Pages

Subscribe:

Senin, 23 Februari 2015

Charles Francis Jenkins - Perintis Awal Bioskop & Salah Satu Penemu Televisi




Charles Francis Jenkins



Lahir: 22 Agustus 1867 Dayton, Ohio



Meninggal: 6 Juni 1934 (umur 66) Washington, DC



Kebangsaan: Amerika



Pendidikan: tidak satupun, Rekayasa karir



Proyek penting: Lebih dari 400 paten yang berhubungan dengan berbagai penemuan



Kemajuan yang signifikan: proyektor Film dan televisi



Penghargaan: Elliott Cresson Medal (1897) ; John Scott Medal (1913)




Kamis, 19 Februari 2015

Biografi Ludwig Wittgenstein - filsafat bahasa, filsafat matematika, dan logika






Ludwig Wittgenstein



Lahir: 26 April 1889 Wina, Austria-Hungaria



Meninggal: 29 April 1951 (umur 62) Cambridge, Inggris



Penyebab kematian: Kanker prostat



Era: Filsafat abad ke-20



Sekolah: Filsafat analitik



Kepentingan utama: Logika, metafisika, Filsafat bahasa, Filsafat matematika, Filsafat pikiran, Epistemologi



Gagasan penting: Teori bahasa gambar, Fungsi Kebenaran,

Senin, 16 Februari 2015

Johanes Nicolaus Bronsted - Peneliti Proses Katalisis Reaksi asam & basa




Johannes Nicolaus Brønsted



Lahir: 22 Februari 1879 Varde, Denmark

Meninggal: 17 Desember 1947 (umur 68) Copenhagen, Denmark

Tempat Tinggal: Copenhagen, Denmark

Kebangsaan: Denmark

Bidang: Kimia fisika

Lembaga: University of Copenhagen

Alma mater: University of Copenhagen

Dikenal untuk: Teori asam-basa Brønsted-Lowry ; Persamaan katalisis Brønsted




Johannes Nicolaus Brønsted adalah

Moritz Schlick - Pendiri Logika Positif




Moritz Schlick



Nama lahir: Friedrich Albert Moritz Schlick 



Tempat & Tanggal lahir: Berlin, Kekaisaran Jerman. 14 April, 1882 



Meninggal: 22 Juni 1936 (umur 54) Wina , Austria



Era: Filsafat abad ke-20



Daerah: Filsafat Barat



Sekolah: Filsafat ana k, Positivisme logis, Lingkaran Wina



Kepentingan utama: Logika, Filsafat Ilmu, Filsafat Matematika, Etika




Friedrich Albert

Carl Nägeli - Ahli Botani Swiss




Carl Wilhelm von Nägeli



Lahir: 26 atau 27 Maret 1817 Kilchberg, Swiss



Meninggal: 10 Mei 1891 Munich



Kebangsaan: Swis



Bidang: Ahli botani



Dikenal untuk: Kromosom




Carl Wilhelm von Nägeli adalah seorang ahli botani Swiss. Ia belajar pembelahan sel dan penyerbukan  tetapi dikenal sebagai Gregor Mendel kecil yang mempelajari ilmu tentang genetika lebih lanjut.


Kelahiran dan

Minggu, 15 Februari 2015

Bertrand Russell - Filsuf dan Ahli Matematika Ternama Britania Raya




Bertrand Arthur William Russell, 

Earl Russell ke-3



Lahir: 18 Mei 1872 Trellech, Monmouthshire, Britania Raya



Meninggal: 2 Februari 1970 (umur 97) Penrhyndeudraeth, Wales, Britania Raya



Era: Filsafat abad ke-20



Aliran: Filsafat analitik



Hadiah: Nobel dalam Bidang Sastra 1950



Minat utama: Metafisika, epistemologi, logika, matematika, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan

Ibnu Miskawaih - Cendekiawan Muslim Ahli Sejarah, Teologi, Ilmu Kedokteran, Filsafat Akhlak




Gelar: Ibn Miskawaih

Nama: Ahmad Ibn Muhammad Miskawaih Razi

Lahir: 330 H /932 M Ray, Ziyarid Iran

Wafat: 421 H /1030M Isfahan, Kakuyid Iran

Etnis: Persia

Zaman: Zaman Kejayaan Islam

Wilayah aktif: Iran

Minat utama: Sejarah, Teologi, Ilmu Kedokteran, Filsafat Akhlak

Karya terkenal: Tadhib al-akhlaq, Al-Fawz al-Asghar, Tajarib al-umam


Ibnu Miskawaih adalah salah seorang cendekiawan

Sabtu, 14 Februari 2015

Biografi Alex Komang - Aktor Indonesia




Alex Komang



Nama lahir: Saiful Nuha



Nama lain: Alex Komang



Lahir: 17 September 1961 Jepara, Jawa Tengah, Indonesia



Meninggal: 13 Februari 2015 (umur 53) Semarang, Jawa Tengah, Indonesia



Pekerjaan: aktor



Tahun aktif: 1985 - 2015



Agama: Islam




Alex Komang adalah seorang aktor senior Indonesia yang telah membintangi beberapa film nasional dan meraih penghargaan aktor

Kamis, 12 Februari 2015

George Edward Moore - Pelopor Filsafat Analitik




George Edward Moore



Lahir: 4 November 1873 London, England

Meninggal: 24 Oktober 1958 (umur 84) Cambridge, England

Era: filsuf abad 19, filsuf abad 20

Aliran: Analytic philosophy

Minat utama: Ethics, Philosophy of Language, Epistemology

Gagasan penting: Naturalistic fallacy, Moore's paradox, paradox of analysis, Here is a hand

Dipengaruhi: Gottlob Frege, John McTaggart, Bertrand

wayang orang lakon


wayang orang lakon"Arjuno kembar"


Rabu, 11 Februari 2015

Djuanda Suraatmadja - Penemu Beton Polimer Ramah Lingkungan




Prof. Ir. Djuanda Suraatmadja



Anggota Rektorium ITB 1978-1979



Rektorium/Rektor ITB ke-7

Masa jabatan: 16 Februari 1978 – 30 Mei 1979



Lahir: Djuanda Suraatmadja 3 Januari 1936 (umur 79) Bandung, Hindia Belanda

Kebangsaan: Indonesia



Alma mater: 



Ir. - ITB
Purdue University, USA
University California, USA
University of New South Wales, Australia





Prof. Ir. Djuanda Suraatmadja

Gottlob Frege - Pendiri Logika Modern




Gottlob Frege



Lahir: 8 November 1848 Wismar, Mecklenburg-Schwerin, Jerman



Meninggal: 26 Juli 1925 (umur 76) Bad Kleinen, Mecklenburg-Schwerin, Jerman



Karya terkenal: Begriffsschrift (1879), Yayasan aritmatika (1884)



Era: Filsafat abad ke-19, Filsafat abad ke-20



Daerah: Filsafat Barat



Sekolah: Filsafat analitik



Kepentingan utama: Filsafat matematika, logika matematika,

Selasa, 10 Februari 2015

air force 1997 (action movie)


Perlawanan Trunojoyo Terhadap Belanda (VOC)

Setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat pada tahun 1645, kedudukannya digantikan oleh putranyayang bergelar Susuhunan Amangkurat I. Raja Mataram yang baru ini kelihatan lemah dan tidak menunjukkan kemampuan seperti Sultan Agung. Gejala ini ditandai dengan tindakannya yang keliru, yaitu membuat perjanjian dengan kompeni yang isinya mengizinkan VOC berdagang di semua bandar wilayah Mataram.

Perlawanan Trunojoyo Terhadap Belanda (VOC)
Kebijakan Amangkurat I menimbulkan kegelisahan rakyat karena buruknya cara ia memerintah hingga akhirnya pada tahun 1674 meletuslah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Trunojoyo, putera Bupati Madura. Trunojoyo mendapat dukungan dari para pengungsi Makasar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong dan Montemarano.
Trunojoyo sempat menyerbu ibu kota Mataram di Yogyakarta dan merusak keratonnya yang mengakibatkan Amangkurat I terdesak dan melarikan diri untuk meminta bantuan kepada Belanda. Sebelum upayanya untuk mendapatkan bantuan kepada Belanda tercapai, Amangkurat I dalam perjalanannya terlebih dahulu meninggal dunia di Tegalwangi (dekat kota Tegal).
Pada tahun 1677, putera mahkota naik tahta sebagai raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Sebagai imbalan atas bantuannya, Amangkurat II menandatangani perjanjian yang berisi tentang pemberian hadiah kepada Belanda berupa bandar di Semarang, hak perdagangan yang luas, seluruh daerah Jawa Barat di sebelah selatan Batavia, dan pembayaran semua ongkos perang dengan jaminan beberapa bandar di pantai utara pulau jawa.
Setelah Trunojoyo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati (tahun 1679), kerajaan Mataram selalu mendapat pengaruh dari pemerintah Hindia Belanda.

wind taker (action movie)


Kisah Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar Tanggal 14 Februari 1945

PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang, tetapi berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Shodancho Supriyadi dan Bendera PETA
Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan terhina.
Dalam buku "Tentara Gemblengan Jepang" yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dan diterjemahkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.
Pertemuan-pertemuan rahasia sudah digelar sejak bulan September 1944. Shodancho Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya sebagai pemberontakan, tetapi juga sebuah revolusi menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemberontak PETA tersebut menghubungi komandan-komandan batalyon di berbagai wilayah lain untuk bersama-sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.
Patung Supriyadi Mengangkat Senjata
Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.
Walaupun rencana pemberontakan telah dipersiapkan secara baik, akan tetapi terjadi hal yang tidak diduga. Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Shodancho Supriyadi dan kawan-kawan. Supriyadi pun cemas dan khawatir mereka ditangkap sebelum aksi dimulai.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Kekaisaran Jepang. Namun, jika perlawanan dibatalkan pun tentara Kekaisaran Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung cukup seru, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total.

Alkisah, ketika Sukarno pulang ke Blitar - kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya -, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. "Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan, "Kita akan berhasil!"

Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya," ujar Bung Karno. Masih dengan nada suara tertekan karena hati kecilnya tidak setuju langkah Supriyadi dan kawan-kawan, Sukarno melanjutkan, "Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi." Shodancho Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, "Saya menjamin. Kita akan berhasil!".

"Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu, Bung Karno lantas menyatakan, "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua."

"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?", tanya seorang pemuda. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis," jawab Bung Karno seraya menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi, Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945.

Bung Karno dan Supriyadi
Tanggal 13 Februari 1945 malam hari, Shodancho Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan tetap harus dilaksanakan. Siap atau tidak siap, inilah saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang. Shodancho Supriyadi juga berharap bahwa pengorbanan darah dan nyawa para pemberontak PETA akan mengobarkan semangat perjuangan segenap bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, meskipun semua orang sudah tahu mereka akan kalah menghadapi tentara Kekaisaran Jepang.
Tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, semua orang Jepang wajib dibunuh.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!".

Ilustrasi Aksi Shodancho Supriyadi Memimpin Pemberontakan PETA di Museum PETA Kota Bogor
Aksi Shodancho Supriyadi Memimpin Pemberontakan PETA dalam Diorama Museum PETA Kota Bogor

Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk memadamkan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.
Shodancho Muradi mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:
1. Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
2. Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. Ini adalah isyarat janji seorang samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.
Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.

Persidangan Mahkamah Militer Jepang Terhadap Tentara Anggota Pemberontakan PETA Tahun 1945
Akan tetapi, nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar. Sebagian orang pun ada yang meyakini Shodancho Supriyadi melakukan ritual dengan cara menceburkan dirinya ke dalam kawah Gunung Kelud dekat Kota Blitar. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa Shodancho Supriyadi sesungguhnya masih hidup hingga saat ini, hanya saja keberadaannya tidak diketahui atau sering hidup di alam ghaib. Namun satu hal yang pasti, hilangnya Shodancho Supriyadi adalah suatu misteri sejarah nasional Indonesia yang belum jelas hingga saat ini.
Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul lagi untuk selama-lamanya, hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian, saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar tidak muncul lagi, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui jasa-jasa Supriyadi dan akhirnya mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Patung Shodancho Supriyadi di Museum PETA Kota Bogor
Untuk mengenang perjuangan pemberontakan tentara PETA pimpinan Shodancho Supriyadi, tepat di lokasi perlawanan didirikan Monumen PETA yang terdiri atas tujuh buah patung tentara PETA dalam posisi siap menyerang, di mana patung Shodancho Supriyadi diletakkan tepat di tengah monumen sebagai pemimpin pemberontakan PETA.

Monumen Pemberontakan PETA Pimpinan Shodancho Supriyadi di Kota Blitar
Asrama militer PETA di Kota Blitar sendiri kini telah menjadi sekolah SMP dan SMA Negeri. Namun, jika dilihat secara seksama bentuk bangunannya, pasti langsung terlihat kesan itu merupakan bangunan bekas asrama militer. Adapun tugu tempat pengibaran bendera merah-putih oleh Shodancho Parto Hardjono saat terjadinya pemberontakan PETA kini dikenal sebagai "Monumen Potlot". Monumen Potlot sendiri diresmikan di Kota Blitar pada tahun 1946 oleh Bapak TNI (Tentara Nasional Indonesia) Panglima Jenderal Besar Soedirman.

Monumen Potlot di Kota Blitar
Sumber Referensi: