ayahnya, ataukah sebenarnya  kera putih dihadapannya adalah ayahnya.

Trigangga sendiri belum bisa memastikan, hanya bisa ikut Bukbis, kakaknya. Semakin gundah hati Trigangga dalam kurungan kaca itu, karena belum bisa menemukan yang ia cari, Ramawijaya dan Laksmana.

“Duh,, bethara linuwung, berilah hamba petunjuk. Dimanakah Ramawijaya dan Laksmana berada. Kok rekasa banget mencari Bapa..?” keluh Trigangga.

“Eee… Anoman apa kamu lupa, bukanya kamu sendiri yang meminta kami untuk masuk ke dalam cupu-mu??”  sahut Ramawijaya, ia mengira yang bicara adalah Anoman.

Girang hati Trigangga mendengar suara Rama, segera disahut cupu tersebut dan secepat kilat kembali ke Alengka. Kurungan kaca hancur ditabrak Trigangga.

Anoman gragapan terbangun karena terkena tiupan angin yang kencang. Semakin kaget ia mendapati cupu miliknya hilang, dan kurungan tempat tidur hancur berantakan.  Para pasukan wanara pun terbangun mendengar suara gaduh. Suasana hening seketika menjadi kacau ketika menyadari junjungan mereka hilang entah kemana.

Trigangga lari ke Alengka. Pasewakan Alengka menjadi ramai seiring kedatangan Trigangga dengan tangan hampa.

“Ee… monyet ra genah. Ayo minggat dari sini. Jangan sekali-kali berani datang lagi kalau hanya dengan tangan hampa tanpa hasil. Kalau tidak segera menyingkir dari hadapaku, akan segera kusuruh para prajurit mengurismu, munyuk elek..” bentak Rahwana pada Trigangga.

“Sabar sebentar, Bapa…! Sabar sebentar, Rama…!”

“Gak sudi aku kau sebut Bapa, Rama, dan tethek bengek. Mana wujudnya Rama dan Laksmana? Mana, mana bedes elek??”

“Begini, sebenarnya Trigangga sudah dapat menculik Rama dan Laksmana”

“Oh.. dasar monyet celaka. Bangsat, nyatanya apa yang bisa kau bawa kesini? Masih berani bicara seperti itu. He Bukbis, munyuk elek yang mengaku adikmu itu hajar saja sampe hancur. Tak pantas kamu punya adik seperti monyet elek itu.”

Perih hati Trigangga mendengar perkataan Rahwana, orang yang ingin diakui sebagai ayah.

“Duh sinuwun, sebenarnya Rama dan Laksmana ada di dalam cupu ini? Jawab Trigangga dengan sabar.

“Mana cupuny?? Memang dasar Rahwana gak sabaran. “Aku gak percaya sebelum manusia dua itu ada dihadapanku sekarang??” Kemudian Trigangga membuka cupu yang ia bawa, keluarlah Rama dan Laksmana.

“Haa.. Haaa. Haaa….” Rahwana ngakak.
“Apa yang aku impikan akan menjadi kenyataan, sebentar lagi akan bersanding denga Dewi SInta” ucap Rahwana sombong, lupa dengan Trigangga yang ia berhasil menculik Rama, yang berkali-kali ia umpat, ia rendahkan.

“Apa boleh sekarang hamba memanggil Bapa pada paduka?” sela Trigangga.

“Trigangga memang putraku, sejajar  dengan Indrajid, Bukbis dan lainnya. Tapi, sebentar Gus, biar Bapa mu ini bicara dengan dua manusia celaka ini” ucap Rahwana pongah. Kini pandangan Rahwana tertuju pada Rama dan Laksmana.

“Ternyata kalian berdua hanyalah satria rendah, tak punya kesaktian apa-apa yang bisa digondol oleh monyet putih Trigangga ini. Kalo kalian tidak bisa menandingi kesaktian Trigangga, kok berani-beraninya kalian akan melawanku, Rahwana Raja Prabu Dasamuka yang kondang sakti mandraguna. Ooh, kasian sekali Dewi Sinta yang berharap pada dua satria tak berguna seperti kalian”

“Dasamuka, sebab apa yang membuatmu merasa kuat dan kuasa. Trus apa hakmu merebut istri orang, dan mengorbankan, rakyat, negaramu bahkan sanak saudaramu dengan keinginan angkara murkamu??” jawab Rama tenang.

“Diam kau setan, jangan banyak cakap. Jangan kurang ajar kau didepan Dasamuka. Sudah sepantasnya Dewi Sinta menjadi permaisuriku, dan kelihatannya sudah semakin dekat saatnya aku dapat bersanding dengan Dewi Sinta.” Ujar Rahwana sombong.

“Dasamuka, sekarang aku dan Laksmana adikmu sudah menjadi tawananmu. Terserah mau kau apakan kami.” Ucap Rama menantang.

“Tak usah kau perintah, sebentar lagi akan ku akhiri riwayat hidup kalian berdua”. Kemudian Rahwana memanggil Trigangga.

“Trigangga..” yang dipanggil sedikit kaget.

“Ada perintah apa, rama?”

“Rama dan Laksmana masukkan ke dalam satu penjara. Kemudian besok pagi penggal kepala mereka di depan Dewi Sinta”

Sebenarnya Trigangga tidak tega untuk melaksanakan perintah Rahwana. Sekilas ketika memandang Rahwana, hatinya kembali bertanya-tanya, “Apa benar manusia dengan sifat angkara murka ini ayahku..”

Namun, belum juga terjawab pertanyaan itu, Trigangga kembali tersadar. Yang dia tahu sekarang dia sudah diakui sebagai putra Dasamuka.

“Trigangga, ayo cepat laksanakan perintahku”

Trigangga menghaturkan sembah, kemudian ia menyeret Rama dan Laksaman untuk dimasukkan dalam satu penjara yang letaknya agak jauh dari Kraton Alengka.

Kabar tentang ditawannya Prabu Rama beserta adik dengan cepat tersebar, dan sampai juga di Taman Argasoka tempat dimana Dewi Sinta berada. Pilu hati Sinta mendengar kabar tersebut. Rasanya tak ingin ia melihat mentari terbit esok hari, yang berarti Rama dan Laksmana akan mati.

Trijata, putri adik bungsu Rahwana yaitu Wibisana yang selama ini dengan setia menemani Dewi Sinta cepat tanggap dengan keadaan. Ia mencoba menghibur  Dewi Sinta dengan mengatakan bahwa berita itu belum tentu benar adanya.

“Maka dari itu Kusuma Dewi, Trijata akan pergi mencari tahu kebenaran berita tersebut..”

“Iya, berhati-hatilah Trijata. Jangan kau tinggalkan aku sendiri terlalu lama disini”

Berangkatlah Trijata ke penjara Alengka. Tiba-tiba di tengah perjalanan. Ada yang menyapanya.

“Berhenti dulu cah ayu, mau kemana kok sendirian..” Kaget Trijata ternyata yang menyapanya adalah Anoman.

Sebelumya Anoman juga pernah bertemu dengan Trijata ketika menjadi Duta Prabu Ramawijaya. Sejak saat itu Anoman jatuh hati kepada Trijata, wanita cantik lencir kuning yang masih keturunan (cucu) Begawan Wisrawa yang dapat menjabarkan ilmu Sastrajendrayuningrat Pangruwating Diyu itu. Bayang-bayang Trijata selalu hadir dalam benak Anoman. Namun hanya dipendamnya dalam hati, mengingat : pertama, dulu dia sedang mengemban tugas dari junjungannya Ramawijaya dan kedua merasa wujudnya hanya seekor monyet, ia merasa tidak pantas mencintai Trijata. Buyar lamunan Anoman ketika mendengar suara Trijata.

“Lho, ada apa kok sampean disini, ada keperluan apa?” Tersadar Anoman bahwa saat itu sedang menjalankan tugas yang tak ringan, yaitu untuk mencari Rama dan Laksmana yang sedang ditawan musuh.

“Kok kebeneran banget, ketemu cah ayu disini. Mendekatlah kesini biar aku bisiki sesuatu..”

Trijata mendekat, pelan-pelan Anoman berbisik ditelinga Trijata. “Gusti pepunden kami, Prabu Ramawijaya sekarang sedang ditawan dan dipenjara oleh Rahwana. Dan penjaranya itu dijaga monyet putih bernama Trigangga.”

“Terus,, mau sampean apa?” jawab Trijata dengan suara lirih, agar rumput dan dedaunanpun tak mendengar.

“Begini cah ayu, kamu pergilah ke penjara berpura-pura membawa kendi berisi air minum, sekedar untuk pelepas dahag junjungan kita Prabu Rama. Nanti aku akan masuk ke kendi itu”

Berangkatlah Trijata menuju perjara Alengka, kemudian ia melewati si kethek putih yang sedang berjaga.

“Berhenti jangan masuk. Siapapun tidak boleh masuk, apalagi mau melihat isi penjara. Tidak boleh dan tidak bisa…” cegah Trigangga.

“Mbok ya kisanak, saya diijinkan masuk sebentar saja. Saya cuma mau memberikan kendi ini untuk minum. Apa ya kisanak tidak kasihan dengan sesama, lihatlah besok mereka akan dipenggal,yang berari berakhirlah hidup mereka.”

Mendengar perkataan Trijata, sebenarnya Trigangga merasa kasian juga. Namun hanya sampai segitu aja, sedangkan tata lahire masih kukuh melaksanakan tugas yang diempan untuk tidak boleh mengijinkan siapa saja masuk ke dalam penjara.

“Jika kamu masih nekat, kamu akan menyesal..” ucap Trigangga sambil berusaha merebut paksa kendi yang dibawa Trijata.

Kendi yang jadi rebutan akhirnya jatuh dan pecah, dan keluarlah monyet putih sepura dengan Trigangga, ya.. Anoman. Tanpa di komando mereka langsung saling serang. Perang tanding adu kerasnya tulang dan kulit tak terelakkan. Ternyata keduanya memiliki kesaktian yang tak jauh beda. Pertempuran sengit sudah lama berlangsung, dan tak ada tanda-tanda siapa yang lebih unggul.

“Ee…Lole lole.. Ayo berhenti kalian, jangan bertarung lagi…” tiba-tiba datang Batara Narada dari angkasa memisah dua monyet putih yang sedang bertarung.

Serentak Anoman dan Trigangga menghentikan pertarungan, dan menghaturkan sembah kepada Batara Narada.

“Ketahuilah, ulun datang kesini ingin menyampaikan sebuah kenyataan. Dengarkanlah.
Ee.. Trigangga, sebetulnya Anoman itu ayahmu sendiri, ramamu, bapamu. Bukan siapa-siapa, Rahwana itu bukan apa-apamu. Dan kamu Anoman, Trigangga itu anakmu sendiri, ingatlah kamu saat di Goa Windu, saat itu kamu Sayempraba, ia telah memperdayamu, tanpa kau sadarari benihmu telah tertanam dalam rahimnya. Dialah Trigangga, anak Sayempraba, anakmu…”

Batara Narada kemudian kembali ke kahyangan, sementara itu monyet yang tadi beradu otot sekarang berpelukan penuh kasih sayang.

Kemudian mereka membebaskan Prabu Ramawijaya dan Laksmana yang sedang ditawan. Dan kembali ke pesanggrahan Suwelagiri. Trigangga ikut ke Suwelagiri bersama Anoman, Rama beserta adik. Sementara itu Trijata kembali ke Argasoka segera mengabarkan bahwa Prabu Rama telah berhasil dibebaskan.

Rama tidak ikut ke Argasoka dan membebaskan Sinta secara diam-diam. Ia hanya akan menyelamatkan Sinta dengan cara ksatria yaitu setelah mengalahkan Rahwana dalam medan yuda sesuai dengan aturan. Begitulah seharusnya watak seorang ksatria.

Lahirnya Kurawa (versi Jawa)







Destarastra adalah seorang kakak dari Pandu Dewanata. Desasatra memiliki kekurangan, yakni tidak dapat melihat. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi rasa hormat Pandu Dewanata kepada kakaknya tersebut. Karena saking hormatnya ia kepada kakaknya, Prabu Dewanata membawa 3 putri yang nantinya salah satu dari mereka akan dipersunting Destarastra.
3 putri tersebut yakni
  1. Dewi Kunthi,
  2. Dewi Madrim,
  3. Dewi Gendari.
Akhirnya, Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa. Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil. Namun, Destarastra merasa sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi saat itu belum juga ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara Ngastinapura ini. Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah gelisah, gundah gulana. dan bahkan hampir putus asa, Mengingat antara apa yang menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
Pendek kata, selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi, permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. bahkan Dewi Kunthi kini telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini semakin menjadi-jadi.
Ketiadamenentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan Ngastinapura yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu surya telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta empat orang abdinya menulusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampat terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air. tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui cuaca buru, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi Gendari semakin dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun. Tiba tiba saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental, berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari, karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yagn tak menentu, pecahan serta serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia pun menjerit dan mengangis histeris, lalu pingsan. Setelah itu ia lalu dibawa masuk ke Kaputren tempat kediamannya. Anehnya, setiap serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya, meminta agar Destarasta memerintahkan para abddinya untuk menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun jati.
Dengan was-was serta perasaan takut yang tertahan, maka para emban serta beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang diperintahkan Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di Ngastinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya. Binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi Ngastinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Dewi Gendari yang telah siuman dari pingsannya turun dari tempat peraduannya menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman, Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tsb, karena itu adalah puteranya. setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana.
Seluruh isi kerajaan bahagia mendengar berita tersebut.
Para Korawa (putera Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai saudara dan saudari pula. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putra lagi bernama Duskampana dan seorang putri bernama Dursala (atau Duççala atau Dussala).
Dretarastra mempunyai anak dengan seorang wanita dari kasta waisya, yang dinamakan Yuyutsu.Nama Yuyutsu dalam bahasa Sanskerta artinya ialah “yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur”.
Berbeda dengan para Korawa pada umumnya, ia tidak berbuat jahat pada para Pandawa, sepupunya. Saat perseteruan antara Pandawa dan Korawa sudah mencapai klimaks, dikeluarkanlah pengumuman untuk berperang. Yuyutsu bergabung di bawah panji-panji pasukan Korawa. Mereka berperang di Kurukshetra, India Utara.

Sesaat sebelum perang di Kurukshetra dimulai, Yudistira — yang sulung di antara Pandawa — maju ke hadapan pasukan Korawa untuk memastikan apakah ada yang berubah pikiran dan mau berpihak kepadanya. Hanya Yuyutsu yang menanggapinya, sehingga ia keluar dari barisan pasukan Korawa dan bergabung dengan pasukan Pandawa. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sementara saudaranya yang lain gugur semua di medan perang Kurukshetra.

Anoman Duta / Anoman Obong

Prabu Rama akhirnya memerintahkan kepada Anoman untuk melakukan perjalanan kenegeri Alengka. Hal ini dilakukan oleh Prabu Rama mengingat berita yang simpang siur tentang keberadaan Dewi Sinta.Pertimbangan itu diambil karena Anoman memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Sehingga apabila menghadapi musuh yang ditemuinya nanti dalam perjalanan, akan dapat diselesaikan dengan baik. Terlebih-lebih pula Anoman dapat terbang keangkasa, sehingga Prabu Rama dapat memperkirakan, perjalanan Anoman akan lebih cepat dari pada para senapati lainnya. yang lewat daratan. Apalagi perjalanan ini akan melewati samudera, dan merupakan tugas pertama menuju Alengka

Anoman berpamitan kepada Prabu Rama,untuk segera melaksanakan tugas. Namun kemudian datanglah Anggada menghadap Prabu Rama. *Anggada adalah putra Subali dengan Dewi Tara. Anggada minta Prabu Rama untuk membatalkan niatnya untuk mengutus Anoman ke Alengka. Akhirnya Anoman dan Anggada berkelahi memperebutkan tugas ke Alangka. Prabu Rama melerai keduanya agar tidak berkelahi.


Keduanya didudukkan bersama. Prabu Rama menguji kelebihan masing-masing. Prabu Rama menanyakan pada Anoman berapa lama waktu perjalanan yang ditempuh dalam melakukan tugas. Anoman menyangggupi 10 hari. Diperkirakan oleh Anoman, Kerajaan Alengka jauh letaknya, disamping itu ada kemungkinan dalam perjalanan nanti akan menghadapi mata-mata Prabu Dasamuka, yang pasti akan menghambat perjalanan berikutnya. Sedangkan Anggada menyanggupi 7 hari. Kemudian keduanya tawar menawar. Anoman menyanggupi 5 hari parjalanan menuju Alengka. Anggada tidak mau mengalah, ia menyanggupi 3 hari perjalanan menuju Alengka. Anoman akhirnya menyanggupi 1 hari. Kemudian Prabu Rama menunjuk Anoman untuk berangkat ke Alengka. Perjalanannya menuju Alengka disertai Para Punakawan, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong..

Untuk memudahkan perjalanan, para punakawan dimasukkan dalam kancing gelung Anoman. Dari penulis menginginkan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bisa terbang, mengikuti Anoman yang sedang terbang dalam perjalanannya ke Alengka, namun karena tidak lazim, ada Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bisa terbang, maka mereka saya masukkan saja dalam kancing gelung Anoman. Mereka sebenarnya bisa terbang, karena Semar adalah jelmaan Dewa, Gareng dan Petruk adalah gandarwa sedangkan Bagong adalah bayangan Semar.

Pada hari pertama perjalanannya, Anoman pergi ke kahyangan, menemui Batara Surya . Dimintanya Batara Surya mau mengikat matahari supaya tidak bergeser ke Barat. Batara Surya keberatan,dan tidak bisa menyanggupi kemauan Anoman. Anoman memaksa Batara Surya untuk memenuhi permintaannya.Maka terjadilah perkelahian antara keduanya. Semar segera melerai perkelahian mereka. Akhirnya Semar sendiri yang minta agar Batara Surya mau menuruti kehendak Anomann. Akhirnya.Batara Surya memenuhi keinginan Anoman, mengingat Semar adalah Sanghyang Ismaya adalah ayahanda Batara Surya sendiri,.Anoman meminta Batara Surya tidak melepaskan matahari sampai Anoman kembali ke Pancawati.. Batara Surya menuruti permintaan Anoman. Batara Surya mengikat matahari yang posisinya masih diatas kepala, sehingga negeri Pancawati akan mengalami siang yang berke panjang an selama Anoman dalam perjalanan.

Ditengah perjalanan di angkasa menuju Alengka, Anoman kehilangan arah. Anoman sudah berada diatas lautan Hindia. Laut luas membiru. Anoman terkejut merasa ada kekuatan besar yang menyedot tubuhnya, Tiba-tiba saja tubuh Anoman tertarik kebawah dan masuk dalam perut raksasa.Raksasa itu Wil Kataksini, yang bertugas menjaga lautan Alengka. Tubuh Anoman tidak berdaya dan berusaha keluar dari mulut raksasa Wil Kataksini.

Anoman dengan sekuat tenaga menendang-nendang dan mencakar-cakar dalam perut Wil Kataksini. Kataksini merasa dalam perutnya perih dan geli. Anoman yang ada dalam perut itu di muntahkan kembali keluar mulutnya. Setelah itu tubuh Wil Kataksini menjadi limbung, dan roboh, Wil Kataksini tewas.

Sementara itu tubuh Anoman bagaikan dibanting, Anoman jatuh terpelanting di daerah pegunungan. Anoman memperkira kan daerah Suwelagiri, sangat cocok untuk menghimpun pasukan dan menyusun pertahanan Prabu Rama dalam penyerangan ke istana Alengka atau tempat unntuk memata-matai Prajurit Alengka.

Anoman sudah tidak bisa terbang lagi. Ia melanjutkan perjalanan lewat daratan dengan tertatih-tatih. Setelah berjalan begitu lama, Anoman tidak kuat lagi. Ia jatuh pingsan. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, segera keluar dari kancing gelung Anoman. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong membawa Anoman ketempat berlindung.


Tidak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah goa, yaitu Goa Windu tempat bersemayamnya seorang pertapa wanita bernama Dewi Sayempraba. Dewi Sayempraba adalah mantan istri Prabu Dasamuka. Ia seorang bidadari. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang memapah Anoman sudah sampai dihadapan Dewi Sayempraba. Dewi Sayempraba segera menyambut kedatangan para tamunya. Setelah beberapa hari dirawat di dalam goa, Anoman sadar dari pingsannya. Ia terkejut ketika mengetahui dirinya berada di dalam istana yang megah, Anoman kagum ternyata di dalam goa terdapat istana yang megah dan indah. Ia pun melihat ada seorang dewi cantik berada dihadapannya. Anoman tertarik kecantikan Dewi Sayempraba. Selama dalam perawatan Dewi Sayempraba Anoman tidak tahu apa yang dilakukan pada dirinya.

Kelihatannya Anoman terpedaya dengan kecantikan dewi Sayempraba. Anoman dan para punakawan dijamu dengan makanan yang lezat dan minuman yang menyegarkan. Anoman dan para punakawan makan dengan lahapnya.Anoman memang lapar. Sudah lama ia pingsan jadi sudah beberapa hari tidak makan. Selesai makan minum, Anoman berpamitan mau melanjutkan perjalanan menuju Alengka. Dewi Sayempraba menghalangi Anoman, agar tidak meninggalkan Goa Windu. Sayempraba menghendaki agar Anoman bersedia memperistrinya. Anoman menolak ajakan dewi Sayempraba. Kemudian Anoman segera mengajak para punakawan meninggalkan istana Sayempraba.

Sepeninggal Anoman, Dewi Sayempraba gundah gulana. Ia kecewa Anoman tidak menanggapi cintanya. Padahal Dewi Sayempraba sangat mencintainya. Namun Dewi Sayempraba percaya, kalau Anoman akan kembali ke Goa Windu pada suatu saat.

Setelah beberapa lama berjalan meninggalkn goa. Tiba-tiba kedua mata Anoman seakan akan melihat seberkas cahaya yang sangat menyilaukan. Kemudian pandangan menjadi gelap, Anoman menjadi buta Anoman menjadi sedih, Ia merasa gagal melak sanakan tugas dari Prabu Rama. Para panakawan memapah Anoman dan mencarikan orang yang dapat mengobati sakitnya.

Anoman kelihatannya masih beruntung, agaknya tangisannya didengar oleh seekor burung garuda, yang bernama Sempati. Sempati mencoba mengobati Anoman. Sebelumnya Burung Sempati memohon dewa agar dapat menyembuhkan mata Anoman. Sempati mengobati kedua mata Anoman dengan meneteskan air liur dari paruhnya. Permohonan burung Sempati kepada dewa, agaknya dikabulkan Dewa, Anoman sembuh. Anoman sudah tidak buta lagi.

Burung Sempati menceriterakan saudaranya, Burung Jatayu, yang tewas ketika melawan Prabu Dasamuka. Burung Jatayu sebenarnya mau menyelamatkan Dewi Sinta yang diculik Prabu Dasamuka. Namun Jatayu gagal membawa Dewi Sinta ke Ayodya, karena Prabu Dasamuka, membabat kedua sayapnya dan lehernya dari belakang, sehinga burung Jatayu jatuh ke bumi.Sedangkan Dewi Sinta dapat direbut kembali oleh Prabu Dasamuka dan dibawa ke negerinya, Alengka. Beberapa saat kemudian, Jatayu pun tewas. Anoman mendengar cerita Burung Sempati menjadi semakin yakin, bahwa yang menculik Dewi Sinta adalah Prabu Dasamuka. Anoman dan para Punakawan mengucapkan terima kasih pada burung Sempati karena telah menyembuhkan Anoman dari kebutaannya. Anoman dan para Punakawan berpamitan kepada burung Sempati, untuk meneruskan perjalanannya ke negeri Alengka Oleh Anoman para Punakawan dimasukkan kembali dalam kancing gelungnya. Kemudian Anoman melesat jauh keangkasa menuju Istana Alengka. Perjalanan Anoman ke istana Alengka dirasa tidak terlalu lama lagi. Setelah beberapa saat kemudian sampailah Anoman ke Istana Alengka.


Indrajid anak Prabu Dasamuka yang sedang berjaga di luar Istana melihat sekelebatan makhluk asing yang berlalu dihadapannya. Indrajid penasaran, ia segera mencari keseluruh penjuru Istana. Anoman sekarang sudah berada di taman Asoka. Ia bersembunyi diatas pohon Nagasari yang rimbun daunnya.

Sementara itu di Kaputren taman Asoka, Prabu Dasamuka merasa kecewa, karena dewi Sinta belum mau diboyong ke dalam Istana. Prabu Dasamuka berniat memaksa dewi Sinta untuk melayani dirinya. Namun niat Prabu Dasamuka dapat diurungkan oleh Dewi Trijatha anak Wibisana, adik Prabu Dasamuka. Prabu Dasamuka meninggalkan taman Asoka dengan kecewa.

Untuk menghilangkan gundah hati Dewi Sinta, Dewi Trijatha mengajak Dewi Sinta ke taman bunga yang letaknya dekat pohon Nagasari, dimana tempat Anoman bersembunyi. Anoman segera meloncat dari pohon. Kedua wanita itu menjadi terkejut, ketika melihat makhluk asing didepannya. Anoman memperkenalkan diri bahwa ia utusan Prabu Rama. Anoman menyampaikan pesan Prabu Rama agar Dewi Sinta bersabar menunggu kedatangan Prabu Rama untuk menjemputnya. Anoman menawarkan jasa, apabila Dewi Sinta menghendaki Anoman akan membawa pulang ketempat Prabu Rama.

Anoman memberikan cincin dari Prabu Rama kepada Dewi Sinta. Dewi Sinta menerima pemberian cincin dari Prabu Rama, dan dipakai dijari manisnya. Namun sayang cincin itu menjadi kebesaran, karena Dewi Sinta menjadi kurus kering, setelah tinggal di Alengka. Dewi Sinta menitipkan sebuah sisir yang sudah lama tak dipakai. Karena sejak di Alengka Dewi Sinta sudah tidak mau menyisir rambut dan merawat dirinya. Kelihatannya badan Dewi Sinta menjadi rusak. Dewi Sinta merasa tersiksa di negeri orang, jauh dari Prabu Rama. Dewi Sinta tidak bersedia dibawa Anoman pulang ke tempat Prabu Rama. Dewi Sinta menginginkan Prabu Rama sendiri yang menjemput pulang.

Belum selesai mereka saling bicara, Indrajid dan pasukannya telah mengepung taman Asoka. Anoman sengaja tidak memberi perlawanan, agar mereka menangkap dirinya. Anoman bermaksud mengukur kekuatan pertahanan Alengka. Indrajid segera membawa Anoman ke tempat Prabu Dasamuka yang sedang mengadakan pertemuan agung, yang dihadiri Patih Prahasta, adik-adik Prabu Dasamuka, seperti Kumbakarna, Sarpakenaka, Wibisana, para putera Prabu Dasamuka serta raja-raja taklukan Kerajaan Alengka.

Setelah Anoman dibawa masuk ke dalam Istana, Indrajid menghadap Ayahandanya dan melaporkan semua kejadian yang baru terjadi. Mendengar itu muka Prabu Dasamuka menjadi merah padam.Prabu Dasamuka marah bukan kepalang.

Oleh Prabu Dasamuka, Indrajid disuruh mengikat Anoman di depan istana, dan dibakar hidup-hidup.Indrajid berangkat melaksanakan tugas. Anoman digelandang keluar istana dan di ikat di tiang depan istana. Anoman melihat beberapa orang perajurit membawa kayu bakar, dan menumpukkannya di sekeliling Anoman berdiri. Indrajid dan para perajuritnya masuk kembali ke istana, dan melaporkan kesiapannya untuk membakar Anoman .

Sewaktu Indrajid dan perajurit-prajuritnya masuk istana, datanglah Togog, seorang Abdi Kerajaan Alengka jelmaan Sanghyang Antaga mendatangi Anoman. Dibawakannya Anoman sebuah kendi yang berisi air minum yang sejuk dan menyegarkan. Anoman memang sejak tadi merasakan kehausan, karena sejak kedatangannya di negeri Alengka belum minum sama sekali.Anoman segera menerima kendi itu dan meminumnya. Anoman merasakan tubuhnya menjadi segar kembali.
Anoman berterima kasih kepada Togog dan berpesan, agar Togog memasang janur kuning diatap rumahnya.

Tiada lama kemudian Indrajid bersama ayahandanya, Prabu Dasamuka beserta para adik dan putera-putera yang lainnya mendekati Anoman. Wibisana, Adik Prabu Dasamuka meminta kakaknya bisa berbuat bijaksana. Dimintanya Prabu Dasamuka melepaskan Anoman dan menyuruhnya pulang ke Negara asalnya.

Prabu Dasamuka tidak memperdulikan permintaan adiknya. Prabu Dasamuka segera menyuruh Indrajid segera membakar Anoman. Dengan sekali sulut saja, terbakarlah seluruh tumpukan kayu disekeliling Anoman. Anoman kelihatan sudah terbakar dan sekarang yang nampak hanyalah nyala api yang membumbung tinggi. Api semakin membesar dan menjilat-jilat sampai setinggi istana.

Setelah ikatan Anoman terlepas, Anoman terbang dengan membawa api yang menyala ditubuhnya. Api tidak membakar Anoman. Anoman melemparkan api-api itu keseluruh bangunan istana. Istana Alengka terbakar. Penghuninya lari pontang-panting.Seluruh bangunan istana habis terbakar.

Untunglah masih ada satu tempat yang tidak terbakar, yaitu sebuah rumah gubug milik Tejamantri Togog. Prabu Dasamuka dan segenap keluarga dan perangkatnya mengungsi kerumah Togog. Selesai membakar istana Alengka, Anoman pun meninggalkan Alengka kembali ke negeri Pancawati.

Anoman sekarang sudah kembali ke Negara Pancawati. Mataharipun mulai bergeser ke barat.Rupanya Bathara Surya telah mengetahui kepulangan Anoman ke Pancawati, sehingga tali pengikat matahari pun dilepas.

Anoman kemudian menceriterakan semua kejadian yang dialami, khususnya pertemuan dengan Dewi Sinta.Kepada Rama, Anoman menyerahkan titipan Dewi Sinta berupa sisir yang sudah lama tidak dipakainya. Dewi Sinta tidak akan pergi dari Alengka kalau yang menjemput bukan Prabu Rama sendiri. Sehingga ajakan Anoman untuk memboyong Dewi Sintapun ditolak olehnya. Prabu Rama bersedih hati mendengar laporan Anoman, ia terharu mengetahui Dewi Sinta istrinya selalu setya padanya. Prabu Rama berjanji akan segera menyusul Dewi Sinta ke Alengka, untuk memboyongnya pulang kenegeri Ayodya.

Prabu Rama segera bersiap-siap menggelar perang melawan Prabu Dasamuka.Prabu Dasamuka nantinya hanya ada dua pilihan, memilih dengan cara damai yaitu Prabu Dasamuka mengembalikan Dewi Sinta kepada Prabu Rama, ataukah dengan perang.

Untuk membawa pasukan ke negeri Alengka, Prabu Rama merenca nakan membuat jembatan atau menambak air laut sehingga di laut ada jalan yang bisa dilewati pasukan Prabu Rama, mulai dari Pantai Pancawati ke daratan Alengka.***