Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2015

Pengertian Ghanimah, Fai’, Salab


GHANIMAH ialah harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh mereka ketika dalam peperangan; disebut juga rampasan perang. Pembagian Ghanimah 1. 20% untuk : 4% _imam 4%_fuqarah dan masakin(kaum fakir miskin) 4%_mashalihul’l muslimin(untuk kemaslahatan kaum muslimin) 4%_ibnu’ssabil 4%_yatama(anak-anak yatim) 2. 80% untuk : diserahkan bulat sebagai bagian tentara negara islam Kandungan Bab: Haram hukumnya menjual ghanimah (harta rampasan perang) sebelum dibagikan. Sebabnya ada dua: a. Yang berhak membagikan ghanimah adalah imam (pemimpin), tidak halal bagi siapa pun mengambil sesuatu darinya. Jika ia mengambilnya lalu menjualnya, maka perbuatan itu termasuk ghulul. Dan ghulul hukumnya haram. b. Karena belum ada kepemilikan sebelum dibagikan. Sebab sebelum dibagikan, orang-orang yang berhak menerima ghanimah tidak mengetahui bagian mana yang bakal diberikan kepadanya. Jika ia menjual bagiannya sebelum dibagikan berarti ia telah menjual sesuatu yang majhul (tidak diketahui barangnya), wallaahu a’lam.
FAI’ ialah harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh dalam peperangan tanpa melalui peperangan, karena ditinggal lari oleh pemiliknya. Pembagian Fa’I itu dibagi menjadi dua bagian : 1. 1/5 (20%) 4%__Imam 4%__Mushalihu’l-Muslimin (=untuk kemaslahatan kaum muslimin) Kekuasaan diserahkan kepada Imam. 4%__ Fuqara wa’l-masakin (=kaum fakir dan kaum miskin). 4%__ Ibnu’sabil (=mereka yang berperang). 4%__ Yatama (=anak-anak yatim) 2. 4/5 (80%): Diberikan bulat kepada keuangan negara untuk Mashalihu’l-Muslimin (=kemaslahatan kaum Muslimin).
SALAB adalah barang-barang yang didapat dari musuh tampa paksaan. Pembagian Salab salab lebih dikhususkan untuk tentara yang membunuhnya. jika dalam membunuhnya bersama-sama, maka barang itu dibagi bersama-sama. Pengertian Salaf Secara Bahasa (Etimologi): Yaitu, apa yang telah berlalu dan mendahului, seperti ungkapan: “Salafa asy-syai-u”, “Salafan” artinnya “madha” (telah berlalu). Dan “Salaf” artinya sekelompok pendahulu atau suatu kaum yang mendahului dalam perjalanan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (Az-Zukhruuf: 55-56). Maksudnya adalah Kami (Allah) menjadikan orang-orang terdahulu itu sebagai contoh bagi orang yang hendak berbuat seperti perbuatan mereka, agar generasi setelah mereka mengambil pelajaran dan teladan darinya. Jadi makna Salaf adalah orang yang telah mendahului anda baik itu nenek moyang maupun kerabat keluarga anda, dimana mereka di atas anda baik dari segi umur ataupun kebaikannya. Oleh karena itu, generasi pertama dari kalangan Tabi’in dinamakan “as-Salafush Shalih. (Lihat kamus bahasa Arab: Taajul ‘Aruus, Lisaanul ‘Arab dan al-Qaamuusul Muhuth: (bab:Salafa).

PENGERTIAN KHILAFAH DAN KHALIFAH


Ada empat hal yang perlu dibahas mengenai Khilafah dan Khalifah sebagai berikut
  1. Pengertian Khilafah dan Khalifah
  2. Syarat-Syarat Khalifah
  3. Sistem Pemilihan Khalifah dan,
  4. Tugas dan Kewajiban Khalifah
  5. Struktur pemerintah Negara Kekhalifahan
  6. Karakter Kepepimpinan Kekhalifahan Islam
1. Pengertian Khilafah dan Khalifah
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin.
Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :
  1. Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
  2. Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
  3. Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
  4. Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
  5. Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.
2. Syarat-Syarat Khalifah
Karena Khalifah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam, bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam dan ururusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf (generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya), telah menyepakati bahwa seorang Khalifah itu harus memiliki syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, Sunnah Rasul Saw. dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya Khulafaurrasyidin setelah Rasul Saw, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Menurut Syekh Muhammad Al-Hasan Addud Asy-Syangqiti, paling tidak ada sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalifah :
  1. Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
  2. Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw bersabda : Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin.
  3. Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
  4. Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, kerena anak-anak itu belum mampu memahami dan memenej permasalahan.
  5. Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang Islam.
  6. Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
  7. Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyari’atkan seperti menegakkan agama Allah di atas muka bumi, menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir, khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi Khalifah.
    Sebab itu, Imam Ibnu Badran, rahimahullah, menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin Muslim di negeri-negeri Islam yang menerapkan sistem kafir atau musyrik, tidaklah dianggap sebagai pemimpin umat Islam karena mereka tidak mampu memerangi musuh dan tidak pula mampu menegakkan syar’ait Islam dan bahkan tidak mampu melindungi orang-orang yang dizalimi dan seterusnya, kendatipun mereka secara formal memegang kendali kekuasaan seperti raja tau presiden. Lalu Ibnu Badran menjelaskan : Mana mungkin orang-orang seperti itu menjadi Khalifah, sedangkan mereka dalam tekanan Taghut (Sistem Jahiliyah) dalam semua aspek kehidupan?
    Sedangkan para pemimpin gerakan dakwah yang ada sekarang hanya sebatas pemimpin kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah umat Islam, tidak sebagai pemimpin tertinggi umat Islam yang mengharuskan taat fil mansyat wal makrah ( dalam situasi mudah dan situasi sulit), kendati digelari dengan Khalifah.
  8. Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untu kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
  9. Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah. Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan umat Islam? Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji : Dulu aku adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli, ia berkata : Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata : Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti selain Allah.
  10. Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat sebelumhya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalifah.
3. Sistem Pemilihan Khalifah
Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafaurrasyidin sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II yang berpusat di Istambul, Turkey tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalifah.
Pertama, dengan sistem Wilayatul ‘Ahd (penunjukan Khalifah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar.
Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang shaleh dengan penjahat dan seterusnya. Baik sistem pertama ataupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalifah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalifah terpilih, maka umat wajib berbai’ah kepadanya.
Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalifah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafaurrasyidin.

4. Tugas dan Kewajiban Khalifah
Sesungguhnya tugas dan kewajiban khalifah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem agama atau syari’ah dan managemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetpi mencakup urusan akhirat. Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu meberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Secara umum, tugas Khalifah itu ialah :
  1. Tamkin Dinillah (menegakkan agama Allah) yang telah diridhai-Nya dengan menjadikannya sistem hidup dan perundangan-undangan dalam semua aspek kehidupan.
  2. Menciptakan keamanan bagi umat Islam dalam menjalankan agama Islam dari ancaman orang-orang kafir, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang di luar negeri Islam.
  3. Menegakkan sistem ibadah dan menjauhi sistem dan perbuatan syirik (QS.Annur : 55).
  4. Menerapkan undang-undang yang ada dalam Al-Qur’an, termasuk Sunnah Rasul Saw. dengan Haq dan adil, kendati terhadap diri, keluarga dan orang-orang terdekat sekalipun. (QS. Annisa’ : 135, Al-Maidah : 8 & 48, Shad : 22 & 26)
  5. Berjihad di jalan Allah.



5. Struktur pemerintahan Negara Khilafah

Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
  1. Khalifah
    Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
  2. Mu'awin Tafwidh
    Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
  3. Mu'awin Tanfidz
    Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
  4. Amirul Jihad
    Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
  5. Wali
    Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
  6. Qadi
    Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan:
    Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
  7. Jihaz Idari
    Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
  8. Majelis Ummat
    Majelis Ummat dipilih oleh
    rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.

6. Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut.
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum
Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."

Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan :
  1. Khilafah dan Khalifah dua hal yang saling terkait. Keduanya merupakan ajaran Islam yang fundamental. Menegakkan Khilafah dan memilih Khalifah hukumnya wajib. Semua umat Islam berdosa selama keduanya belum terwujud.
  2. Khilafah belum terbentuk atau belum dianggap ada sebelum diangkatny seorang Khallifah yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, dipilih dan diangkat dengan sistem Syura umat Islam, dan mampu menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia.
  3. Khilafah bukan tujuan, akan tetapi adalah alat untuk menegakkan dan menerapkan agama Allah secara menyeluruh dan orisinil. Allahu a’lamu bish-shawab.

Selasa, 30 Juni 2015

pengertian HAJRU ATAU LARANGAN


Hajru menurut bahasa berarti membatasi atau menghalangi atau mencegah. Menurut istilah adalah membatasi atau melarang seseorang untuk membelanjakan hartanya.
2. Hukum Hjaru
Wali atau hakim memiliki kewajiban baginya untuk melarang orang yang terkena hajru
membelanjakan hartanya, hal didsasarkan pada al-Qur’an surat An-Nisak ayat 5., al-Baqarah ayat
282.
3. Tujuan Larangan
 Larangan terhadap seseorang adalah untuk menjaga hak orang lain, yang meliputi :
• Larangan terhadap orang yang berutang kalau diperhitungkan utangnya lebih besar dari pada hartanya
• Orang yang sakit parah. Dia dilarang memberikan melebihi 1/3 hartanya guna menjaga hak ahli warisnya kalau dia samapai meninggal.
• Orang yang menggadaikan hartanya atau orang yang menjadikan sebagai jaminan, dilarang menjualnya
• Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang membelanjkan hartanya guna menjaga hak orang muslim.
 Larangan karena menjaga haknya sendiri meliputi :
• Anak kecil hendaknya dijaga jangan sampai membelanjkan hartanya sampai dewasa
• Orang gila dilarang membelanjkan hartanya sampai sembuh
• Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sampai ia sadar/tidak boros.
4. Sebab-Sebab Dilakukan Hajru
Maksud disyari’atkannya hajru dalam agama Islam adalah untuk menjaga kemaslahatan bagi
orang yang terkena hajru. Sebab-sebab hajru antara lain :
 Karena bangrut/pailit utangnya lebih besar dari harta yang dimilikinya.
 Karena bodoh/dungu, sehingga perlu dibatasi dalam membelanjakan hartanya.
 Karena belum sempurna akalnya (anak kecil, orang gila).
5. Rukun dan Syarat Hajru.
 Rukun hajru adalah :
o Wali atau hakim baik laki-laki atau perempuan.
o Orang yang terkena hajru yaitu orang yang dilarang untuk membelanjakan hartanya
 Syarat-syarat Hajru adalah :
o Orang yang berhak/berwenang melakukan hajru/larangan hendaknya orang yang kuat agamanya, tinggi rasa dan tinggi tingkat kecerdasannya
o Orang yang dilarang membelanjakan hartanya meliputi :
• Orang yang belum sempurna/lemah akalnya (anak kecil, orang gila, idiot). Anak dianggap baligh bila padanya sudah ada salah satu sifat berikut telah sampai umur 15 tahun, telah keluar mani, telah keluar darah haid.
• Orang yang jatuh pailit/bangrut yang utangnya lebih besar dari pada harta miliknya
6. Hikmah Hajru
Agama mensyariatkan hajru terhadap orang-orang yang lemah akalnya untuk membelanjakan hartanya dengan maksud untuk kemaslahatan mereka. Hajru mengandung hikmah bagi mereka yang terkena larangan, antara lain :
• Terciptanya kelanggengan hidup mereka pada masa-masa mendatang
• Terjaminnya hak bagi seseorang yang memberikan hutang karena ia tidak dirugikan/tidak dihilangkan haknya
• Terjaminnya hak kaum muslimin dari perbuatan orang yang kurang bertanggung jawab.

PengertianWadiah

1.      PengertianWadiah
n  Secara EtimologiAl-Wadi’ah berarti titipan murni (amanah).Wadiahbermaknaamanah. Wadiahdikatakanbermaknaamanahkarena Allah menyebutwadiahdengan kata amanahdibeberapaayat Al-Qur’an
n  Secara Terminologi
Hanafiayah : Memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah : Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
n  Wadiah secara istilah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). .
n  Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.Singkatnya, Wadiahjugabisadiartikantitipan,
Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Dengan demikian akad wadi’ah ini  mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty).
n  Dengandemikian, prinsipdasarwadi’ahadalahamanah, bukandhamanah
n  Wadiahpadadasarnyaakadtabarru’, (tolongmenolong), bukanakadtijari
2.      Hukum dan Dalil Wadiah
Al-Qur’an .An-Nisa : 58
            Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhakmenerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di anatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat “
Al-Baqarah : 283
            “ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itumenunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia bertakwakepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hadist :
n  Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah amanat kepada orang yang  mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati  orang yang mengkhianati anda”
n  Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Tunaikanlah amanat ( titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”
3.      RukundanSyaratWadiah
n  Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga,yaitu :
n  Wadiah. Yang dimaksud dengan wadiah disini adalah barang yang dititipkan, adapunsyaratnyaadalah :
Ø  Barang yang dititipkanharusdihormati (muhtaramah) dalampandangansyariat.
Ø  Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Maksudnya adalah barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
Ø  Sighat (akad), adapun syaratnya adalah :
Ø  Lafadzdarikeduabelahpihakdantidakadapenolakannyadaripihaklainnya. Dan lafadztersebutharusdikatakan di depankeduabelahpihak yang berakad (Mudi’ danwadii’)
Ø  Orang yang berakad, yaitu : Orang yang menitipkan (Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang berakad adalah :
Ø  Baligh
Ø  Berakal
Ø  Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Ø  Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadiah ini.
4.      Macam-macam Wadiah
Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
Ø  Wadiah yad amanah : adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.
Ø  Wadiah yad dhamanah: Akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi hak penerima titipan.
5.      Wadiah yad amanah berubahmenjadiyad dhomanah
Wadiah yad amanah dapat berubah menjadi yad dhomanaholeh sebab-sebab berikut :
n  Barang titipan tidak dipelihara oleh orang yang dititipi.
n  Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarganya atau tanggung jawabnya.
n  Barang titipan dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.
n  Orang yang dititipi wadiah mengingkari wadiah itu.
n  Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya sehingga sulit dipisahkan.
n  Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.
n  Barang titipan dibawa bepergian.
6.      Keuntungan (Laba) dalam Wadiah
Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya. yaitu :
n  Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
n  Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.
n  Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara)
7.      Jaminan Wadiah
Menurut Malikiyah, sebab-sebab adanyajaminan wadiah adalah:
n  Menitipkan barang pada selain penerima titipan (wadi’) tanpa ada uzur sehingga ketika minta dikembalikan, wadiah sudah hilang.
n  Pemindahan wadiah dari satu negara ke negara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah ke rumah.
n  Mencampurkan wadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan.
n  Pemanfaatan wadiah.
n  Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
n  Menyalahi cara pemeliharaan.
Menurut Syafi’iyah, sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah :
n  Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin.
n  Meletakkan pada tempat yang tidak aman.
n  Memindahkan ke tempat yang tidak aman.
n  Melalaikan kewajiban menjaganya.
n  Berpaling dari penjagaan yang diperintahkan sehingga barang menjadi rusak.
n  Memanfaatkan wadiah.
Menurut Hanabilah, sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah :
n  Menitipkan pada orang lain tanpa uzur.
n  Melalaikan pemeliharaan.
n  Menyalahi cara pemeliharaan seperti yang telah disepakati.
n  Mencampurnya dengan yang lain sehingga tidak dapat dibedakan.
n  Pemanfaatan wadiah.
8.      Hukum menerima barang wadiah :
n  Haram            : Menerima titipan barang bisa berhukum haram, karena orang yang akan dititipi yakin dirinya akan berkhiyanat.
n  Makruh          : Menerima titipan barang bisa berhukum makruh, karena orang yang akan dititipi memiliki kekhawatiran akan berkhianat (was-was)
n  Mubah            : Menerima titipan barang bisa berhukum mubah (boleh) bagi orang yang memiliki kekhawatiran akan ketidakmampuannya dan takut berkhiyanat lalu dia memberi tahu ke orang yang akan menitipkan akan hal tersebut, akan tetapi orang yang menitipkan tetap merasa yakin dan percaya bahwa orang tersebut layak dititipi, maka hukumnya boleh.
n  Sunnah           : Menerima titipan barang bisa berhukum sunnah apabila orang yang dititipi yakin dirinya amanah dan layak untuk dititipi.
n  Wajib              : Menerima amanah (wadiah) bisa berhukum wajib jika tidak ada orang yang jujur dan layak selain dirinya.
9.      Aplikasi dalam LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dan Fatwa DSN
n  Wadi'ah yang sering dipraktekkan dan dikembangkan oleh bank syariah adalah wadiah yad dhamanah (titipan dengan resiko ganti rugi).
n  Produk yang ditawarkan bank syariah yang menggunakan konsep wadiah biasanya berkaitan dengan penghimpunan dana (Fund), seperti giro, tabungan, SWBI, Safe Deposit Box (SDB) dan deposito. Deposito memakai prinsip mudharabah, sedangkan yang lainnya menggunakan bisa menggunakan prinsip wadiah.
n  Wadiah yad dhamanah juga bisa dikatakan sebagai Qardhul Hasan.
n  Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yaitu titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Konsep yang dipakai adalah wadiah yad dhamanah yang mempunyai implikasi hukum yang sama seperti qardh, dimana nasabah disebut sebagai orang yang meminjamkan uang dan bank adalah pihak yang dipinjami.
n  Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Giro NO : 01/DSN-MUI/IV/2000
n  Tabungan wadiah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yaitu titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Konsep yang dipakai adalah wadiah yad dhamanah. Dalam hal ini nasabah bertindak sebagai penititp yang memberikan hak kepada bank untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipan.
n  Fatwa Dewan Syariah Nasional NO : 02/DSN-MUI/IV/2000
n  Dalamperbankanjugaterdapat SWBI, yaituSertifikatWadiah Bank Indonesia dengan Fatwa DewanSyariahNasional NO : 36/DSN-MUI/X/2002
n  Penghapusan SWBI menjadi IJARAH. Bank Syariah yang menempatkan dana di BI telah berperan mendukung stabilitas moneter, maka Bank Syariah diberi upah (ujrah) oleh BI sebesar SBI, misalnya 8,78 %.

n  DalamperbankanjugaterdapatSave Deposit Box denganFatwa Dewan Syariah Nasional NO : 24/DSN-MUI/III/2002