Asar yang aneh dan berita yang mengherankan berkaitan dengan malam kemuliaan (Lailatul Qadar) ini. Diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim dalam tafsir ayat ini. Untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad Al-Qatwani, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sa'id Ar-Rasi, dari Hilal ibnu Abu Jabalah, dari Abu Abdus Salam, dari ayahnya, dari Ka'b. Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa sesungguhnya Sidratul Muntaha itu berada di perbatasan langit ketujuh dekat dengan surga, udaranya adalah campuran antara udara dunia dan udara akhirat. Dahan dan ranting-rantingnya berada di bawah Al-Kursi. Padanya terdapat malaikat-malaikat yang bilangannya tiada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt. Mereka selalu melakukan ibadah kepada Allah Swt. di semua dahannya dan di setiap tempat bulu pohon itu terdapat seorang malaikat, sedangkan kedudukan Malaikat Jibril berada di tengah-tengahnya. Allah memanggil Jibril untuk turun di setiap malam kemuliaan bersama dengan para malaikat yang menghuni Sidratul Muntaha. Tiada seorang malaikat pun dari mereka melainkan telah dianugerahi rasa lembut dan kasih sayang kepada orang-orang mukmin. Maka turunlah mereka di bawah pimpinan Jibril a.s. di malam kemuliaan di saat matahari terbenam. Maka tiada suatu tempat pun di bumi di malam kemuliaan melainkan telah terisi oleh malaikat; ada yang sedang sujud, ada pula yang sedang berdiri mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.Terkecuali jika tempat itu berupa gereja, atau sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi), atau tempat pemujaan api, atau tempat pemujaan berhala, atau sebagian tempat kalian yang dipakai oleh kalian membuang kotoran, atau rumah yang di dalamnya terdapat orang mabuk, atau rumah yang ada minuman yang memabukkan, atau rumah yang di dalamnya ada berhala yang terpasang, atau rumah yang di dalamnya ada lonceng yang tergantung atau tempat sampah, atau tempat sapu. Mereka terus-menerus sepanjang malam itu mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Jibril tidak sekali-kali mendoakan seseorang dari kaum mukmin melainkan ia menyalaminya. Dan sebagai pertandanya ialah bila seseorang yang sedang melakukan qiyam bulunya merinding (berdiri) dan hatinya lembut serta matanya menangis, maka itu akibat salam Jibril kepadanya (jabat tangan Jibril kepadanya). Ka'bul Ahbar menyebutkan bahwa barang siapa yang di malam kemuliaan membaca kalimah "Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah" sebanyak tiga kali, Allah memberikan ampunan baginya dengan salah satunya, dan menyelamatkannya dari neraka dengan satunya lagi, dan dengan yang terakbir Allah memasukkannya ke dalam surga. Maka kami bertanya kepada Ka'bul Ahbar, "Hai Abu Ishaq, benarkah ucapanmu itu?" Ka'bul Ahbar menjawab, "Tiada yang mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah' kecuali hanyalah orang yang benar. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya Lailatul Qadar itu benar-benar terasa berat bagi orang kafir dan orang munafik, sehingga seakan-akan beratnya seperti bukit di punggungnya." Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa para malaikat itu terus-menerus dalam keadaan demikian hingga fajar terbit. Dan malaikat yang mula-mula naik ke langit adalah Malaikat Jibril; manakala sampai di ufuk yang tinggi di dekat matahari, maka ia membuka lebar-lebar sayapnya. Ia memiliki sepasang sayap yang berwarna hijau, dan dia belum pernah membukanya kecuali hanya di saat itu. Karenanya maka cahaya matahari kelihatan redup. Kemudian Jibril memanggil malaikat demi malaikat, maka naiklah yang dipanggilnya sehingga berkumpullah nur para malaikat dan nur kedua sayap Jibril. Maka matahari di hari itu terus-menerus kelihatan cahayanya pudar. Dan Jibril beserta para malaikat bermukim di antara bumi dan langit di hari itu dalam keadaan berdoa dan memohonkan rahmat serta ampunan bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala Allah. Dan Jibril mendoakan orang yang hatinya mengatakan bahwa jika dia hidup sampai Ramadan tahun depan, maka ia akan puasa lagi karena Allah. Bila hari telah petang, mereka memasuki perbatasan langit yang terdekat, lalu mereka duduk dan membentuk lingkaran-lingkaran dan bergabung dengan mereka semua malaikat yang ada di langit terdekat. Maka para malaikat langit yang terdekat menanyakan kepada mereka tentang perihal laki-laki dan perempuan dari penduduk dunia, lalu para malaikat Sidratul Muntaha menceritakan keadaan orang-orang yang ditanyakan mereka kepada mereka. Hingga mereka bertanya, "Apakah yang dikerjakan oleh si Fulan dan bagaimanakah engkau menjumpainya di tahun ini?" Maka para malaikat yang bam datang itu menjawab, "Kami jumpai si Fulan di permulaan malam tahun lalu sedang ibadah, dan kami jumpai dia tahun ini dalam keadaan mengerjakan perbuatan bid'ah. Dan kami telah menjumpai si Fulan di tahun kemarin dalam keadaan berbuat bid'ah, sedangkan di tahun ini kami menjumpainya dalam keadaan beribadah." Maka para malaikat langit yang terdekat tidak lagi mendoakan ampunan bagi orang yang berbuat bid'ah dan memohonkan ampunan bagi orang yang beribadah. Dan mereka memberitahukan bahwa kami jumpai si Fulan dan si Anu dalam keadaan berzikir kepada Allah, dan kami jumpai si Fulan sedang rukuk, dan kami jumpai si Fulan sedang sujud, dan kami jumpai si Anu sedang membaca Kitabullah. Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa mereka di siang dan malam hari itu tetap dalam keadaan demikian, hingga naiklah mereka ke langit yang kedua. Dan di setiap langit mereka singgah selama sehari semalam, hingga sampailah mereka ke tempat semula di Sidratul Muntaha. Maka Sidratul Muntaha menyambut mereka dan berkata, "Hai para pendudukku, ceritakanlah kepadaku tentang manusia dan sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku, karena sesungguhnya aku mempunyai hak atas kalian, dan sesungguhnya aku menyukai orang-orang yang menyukai Allah." Ka'bul Ahbar menceritakan bahwa mereka menyebutkan kepada Sidratul Muntaha apa yang diinginkannya dengan menyebutkan nama tiap laki-laki dan perempuan yang diceritakannya, juga nama orang tua-orang tua mereka. Kemudian surga datang kepada Sidratul Muntaha dan mengatakan, "'Ceritakanlah kepadaku apa yang telah diceritakan oleh malaikat-malaikat yang menghunimu," lalu Sidratul Muntaha menceritakan hal itu kepadanya. Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa setelah itu surga mengatakan, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada si Fulan dan semoga Allah melimpahkan pula rahmat-Nya kepada si Fulanah. Ya Allah, segerakanlah mereka kepadaku." Jibril lebih dahulu sampai di tempatnya sebelum para malaikat yang menyertainya, lalu Allah mengilhamkan kepadanya untuk berbicara, maka Jibril berkata, "Aku telah menjumpai si Fulan sedang sujud, maka ampunilah dia," kemudian Allah memberikan ampunan bagi si Fulan yang bcsangkutan. Suara Jibril terdengar oleh para malaikat pemikul 'Arasy, maka mereka memohon, "Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulan, dan semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulanah, dan semoga ampunan Allah diberikan kepada si Fulan." Jibril berkata, "Ya Tuhanku, aku menjumpai hamba'-Mu si Fulan yang telah kujumpai di tahun kemarin dalam keadaan menempuh jalan sunnah dan beribadah, sekarang di tahun ini aku menjumpainya telah melakukan suatu perbuatan bid'ah," lalu Jibril menolak untuk memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang itu. Maka Allah Swt. berfirman, "Hai Jibril, jika dia bertobat dan kembali ke jalan-Ku tiga jam sebelum dia mati, Aku memberikan ampunan baginya." Maka Jibril berkata, "Bagi-Mu segala puji, ya Tuhanku, Engkau lebih penyayang daripada semua makhluk-Mu, dan Engkau lebih penyayang kepada hamba-hamba-Mu daripada hamba-hamba-Mu terhadap diri mereka sendiri." Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa lalu 'Arasy berguncang berikut semua yang ada di sekitarnya dan juga semua hijab (tirai). Semua langit dan para penghuninya mengatakan, "Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang." Perawi mengatakan bahwa Ka'bul Ahbar telah mengatakan, "Barang siapa yang melakukan puasa Ramadan, sedangkan dalam dirinya ia berbicara bahwa apabila ia berbuka (yakni telah selesai dari puasa Ramadannya) ia bertekad untuk tidak akan berbuat durhaka kepada Allah Swt., niscaya orang itu masuk surga tanpa pertanyaan dan tanpa hisab." Demikianlah akhir tafsir surat Al-Qadar, segala puji bagi Allah atas segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya
قَدْ سَمِعَ الهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى الهِl وَالهُs يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ الهَl سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [ Al Mujadalah / 58:1] [1].
Khaulah mengisahkan,”Demi Allah, dalam (permasalahan)ku dan Aus bin ash Shamit, Allah Azza wa Jalla telah menurunkan awal ayat surat al Mujadilah. Kala itu, statusku adalah isterinya. Ia seorang laki-laki yang telah renta, perangainya telah berubah menjadi kasar dan suka membentak. Suatu hari, ia menemuiku. Kala itu aku membantahnya dengan sesuatu. Ia pun marah, lantas berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku,”[2] lalu ia keluar dan duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya.
Beberapa saat kemudian ia masuk menemuiku, dan saat itu ia menginginkan diriku. Kukatakan kepadanya,”Sekali-kali tidak. Demi Dzat Yang jiwa Khaulah berada dalam genggamanNya. Janganlah engkau mendekatiku. Engkau telah mengucapkan apa yang telah kau ucapkan, sampai Allah memutuskan hukumNya dalam permasalahan kita,” lantas ia melompat hendak menangkapku. Aku pun menghindar darinya dan berusaha melawan dengan kekuatan seorang wanita menghadapi lelaki tua lagi lemah. Aku berhasil mendorong tubuhnya dariku. Kemudian aku keluar menemui tetangga wanitaku dan meminjam bajunya. Aku pergi menemui Rasulullah, lalu duduk di hadapannya. Aku ceritakan apa yang aku hadapai dengan suamiku, mengeluh kepada beliau tentang perilaku kasar suamiku.[3]
Rasulullah berkata,”Wahai Khuwailah, anak pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua, maka bertaqwalah engkau kepada Allah terhadap suamimu.”
Aku berkata,”Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al Qur`an. Ketika itu Rasulullah diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau. Lalu beliau berkata kepadaku,”Wahai, Khuwailah. Allah telah menurunkan firmanNya tentang permasalahanmu dan suamimu.” Beliau membaca ayat … -yaitu surat al Mujadalah / 58 ayat 1-4,.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,”Perintahkan kepadanya, agar ia membebaskan seorang budak”.
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memilki seorang budak”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkata,”Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memiliki kurma sebanyak itu.”
Akhirnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.”
Aku berkata,”Aku juga, wahai Rasulullah. Aku akan membantunya dengan sekeranjang lagi.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu. Dan berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik,” maka aku pun melakukan perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Para sahabat juga mengakui keutamaan dan keberanian wanita mulia ini dalam kebenaran, sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat diam mendengarkan perkataannya, sebagai penghormatan terhadap wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah.
Sebagai contoh, suatu hari Umar bin al Khaththab keluar bersama orang-orang. Lalu ia melewati seorang wanita tua. Wanita itu meminta ‘Umar untuk berhenti. ‘Umar pun berhenti, dan mereka berdua bercakap-cakap.
Seseorang berkata kepada Umar,”Wahai, Amirul Mu’minin, engkau menahan (perjalanan) orang-orang karena wanita tua ini.”
Mendengar seruan itu, ‘Umar menjawabnya : “Celakalah engkau! Tidakkah engkau tahu, siapa wanita ini? Dialah wanita yang telah didengar pengaduannya oleh Allah dari langit ke tujuh. Wanita ini adalah Khaulah bintu Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentang permasalahannya : ( قَدْ سَمِعَ اللَّه… ). Demi Allah, seandainya ia menahanku sampai malam, aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat, kemudian aku menemuinya lagi”.
Juga diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata : ‘Umar bin al Khaththab keluar dari masjid dan al Jarud al ‘Abdi sedang bersamanya. Tiba-tiba ada seorang wanita di tepi jalan. ‘Umar mengucapkan salam kepadanya, dan wanita itu menjawabnya.
Wanita itu berkata,”Wahai ‘Umar, dulu aku menemuimu saat engkau masih bernama Umair di pasar ‘Ukazh. Engkau menakut-nakuti anak-anak dengan tongkatmu. Hingga hari berlalu dan namamu berganti ‘Umar. Dan masa terus berlalu hingga engkau menjadi seorang Amirul Mu’minin. Maka bertaqwalah kepada Allah terhadap rakyatmu. Dan ketahuilah, barangsiapa yang takut ancaman Allah, dia akan merasakan bahwa siksa Allah itu amat dekat. Dan barangsiapa yang takut terhadap kematian, maka kematian itu pasti tidak akan luput darinya”.
Mendengar pembicaraan wanitu itu, al Jarud kemudian menimpalinya : “Sungguh engkau telah memperbanyak ucapan terhadap Amirul Mu’minin, wahai wanita”.
Tetapi ‘Umar justru berkata,”Biarkanlah ia! Tidakkah engkau mengenalinya? Wanita ini adalah Khaulah bintu Hakim, isteri Aus bin ash Shamit yang telah Allah dengar ucapannya dari atas langit yang ke tujuh. Maka ‘Umar sangat lebih layak untuk mendengar perkataannya.”[5]
Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaanNya kepada Khaulah bintu Tsa’labah. (Hanin Ummu Abdillah)
(Sumber : ar Rijal wan-Nisaa` Haula ar Rasul, halaman 352-356, karya ‘Athif Shabir Syahin, Darul-Ghadul-Jadid, Mesir, Cet. I, Tahun 1424 H/2003 M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab at Tauhid, bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah dalam muqaddimahnya, no. 188.
[2]. Pada masa jahiliyah, azh zhihar merupakan salah satu bentuk thalaq.
[3]. Dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa ia (Khaulah) berkata,”Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku, aku pun telah memberinya anak. Lalu ketika usiaku telah tua dan aku sudah tidak bisa lagi memberikan anak untuknya, ia menzhiharku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepadaMu. Aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai Jibril datang membawa wahyu :( قَدْ سَمِعَ اللَّه…)”.
Dan dalam sebuah riwayat: … Maka ia (Aus bin ash Ashamit) berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku”. Dan ilaa’ serta zhihar termasuk thalaq pada masa jahiliyah. Khaulah bertanya kepada Nabi n , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,”Engkau telah haram bagi suamimu”. Khaulah berkata,”Demi Allah, ia tidak menyebutkan kata thalaq,” kemudian Khaulah berkata,”Aku mengadu kepada Allah tentang kesendirianku dan perpisahan yang dilakukan suamiku, padahal aku telah memberinya anak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Engkau telah haram bagi suamimu.” Mereka berdua terus berdiskusi sampai akhirnya turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[4]. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kita at Tauhid bab (Wa Kana Allahu Sami’an Bashira) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an Nasaa-i dalam kitab ath Thalaq, no. 3460, dan Ibnu Majah, no. 188. Ketiga-tiganya dari ‘Aisyah secara ringkas. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah dalam kitab ath Thalaq, no. 2063 dengan menyebutkan diskusi Khaulah dengan Nabi. Dan dishahihkan oleh al Hafizh al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1678, dan dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, 6/410, 411 dengan lafazh seperti ini.
[5]. Kisah ini disebutkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, 17/269, dan disebutkan juga oleh al Hafizh Ibnu Hajar di dalam al Ishabah, 8/115, ia menyebutkan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khulaid bin Da’laj, sedangkan ia buruk hafalannya. Oleh karena itu, aku bawakan (kisah ini) dengan lafazh at tamridh [yakni lafazh periwayatan hadits yang lebih lemah derajatnya, seperti ruwiya (diriwayatkan) atau qiila (dikatakan), Pent.].