Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label CERITA WAYANG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERITA WAYANG. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Mei 2014

TUGUWASESA


Tuguwasesa adalah bentuk lain dari tokoh Raden Werkodara pada saat menjadi raja di negara Gilingwesi. Selain itu bisa juga digunakan sebagai tokoh Batara Bayu, mengingat bila tokoh Batara Bayu tidak disediakan dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran sehingga meminjam tokoh Tuguwasesa. Di desa-desa biasanya satu kotak wayang hanya berisi kurang lebih seratus lima puluh wayang saja dan itu pun wayang-wayang yang disungging dengan menggunakan bahan bron jadi bukan prada. Dari pergelaran-pergelaran yang pernah ada, seorang Dalang yang sudah cukup terkenal terlihat mengeluarkan wayang ini dipakai sebagai tokoh Raden Werkodara saat perang melawan Prabu Duryudana raja Astina di dalam lakon perang Baratayuda. Dalam pergelaran tersebut, diceritakan karena nasehat Sri Batara Kresna Raden Werkodara dianjurkan supaya memakai mahkota seperti Prabu Duryudana. Wayang inilah yang diperlihatkan. Pernah juga seorang Dalang Ki Prawoto Geneng Ngawi menggunakan tokoh ini sebagai tokoh Prabu Jarasanda pada lakon "Sesaji Raja Suya", hal ini dilakukan karena tokoh Prabu Jarasanda memang tidak ada dalam satu kotak wayang yang digunakan dalam pergelaran pada waktu itu.
Tuguwasesa bermata telengan, berhidung dempak, bermulut keketan, kumis dibludri, berjamang tiga susun, bermahkota, bergaruda membelakang, berpraba, bersumping pudak sinumpet, kelat bahu candra kirana, berkalung ulur ulur, berkain poleng, berucal kencana, berkeroncong.

Senin, 28 April 2014

Karna Tanding 1 : Gatotkaca Gugur

Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan segera  berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.

Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.

Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.

Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.

Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”.

“Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.

“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.

“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk menghadap hyang widi wasa.

“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.

“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu ?” kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya yang masih saja ragu.

“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.

“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.

Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.

“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata pamitan terakhir kalinya.

Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.

“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.

“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda senapati.

Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api!  Dan diangkasapun terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.

Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas.
Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya.

Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca.

Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.

Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang.
Segera Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.

Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.

Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.

Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.

Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.

Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang berhati bersih. Ia  yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.

Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena tegal Kuru malam itu.

Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.

Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.

“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.

Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap pamannya.

“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” senyum sang paman menanyakan permintaan keponakannya.

“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.

“Baik aku bisa melakukannya !”

Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini berakhir.

Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.

Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian  menjadi abu. Dan seketika perang terhenti !
Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.

Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.

“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa  yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.

Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya. Maka upacara segera dimulai.

Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.

Arjuna


Raden Arjuna adalah putra ketiga dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu atau sering disebut dengan ksatria Panengah Pandawa. Seperti yang lainnya, Arjuna pun sesungguhnya bukan putra Pandu, namun ia adalah putra dari Dewi Kunti dan Batara Indra. Dalam kehidupan orang jawa, Arjuna adalah perlambang manusia yang berilmu tingga namun ragu dalam bertindak. Hal ini nampak jelas sekali saat ia kehilangan semangat saat akan menghadapi saudara sepupu, dan guru-gurunya di medan Kurusetra. Keburukan dari Arjuna adalah sifat sombongnya. Karena merasa tangguh dan juga tampan, pada saat mudannya ia menjadi sedikit sombong.

Arjuna memiliki dasanama sebagai berikut : Herjuna, Jahnawi, Sang Jisnu, Permadi sebagai nama Arjuna saat muda, Pamade, Panduputra dan Pandusiwi karena merupakan putra dari Pandu, Kuntadi karena punya panah pusaka, Palguna karena pandai mengukur kekuatan lawan, Danajaya karena tidak mementingkan harta, Prabu Kariti saat bertahta menjadi raja di kayangan Tejamaya setelah berhasil membunuh Prabu Niwatakaca, Margana karena dapat terbang tanpa sayap, Parta yang berarti berbudi luhur dan sentosa, Parantapa karena tekun bertapa, Kuruprawira dan Kurusatama karena ia adalah pahlawan di dalam baratayuda, Mahabahu karena memiliki tubuh kecil tetapi kekuatannya besar, Danasmara karena tidak pernah menolak cinta manapun, Gudakesa, Kritin, Kaliti, Kumbawali, Kumbayali, Kumbang Ali-Ali, Kuntiputra, Kurusreta, Anaga, Barata, Baratasatama, Jlamprong yang berarti bulu merak adalah panggilan kesayangan Werkudara untuk Arjuna, Siwil karena berjari enam adalah panggilan dari Prabu Kresna, Suparta, Wibaksu, Tohjali, Pritasuta, Pritaputra, Indratanaya dan Indraputra karena merupakan putra dari Batara Indra, dan Ciptaning dan Mintaraga adalah nama yang digunakan saat bertapa di gunung Indrakila. Arjuna sendiri berarti putih atau bening.

Pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma Arjuna dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali putranya setelah diberi wejangan oleh Batara Guru.
Sejak muda, Arjuna sudah gemar menuntut ilmu. Ia menuntut ilmu pada siapapun. Menurutnya lingkungan masyarakat adalah gudang dari ilmu. Guru-gurunya antara lain adalah Resi Drona, dari Resi Dona ia mendapat senjata ampuh yang bernama panah Cundamanik dan Arya Sengkali, yang kedua adalah Begawan Krepa, Begawan Kesawasidi, Resi Padmanaba, dan banyak pertapa sakti lainnya. Dalam kisah Mahabarata, Arjuna berguru pada Ramaparasu, namun dalam kisah pewayangan, hal tersebut hampit tidak pernah disinggung.
Dalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna memiliki lebih dari 40 orang istri namun hanya beberapa saja yang terkenal dan sering di singgung dalam pedalangan. Istri-istri Arjuna adalah sebagai berikut :
- Endang Jimambang berputra Bambang Kumaladewa dan Bambang Kumalasekti
- Dewi Palupi atau Dewi Ulupi berputra Bambang Irawan
- Dewi Wara Sumbadra berputra Raden Angkawijaya atau Raden Abimanyu.
- Dewi Srikandi tidak berputra
- Dewi Ratri berputra Bambang Wijanarka
- Dewi Dresnala berputra Bambang Wisanggeni
- Dewi Juwitaningrat berputra Bambang Senggoto yang beujud raksasa
- Endang Manuhara berputri Dewi Pregiwa dan Dewi Manuwati
- Dewi Banowati berputri Endang Pergiwati (diasuh oleh Endang Manuhara)
- Dewi Larasati berputra Bambang Sumitra dan Bambang Brantalaras
- Dewi Gandawati berputra Bambang Gandakusuma
- Endang Sabekti berputra Bambang Priyembada
- Dewi Antakawulan berputra Bambang Antakadewa
- Dewi Supraba berputra Bambang Prabakusuma
- Dewi Wilutama berputra Bambang Wilugangga
- Dewi Warsiki tidak diketahui putranya
- Dewi Surendra tidak diketahui putranya
- Dewi Gagarmayang tidak diketahui putranya
- Dewi Tunjungbiru tidak diketahui putranya
- Dewi Leng-Leng Mulat tidak diketahui putranya
- Dewi Citranggada berputra Bambang Babruwahana
- Dewi Lestari tidak berputra
- Dewi Larawangen tidak berputra
- Endang Retno Kasimpar tidak berputra
- Dewi Citrahoyi tidak berputra
- Dewi Manukhara tidak berputra
Banyaknya istri yang dimiliki Arjuna ini dalam cerita pewayangan bukanlah merupakan gambaran seseorang yang serakah istri atau mata keranjang, namun gambaran bahwa Arjuna dapat menerima dan diterima oleh semua golongan. Ketika muda, Arjuna pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna, namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana. Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak dalam Perang Baratayuda.
Arjuna memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah Ardadali, Panah Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut :
- Aji Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang
- Aji Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak
- Aji Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air
- Aji Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran
- Aji Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh
- Aji Pengasihan : menjadi dikasihi sesama
- Aji Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir
- Aji Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang
- Aji Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang
- Aji Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa
- Aji Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara
- Aji Anima : dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat
- Aji Lakuna : menjadi ringan dan dapat melayang
- Aji Prapki : sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata
- Aji Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya.
- Aji Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan putrinya, Dewi Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.
Saat menjadi buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta mengalahkan Prabu Niwatakaca. Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi Supraba ke tempat kediaman Prabu Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab, kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.
Arjuna lalu diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih 40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala, Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar, kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak. Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak. Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata. Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya yaitu Raden Abimanyu.
Kendati Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar, lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewi-dewi dari kayangan. Arjuna kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak memilih-milih kasih pada anak-anaknya.
Dalam perang Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan Adipati Karna.
Masih dalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi perempuan, itu adalah putri dari Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya. Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar. Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati, pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh Aswatama.
Arjuna yang sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.
Setelah penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda tersebut ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.

Utang Piutang Narasoma - Bagaspati

“Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku, bila aku tahu jawabannya”. Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang sudah tak lagi samar dengan polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang mengetahui setiap keadaan didepan dengan penglihatannya yang tajam berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima. Meskipun demikian ia masih juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih jelas. Maka ia masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut Narasoma.

“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.

Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya kepada Pujawati, “Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai. Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan, siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.


Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.

“Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa?” Gemetar suara Pujawati.

“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu sediakan dalam menjawab  teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku Pujawati”.

Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati agar segera meninggalkan keduanya.

Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.

Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai istrimu”. 


“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau ajukan”. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.

“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.


“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban atas pertanyaan teka-teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah jawabannya bagi seorang Bagaspati.

“Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.

“Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati, tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki itu, raden?”


Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar, itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.


Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh?”


“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”. Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati yang dialaminya.

“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang. Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke dada ini”.


“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari semua dosa dosa”. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di dada.

Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang dialami oleh Narasoma.

Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah kamu mempertontonan kesaktianmu!”


“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan sebaik-baiknya”.


“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau kehendaki. Katakan syarat itu.”


“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari dalam hatiku”.


Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa!

Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia menanyakan “ Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar dari gua garba paduka Sang Resi?”


“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan Candabhirawa”.


Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada Bagaspati.

“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama lamanya? Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap Candabirawa dikaki Sang Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.

“Raden!  Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa. Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.


“Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan yang ada padaku. Apakah permintaannya?”


“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih bila Raden senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana yang serba sederhana?”


“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi.” kembali Narasoma mengucap janji.

“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah, mumpung Pujawati belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian dengan bibir tersenyum puas.

Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara yang menyapanya.

“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”. Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu.

Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah embun sedari lama.

Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya. Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada kemenakannya Nakula dan Sadewa.

Setengah teriak ia memanggil  Endang Sugandini, saudara dekat putri dari Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar.

Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.


“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan ikut bersama paduka kemedan Kuru”.


Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka pembicaraan  penting dengan Prabu Puntadewa.

“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda Puntadewa!”.


“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.

“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati Kurawa, Paman Prabu Salya”.


“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah dari dada orang-orang tua kami yang  hamba hormati”. Kembali Kresna melihat sifat asli dari Prabu Puntadewa.

“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan berpayungkan atas keadilan”. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati.

“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab Prabu Puntadewa tenang.

“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana”. Terus mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.

“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu Puntadewa menjawab.


“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina. Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu Punta.

“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda dimualai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan hamba”.

Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian. Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak anak kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada awal pecah perang dinda diam saja”.


Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja, itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan. Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat”.


Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa. Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman Prabu Salya?”.


“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” . Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas.

“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan Kresna beralih ke Arjuna.

“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba miliki kanda Kresna”.

“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar dengan jawaban yang sudah ia perkirakan.

Yang disebut namanya hanya saling pandang.

Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada Werkudara.

“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.


“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh sungguh”.

Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum kepada Werkudara penuh arti.

“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” keluh Bima seenaknya.

Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata, “Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.


Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda, saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang Hyang Wisnu hendak katakan”.


Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.


Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa. Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga keselamatan kakak sulungnya.

Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung. Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat yang ditunggu tunggu. “ Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”. Melayang sukma Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.

Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.

Kematian Kresna

Kisah kematian Kresna di gambarkan permulaannya di Santiparwa, bagian ke 12 dan Mosala parwa bagian 16 MahaBharata:

Santiparwa
  Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya


Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.



Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.

Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.

Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.

Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
  • Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
  • Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
  • Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
  • Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
  • Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
  • Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka.

Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma

Kisah ini berawal dari seorang resi muda yang telah berhasil membantu para dewa dalam menumpas kerusuhan bangsa Jin Banujan di kahyangan Suralaya. Tersebutlah Bambang Anggana Putra dari pertapaan Argabelah, putra kedua Resi Jaladara dari pertapaan Dewasana dengan dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magadha. Atas jasa-jasanya itulah Anggana Putra mendapat anugerah dari Batara Guru, yaitu diperkenankan menikahi salah seorang bidadari kahyangan Maniloka
Di istana Jonggring Salaka, kahyangan Suralaya Maniloka, para dewa sesangga jawata duduk di paseban agung menunggu sabda Raja Triloka. Sementara di dampar kencana Mercupunda, Sanghyang Tengguru atau juga yang dikenal dengan nama Sanghyang Manikmaya, Jagatnata, Batara Guru, bersabda.
"Anggana Putra, sesuai janjiku padamu, atas jasa-jasamu dalam menumpas kerusuhan di kahyangan Suralaya, maka aku akan menganugerahkanmu seorang bidadari untuk kau persunting. Pilihlah olehmu salah seorang diantara para bidadari Maniloka ini".
Mendapatkan anugerah dan penghormatan dari raja Tribuana, Bambang Anggana Putra sangat suka cita hatinya, ia merasa tersanjung atas penghormatan yang telah diberikan kadewatan kepadanya, penghormatan dimana ia diperkenankan bebas memilih sendiri bidadari yang akan dijadikan istrinya. Bambang Anggana Putra adalah seorang yang berbudi luhur, jujur, dan polos wataknya, ia salah seorang yang memiliki darah putih, hanya saja dibalik kepribadian-kepribadiannya yang baik, sebagai manusia tetap ada satu kelemahan yang dimilikinya, yaitu sifat jenakanya yang terkadang tidak dapat menempatkan diri, ia sangat suka bersenda gurau yang pada akhirnya menyeret dia pada satu masalah yang merenggut hari-hari depannya.
"Ampun pukulun... Sungguh hamba sangat bahagia mendapat anugerah pukulun, seperti yang pukulun tawarkan kepada hamba memilih salah seorang bidadari Maniloka untuk dipersunting, namun melihat para bidadari penghuni Maniloka ini yang semuanya berparas jelita membuat hamba tidak mampu menentukan pilihan, akan tetapi walaupun begitu, sesungguhnya hamba pernah mengagumi salah seorang diantara mereka".
"Siapakah gerangan Anggana Putra? Aku telah memberimu kesempatan untukmu”.
"Jika pukulun tidak keberatan, pilihan hamba jatuh pada dewi Uma, bidadari yang selama ini hamba kagumi".
Seperti ada halilintar menghantam dampar kencana Mercupunda, tubuh Batara Guru bergetar, mukanya merah padam, hatinya menjadi panas sepanas kawah Candradimuka. Semua para dewa terkesiap mendengar ucapan Bambang Anggana Putra.
"Samudra madu kupersembahkan untukmu, namun sebaliknya kau memberi cawan yang berisi racun kepadaku. Lancang ucapmu, Anggana Putra". Batara Guru tidak dapat menahan amarahnya, ia sangat tersinggung dengan ucapan Anggana Putra yang telah dianggap menodai kewibawaannya sebagai Raja Tribuana. Betapa tidak, dewi Uma adalah kameswari Suralaya, ia adalah kekasih hati dan permaisuri Sanghyang Guru sendiri.
Melihat gelagat yang kurang mengenakan, Anggana Putra segera menjura hormat.
“Ampun pukulun… Maafkan ucapan hamba tadi, sebenarnya hamba tidak bermaksud menghina kewibawaan paduka, hamba hanya bermaksud bersenda gurau karena pukulun menyuruh hamba memilih salah seorang bidadari penghuni Maniloka tanpa pengecualian, maka hamba mengguraui pukulun, sebab dewi Uma sendiri adalah bidadari penghuni Maniloka. Mohon pukulun memafkan sifat jenaka hamba”.
Mungkin mudah memadamkan api yang sedang membakar, tetapi sangat sulit meredakan api kemarahan dalam hati. Kemarahan tidak pernah timbul tanpa alasan, walau alasan itu tidak selamanya benar. Dan alasan apapun yang dikatakan Anggana Putra tidak mampu meredam kemarahan Sanghyang Guru.
"Sifatmu sangat tidak terpuji, kau tidak memiliki tatakrama. Hai putra Jaladara! Kau telah menodai kewibawaanku, sungguh tidak pantas seorang resi sepertimu memiliki sifat demikian, kau tidak ubahnya seperti Duruwiksa (raksasa yang bertabiat biadab)”.
Sekecap sabda Raja Triloka, sabda yang dilambari sir aji kemayan seketika merubah wujud Bambang Anggana Putra. Sirna kerupawanannya berubah bentuk menjadi raksasa. Para dewa sesangga jawata geger melihat perubahan wujud Bambang Anggana Putra.
"Ampun pukulun... Mohon pukulun mempertimbangkan kesalahan hamba dengan hukuman yang pukulun jatuhkan kepada hamba. Mohon kembalikan wujud hamba". Anggana Putra merasa sedih melihat perubahan dirinya.
"Ludah telah dibuang pantang kujilat kembali. Sabdaku adalah hukum. Pulanglah kau ke pertapaanmu. Sesuai janjiku, aku akan memberikan seorang bidadari untukmu, tetapi aku akan menunjuk dewi Darmastuti sebagai istrimu, ia akan menemani hari-harimu di Argabelah, namun kelak jika dewi Darmastuti melahirkan seorang anak, maka ia akan kembali pulang ke kahyangan”.
Batara Narada tertegun mendengar sabda Raja Tribuana, ia sangat prihatin dengan keadaan Bambang Anggana Putra. "Oladalaa... Adi Guru, tidak cukupkah hukuman yang kau berikan? Setelah wujudnya kau rubah menjadi raksasa, kebahagiaannya pun kau renggut. Pertimbangkan kebijaksanaanmu. Jagalah hati dan pikiranmu dari nafsu amarahmu agar sabdamu tidak selalu bertindak lebih cepat dari pikiranmu”.
Batara Guru menganggap semuanya sudah terlanjur, tidak dapat dirubah lagi. Anggana Putra sangat sedih, ia tidak menyangka akan mendapat hukuman sedemikian rupa. Setelah melakukan penghormatan yang terakhir kalinya, Anggana Putra lalu pergi meninggalkan kadewatan Suralaya menuju Argabelah.
Sepeninggalnya Bambang Anggana Putra, ternyata Batara Guru masih menyimpan dendam. Diam-diam ia masuk ke dalam perut bumi, menembus Sapta Pertala (lapisan bumi ketujuh). Disana ia mengambil selongsong kulit Raja Naga Hyang Antaboga yang mengalami pergantian kulit setiap 1000 tahun sekali. Dengan kesaktiannya selongsongan kulit Raja Naga itu dicipta menjadi Taksaka (naga) yang sangat sakti mandraguna. Saktinya Taksaka karena Batara Guru telah memasukan sukma Candrabhirawa yang telah ditangkapnya saat melayang-layang mencari penitisan. Taksaka lalu dititahnya untuk menghadang perjalanan Bambang Anggana Putra dengan maksud membinasakannya. Taksaka segera melesat secepat kilat tatit menyusuri lapisan-lapisan bumi, mengejar Bambang Anggana Putra.
Tidak berapa lama ketika Anggana Putra masih melayang di udara hendak dalam perjalanan pulang, Taksaka yang memiliki kecepatan luar biasa telah sampai mengejarnya, ia melesat cepat keluar dari dasar bumi dan segera menyergap tubuh Bambang Anggana Putra. Tubuh Anggana Putra diterkam dan dibanting dari atas udara. Anggana Putra luruh jatuh menghantam bumi, menghancurkan bebatuan cadas gunung. Tidak sampai disitu, Takasaka kembali memburu Anggana Putra yang saat itu segera bangkit. Secepat tatit Taksaka kembali menyerangnya dengan menyemburkan wisa upas/racun dan api yang keluar dari mulutnya. Api berkobar diseantero pertarungan mereka, wisa racun melepuh meleburkan batu-batu dan tanah yang terkena semburannya. Akan tetapi, racun-racun itu tidak mampu mematikan tubuh Anggana Putra, api pun tidak mampu membakarnya. Bambang Anggana Putra digjaya, tubuhnya tidak cidera sama sekali.
Perang tanding Anggana Putra melawan Taksaka berlangsung hebat. Beberapa kali Taksaka melilit tubuh Anggana Putra dan hendak menghancur luluhkan tulang-tulangnya, tapi tubuh raksasa itu seperti memiliki kekuatan yang melebihi pasukan gajah Erawati. Hingga pada akhirnya, sang Taksaka tidak mampu menandingi kesaktian Anggana Putra. Taksaka ditangkap, mulutnya dirobek hingga kepalanya terbelah menjadi dua. Lenyap wujud Taksaka tanpa bekas, berubah menjadi sosok raksasa.
Raksasa jelmaan Taksaka itu merangsak maju menyerang Anggana Putra. Dua raksasa mengadu kesaktian, mengadu kedigjayaan, saling pukul, saling dorong, dan saling banting. Untuk beberapa saat pertempuran diantara keduanya seperti seimbang, sama-sama tangkas dan cekatan, namun namun pada satu kesempatan putra Resi Jaladara itu berhasil melukai dan membunuh musuhnya. Ajaib! Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa jelmaan Taksaka, dari setiap darahnya yang membasahi rerumputan, bebatuan, dan benda apapun akan berubah wujud menjadi raksasa yang besar dan bentuknya sangat sama satu antara lainnya. Belum habis rasa heran Anggana Putra, raksasa-raksasa itu menyerangnya. Anggana Putra dikepung, dikeroyok, dan diserang dari segala penjuru. Anggana Putra berusaha melawan, akan tetapi setiap ia mampu melukai dan membunuh raksasa-raksasa itu, maka tetesan darah mereka berubah menjadi raksasa. Semakin banyak raksasa itu terlukai, maka tetesan darahnya menjadi raksasa yang jumlahnya kian bertambah banyak dari sebelumnya, mati satu tumbuh seribu. Karena merasa terdesak, Anggana Putra segera melompat jauh menghindari kepungan bala raksasa. Dari tempat yang jauh Anggan Putra segera melakukan meditasi, mengheningkan cipta, merapatkan kedua tangannya menguncupkan seluruh panca indranya, sidakep sinuku tunggal. Melalui wisik ghaib yang diterimanya, Anggana Putra diharuskan tidak melawan, meredam segala nafsunya, menyatukan cipta dan rasa, menunjukan jati dirinya sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhnya darah putih. Semilir angin berhembus halus keluar dari setiap lubang tubuhnya, memancar cahaya putih dari tubuhnya, tubuh Anggana Putra murub ngebyar memancarkan cahaya. Saat raksasa-raksasa mengejar, dan mulai berdatangan mendekat, seketika raksasa-raksasa itu sirna melebur menjadi satu, sirna wujud berubah menjadi cahaya."Bopo resi, ampun bopo resi… Aku, Candrabhirawa tidak sanggup melawanmu karena engkau adalah seorang yang dialiri darah putih, untuk itu perkenankan aku mengabdi kepadamu bopo resi... Jika kau membutuhkan aku panggilah aku, Candrabhirawa." Sekelebat cahaya Candrabhirawa merasuk menyusup ke gua garba, meraga sukma menjadi satu dengan Bambang Anggana Putra. Demikian Candrabhirawa akan mengabdi kepada manusia berdarah putih, seperti sebelumnya di jaman Arjuna Sasrabahu, ia mengabdi kepada Sukasrana, dan kini ia kembali mengabdi kepada seorang berdarah putih, Anggana Putra titisan Sukasrana.
Hari-hari selanjutnya, sesuai janji Sanghyang Otipati, dewi Darmastuti turun dari kahyangan. Sang dewi kemudian diperistri oleh Bambang Anggana Putra, mereka hidup rukun saling mengasihi dan menyayangi. Walau bentuk dan rupa Bambang Anggana Putra kini adalah sosok seorang raksasa, tetapi dewi Darmastuti sangat menyintainya, sangat patuh dan berbakti kepada suaminya. Mahligai cinta diantara mereka kian tumbuh merekah seperti mekarnya bunga hingga benih-benih cinta itu kemudian berbuah melahirkan seorang anak.
Anggana Putra dan dewi Darmastuti merasa bahagia karena cinta mereka telah melahirkan seorang putri jelita yang kecantikannya telah mewarisi kecantikan ibunya. Namun kebahagiaan mereka berangsur surut ketika teringat sabda Batara Guru, bahwa kelak sang dewi akan kembali pulang ke kahyangan setelah ia melahirkan seorang anak. Anggana Putra sangat sedih karena ia akan kehilangan istri yang sangat dicintai, begitu pun dengan dewi Darmastuti yang harus meninggalkan bayi kecilnya. Kebahagiaan mereka seperti direnggut paksa, direnggut oleh sebuah dendam, dendam yang tak kunjung padam.
Hari-hari dilalui Anggana Putra bersama putri kecilnya, Pujawati. Ia membesarkan Pujawati dengan cinta dan kasih. Keteguhan hatinya membuat para dewa dewi penghuni kahyangan merasa terharu, kecuali Sanghyang Guru yang masih menaruh dendam kepadanya. Oleh sebab itu Batara Narada menamakannya Bagaspati yang berarti matahari. Matahari yang bersinar terhadap bumi. Begitulah Bagaspati kepada putrinya, ia menyinari, menumbuh kembangkan semangat, memberikan penghidupan serta melindungi dengan penuh kasih sayang.
Mandaraka
Tersebutlah sebuah kerajaan Mandaraka, negeri nan gemah ripah loh jinawi, subur makmur tata tentrem kerta raharja. Negeri Mandaraka dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Mandrapati dengan permaisurinya dewi Tejawati. Prabu Mandrapati memiliki dua orang anak yang pertama seorang putra bernama Bambang Narasoma, dan yang kedua adalah seorang putri bernama dewi Madrim.
Alkisah Prabu Mandrapati mengundang putranya, Bambang Narasoma untuk membicarakan masalah pernikahan putranya. Sudah sangat lama sang prabu memendam rasa mengidam-idamkan seorang cucu dari putra mahkotanya, namun hingga sampai saat itu Narasoma masih juga belum berkeinginan untuk membina rumah tangga. Walau sang prabu sudah sering membujuknya, bahkan menawarkan perjodohan dengan putri-putri anak raja dan bangsawan yang menjadi sahabatnya, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus.
"Ayahanda prabu, bukannya ananda menolak maksud baik ayahanda, bukan pula ananda tidak berkeinginan untuk menikah, tetapi sampai saat ini ananda masih belum menemukan seorang wanita yang sangat ananda idam-idamkan, yaitu seorang wanita yang mirip seperti ibunda ratu”.
Ungkapan Narasoma membuat Prabu Mandrapati tersentak kaget, ia menganggap putranya telah durhaka karena menyukai ibunya sendiri, padahal sebenarnya maksud Narasoma adalah kemiripan kepribadiannya, sifat-sifatnya, lemah lembut, kasih sayang terhadap anak dan setia kepada suami, hanya saja tatkala ungkapan hati Narasoma belum tuntas diutarakan Prabu Mandrapati sudah menuduhnya yang bukan-bukan dengan disertai amarah terlebih dahulu. Karena murkanya, Prabu Mandrapati mengusir Narasoma dari istana. Ia tidak memperkenankan putranya pulang sebelum mendapatkan seorang wanita untuk dijadikan permaisuri.
Sebenarnya Narasoma adalah anak yang baik, berbakti kepada orangtua. Dalam kesehariannya, ia sangat dekat dengan ibu dan adiknya, bercengkerama dengan mereka, dan lebih banyak mencurahkan perasaan hatinya kepada mereka, maka dari itu Narasoma sangat menyayangi ibu dan adiknya. Kepada mereka Narasoma berjanji akan pulang kembali ke Mandaraka setelah nanti mendapatkan wanita yang menjadi dambaan hatinya. Sebelum pergi meninggalkan istana, Narasoma sempat menjenguk ibu dan adiknya di wisma Mandaraka, ia menceritakan semua kesalah pahaman ayahandanya. Dewi Tejawati dan dewi Madrim sangat prihatin, sebab mereka sangat memahami apa yang dimaksudkan oleh Narasoma.
Dalam pengembaraannya ada banyak hal yang ditemui di luar istana. Ia begitu merasa bebas seperti burung yang terbang sesuka hati, tanpa ada aturan-aturan istana yang dirasakannya sangat membelenggu dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dari sini ia dapat melatih diri dan mencari pengalaman baru, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dari alam lingkungan sekitar yang dipijaknya sebagai gudang dari segala ilmu, agar kelak dirinya menjadi lebih matang sebelum dinobatkan menjadi seorang raja.
Kita tinggalkan sejenak perjalanan pengembaraan Narasoma, beralih kepada Resi Bagaspati bersama putri tercintanya, dewi Pujawati.
Sementara waktu berputar digaris edarnya, di pertapaan Argabelah, Pujawati telah tumbuh menjadi gadis dewasa, wajahnya cantik jelita tidak berbeda dengan para bidadari hapsari penghuni kahyangan Maniloka. Tidak sia-sia Bagaspati mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap Pujawati, sebab ia tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti dan sangat patuh kepada ayahnya. Suatu hari Pujawati bermimpi dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang kesatria tampan yang mampu merebut simpatiknya. Mimpi itu kerap terjadi berulang-ulang membuat Pujawati jatuh rindu. Ada harapan tumbuh di dalam hati, dara jelita penghuni hutan Argabelah ini mendamba cinta, hingga hari-harinya larut dalam lamunan. Melihat putri tercinta sering melamun seorang diri, Bagaspati menjadi sangat prihatin. Apakah Pujawati merindukan ibunya? Sungguh malang nasib si buah hati jika benar-benar sangat merindukan pertemuan dengan ibunya, dari kecil ia tidak pernah melihat paras ayu ibunya, ia hanya mendengar dongeng dan dongeng kisah ibunya sebelum tertidur, sambil mendekap erat golek-golek kayu akar pohon, memejamkan kedua mata indahnya, dan lalu menggapai mimpi-mimpi indahnya bersama putri raja dan pangeran. Begitu yang tersirat dalam pikiran Resi Bagaspati.
"Putriku Pujawati, ada apakah gerangan yang mengganggu hati dan pikiranmu sehingga beberapa hari ini bopo sering melihamu melamun? Katakanlah putriku. Bopo sangat sedih jika melihatmu seperti itu. Apakah kau merindukan ibumu?"
Pujawati menggeleng pelan. "Ananda tidak sedang merindukan ibu, bopo resi. Ananda tahu, mungkin ananda tidak akan pernah dapat bertemu dengannya, seperti yang pernah bopo ceritakan. Ananda pun telah merelakannya. Bagi ananda, bopo resi sudah lebih dari cukup mewakili kasih sayangnya."
"Lalu apa yang menjadi rasa gundahmu, putriku?"
Pujawati yang lugu, akhirnya berterus terang. Ia menceritakan segala ihwal mimpinya, mimpi bertemu dengan seorang lesatria yang mengaku bernama Narasoma dari negeri Mandaraka, kini kesatria itu telah mengganggu relung-relung hatinya. Bagaspati terharu tapi juga bahagia mendengar ungkapan sang putri, tidak disangka walau ia hanya seorang gadis gunung, hidupnya di tengah hutan belantara, namun di hatinya telah tumbuh cinta, lumrahnya seorang manusia normal. Walau Pujawati merindukan pangeran yang hadir lewat bunga-bunga tidurnya, Bagaspati yakin itu adalah takdir perjodohan yang telah digariskan. Bagaspati berjanji kepada putrinya untuk mencari kesatria itu, di ujung dunia pun akan ia cari dan akan dibawanya pulang untuk dipersembahkan kepada sang putri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah sekian beberapa hari Bagaspati melayang-layang di udara mencari sosok kesatria yang digambarkan oleh putrinya, kini pencarian itu membuahkan hasil. Bagaspati bertemu dengan Narasoma dalam sebuah perjalanan pengembaraannya. Bagaspati menceritakan ihwal mimpi putrinya kepada Narasoma, dan menyimpulkan bahwa mimpi itu mungkin saja telah menjadi takdir perjodohan diantara mereka. Sang resi mengajak Narasoma untuk ikut ke pertapaan Argabelah. Di atas punggung kudanya dengan jumawa putra Mandaraka menolak.
“Cuih! Siapa sudi menikah dengan raksasa!”
Bagaspati meyakinkan bahwa putrinya sangat cantik jelita, sebab ia adalah keturunan seorang bidadari hapsari, ibunya adalah seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi semua ucapan Bagaspati sedikit pun tidak membuat Narasoma percaya, siapapun tidak akan percaya seorang raksasa mempunyai anak seorang putri cantik jelita, begitu pikirnya. Tetapi karena Bagaspati terus menerus mendesak agar dirinya ikut serta ke Argabelah, dan hal tersebut dianggap sebagai paksaan, maka Narasoma menjadi marah. Siang itu cuaca sangat cerah. Matahari memancarkan sinarnya tatkala putra Mandaraka melepaskan panah-panah saktinya. Panah-panah itu berdesingan menghujani tubuh Bagaspati. Sang resi tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia membiarkan anak-anak panah itu mengenai sasarannya dengan tepat.
Trak! Trak!
Tidak satupun panah Narasoma mampu menembus kulit tubuh Bagaspati. Narasoma semakin marah, menganggap raksasa dihadapannya sedang memamerkan ilmu kekebalan, maka dengan sigap ia melayang dari atas kudanya, menerjang Resi Bagaspati. Pertempuran terjadi cukup hebat, Narasoma cukup mumpuni dalam hal kanuragan, ia seorang kesatria pilih tanding yang cukup disegani diantara kesatria-kesatria negara sahabatnya. Akan tetapi Bagaspati tidak melayaninya dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak ingin Narasoma yang menjadi pujaan hati putrinya terluka. Setelah cukup bagi Bagaspati untuk menguji calon menantunya ini, ia pun segera mengakhiri pertarungan, dengan pukulan sakti ajian ginengnya, ia melumpuhkan Narasoma. Putra Mandaraka terkulai lemah tidak berdaya hingga Bagaspati memanggulnya dan membawanya ke pertapaan Argabelah.
Sesampainya di Argabelah, setelah Narasoma tersadar dari pinsannya terkesima melihat kecantikan dewi Pujawati, tidak dapat ditolak suara hatinya, bahwa ia pun jatuh cinta kepada putri Bagaspati. Mereka berdua lalu dinikahkan oleh Bagaspati. Berhari-hari Narasoma sementara itu tinggal di pertapaan Argabelah mengarungi lautan madu bersama Pujawati, istrinya yang sangat dicintai. Entah kenapa, walau hati Narasoma terasa berbunga-bunga mendapatkan seorang istri yang selama ini menjadi idamannya, tetapi hati kecilnya yang lain merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Kenapa setiap kali berdekatan dengan ayah mertuanya, ia merasa risih dan tidak betah. Dan jika ayah mertuanya menanyakan kapan Narasoma akan memboyong pulang Pujawati ke Mandaraka, Narasoma selalu mengelak, ia selalu beralasan masih ingin menikmati hidupnya di pegunungan Argabelah. Begitulah, setiap hari Narasoma pergi berburu menghindari Bagaspati, paling tidak agar dalam sehari-harinya ia tidak selalu berlama-lama bersanding dengan ayah mertuanya. Siang hari ia berburu, malamnya baru pulang. Sebenarnya Pujawati merasa sangat kesepian, karena ia masih ingin bercengkrama, bersenda gurau dan berkasih mesra menikmati siang hari yang indah di bukit nan penuh bunga, di pegunungan Argabelah. Begitupun yang dirasakan Bagaspati. Sang resi sangat prihatin dengan sikap menantunya yang sering meninggalkan putrinya seorang diri, karena hari-hari itu seharusnya milik mereka, hari-hari bahagia dimana seorang pasutri berkasih mesra. Dan ketika Bagaspati mencoba menawarkan diri melakukan perburuan, Narasoma selalu menolak. Padahal Bagaspati merasa senang jika ia dapat memberikan sesuatu untuk kebahagiaan mereka.
Pada suatu hari seperti biasanya Narasoma melakukan perburuan di hutan sekitar pegunungan Argabelah. Di tengah hutan belantara itu Narasoma sering merenung sendiri, ada perasaan gundah, bingung, kepada siapa harus ia curahkan isi hatinya itu, pada Pujawati? Tidak mungkin. Ia tidak bisa mengatakannya kepada Pujawati. Ia sangat menyayangi istrinya, ia tidak mau melukai hatinya. Menjelang sore hari Narasoma tidak mendapatkan hewan buruan sebab hari itu ia habiskan dalam lamunan kegelisahan hatinya. Ia memutuskan untuk bermalam di tengah hutan sampai esok hari kembali melakukan perburuan, walau perburuan hewan hutan itu hanya sebagai alasan saja tetapi Narasoma tidak ingin melihat istrinya menjadi kecewa setelah beberapa lama pergi namun tidak mendapat hasil tangkapan.
Malam yang dingin dan pekatnya hutan tidak mampu tertembus cahaya bulan. Malam itu Narasoma melihat bayangan seekor babi hutan yang sedang mengendap di rerimbunan tanaman liar. Ia mencoba membidikan anak panahnya, membangkitkan kepekaan naluri berburunya, dan anak panah pun melesat. Bidikan Narasoma meleset dari sasaran, babi hutan melarikan diri. Entah karena gelapnya malam yang mengganggu pandangannya, atau karena kegelisahan hati yang telah membuyarkan konsentrasinya? Narasoma mencoba mengejar babi hutan tadi, ia masuk lebih dalam ke dalam hutan. Nun tidak seberapa jauh dari tempat Narasoma melepaskan anak panahnya tadi, ada sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat pemujaan & bertapanya seorang resi. Tanpa sepengetahuan Narasoma, anak panah yang dilepasnya tadi telah melukai ibu salah satu jari tangan sang resi hingga putus. Resi pertapa sangat marah dengan perbuatan yang dilakukan seorang pemburu yang telah melukainya, ia segera mencari orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. Sang Resi menyusuri hutan namun yang dicarinya tidak ditemukan, tetapi ia terus mencari, menjelajahi hutan pegunungan Argabelah.
Pujawati duduk diserambi pondok menanti sang kekasih yang tidak kunjung pulang, sementara Bagaspati mencoba mencari menantunya, ia khawatir Narasoma tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba Pujawati dikejutkan dengan kedatangan seorang pertapa yang menunjukan anak panah, menanyakan apakah ia mengenali anak panah tersebut. Pujawati mengaku menganali anak panah tersebut adalah milik suaminya. Ada rasa was-was pada diri Pujawati, ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya. Sang pertapa sangat marah setelah mendengar pengakuan Pujawati.
“Aku ingin suamimu memotong jari tangannya untuk menggantikan jari tanganku. Jika suamimu tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mengadukannya kepada dewa Brahma agar menghukumnya!”
Dewi Pujawati sangat mencintai Narasoma, ia sangat sayang kepada suaminya, ia tidak mau suaminya terluka apalagi mendapat hukuman dari dewa Brahma. Maka, Pujawati mengajukan permohonan kepada sang pertapa. Pujawati memotong jari tangannya sendiri sebagai pertanggungjawaban perbuatan suaminya yang telah dianggap salah. Begitulah kesetiaan dewi Pujawati. Ia berani mengorbankan diri untuk keselamatan Narasoma.
Malam itu perasaan Bagaspati sangat tidak enak hingga ia memutuskan kembali pulang ke pertapaannya. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai putrinya, perasaan Bagaspati sangat peka. Ia sangat terkejut setelah melihat salah satu jari putrinya tidak lengkap, dan setelah mendengar cerita Pujawati, betapa murkanya Bagaspati kepada si pertapa, namun Bagaspati sangat terharu atas pembelaan Pujawati kepada suami. Kesetiaan Pujawati sebagai seorang istri begitu sangat terpuji hingga Bagaspati menambahkan namanya menjadi Setyawati, dewi Setyawati.
Disebuah gua di dalam hutan belantara, sang pertapa tengah bermujasmedi di depan kobaran api pemujaan, ia sangat senang karena jari tangannya kini telah terlengkapi oleh jari Pujawati, namun tiba-tiba api pemujaan sang pertapa menjadi besar membuat sang pertapa menjadi terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dalam kobaran api yang membesar itu terlihat wajah raksasa Resi Bagaspati dengan tawanya yang membahana.
“Hwahahaha… Ggrrrr… Hai pertapa! Kau boleh mengadu kepada Brahma, bahkan kepada Yamadipati sekalipun, niscaya mereka tidak akan sanggup mencabut nyawaku! Kembalikan jari tangan putriku, atau aku akan menghancurkan tempat pemujaanmu dan membunuhmu!”
Sang pertapa mengigil ketakutan, ia sangat mengenal nama Bagaspati, ia tidak mengira bahwa Pujawati adalah putri dari Bagaspati, maka tanpa syarat apapun sang pertapa segera memotong kembali jari tangan dewi Pujawati yang telah ia satukan diantara jari-jarinya. Begitulah kisah kesetiaan dewi Pujawati terhadap Narasoma hingga saat itu Narasoma sendiri memanggilnya dengan nama Setyawati, sesuai yang diberikan Bagaspati.
Setelah kejadian itu, Narasoma yang telah kembali pulang ke pertapaan, tidak lagi meninggalkan istrinya. Bagaspati senang karena akhirnya Narasoma menjalani hari-harinya kembali bersama Setyawati (Pujawati). Bagaspati kini menggantikan Narasoma mencari hewan buruan, ia mencarikan ayam hutan dan daging menjangan (rusa) untuk dihadiahkan kepada mereka. Untuk beberapa hari Narasoma memendam perasaan yang telah mengganggu pikirannya, walau pada akhirnya ganjalan hati itu tetap saja meracuninya. Pada suatu hari, dalam cengkeramanya Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada istrinya. Walau teka-teki itu ia sampaikan dengan sifat canda dan senda gurau tetapi sempat membuat Setyawati menjadi penasaran. Beberapa kali ia meminta jawaban dari teka-teki tersebut, tapi Narasoma tidak mau menjawabnya, ia hanya menyuruh Setyawati mencoba meminta jawaban kepada ayahnya.
“Bopo resi… Kanda Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada ananda, walau itu hanyalah sebuah teka-teki, namun entah mengapa hati ananda merasa gundah dan dilipur rasa penasaran. Kanda Narasoma selalu menolak tatkala ananda meminta arti dari teka-teki itu, kakanda hanya mengatakan bahwa ananda coba meminta arti tersebut kepada bopo resi”.
"Katakanlah, apa teka-teki itu putriku"
“Seperti hidangan seperiuk nasi putih hangat yang harum bagai pandan wangi, sangat nikmat untuk dirasakan, namun sayang ada satu gabah yang terselip diantara butiran nasi yang ranum itu”.
Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari sebaris kata yang disampaikan Narasoma kepada putrinya. Ia tidak menduga bahwa selama ini Narasoma menganggap dirinya hanya merusak keindahan mahligai cintanya kepada Pujawati. Pantas saja jika selama ini Narasoma selalu menghindar dan selalu beralasan untuk tidak buru-buru pulang kembali kepada orang tuanya di Mandaraka, mungkin karena dia merasa malu mempunyai mertua seorang raksasa, kasta yang selama ini dianggap paling rendah martabatnya. Sedih kembali dirasakan oleh Bagaspati, dilain pihak ia sangat mencintai putrinya, apapun akan ia berikan asal putrinya bahagia, walau nyawa yang harus jadi pertaruhannya. Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik dan merupakan akhir dari dendam Bathara Guru kepadanya.
Bagaspati berbisik kepada putri tercintanya agar segera memanggil Narasoma, dan meminta sang putri menyiapkan seperangkat peralatan upacara dan sesaji dengan alasan bahwa Ia akan menganugerahkan Narasoma aji kesaktian Candrabhirawa yang selama ini dimilikinya. Setyawati segera menuruti titah ayahandanya.
Saat Setyawati sibuk menyiapkan perlengkapan upacara, Narasoma telah menghadap Bagaspati, duduk tertunduk. Hatinya yang gelisah menyimpan tanda tanya, apa gerangan yang akan disampaikan ayah mertuanya, jantungnya terasa berdebar.
“Narasoma, bopo akan mencoba memberi jawaban atas teka-teki yang telah disampaikan Setyawati. Bopo akan menjawabnya dihadapan kalian, agar semuanya menjadi jembar, tidak ada lagi yang harus dipendam, tidak ada yang harus dipersalahkan. Selain itu bopo juga akan menganugerahkan aji kesaktian Candrabhirawa kepadamu, namun sebelum itu semua bopo minta kau berjanji. Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Jika nanti kau kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti Pegang teguhlah janjimu”.
Narasoma tidak mampu menatap Bagaspati, dengan bibir bergetar ia mencoba memaksa mulutnya untuk mengucapkan sumpah dihadapan sang resi bahari.
“Bopo resi… Demi langit dan bumi ananda bersumpah tidak akan menyia-nyiakan Setyawati. Setulus cinta ananda kepadanya, ananda akan selalu menjaganya, sehidup semati”.
Hanya itu yang mampu diucapkan Narasoma, begitu sulit bibirnya untuk berkata-kata, seperti ada beban batin yang menghimpitnya. Bagi Bagaspati, sedikit ucapan Narasoma itu telah menyejukan hatinya, menenteramkan pikirannya. Bagaspati lalu menjelaskan aji kesaktian Candrabhirawa yang akan diturunkan kepadanya. Candra yang berarti bulan dan bhirawa yang mengandung arti kegelapan bermakna ‘bulan yang menerangi kegelapan’. Bulan yang diumpamakan sebagai tempat cahayanya hati orang-orang yang arif, cahaya yang keluar dari hati memantulkan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda lainnya. Cahaya itu dapat melembutkan kerasnya hati dan pikiran manusia, sehingga dapat membentuk peradaban yang berguna bagi alam semesta, maka jadilah seseorang yang mampu menentramkan dan menyenangkan bagi sesamanya. Bagaspati mengingatkan bahwa aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Malam kian larut, bulan yang bersinar dengan bintang gumintangnya menghias malam, sementara awan hitam mulai merayap, sedikit demi sedikit gumpalannya yang hitam mulai menyaput, memupuskan cahaya rembulan. Setyawati telah datang membawa perlengkapan upacara dan sesaji, yang menurut mereka adalah upacara untuk menurunkan aji Candrabhirawa. Kain kafan dibentang, wangi dupa dan kembang menebar di ruang pesangrahan, api pancaka mulai bergemeletakan ketika Resi Bagaspati mulai melakukan mujasmedi melantunkan doa. Selanjutnya suasana hening, Bagaspati mengatupkan mulutnya, mengheningkan cipta. Di hadapannya, Narasoma mengikuti segala apa yang diperintahkan sang resi, sedangkan Setyawati hanya duduk menunggu dua orang manusia yang sangat disayanginya, tanpa mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Setyawati yang polos, Setyawati yang lugu.
Sekelebat cahaya keluar dari tubuh Bagaspati, namun cahaya itu seperti ragu untuk meninggalkan jasad sang resi. Di alam sunyaruri awang uwung suwung, alam diantara ada dan tiada, alam hening yang jauh dari segala jasad kasar, dimana saat itu hanya Bagaspati yang merasakannya;
“Candrabhirawa, keluarlah! Dihadapanku adalah ahli warisku, menyatulah kau dengannya, aku ingin pergi ke alam keabadian yang sejati. Telah tiba waktunya bagiku untuk pulang ke alam kelanggengan. Keluarlah… Candrabhirawa, ikutlah kau bersamanya, bersama menantuku, Narasoma sebagai pewaris kejayaan Candrabhirawa.”
"Bopo resi… kenapa bopo mengeluarkanku dari gua garba, bopo… Aku hanya ingin ikut dengan bopo resi, aku meragukan gua garba ahli warismu. Dia tidak memiliki darah putih sepertimu bopo…”
“Percayalah padaku, Candrabhirawa. Menantuku seorang yang baik, patuh dan berbudi luhur, cobalah menyesuaikan diri bersemayam dengannya.”
Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa. Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati. Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah